Home / Fantasi / Kebangkitan Klan Phoenix / Hukuman Sang Penyihir.

Share

Hukuman Sang Penyihir.

Author: Jimmy Chuu
last update Last Updated: 2025-02-01 16:33:40

Sementara itu, jauh dari keramaian alun-alun ibu kota, Raja Thalion Stormrider berdiri di balkon tinggi istananya.

Teleskop perak di tangannya mengarah ke alun-alun kota, lensanya menangkap setiap detail dari kejauhan. Sorot matanya tajam, menembus jarak untuk memastikan sesuatu yang penting terjadi di sana.

"Dia sudah tiba," gumam Raja dengan suara rendah yang penuh kepuasan. "Semoga tubuh dan jiwanya terbakar habis, dan Raja Hersen memaafkan Qingchang."

Di sampingnya, Kanselir Agung Cedric Ironwood berdiri dengan sikap tenang. Wajahnya yang berkerut oleh usia dan pengalaman tampak ikut senang.

"Raja tak perlu khawatir," ujar Kanselir, suaranya halus namun penuh keyakinan. "Aku sudah memerintahkan Menteri Sihir dan Kepala Akademi Sihir untuk berjaga-jaga di alun-alun."

"Mereka telah menyiapkan pasukan sihir terbaik untuk menangkal segala serangan. Jika Klan Phoenix Merah muncul dan mencoba membuat kekacauan, mereka akan dihadapi dengan kekuatan yang tak tertandingi."

Raja menurunkan teleskopnya, wajahnya yang sempat tegang kini terlihat lebih rileks. Kepuasan terpancar dari sorot matanya. Namun, ia masih menatap ke arah alun-alun.

Suara teriakan dan amarah penduduk di alun-alun, samar-samar terdengar hingga ke balkon istana.

"Untuk keahlian sihir di ibu kota," lanjut Kanselir, "siapa yang bisa menandingi sihir ilusi Kepala Akademi, Akiko Yamazaki? Dia adalah yang terbaik dalam seni sihir mematikan. Tak ada yang bisa lolos dari ilusinya."

Raja mengangguk pelan, wajahnya semakin tenang mendengar penjelasan Kanselir. Ia memalingkan wajah dari balkon, langkahnya tenang saat menuruni anak tangga menuju aula istana. Kanselir mengikuti di belakangnya, langkahnya selaras dengan sang Raja.

"Siapkan pesta kecil," perintah Raja begitu tiba di aula. Suaranya menggema di ruangan megah itu. "Aku ingin minum anggur dan menyantap daging bakar."

Para pelayan segera bergegas, seperti semut yang bekerja dalam kesibukan yang teratur. Undangan pesta pun segera disebar ke seluruh kalangan istana, termasuk para bangsawan terkemuka.

Dalam undangan itu, tertulis dengan jelas: "Pesta Kesuksesan menghabisi cikal bakal kebangkitan Klan Phoenix Merah, dan ramalan kuno itu ternyata salah!"

Di alun-alun Kota Qingchang, Kiran berjalan terseok-seok.

Suara gemerincing rantai yang mengikat kaki dan tangannya menggema keras, mengalahkan keributan para penonton yang liar menatap ke arah panggung.

Setiap langkah Kiran terasa berat. Udara di sekitarnya terasa panas, dipenuhi oleh teriakan dan cemoohan dari kerumunan yang haus akan tontonan.

Saat itu, degup jantung Kiran terdengar kencang, bertalu-talu.

Meskipun dia seorang pejuang ulung, ahli dalam sihir, dan telah melewati banyak pertempuran berdarah, rasa takut tetap menyelinap ke dalam hatinya.

"Sepertinya inikah rasanya orang menjelang ajal?" batinnya saat ia didorong oleh tentara untuk menaiki anak tangga menuju panggung. Tangannya yang terbelenggu mencengkeram erat rantai yang melilit tangannya.

"Ayo cepat! Jangan berlama-lama!" bentak salah satu tentara dengan suara kasar. "Kamu sengaja mengulur waktu, ha? Apa kamu pikir akan ada dewa penolong untukmu, hai pendosa?" tambah tentara lainnya, suaranya penuh ejekan.

Kiran menggigit bibirnya keras-keras, menahan amarah yang membara di dadanya. Matanya yang tajam menatap kedua tentara itu dengan pandangan penuh kebencian.

Meski suaranya pelan, gumamannya cukup keras untuk didengar oleh orang-orang di dekatnya. "Jika saja aku tidak dirantai, dan kekuatanku tidak diblokir... kamu sudah lama menjadi abu!" desisnya.

