Brawijaya terkejut. Wajahnya pucat, dan ia berusaha menyembunyikan keterkejutannya. Namun, tak ada gunanya. Mata Rendy, penuh dengan kecerdikan, menangkap setiap detil perubahan pada ekspresinya. Dia tahu, Brawijaya ketakutan.Brawijaya sama sekali tidak menyangka kalau Naga Perang bisa mengerikan seperti ini. Bahkan petugas keamanan tidak ada yang berani bergerak untuk menolongnya."Kalian kerja apa saja? Cepat bereskan dua pengacau ini!" perintahnya mencoba untuk lolos dari cengkraman Naga Perang, walaupun Bram tahu kalau mustahil untuk lolos kali ini. "Berani maju selangkah saja kalian akan aku kirim ke alam baka! Silahkan mencoba kalau tak percaya! Untuk apa kalian membela penghianat ini ... kalau masih sayang dengan pekerjaan kalian, lebih baik kalian diam dan tidak ikut campur urusan kami!" ancam Ardi.Rendy melanjutkan, “Kafe Kupi ini? Ini hanya salah satu masalah kecil. Kau tidak mengerti bahwa ini tentang kepercayaan yang kau hancurkan. Kau harus menebusnya sekarang.”Suasan
Di dalam ruangan tertutup yang terletak di bagian belakang Kafe Kupi, suasana begitu mencekam. Lampu yang redup menciptakan bayangan panjang yang tampak mengerikan di dinding. Brawijaya terikat di kursi, peluh dingin mengalir di keningnya, napasnya terengah-engah dalam ketakutan. Rendy Wang duduk di depannya dengan sikap tenang namun mengancam, seolah-olah waktu berpihak padanya. Ardi berjaga di dekat pintu, berdiri tegak dengan tangan bersilang di dada, siap untuk bertindak kapan saja. Brawijaya menggigil, merasakan hawa dingin yang menusuk tulang, meskipun ruangan itu seharusnya hangat. Yang membuatnya ketakutan bukanlah suhu yang terasa dingin, melainkan aura dari Rendy, yang terasa begitu pekat dan mencekam. Ia sudah tahu, tak ada jalan keluar dari situasi ini kecuali mengakui kebenaran. Namun, bagaimana ia bisa bicara tanpa menyeret dirinya semakin jauh ke dalam masalah? Rendy tidak terburu-buru. Ia hanya mengamati Brawijaya, membiarkan detik-detik berlalu dalam hening yang men
"Mulai sekarang Brawijaya tidak lagi menjadi pemilik Kafe Kupi, jadi kalian tetap bekerja seperti biasa sampai ada penggantinya ... rahasiakan kejadian hari ini kalau tidak ingin kehilangan pekerjaan!" ujar Ardi meneruskan instruksi Naga Perang."Tuan Brawijaya kemana? Kenapa tidak ikut keluar?" tanya salah satu petugas keamanan."Bukan urusanmu! Brawijaya sudah pulang dan akan ditugaskan di tempat lain, jadi tidak perlu Kau yang mengurusnya, mengerti!" tegas Ardi.Petugas keamanan ini terdiam dan tidak banyak bertanya lagi, demikian juga dengan petugas keamanan lainnya. "Bagus! Mulai besok gaji kalian akan dinaikkan tapi kalau muncul rumor yang merugikan kafe ini maka kalian semua akan dipecat!"Petugas keamanan yang biasanya galak dan gagah menjaga Kafe Kupi ini dibuat ciut nyalinya oleh aura pembunuh Ardi yang menekan mereka semua. "Ingat ... nyawa kalian ada di tanganku, ikuti aturan kafe maka kalian akan hidup senang! Menentang aturan kami hanya membawa akibat buruk bagi kalian!
