Brawijaya mendekat dengan langkah tenang, sorot matanya dingin menelusuri suasana yang kini penuh ketegangan. Dari jauh, dia sudah bisa melihat kerumunan petugas keamanan yang mengerumuni Ardi, dan dari sikap mereka yang tegang, dia tahu bahwa masalah serius sedang terjadi. Namun, ekspresi wajahnya tidak berubah sedikit pun, menunjukkan betapa kuat kontrolnya terhadap emosinya.Ardi, yang masih berdiri dengan angkuh di tengah kerumunan, tersenyum sinis begitu melihat Brawijaya mendekat. Dia tahu ini momen penting, tapi dia tetap tenang seperti biasanya. Tatapan matanya tak lepas dari sosok pria berjas itu, menunggu reaksi yang akan muncul."Brawijaya," sapa Ardi dengan nada dingin, tak ada basa-basi. "Aku sudah menunggumu."Brawijaya berhenti beberapa langkah di depan Ardi, menatapnya dengan tatapan penuh pertanyaan. “Aku dengar kau mencari-cari masalah di sini,” katanya tanpa emosi. Nadanya tegas, tapi tidak ada amarah di sana. Dia memandang sekilas ke arah para petugas keamanan di s
Brawijaya terkejut. Wajahnya pucat, dan ia berusaha menyembunyikan keterkejutannya. Namun, tak ada gunanya. Mata Rendy, penuh dengan kecerdikan, menangkap setiap detil perubahan pada ekspresinya. Dia tahu, Brawijaya ketakutan.Brawijaya sama sekali tidak menyangka kalau Naga Perang bisa mengerikan seperti ini. Bahkan petugas keamanan tidak ada yang berani bergerak untuk menolongnya."Kalian kerja apa saja? Cepat bereskan dua pengacau ini!" perintahnya mencoba untuk lolos dari cengkraman Naga Perang, walaupun Bram tahu kalau mustahil untuk lolos kali ini. "Berani maju selangkah saja kalian akan aku kirim ke alam baka! Silahkan mencoba kalau tak percaya! Untuk apa kalian membela penghianat ini ... kalau masih sayang dengan pekerjaan kalian, lebih baik kalian diam dan tidak ikut campur urusan kami!" ancam Ardi.Rendy melanjutkan, “Kafe Kupi ini? Ini hanya salah satu masalah kecil. Kau tidak mengerti bahwa ini tentang kepercayaan yang kau hancurkan. Kau harus menebusnya sekarang.”Suasan
Di dalam ruangan tertutup yang terletak di bagian belakang Kafe Kupi, suasana begitu mencekam. Lampu yang redup menciptakan bayangan panjang yang tampak mengerikan di dinding. Brawijaya terikat di kursi, peluh dingin mengalir di keningnya, napasnya terengah-engah dalam ketakutan. Rendy Wang duduk di depannya dengan sikap tenang namun mengancam, seolah-olah waktu berpihak padanya. Ardi berjaga di dekat pintu, berdiri tegak dengan tangan bersilang di dada, siap untuk bertindak kapan saja. Brawijaya menggigil, merasakan hawa dingin yang menusuk tulang, meskipun ruangan itu seharusnya hangat. Yang membuatnya ketakutan bukanlah suhu yang terasa dingin, melainkan aura dari Rendy, yang terasa begitu pekat dan mencekam. Ia sudah tahu, tak ada jalan keluar dari situasi ini kecuali mengakui kebenaran. Namun, bagaimana ia bisa bicara tanpa menyeret dirinya semakin jauh ke dalam masalah? Rendy tidak terburu-buru. Ia hanya mengamati Brawijaya, membiarkan detik-detik berlalu dalam hening yang men
"Mulai sekarang Brawijaya tidak lagi menjadi pemilik Kafe Kupi, jadi kalian tetap bekerja seperti biasa sampai ada penggantinya ... rahasiakan kejadian hari ini kalau tidak ingin kehilangan pekerjaan!" ujar Ardi meneruskan instruksi Naga Perang."Tuan Brawijaya kemana? Kenapa tidak ikut keluar?" tanya salah satu petugas keamanan."Bukan urusanmu! Brawijaya sudah pulang dan akan ditugaskan di tempat lain, jadi tidak perlu Kau yang mengurusnya, mengerti!" tegas Ardi.Petugas keamanan ini terdiam dan tidak banyak bertanya lagi, demikian juga dengan petugas keamanan lainnya. "Bagus! Mulai besok gaji kalian akan dinaikkan tapi kalau muncul rumor yang merugikan kafe ini maka kalian semua akan dipecat!"Petugas keamanan yang biasanya galak dan gagah menjaga Kafe Kupi ini dibuat ciut nyalinya oleh aura pembunuh Ardi yang menekan mereka semua. "Ingat ... nyawa kalian ada di tanganku, ikuti aturan kafe maka kalian akan hidup senang! Menentang aturan kami hanya membawa akibat buruk bagi kalian!