Kata-kata Kiran terdengar seperti pisau, menusuk langsung ke jantung tentara yang berdiri di depannya. Dia bergidik, wajahnya pucat seketika.

Namun, tentara yang satunya justru semakin marah.

Dengan kasar, ia menyeret Kiran ke atas panggung. "Sudahi ancamanmu penyihir! Lebih baik kamu berdoa, agar jiwamu diampuni dewa, karena sudah berkhianat pada raja!" teriaknya, suaranya penuh kemarahan.

Sambil terhuyung-huyung, Kiran mengeraskan hatinya. Dia tidak lagi melawan, tidak lagi berbicara.

Langkahnya pasrah saat ia menaiki tumpukan kayu bakar yang disusun tinggi di tengah panggung.

Kayu-kayu itu terlihat sangat kering, siap menyala dalam sekejap.

Kiran berdiri tegak di atas tumpukan kayu bakar. Wajahnya keras bagai batu, dan di dalam hatinya badai emosi sedang mengamuk.

Pemandangan Kiran di panggung, terbelenggu rantai di tangan maupun kaki, membuat semua penonton terdiam. Menyaksikan hukuman mati dengan dibakar hidup-hidup terlalu kejam, bahkan bagi mereka yang paling bengis.

Suasana yang semula riuh berubah sunyi, seolah waktu telah berhenti.

"Aku mengutuk Master Choo!” "Aku mengutuk Kota Qingchang!” "Aku mengutuk kalian semua!"

Mata Kiran berkilat-kilat, memancarkan cahaya dingin yang menusuk jiwa. Suaranya berbisik mengalir di antara keheningan.

Beberapa orang yang mendengar itu membuat bulu kuduk mereka berdiri. Rasanya setiap kata yang diucapkan Kiran seperti mantra kutukan.

Semua penonton terdiam.

Amarah dan kebencian yang semula membara di hati mereka mendadak lenyap, tergantikan oleh rasa ngeri yang tak terungkapkan. Beberapa orang bahkan menunduk, tak sanggup menatap mata Kiran yang penuh dengan kepedihan dan kemarahan.

"Diam kamu!" teriak algojo yang memegang obor, suaranya gemetar. "Kamu mencari simpati penonton dengan berpura-pura dikasihani! Lihat saja, sebentar lagi kamu akan binasa, tubuh maupun jiwamu!"

Pada zaman itu, hukuman bagi seorang penyihir adalah dibakar hidup-hidup. Namun, hukuman ini sudah lama sekali tidak dijalankan.

Para ahli sihir telah dianggap sebagai pejuang yang berperang untuk Kerajaan, dihormati dan diandalkan dalam pertempuran. Kiran adalah satu-satunya penyihir yang dianggap jahat, dihakimi dengan hukuman yang kejam ini.

Ketika keheningan melanda, tiba-tiba terdengar peluit yang sangat keras, memecah suasana.

PRIIIIIT!

"Hukuman bakar siap dijalankan! Algojo... lempar obor itu ke tumpukan kayu, biarkan penyihir itu binasa!"

Suara itu menggema, memerintahkan algojo untuk mengakhiri adegan ini. Obor di tangan algojo berkedip-kedip, siap mengakhiri hidup satu penyihir.

Kiran menatap obor itu, wajahnya tetap keras, tak menunjukkan ketakutan.

Penonton menahan napas, menunggu detik-detik terakhir yang akan menentukan nasib Kiran. Udara terasa berat, alam pun seperti tak sanggup menyaksikan kekejaman ini.

Dan di tengah keheningan itu, obor pun melayang, menghantam tumpukan kayu. Api mulai menjilat, perlahan tapi pasti. Suara api terdengar berderak saat menggerogoti kayu-kayu kering.

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Kebangkitan Klan Phoenix   Dejavu Lagi?