Naga Perang melangkah masuk ke lobi mewah Hotel Celebes dengan langkah mantap. Meski penampilannya sederhana—hanya mengenakan kaos hitam polos, celana jeans, dan jaket kulit—auranya tidak bisa disangkal. Hotel itu, dengan segala kemewahannya, dari lantai marmer berkilauan hingga lampu kristal yang menggantung megah di langit-langit, seakan memudar dibandingkan dengan kehadirannya.Di meja resepsionis, seorang wanita muda dengan seragam rapi, nametag bertuliskan 'Ambar', menatap Naga Perang dengan sorot mata yang segera menilai. Wajahnya tak menunjukkan minat atau keramahan, hanya sekilas pandangan saja sebelum ia kembali menatap layar komputernya.Naga Perang mendekati meja resepsionis. "Saya sudah ada reservasi, tolong cek atas nama Rendy Wang," katanya dengan nada tegas namun sopan.Ambar menatapnya lagi, kali ini lebih lama, matanya menyapu dari ujung rambut hingga sepatu. Tatapannya jelas meremehkan. "Maaf, Pak, Anda yakin sudah memesan di sini? Hotel ini... untuk tamu yang istime
Begitu pintu suite hotel terbuka, Rendy melangkah masuk, langsung disambut oleh aroma mewah yang khas—campuran kayu mahal dan bunga segar. Kamar itu luas, nyaris seperti apartemen, dengan jendela setinggi langit-langit yang menampilkan pemandangan kota Kartanesia yang bersinar di bawah sinar lampu malam.“Ini lebih dari sekadar mewah,” gumam Rendy dengan suara rendah, menatap sekeliling dengan kagum.Sofa kulit abu-abu elegan memanggilnya, karpet Persia menenggelamkan langkah kakinya, dan chandelier kristal di langit-langit memantulkan cahaya lembut ke seluruh ruangan. Sementara itu, minibar yang penuh dengan minuman premium berdiri di sudut ruangan, siap memberikan kemewahan tambahan.Rendy berjalan perlahan menuju jendela, membuka tirai sutra dengan sentuhan ringan. Dari ketinggian ini, hiruk-pikuk Kartanesia terlihat begitu kecil, seolah-olah ia berada di atas segalanya."Menakjubkan," bisiknya sambil menatap lampu kota yang berkelap-kelip di bawah sana.Dia mengambil cangkir teh y
Di ruang tunggu bandara, suasana terasa tenang meski hiruk-pikuk di luar terus mengalir. Rendy duduk santai di sofa kulit lembut, sesekali melirik jam tangannya, tapi tidak tampak terburu-buru. Di sebelahnya, Ardi berdiri dengan postur siaga, seolah-olah siap melompat untuk melakukan apa pun yang diperlukan. Cahaya redup dari lampu gantung di atas kepala mereka menciptakan bayangan lembut di wajah keduanya, sementara aroma kopi yang baru diseduh menimbulkan sensasi nikmat yang berasal dari sudut lounge mewah, yang hanya diperuntukkan bagi penumpang kelas satu seperti Rendy. “Apa Ketua baik-baik saja berangkat sendirian ke Negeri Aurora?” tanya Ardi dengan nada cemas. Suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya, mungkin karena kesunyian ruangan yang mengisolasi mereka dari dunia luar. “Dengan semua musuh yang mengincar Ketua, bukankah lebih baik kalau ada pengawalan?” Rendy terkekeh pelan, suaranya berat dan penuh keyakinan, seolah pertanyaan Ardi tak lebih dari kekhawatiran yang
