"Mulai sekarang Brawijaya tidak lagi menjadi pemilik Kafe Kupi, jadi kalian tetap bekerja seperti biasa sampai ada penggantinya ... rahasiakan kejadian hari ini kalau tidak ingin kehilangan pekerjaan!" ujar Ardi meneruskan instruksi Naga Perang."Tuan Brawijaya kemana? Kenapa tidak ikut keluar?" tanya salah satu petugas keamanan."Bukan urusanmu! Brawijaya sudah pulang dan akan ditugaskan di tempat lain, jadi tidak perlu Kau yang mengurusnya, mengerti!" tegas Ardi.Petugas keamanan ini terdiam dan tidak banyak bertanya lagi, demikian juga dengan petugas keamanan lainnya. "Bagus! Mulai besok gaji kalian akan dinaikkan tapi kalau muncul rumor yang merugikan kafe ini maka kalian semua akan dipecat!"Petugas keamanan yang biasanya galak dan gagah menjaga Kafe Kupi ini dibuat ciut nyalinya oleh aura pembunuh Ardi yang menekan mereka semua. "Ingat ... nyawa kalian ada di tanganku, ikuti aturan kafe maka kalian akan hidup senang! Menentang aturan kami hanya membawa akibat buruk bagi kalian!
Naga Perang melangkah masuk ke lobi mewah Hotel Celebes dengan langkah mantap. Meski penampilannya sederhana—hanya mengenakan kaos hitam polos, celana jeans, dan jaket kulit—auranya tidak bisa disangkal. Hotel itu, dengan segala kemewahannya, dari lantai marmer berkilauan hingga lampu kristal yang menggantung megah di langit-langit, seakan memudar dibandingkan dengan kehadirannya.Di meja resepsionis, seorang wanita muda dengan seragam rapi, nametag bertuliskan 'Ambar', menatap Naga Perang dengan sorot mata yang segera menilai. Wajahnya tak menunjukkan minat atau keramahan, hanya sekilas pandangan saja sebelum ia kembali menatap layar komputernya.Naga Perang mendekati meja resepsionis. "Saya sudah ada reservasi, tolong cek atas nama Rendy Wang," katanya dengan nada tegas namun sopan.Ambar menatapnya lagi, kali ini lebih lama, matanya menyapu dari ujung rambut hingga sepatu. Tatapannya jelas meremehkan. "Maaf, Pak, Anda yakin sudah memesan di sini? Hotel ini... untuk tamu yang istime
Begitu pintu suite hotel terbuka, Rendy melangkah masuk, langsung disambut oleh aroma mewah yang khas—campuran kayu mahal dan bunga segar. Kamar itu luas, nyaris seperti apartemen, dengan jendela setinggi langit-langit yang menampilkan pemandangan kota Kartanesia yang bersinar di bawah sinar lampu malam.“Ini lebih dari sekadar mewah,” gumam Rendy dengan suara rendah, menatap sekeliling dengan kagum.Sofa kulit abu-abu elegan memanggilnya, karpet Persia menenggelamkan langkah kakinya, dan chandelier kristal di langit-langit memantulkan cahaya lembut ke seluruh ruangan. Sementara itu, minibar yang penuh dengan minuman premium berdiri di sudut ruangan, siap memberikan kemewahan tambahan.Rendy berjalan perlahan menuju jendela, membuka tirai sutra dengan sentuhan ringan. Dari ketinggian ini, hiruk-pikuk Kartanesia terlihat begitu kecil, seolah-olah ia berada di atas segalanya."Menakjubkan," bisiknya sambil menatap lampu kota yang berkelap-kelip di bawah sana.Dia mengambil cangkir teh y
Di ruang tunggu bandara, suasana terasa tenang meski hiruk-pikuk di luar terus mengalir. Rendy duduk santai di sofa kulit lembut, sesekali melirik jam tangannya, tapi tidak tampak terburu-buru. Di sebelahnya, Ardi berdiri dengan postur siaga, seolah-olah siap melompat untuk melakukan apa pun yang diperlukan. Cahaya redup dari lampu gantung di atas kepala mereka menciptakan bayangan lembut di wajah keduanya, sementara aroma kopi yang baru diseduh menimbulkan sensasi nikmat yang berasal dari sudut lounge mewah, yang hanya diperuntukkan bagi penumpang kelas satu seperti Rendy. “Apa Ketua baik-baik saja berangkat sendirian ke Negeri Aurora?” tanya Ardi dengan nada cemas. Suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya, mungkin karena kesunyian ruangan yang mengisolasi mereka dari dunia luar. “Dengan semua musuh yang mengincar Ketua, bukankah lebih baik kalau ada pengawalan?” Rendy terkekeh pelan, suaranya berat dan penuh keyakinan, seolah pertanyaan Ardi tak lebih dari kekhawatiran yang