    BOOM!Suara ledakan mengguncang alun-alun ketika obor yang dilempar algojo menghantam tumpukan kayu kering. Api langsung menjilat ke atas, membakar udara dengan panas yang menyengat.Di langit, awan gelap mulai berkumpul, seakan alam turut merasakan ketegangan yang memuncak.Derak nyala api terdengar seperti suara ular yang mendesis, sementara asap tebal mulai mengepul ke langit.“Hukuman telah dilaksanakan!” teriak algojo dengan suara keras, mengangkat tangannya ke kerumunan. “Biarkan penyihir ini mati, menebus hutang darah atas perbuatan The Flame, sang Phoenix!”Sorak-sorai dan desisan memenuhi alun-alun.Wajah-wajah penduduk yang menonton tampak keras dan puas, tanpa belas kasihan. Namun, di antara kerumunan, beberapa suara lirih terdengar, seperti bisikan yang takut dihukum.“Dia masih muda... terlalu muda untuk mati seperti ini.”“Apakah kesalahannya sebesar itu? Dia hanya dituduh sebagai mata-mata. Belum ada bukti yang jelas.”Kiran, yang terikat di tiang kayu, mulai gelisah.A

    Last Updated : 2025-02-10
  • Kebangkitan Klan Phoenix   Tiga Pelarian.

    Kiran terbangun ketika hari sudah senja keesokan harinya. Dalam tidurnya—atau lebih tepatnya, dalam keadaan tidak sadarkan diri—dia bermimpi sedang berdoa di Kuil Dewa Tempestia, dewa yang dipuja di dataran Tengah.Dalam mimpinya, para pendeta di kuil membunyikan lonceng, suaranya berdengung keras, menggema dari dunia lain yang misterius. Suara itu menusuk ke dalam benaknya, membuatnya merasa terpisah dari kenyataan.“Di mana aku?” gumam Kiran perlahan saat bangun dari tempat tidurnya yang sederhana.Selimut tebal yang menumpuk di atas jerami terasa kasar di kulitnya. Dia mengusap wajah, mencoba mengusir sisa-sisa mimpi yang masih membayangi pikirannya.Pandangannya tertuju ke arah jendela kecil di kamar itu. Dari sana, ia bisa melihat Ibukota Qingchang yang megah, dengan menara-menara tinggi menjulang dan lampu-lampu yang mulai menyala seiring datangnya malam.“Sebuah kamar rahasia, di bangunan diatas bukit?” Kiran menyipitkan mata.Pikirannya masih melayang, mencoba mengingat apa ya

    Last Updated : 2025-02-14
  • Kebangkitan Klan Phoenix   Akhirnya, Melarikan Diri!

    “Kalian masuk lebih dulu!” bisik Emma pelan, suaranya hampir tak terdengar. Ia menunjuk ke arah selokan yang gelap, airnya menggenang busuk dengan bau menyengat yang memenuhi udara.Malam ini terlalu berbahaya. Setiap langkah harus dihitung cermat, setiap suara bisa menjadi petaka. Selalu ada mata-mata atau formasi sihir yang siap menangkap pergerakan mencurigakan.Nethon melompat masuk ke dalam lubang saluran pembuangan tanpa ragu, tubuhnya menghilang dalam kegelapan.Kiran menyusul dengan gerakan cepat, dan terakhir Emma, yang meluncur dengan gesit. Sebagai pengendali air, Emma tak kesulitan menghadapi lingkungan basah dan kotor ini. Air adalah sekutunya, bahkan dalam keadaan paling buruk sekalipun.“Nyalakan cahaya!” perintah Emma singkat, suaranya tetap bernada rendah.Tangan Nethon bergerak cepat membentuk segel sihir. Udara di sekitarnya bergetar halus sebelum mantra terlontar. Sebuah titik cahaya redup muncul di ujung jari telunjuknya, mirip nyala lilin yang kecil namun cukup u

    Last Updated : 2025-02-14
  • Kebangkitan Klan Phoenix   Hutan Maple.

    Kiran menarik napas dalam-dalam sebelum menyelam ke dalam air yang gelap. Dari balik kabut air yang keruh, dia melihat anak panah meluncur masuk ke dalam arus deras, kecepatannya melambat seiring kedalaman.“Beruntung aku tumbuh di kota kecil. Berenang di sungai bukan hal baru bagiku. Setidaknya, dengan menyelam, aku bisa mengurangi daya serang anak panah dan menghindarinya,” gumam Kiran.Matanya terbuka lebar di dalam air, menatap sekeliling dengan waspada.Cahaya obor yang menyala dari atas memantulkan bayangan samar-samar. Kiran melihat setidaknya sepuluh tentara berdiri di tepi parit, mengelilingi Kota Qingchang. Senjata mereka siap, mata mereka tajam, mencari tanda-tanda gerakannya.“Tapi aku tidak bisa selamanya menyelam. Aku akan kehabisan napas. Aku harus naik ke permukaan dan menghadapi mereka—hidup atau mati.”Kakinya bergerak cepat, menyeret tubuhnya ke tepian. Kepalanya muncul dari air, menghirup udara segar dengan cepat.Di belakangnya, Kiran mendengar suara bentakan dan

    Last Updated : 2025-02-15
  • Kebangkitan Klan Phoenix   Desa Sago.