Naga Perang melangkah masuk ke lobi mewah Hotel Celebes dengan langkah mantap. Meski penampilannya sederhana—hanya mengenakan kaos hitam polos, celana jeans, dan jaket kulit—auranya tidak bisa disangkal. Hotel itu, dengan segala kemewahannya, dari lantai marmer berkilauan hingga lampu kristal yang menggantung megah di langit-langit, seakan memudar dibandingkan dengan kehadirannya.Di meja resepsionis, seorang wanita muda dengan seragam rapi, nametag bertuliskan 'Ambar', menatap Naga Perang dengan sorot mata yang segera menilai. Wajahnya tak menunjukkan minat atau keramahan, hanya sekilas pandangan saja sebelum ia kembali menatap layar komputernya.Naga Perang mendekati meja resepsionis. "Saya sudah ada reservasi, tolong cek atas nama Rendy Wang," katanya dengan nada tegas namun sopan.Ambar menatapnya lagi, kali ini lebih lama, matanya menyapu dari ujung rambut hingga sepatu. Tatapannya jelas meremehkan. "Maaf, Pak, Anda yakin sudah memesan di sini? Hotel ini... untuk tamu yang istime
Begitu pintu suite hotel terbuka, Rendy melangkah masuk, langsung disambut oleh aroma mewah yang khas—campuran kayu mahal dan bunga segar. Kamar itu luas, nyaris seperti apartemen, dengan jendela setinggi langit-langit yang menampilkan pemandangan kota Kartanesia yang bersinar di bawah sinar lampu malam.“Ini lebih dari sekadar mewah,” gumam Rendy dengan suara rendah, menatap sekeliling dengan kagum.Sofa kulit abu-abu elegan memanggilnya, karpet Persia menenggelamkan langkah kakinya, dan chandelier kristal di langit-langit memantulkan cahaya lembut ke seluruh ruangan. Sementara itu, minibar yang penuh dengan minuman premium berdiri di sudut ruangan, siap memberikan kemewahan tambahan.Rendy berjalan perlahan menuju jendela, membuka tirai sutra dengan sentuhan ringan. Dari ketinggian ini, hiruk-pikuk Kartanesia terlihat begitu kecil, seolah-olah ia berada di atas segalanya."Menakjubkan," bisiknya sambil menatap lampu kota yang berkelap-kelip di bawah sana.Dia mengambil cangkir teh y
Di ruang tunggu bandara, suasana terasa tenang meski hiruk-pikuk di luar terus mengalir. Rendy duduk santai di sofa kulit lembut, sesekali melirik jam tangannya, tapi tidak tampak terburu-buru. Di sebelahnya, Ardi berdiri dengan postur siaga, seolah-olah siap melompat untuk melakukan apa pun yang diperlukan. Cahaya redup dari lampu gantung di atas kepala mereka menciptakan bayangan lembut di wajah keduanya, sementara aroma kopi yang baru diseduh menimbulkan sensasi nikmat yang berasal dari sudut lounge mewah, yang hanya diperuntukkan bagi penumpang kelas satu seperti Rendy. “Apa Ketua baik-baik saja berangkat sendirian ke Negeri Aurora?” tanya Ardi dengan nada cemas. Suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya, mungkin karena kesunyian ruangan yang mengisolasi mereka dari dunia luar. “Dengan semua musuh yang mengincar Ketua, bukankah lebih baik kalau ada pengawalan?” Rendy terkekeh pelan, suaranya berat dan penuh keyakinan, seolah pertanyaan Ardi tak lebih dari kekhawatiran yang