Begitu Rendy masuk ke dalam kabin First Class Khatulistiwa Air di pagi yang masih segar, ia langsung merasakan kenyamanan mewah yang dirancang untuk penumpang istimewa. Cahaya matahari pagi yang lembut menembus jendela pesawat, memandikan ruang dengan sinar keemasan. Kursinya yang lebar terasa seperti mini-suite pribadi, dilengkapi dinding pembatas untuk menjaga privasi. Bahan kulit premium yang membalut kursi terasa halus di bawah sentuhannya, memberikan kenyamanan yang membuatnya segera rileks.Pramugari dengan seragam rapi dan senyum ramah menghampiri. "Selamat pagi, Tuan Rendy. Apakah ada yang bisa kami siapkan sebelum lepas landas?" sapanya lembut, penuh perhatian.Rendy tersenyum tipis dan menjawab, “Kopi hitam, tolong.”Tak butuh waktu lama sebelum pramugari itu kembali dengan secangkir kopi hitam yang masih mengeluarkan uap. Aromanya segera memenuhi udara di sekitarnya—wangi kopi yang pekat dan hangat, pas untuk memulai hari. Ia mengangkat cangkir itu, menyesap perlahan, membi
Pesawat Khatulistiwa Air mendarat mulus di Bandara Horizon, menandai akhir perjalanan udara Rendy ke Negeri Aurora. Horizon City, ibu kota Negara Aurora, terlihat indah dari udara, dengan pemandangan pegunungan yang megah di kejauhan dan gedung-gedung modern yang berkilauan di bawah sinar matahari pagi. Rendy merasa lega ketika roda pesawat menyentuh landasan pacu tanpa getaran, sebuah bukti dari profesionalisme maskapai ini.Begitu pesawat berhenti, pramugari First Class segera mendatangi Rendy, memastikan bahwa setiap kebutuhannya terpenuhi. "Tuan Rendy, kami harap Anda menikmati penerbangan Anda. Kami sudah menyiapkan layanan VIP untuk Anda saat turun dari pesawat," ujar salah satu pramugari dengan senyum ramah.Rendy mengangguk dengan tenang, mengambil jasnya yang sudah dilipat rapi di kursi samping. Ia kemudian bangkit dari tempat duduknya dan mengikuti pramugari menuju pintu keluar. Di ujung pintu, seorang petugas bandara dengan seragam rapi menyambutnya dan mengarahkan ke jalur
Renata menghela napas, sambil menyandarkan diri sedikit ke kursi. "Hidupku tak seberat itu dibandingkan denganmu. Aku masih menjalankan bisnis kecilku, dan tentu saja, proyek medis kita masih berjalan sempurna. Tapi yang paling aku khawatirkan saat ini adalah keluargaku. Ada beberapa masalah di rumah yang... yah, kau tahu, selalu ada drama yang tak pernah habis."Rendy mendengarkan dengan seksama, mengamati wajah Renata yang, meskipun tersenyum, menyimpan keletihan yang sulit disembunyikan. "Keluarga memang selalu rumit," katanya sambil memutar gelas anggurnya di atas meja. "Tapi kau selalu berhasil menyeimbangkan semuanya, Renata. Kau punya bakat untuk tetap tenang di tengah kekacauan."Renata tertawa kecil. "Kau terlalu baik. Kau sendiri bagaimana, Kak Rendy? Kudengar ada banyak pergerakan di sekitar lingkaranmu. Terutama setelah pertemuan itu, banyak yang mulai bertanya-tanya tentang langkah-langkahmu selanjutnya."Rendy tersenyum samar, lalu menghela napas. "Ya, kau benar. Setelah
Suasana elegan dan damai di Restoran Galaksi berubah seketika. Belasan pria bertopeng emas, mengenakan jas hitam yang rapi dan memancarkan aura dingin, muncul dari berbagai sudut restoran. Gerakan mereka cepat, terkoordinasi, dan tanpa suara, hingga tiba-tiba mereka sudah mengepung meja Rendy dan Renata.Rendy dengan tenang menaruh gelas anggurnya di meja, menatap ke sekeliling. Sorot matanya berubah dari yang tadinya santai menjadi tajam, menyelidik. Di hadapannya, Renata tampak terkejut sesaat, namun ia segera menyamarkan keterkejutannya dengan menegakkan punggung, menunjukkan ketenangan yang mungkin tidak sepenuhnya ia rasakan.Salah satu pria bertopeng emas maju selangkah, membuka jasnya sedikit untuk memperlihatkan gagang senjata yang tersembunyi di dalamnya. "Tuan Rendy Wang," suara pria itu berat dan tegas. "Kami punya pesan untuk Anda."Renata menoleh sedikit ke arah Rendy, suaranya nyaris berbisik. "Apa kau tahu siapa mereka?"Rendy menggeleng pelan, ekspresinya tak berubah.