    "Mari kita adu undi!" Kiran melangkah maju, suaranya tegas namun tidak meninggi. Emma, yang selama ini memimpin, hanya diam.Matanya menatap jauh ke arah desa yang lampu-lampunya mulai menyala, memancarkan kehangatan yang menggoda.Bau makanan yang menguar dari desa itu seolah memanggil mereka, tapi Emma ragu. Apakah mereka harus mengambil risiko masuk ke desa, atau bertahan di hutan yang gelap dengan rasa lapar, dan makanan hambar?Ketiganya berdiri dalam lingkaran kecil, tangan mereka terkepal, siap untuk undian yang akan menentukan nasib mereka malam ini. Kepalan tangan, telapak terbuka, atau tinju—aturan sederhana yang mereka sepakati."Menang! Artinya kita masuk desa!" Kiran berseru, melihat telapak tangan mereka bertiga terbuka lebar. Senyum kecil mengembang di wajahnya, meski ada bayangan kehati-hatian di matanya.Dengan langkah percaya diri, ketiga anak muda itu memasuki desa.Lampu-lampu minyak yang tergantung di depan rumah-rumah menerangi jalan mereka, menciptakan bayangan p

    Last Updated : 2025-02-15
  • Kebangkitan Klan Phoenix   Desa Sago – Part ii.

    Karena hari sudah larut malam, ketika Kiran dan kawan-kawannya bersiap untuk pergi, Hans dan Selima menghentikan mereka di ambang pintu. Udara dingin malam menyelinap masuk, menggigit kulit mereka yang sudah lelah.“Mengapa buru-buru pergi?” tanya Hans, suaranya penuh keprihatinan. Matanya menatap Kiran, Ethon, dan terutama Emma dengan pandangan yang dalam. “Diluar sana dinginnya bisa membekukan tulang. Apa kalian yakin bisa bertahan tidur di bawah langit tanpa selimut?”Selima, perempuan gemuk itu, langsung melangkah maju. Wajahnya merah padam, suaranya meninggi. “Apa yang kalian pikirkan? Membawa Emma, seorang gadis, keluar di malam hari seperti ini? Ini tidak pantas! Dia butuh kehangatan dan kenyamanan, bukan tidur di tengah hutan seperti binatang!”Tanpa menunggu jawaban, Selima langsung bergegas merapikan ruang tamu kecil di depan perapian. Rumah itu memang sederhana, hanya memiliki dua kamar tidur.“Kalian bisa tidur di sini, dekat perapian. Setidaknya kalian tidak kedinginan,”

    Last Updated : 2025-02-17
  • Kebangkitan Klan Phoenix   Galileon.

    Kiran berlari tergesa-gesa, napasnya tersengal-sengal. Dia bahkan lupa mengucapkan terima kasih pada perempuan Gypsi itu.Tanpa berpikir panjang, dia memotong jalan melewati padang bunga, melintasi semak-semak yang menghalangi, hingga akhirnya tiba di gubuk Hans dan Selima.“Nethon! Emma! Kita harus pergi—sekarang!” teriak Kiran di depan pintu, suaranya memecah keheningan pagi. Tanpa menunggu respon, dia mendorong pintu dengan kasar, hampir merobohkannya.Nethon, yang masih duduk di lantai berselimut kain usang, menikmati sisa kehangatan dari perapian, langsung menatap Kiran dengan tatapan kesal. “Ada apa, Kiran? Jangan bilang kamu melihat tentara Qinchang,” ujarnya sambil menguap, masih bermalas-malasan.“Sayangnya, tebakanmu benar!” jawab Kiran, wajahnya tegang.Nethon langsung duduk tegak, ekspresi malasnya hilang seketika.“Kita harus pergi sekarang. Di mana Emma?” tanya Kiran, matanya melirik ke kamar tempat Emma menginap semalam. Kosong.“Dia pergi sebentar,” jawab Nethon sambil

    Last Updated : 2025-02-17
  • Kebangkitan Klan Phoenix   Hutan Luthion.