Begitu Rendy masuk ke dalam kabin First Class Khatulistiwa Air di pagi yang masih segar, ia langsung merasakan kenyamanan mewah yang dirancang untuk penumpang istimewa. Cahaya matahari pagi yang lembut menembus jendela pesawat, memandikan ruang dengan sinar keemasan. Kursinya yang lebar terasa seperti mini-suite pribadi, dilengkapi dinding pembatas untuk menjaga privasi. Bahan kulit premium yang membalut kursi terasa halus di bawah sentuhannya, memberikan kenyamanan yang membuatnya segera rileks.Pramugari dengan seragam rapi dan senyum ramah menghampiri. "Selamat pagi, Tuan Rendy. Apakah ada yang bisa kami siapkan sebelum lepas landas?" sapanya lembut, penuh perhatian.Rendy tersenyum tipis dan menjawab, “Kopi hitam, tolong.”Tak butuh waktu lama sebelum pramugari itu kembali dengan secangkir kopi hitam yang masih mengeluarkan uap. Aromanya segera memenuhi udara di sekitarnya—wangi kopi yang pekat dan hangat, pas untuk memulai hari. Ia mengangkat cangkir itu, menyesap perlahan, membi
Namun, di tengah keheningan yang sakral, di antara debu-debu yang melayang pelan bagai abu dupa, sebuah aura kelam menyusup perlahan. Tak seperti kebencian Azerith yang membara dan membuncah, aura ini dingin… nyaris tak terdeteksi, namun menyusup ke dalam setiap pori-pori dunia, seperti kabut maut yang tak menyuarakan langkahnya.Rendy jatuh berlutut. Pedang Kabut Darah tertancap lemah di sampingnya, menahan tubuhnya yang gemetar karena kelelahan. Luka-lukanya belum sembuh, dan energi spiritualnya hampir habis, terkuras oleh Segel Jiwa dan tebasan terakhir yang nyaris membelah dunia.Tiba-tiba, udara di belakangnya bergetar—bukan oleh angin, melainkan oleh kehadiran yang tidak seharusnya ada.Sebuah bisikan lirih mengalir di antara angin.“Akhirnya… saatnya menuai bayangan terakhir dari Naga Perang.”Rendy mengangkat kepala, pelan.Dari balik kegelapan yang masih menyelimuti sebagian Negeri Malam, muncul sosok yang menyatu dengan bayangannya sendiri. Hitam pekat tanpa bentuk jelas, wa
Azerith terdorong mundur, wajahnya kini lebih menyerupai bayangan iblis daripada manusia. Dengan tatapan penuh amarah dan kebencian, ia memutar tubuhnya. Pedang Iblis Merah ditebaskan dalam gerakan spiral yang nyaris mustahil ditangkap mata telanjang. Setiap sabetan memotong udara, menciptakan bilah-bilah energi merah gelap yang melesat seperti anak panah roh—menyasar bukan tubuh, tapi langsung pada jiwa.Namun, Rendy tak mundur.Dengan satu putaran cepat, Pedang Kabut Darah menyapu seluruh bilah serangan. Dalam sekejap, tercipta pusaran merah-putih yang menghisap dan membelokkan serangan itu, meledakkannya menjadi hujan cahaya yang luruh ke tanah seperti bintang jatuh yang kehabisan nyala.Azerith tertegun. Napasnya berat, jiwanya tergerus perlahan.Rendy berdiri di tengah pusaran cahaya yang perlahan mereda, tubuhnya luka namun tak gentar. Ia menatap lawannya—mata yang tak lagi menyimpan rasa benci, hanya keteguhan.“Aku tidak akan melawan kutukanmu dengan sihir,” gumamnya pelan namu
Angin terhenti begitu saja, seperti makhluk hidup yang menahan napas. Debu menggantung di udara, tak sempat jatuh. Waktu—biasanya tak terbendung—kini seperti dipaksa berhenti, membeku dalam ketegangan yang mencekam.Dari balik semburan cahaya yang menyilaukan mata, dan langit yang retak seperti kaca dihantam palu raksasa, dua sosok berdiri. Tak sempurna. Tak utuh. Namun masih tegak—meski dunia seolah menolak keberadaan mereka.Rendy terhuyung, nafasnya tersengal seolah paru-parunya terbakar dari