Begitu Rendy masuk ke dalam kabin First Class Khatulistiwa Air di pagi yang masih segar, ia langsung merasakan kenyamanan mewah yang dirancang untuk penumpang istimewa. Cahaya matahari pagi yang lembut menembus jendela pesawat, memandikan ruang dengan sinar keemasan. Kursinya yang lebar terasa seperti mini-suite pribadi, dilengkapi dinding pembatas untuk menjaga privasi. Bahan kulit premium yang membalut kursi terasa halus di bawah sentuhannya, memberikan kenyamanan yang membuatnya segera rileks.Pramugari dengan seragam rapi dan senyum ramah menghampiri. "Selamat pagi, Tuan Rendy. Apakah ada yang bisa kami siapkan sebelum lepas landas?" sapanya lembut, penuh perhatian.Rendy tersenyum tipis dan menjawab, “Kopi hitam, tolong.”Tak butuh waktu lama sebelum pramugari itu kembali dengan secangkir kopi hitam yang masih mengeluarkan uap. Aromanya segera memenuhi udara di sekitarnya—wangi kopi yang pekat dan hangat, pas untuk memulai hari. Ia mengangkat cangkir itu, menyesap perlahan, membi
Pesawat Khatulistiwa Air mendarat mulus di Bandara Horizon, menandai akhir perjalanan udara Rendy ke Negeri Aurora. Horizon City, ibu kota Negara Aurora, terlihat indah dari udara, dengan pemandangan pegunungan yang megah di kejauhan dan gedung-gedung modern yang berkilauan di bawah sinar matahari pagi. Rendy merasa lega ketika roda pesawat menyentuh landasan pacu tanpa getaran, sebuah bukti dari profesionalisme maskapai ini.Begitu pesawat berhenti, pramugari First Class segera mendatangi Rendy, memastikan bahwa setiap kebutuhannya terpenuhi. "Tuan Rendy, kami harap Anda menikmati penerbangan Anda. Kami sudah menyiapkan layanan VIP untuk Anda saat turun dari pesawat," ujar salah satu pramugari dengan senyum ramah.Rendy mengangguk dengan tenang, mengambil jasnya yang sudah dilipat rapi di kursi samping. Ia kemudian bangkit dari tempat duduknya dan mengikuti pramugari menuju pintu keluar. Di ujung pintu, seorang petugas bandara dengan seragam rapi menyambutnya dan mengarahkan ke jalur
Di balik tirai salju tebal yang menutupi setiap sudut Pegunungan Es Abadi, dunia terlihat seperti lukisan sunyi yang menyimpan keindahan dan kematian sekaligus. Namun, Rendy, dengan tatapan waspada dan langkah yang terukur, tahu bahwa di balik pesona dingin itu tersimpan jebakan mematikan yang dirancang oleh Keluarga Besar Bai. Setiap langkah yang diambilnya terasa bagai melangkah di atas kristal pecah; dingin yang menusuk hingga ke dalam tulang, diiringi oleh ketidakpastian medan yang licin dan berbahaya. Angin kencang menyusup lewat celah-celah antara puncak gunung, mendesis seperti bisikan kematian. Butiran es kecil yang tersapu angin menghantam wajahnya, meninggalkan rasa perih yang membakar, sementara jubah hitamnya menari liar di tengah pusaran salju, kontras dengan hamparan putih yang tak berujung. Rendy menatap sekeliling dengan mata tajam, menyusuri setiap bayangan dan jejak samar yang tertutup salju. Tiba-tiba, ia berhenti. Di bawah langkahnya, ada sebuah bekas jejak yang
Rendy melangkah mantap ke utara, angin dingin menerpa wajahnya, membawa serta butiran salju yang berkilauan di bawah cahaya rembulan. Hembusan napasnya mengepul, seiring dengan tekad yang semakin menguat di dalam dadanya. Ia harus menemui Keluarga Besar Bai secara langsung. Tiga kultivator Bai yang ia biarkan hidup telah menyampaikan pesannya, tetapi ia ragu pesan itu cukup kuat untuk menghentikan mereka."Aku harus memastikan mereka tidak menggangguku saat berhadapan dengan Zhang Wen," gumamnya, kedua matanya menatap lurus ke depan, penuh determinasi.Dalam perjalanannya, Rendy menyadari satu hal: ia telah melewatkan kesempatan menanyakan keberadaan ayahnya kepada Keluarga Xie dan Zhao. Pertarungan sengit dengan mereka telah menyita seluruh perhatiannya, dan kini, hanya Keluarga Besar Bai yang mungkin memiliki jawaban.Pegunungan Es Abadi membentang di hadapannya, rumah bagi Keluarga Besar Bai. Sebuah perkampungan luas tersembunyi di balik lapisan pertahanan berlapis, dengan formasi