    Hari sudah senja. Matahari tergantung rendah di ufuk barat, melemparkan cahaya kemerahan yang menyapu langit.Pohon-pohon Ek yang tinggi menjulang memantulkan bayangan panjang ke tanah, seperti jari-jari raksasa penyihir yang mencengkeram bumi. Suasana hutan terasa semakin gelap dan misterius.Kiran dan kawan-kawannya berlari tanpa henti, tanpa sempat memeriksa arah kompas. Mereka tidak menyadari bahwa mereka telah berbelok ke arah timur laut, jauh dari tujuan semula yang seharusnya ke timur.“Mengapa pohon maple tiba-tiba berganti menjadi pohon Ek? Ini terlihat aneh... dan sedikit menyeramkan,” ucap Emma, napasnya terengah-engah.Ketiga pelarian muda itu berhenti sejenak di bawah naungan pohon raksasa, mencoba menenangkan diri.“Dan aku merasa kita sedang diawasi oleh mata yang tak terlihat,” tambah Kiran, matanya menatap ke atas.Daun-daun pohon Ek yang rimbun membentuk kanopi hijau gelap, menutupi langit yang semakin kelam. Suara derap kaki para pengejar sudah tidak terdengar lagi,

    Last Updated : 2025-02-17

Latest chapter

  • Kebangkitan Klan Phoenix   Di Insiden di Pintu Tambang.

    Di depan pintu Tambang kuno bernama Tambang Tartaf, di Perbukitan Fatique...Burs, Imp budak Kiran tampak berdiri dan antri di barisan kelompok penyihir, knight dan pedagang.Saat itu, Burs menajamkan telinganya, menyerap setiap informasi yang bisa ia dapatkan. Paradox Colosseum? Juara Bertahan? Ini informasi baru yang mungkin berguna bagi Tuan Kiran.Saking antusiasnya, Burs menabrak sosok di depannya - penyihir tua berwajah tidak simpatik itu."Aduh! Hei... Kamu penyihir berjerawat. Mau apa kamu merapat di punggungku? Kau ini semacam stalker? Ingin mendengar informasi dariku, ha?" Penyihir tua itu memaki Burs. Adapun Knight, kawan bicara penyihir itu, ia sudah menggenggam pedangnya, siap menebas Burs jika diperlukan.Namun karena Burs menunjukkan ekspresi bodoh, dan minta dikasihani... Kedua orang itu tidak mempermasalahkannya lagi."Maafkan aku... Maafkan aku," ucap Burs membungkuk serendah-rendahnya, seperti orang yang berhati lembut. Sikapnya menimbulkan rasa iba penyihir tua ya

  • Kebangkitan Klan Phoenix   Burs - Imp Mata-Mata.

    Angin dingin menerpa sayap kelelawar Burs yang mengepak cepat. Sudah hampir setengah hari ia terbang tanpa henti, menjauhi kelompok Kiran dan tuannya yang baru. Hutan White Parrot yang gelap dan misterius perlahan-lahan mulai menipis, digantikan oleh pepohonan yang lebih jarang dan langit yang lebih terbuka."Akhirnya," gumam Burs, menyeka keringat dari dahinya yang merah. "Tuan Kiran tidak tahu betapa jauhnya Tambang Tartaf itu. Untung aku bukan Imp biasa."Burs memang bukan Imp sembarangan. Di antara kaumnya, ia terkenal memiliki stamina terbang yang luar biasa dan kemampuan mengintai yang tajam. Itulah sebabnya Kazam memilihnya sebagai mata-mata pribadi. Namun sekarang, setelah kematian tuannya yang lama, ia harus melayani tuan baru—seorang penyihir manusia yang menurutnya hebat, mampu memanggil Merak Api Gurun Atulla.Saat matahari mulai condong ke barat, Burs akhirnya mencapai penghujung Hutan White Parrot. Di hadapannya terbentang pemandangan perbukitan berbatu yang gersang—P

  • Kebangkitan Klan Phoenix   Kontrak Dua Imp.

    Hutan White Parrot, setelah kematian Kazam yang Agung..."Jangan bunuh aku, jangan akhiri hidupku..." Tiba-tiba, Imp bernama Burs, makhluk kecil yang ketakutan, langsung bersujud di kaki Kiran, memohon belas kasihan."Aku mendukungmu, Tuan muda, aku akan menjadi pelayanmu," Ucap Burs si Imp, suaranya gemetar, yang langsung mencium kaki Kiran, menunjukkan kesetiaan.Melihat hal ini, ekspresi Imp yang satunya, Kon, berubah jelek, menunjukkan rasa iri. Wajahnya menjadi ungu, pertanda marah, ekspresi yang tak menyenangkan."Burs! Kamu sungguh tak punya malu, kamu menjijikkan. Seharusnya aku yang bersujud di kaki Tuan muda ini, aku yang pertama. Kamu yang pada awalnya sangat keras, mencaci kelompok Tuan muda Kiran, kini sudah lebih dahulu mencari muka, kamu munafik!"Tak mau kalah dengan Burs, Kon si Imp yang satunya ikut-ikutan bersujud di kaki Kiran, menunjukkan kesetiaan. Anehnya, mereka berdua kini sikut menyikut, saling dorong, bersikap seolah-olah takut tak diangkat sebagai master o