dalam. Darah mengalir dari pelipis dan sudut bibirnya, menggurat merah pekat di wajah yang dipenuhi luka dan debu pertempuran. Namun, cahaya merah menyala di sekeliling tubuhnya, tak padam sedikit pun. Justru semakin membara.Aura naga itu bukan lagi sekadar energi—ia menjadi bagian dari dirinya. Sisik merah menyala terbentuk dari cahaya murni, mengilap seperti batu rubi. Tanduk melengkung memanjang dari pelipisnya, sementara sayap raksasa perlahan mekar dari punggungnya, mengepak pelan seperti
“Jangan menyerah!” Suara itu meluncur membelah senyap, nyaring dan penuh nyawa. Gaungnya memantul di tebing-tebing gelap Negeri Malam, menghentak dada siapa pun yang mendengarnya. Tegas. Tak tergoyahkan. “Kekuatan mereka memang besar… tapi bukan tak terbatas! Jika kita mampu bertahan, maka mereka akan tumbang—oleh kesombongan dan kekuatan mereka sendiri!”Laras berdiri terpaku. Nafasnya berat, terseret di antara angin dingin dan aroma darah yang menggantung di udara. Kepalanya menunduk perlahan, bayangan luka dan kehilangan berkecamuk di matanya. Dengan gerakan lirih, ia membuka payung ungu kesayangannya—gerakan kecil yang mengandung ribuan kutukan.“Ini sudah melewati batas…” ucapnya, suara nyaris tak lebih dari bisikan yang terbawa angin. Lalu, dengan ketenangan yang menakutkan, ia menancapkan payung itu ke tanah.KRAAAK ...Begitu ujung payung menyentuh tanah, suara retakan halus terdengar—seolah bumi sendiri merintih. Aura ungu merembes keluar dari celah tanah, melilit udara sepert
Langit Negeri Malam seakan telah robek.Azerith melesat keluar dari kawah api yang ia ciptakan sendiri. Tubuhnya diselimuti aura hitam pekat, berkilauan seperti logam cair yang mendidih. Sayap iblis terbuka lebar di punggungnya—bukan sayap biasa, tapi sayap yang terbuat dari bayangan penderitaan ribuan jiwa. Di belakangnya, dua mata raksasa tanpa kelopak muncul di langit, menatap ke segala arah.“Rendy…” suara Azerith menggema seperti jeritan dari dasar neraka, “Aku sudah mati... berkali-kali... untuk negeri ini. Tapi ayah kami—ayahku—dibunuh olehmu. Kau dan ambisimu untuk perdamaian, hanya menyisakan pembantaian!”Rendy tak menjawab. Sorot matanya tajam, dan api merah dari Pedang Kabut Darah makin membara. Aura spiritual di sekeliling tubuhnya membentuk cincin cahaya merah tua yang berdenyut seirama dengan detak jantungnya.“Kau ingin kebenaran, Azerith?” seru Rendy, melayang perlahan maju. “Bukankah aku sudah bilang kalau ayahmu ingin menghancurkan dunia dan bersekutu dengann kekuata
Tak jauh dari situ, Lintang mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Tongkat itu memancarkan cahaya biru langit, lalu menyala terang seperti bintang meledak.“Wahai semesta! Beri aku kekuatan!”Lintang menghentak tanah dengan ujung tongkat. Seketika, dari bawah tanah muncul jaring akar-akar bercahaya yang menjulur dan menyambar para prajurit tanpa jiwa, menarik mereka masuk ke dalam bumi yang menganga. Suara jeritan mengerikan bergema ketika tubuh-tubuh itu ditelan tanah.Tiga prajurit melompat dari sisi kanan—Lintang memutar tongkatnya, mengubahnya menjadi cambuk cahaya. Dengan gerakan cepat dan presisi, cambuk itu membelit leher dan tangan lawan-lawannya, lalu ditarik ke satu arah hingga mereka saling bertabrakan dan meledak menjadi abu.*****Dari atas reruntuhan, melayanglah Lily, gaunnya mengepak, kipas giok di tangan kanannya terbuka perlahan.“Jangan meremehkan kelembutan…”Ia mengibaskan kipas sekali. Angin yang keluar bukan sekadar angin—ia adalah gelombang serangan berbentuk kelo