Rendy Wang berdiri tegak di antara puing-puing kediaman keluarga Zhao. Angin malam berdesir, membawa aroma debu dan darah yang masih hangat. Kedua pedangnya—Pedang Kabut Darah dan Pedang Penakluk Iblis—berkilauan tajam di bawah cahaya bulan. Di hadapannya, Zhao Tiangxin menatap tajam, jubah patriarknya berkibar ditiup energi qi yang bergetar di sekelilingnya."Naga Perang!" suara Zhao Tiangxin bergema seperti guntur. "Aku akan menunjukkan padamu mengapa aku disebut sebagai Patriark Zhao!"Tangannya terangkat tinggi, telapak tangannya bersinar emas. Dengan satu gerakan sigil tangan, ia menarik energi langit dan bumi. "Formasi Penghancur Langit!"Awan di atas mereka bergolak, berputar membentuk pusaran yang menyedot kekuatan dari sekelilingnya. Udara bergetar, dan dalam sekejap, ratusan tombak qi berwarna emas terbentuk di langit, melayang dengan ujungnya mengarah lurus ke tubuh Rendy.Rendy mengangkat satu alis. "Begitu? Kau pikir formasi ini bisa menghentikanku?"Dengan satu hentakan
Dengan kecepatan yang tak terbayangkan, Rendy melesat ke depan seperti kilatan petir yang menyambar langit. Pedang Penakluk Iblis di tangannya bergetar, memancarkan cahaya merah menyala yang menebarkan hawa kematian di sekelilingnya. Dalam satu tebasan, gelombang energi memancar deras, menggetarkan udara dan menciptakan pusaran angin yang menghantam para praktisi keluarga Zhao dengan kekuatan dahsyat."Kalian yang mencari kematian kalian sendiri! Aku telah memberi kalian kesempatan untuk hidup! Kini, kesempatan itu telah hilang!" teriak Rendy yang bergerak dengan sangat cepat sehingga tidak kelihatan oleh mata biasa.Wuuusssh!Clash!Jeritan kesakitan menggema saat beberapa dari mereka terpental ke belakang, menghantam dinding dengan keras hingga retakan besar terbentuk di sekitarnya. Sementara itu, yang lain bahkan tak sempat menghindar—hanya ada kilatan merah yang membelah tubuh mereka, meninggalkan sisa-sisa tubuh yang jatuh dengan suara berdebum ke tanah."Apa ini? Dasar iblis! Ti
Malam itu, kediaman Keluarga Besar Zhao dipenuhi ketegangan yang merayap di setiap sudut benteng megah mereka. Cahaya lentera berkelap-kelip, memantulkan bayangan tajam dari para kultivator dan praktisi bela diri yang berjaga. Mata mereka tajam, napas tertahan, tangan menggenggam erat senjata seolah bersiap menghadapi bahaya yang sewaktu-waktu bisa menerjang.Di tengah ruang utama yang dipenuhi aroma dupa, seorang pria tua duduk di singgasananya dengan tenang. Rambut dan janggut putihnya tergerai panjang, namun tubuhnya yang bercahaya menunjukkan bahwa usia bukanlah batasan bagi kekuatannya. Zhao Tiangxin, pemimpin Keluarga Besar Zhao, menatap tajam ke arah seorang pengintai yang baru saja kembali dari misi penyelidikan."Siapa yang cukup kejam menghancurkan Keluarga Besar Xie?" Suaranya berat, penuh wibawa, bergema di seluruh ruangan.Kultivator pengintai itu menelan ludah sebelum menjawab, tubuhnya sedikit gemetar. "Lapor, Tuan Besar! Pembunuh Patriark Xie adalah seorang pemuda yang
Rendy Wang berdiri tegap, tubuhnya dikelilingi aura merah dan emas yang berkobar liar, seolah mencerminkan amarah yang membakar dalam dirinya. Luka di bahunya menghangat, darah menetes perlahan, tetapi tatapannya tetap dingin, penuh determinasi.Xie Wu Jie, terhuyung di atas tanah yang retak, mencengkeram dadanya yang kini tercabik oleh tebasan Pedang Penakluk Iblis. Napasnya berat, tetapi di balik wajahnya yang penuh luka, senyum tipis terukir. "Kau pikir ini sudah berakhir?" suaranya parau, tapi penuh kepastian.Tiba-tiba, udara di sekitar mereka bergetar hebat. Gelombang energi hitam membuncah dari tubuh Xie Wu Jie, menyelimuti langit malam yang semakin kelam. Bayangan-bayangan pekat menjulur dari tanah, berputar-putar seperti tentakel yang mencari mangsa."Roh Pembalasan... Bangkitlah!"Teriakan Xie Wu Jie menggema, dan dari balik bayangan, sesosok entitas raksasa mulai terbentuk. Wujudnya menyerupai iblis bertaring dengan mata merah menyala dan tanduk berliku. Udara menjadi semak
Langit malam membentang kelam, hanya dihiasi bulan pucat yang menggantung dingin di antara gumpalan awan gelap. Udara terasa berat, dipenuhi ketegangan yang nyaris tak tertahankan. Energi bertabrakan di udara, menggetarkan tanah dan membuat dedaunan berdesir liar seakan gemetar ketakutan. Aroma besi yang samar tercium, bercampur dengan hawa panas dari pertarungan yang akan segera meletus.Rendy Wang berdiri dengan kedua kakinya tertanam kokoh di tanah yang mulai retak akibat tekanan kekuatan mereka. Kedua tangannya menggenggam senjata masing-masing—Pedang Kabut Darah yang memancarkan aura merah pekat di tangan kiri, dan Pedang Penakluk Iblis yang berpendar keemasan di tangan kanan. Matanya menyala tajam, penuh dengan tekad yang tak tergoyahkan.Di hadapannya, Xie Wu Jie melangkah maju, auranya semakin pekat, seperti kabut hitam yang siap melahap segala yang mendekat. Ia memegang tombak hitam dengan ukiran naga yang melilit sepanjang gagangnya, sementara tangan satunya menggenggam tong
Angin malam berembus liar, menggugurkan dedaunan kering yang beterbangan di antara dua sosok yang berdiri berhadapan. Mata Rendy Wang menyala tajam, kilatan emas berpendar di irisnya, sementara Xie Wu Jie berdiri tegap dengan senyum meremehkan. Tidak tampak rasa takut sedikit pun terhadap Naga Perang padahal Rendy telah berhasil menghancurkan segel kunonya yaitu Formasi Tujuh Dewa Iblis Langit yang membuat kediaman Keluarga Xie terbuka untuk umum.Tanpa aba-aba, Rendy mengayunkan Pedang Penakluk Iblisnya. Kilatan keemasan membelah udara, meledak ke arah lawannya seperti ombak yang mengamuk. Gelombang energi yang ia lepaskan begitu kuat hingga tanah di bawahnya retak, menciptakan pola pecahan yang berpusat di kakinya.Namun, Xie Wu Jie tetap bergeming. Dengan satu tangan, ia membentuk segel aneh di udara, menciptakan perisai energi transparan yang menyerap serangan itu seakan tidak berarti."Hah!" Xie Wu Jie terkekeh meremehkan. "Pedangmu memang legendaris, tapi kekuatanmu masih belum
Langkah Rendy menggema di sepanjang jalan berbatu menuju kediaman Keluarga Xie. Setiap derap kakinya terasa berat, namun tak ada keraguan dalam sorot matanya. Cahaya bulan menggantung pucat di langit, memantulkan bayangan tubuhnya yang berlumuran darah—bukan darahnya, melainkan darah para lawan yang telah ia tumbangkan. Aroma anyir masih melekat di bajunya yang terkoyak, namun itu tak menghambat langkahnya.Udara malam dipenuhi kesunyian yang menyesakkan, seolah alam pun menahan napas, menyaksikan kehadiran seorang lelaki yang datang membawa badai. Di halaman luas kediaman Xie, bayangan manusia mulai bergerak. Satu per satu, para praktisi bela diri Keluarga Xie bermunculan dari kegelapan, mengenakan jubah hitam bersulam lambang keluarga mereka. Mata mereka, penuh dengan kilatan kebencian yang telah mengendap bertahun-tahun, menatapnya tanpa sedikit pun rasa gentar.Seorang lelaki bertubuh tegap melangkah ke depan, wajahnya dipenuhi bekas luka yang menandakan pengalaman tempurnya. Suar