Rendy tak bergeming. Ia melangkah ke depan, dan setiap langkahnya seperti membangunkan tanah yang tertidur. Aura panas merambat dari tubuhnya, membuat udara di sekitarnya bergetar samar. Lalu, suara hatinya menggema—keras, tegas, mengguncang lebih dari sekadar suara.“Aku tidak takut pada mereka!” serunya, dan dalam sekejap, tubuhnya diselimuti oleh cahaya merah yang membakar. Dari balik punggung dan dadanya, muncul siluet seekor naga—merah membara, melingkar seperti pusaran petir yang hendak menerkam. Matanya menyala, dan setiap sisiknya memantulkan kilatan kekuatan purba.Lintang membeku. Matanya membelalak tak percaya. Di sebelahnya, Laras mundur satu langkah, tubuhnya bergetar hebat.“Mustahil…” bisiknya dengan suara tercekat. “Ras Naga sudah punah… jutaan tahun yang lalu…”Rendy menatap lurus ke mata Azerith. Tak ada keraguan. Tak ada gentar. Hanya kepercayaan yang tak tergoyahkan.“Ini bukan tentang balas dendam,” katanya pelan, namun suaranya mengandung kekuatan yang tak bisa di
Kilatan petir terakhir mencabik langit, menyambar reruntuhan yang hangus di belakang Azerith. Sekilas, cahaya itu memahat siluet sosoknya yang menjulang tinggi, berdiri laksana dewa penghancur dengan pedang terangkat ke langit. Dari bilah senjata itu, lidah-lidah api neraka melompat liar, memekik dalam nyala yang bukan hanya membakar udara, tapi juga jiwa. Tangisan lirih bergema dari logamnya—jeritan ribuan roh yang terperangkap di dalam, merintih antara harapan akan kebebasan… atau kehancuran abadi.Sheila tersentak. Tumitnya bergeser ke belakang, satu langkah kecil yang nyaris tak terdengar. Bukan ketakutan yang membuatnya mundur, tapi sesuatu yang lebih kompleks—kesadaran akan kekuatan yang berdiri di hadapannya.“Rendy…” bisiknya, tangan refleks terangkat. Tapi sebelum ia bergerak lebih jauh, sebuah tangan menggenggam pergelangannya.“Jangan,” ujar Rendy pelan, suaranya rendah tapi tegas, nyaris seperti bisikan petir sebelum badai.Tatapannya tertuju penuh pada Azerith, dan di mata
Azerith melangkah maju, jubahnya berkibar perlahan seiring gerakannya. Suhu ruangan turun drastis. Nafas menjadi uap putih.“Itu semua hanya... umpan. Seleksi alam, Sheila. Dunia Bawah tidak butuh simpati. Ia menuntut kekuatan. Yang lemah... hilang. Yang kuat... bertahan. Itu hukum satu-satunya di sini.”Ia berhenti tepat di depan Sheila. Mereka hanya dipisahkan oleh helai napas.“Tapi kau... masih terlalu naif untuk mengerti.”Sheila menggertakkan gigi, menahan amarah. Tapi matanya tidak berpaling.“Kau bukan Tuhan, Azerith. Dan aku di sini... untuk menjatuhkan dewa palsu.”Langkah Rendy menggema di antara debu dan reruntuhan menara tua. Bayangan dari nyala obor menari di wajahnya yang tegang, rahangnya mengeras. Matanya tajam, penuh kemarahan yang tak bisa lagi ditahan.“Kau menyebut kehancuran sebagai seleksi?” suaranya memotong keheningan seperti kilatan petir. “Kau buang anak-anak, wanita, dan turis tak berdosa hanya untuk eksperimen sosial?”Angin mendesis, membawa aroma tanah ba