  • Kebangkitan Klan Phoenix   Bab 60: Pertarungan Sihir Api Di Hutan White Parrot.

    Kazam berdiri, wajahnya memerah padam, dilanda amarah yang membara. Matanya menyipit, menatap tajam ke arah Emma yang baru saja menghajar dua Imp budaknya, sebuah tindakan yang tak terduga. Kedua makhluk kecil berwarna merah itu kini tergeletak di tanah, merintih kesakitan dengan suara melengking yang memekakkan telinga, sebuah pemandangan yang memuakkan."Beraninya kau menyentuh Burs dan Kon, beraninya kau melakukan itu!" desis Kazam, suaranya sarat akan kebencian, tangannya terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih, menunjukkan kemarahan yang memuncak."Tidak ada yang boleh menyentuh budak-budakku, tidak ada yang berani!"Burs, Imp yang lebih kecil dengan tanduk melengkung, perlahan bangkit, mencoba berdiri. Air mata buaya mengalir di pipinya yang merah, menunjukkan kepura-puraan. "Tuan Kazam... mereka menyerang kami tanpa alasan, mereka sangat kejam," rengeknya dengan suara yang dibuat-buat, mencoba mencari simpati. "Kami hanya bertanya arah, kami tidak melakukan apa-apa, ta

  • Kebangkitan Klan Phoenix   Hutan White Parrot, Hutan yang Penuh Misteri

    Dua hari telah berlalu sejak mereka meninggalkan Lembah Mystral, tempat yang menyimpan kenangan pahit. Perjalanan mereka kini membawa Kiran dan kelompoknya memasuki kedalaman Hutan White Parrot, sebuah hutan pinus abadi yang menjulang tinggi ke langit, sebuah tempat yang penuh misteri.Pohon-pohon pinus raksasa dengan batang keperakan, seperti pilar-pilar yang menjulang, berdiri kokoh, menciptakan kanopi tebal yang hampir tidak meneruskan cahaya matahari ke tanah hutan, memberikan kesan yang mencekam.Udara di Hutan White Parrot terasa berbeda, sebuah perbedaan yang jelas. Lebih dingin, lebih pekat, seolah diselimuti kabut tipis yang tak kasat mata, memberikan kesan yang aneh. Aroma getah pinus yang kuat, seperti wewangian yang khas, bercampur dengan bau tanah lembab dan jamur hutan, menciptakan wewangian khas yang memenuhi setiap tarikan napas, memberikan kesan yang unik."Hutan ini terasa aneh, ada sesuatu yang berbeda," gumam Emma, matanya waspada mengamati sekeliling, mencoba mema

  • Kebangkitan Klan Phoenix   Lembah Mystral - Kenangan dan Ancaman

    Matahari perlahan tenggelam di ufuk barat, seperti bola api yang memudar, menyisakan semburat jingga kemerahan yang memudar dengan cepat di langit, memberikan kesan waktu yang berlalu.Perjalanan dari Puncak Rotos menuju Lembah Mystral memakan waktu enam jam yang melelahkan.Bayangan panjang kelompok itu terbentuk di tanah saat cahaya terakhir matahari menerangi punggung mereka, menciptakan siluet empat penunggang yang bergerak menuju Tenggara, menuju bahaya yang tersembunyi.Ketika akhirnya kegelapan malam menyelimuti langit, seperti selubung yang tak kasat mata, mereka telah mencapai pinggiran Lembah Mystral, tempat yang tak terlupakan. Bulan sabit menggantung di langit, memberikan penerangan samar, seperti mata yang mengawasi, yang memperlihatkan hamparan luas ladang gandum dan sorgum yang bergoyang pelan ditiup angin malam, memberikan kesan keindahan yang menenangkan."Kita sudah sampai, kita telah kembali," kata Kiran pelan, suaranya penuh makna, menarik tali kekang Gallileonnya

  • Kebangkitan Klan Phoenix   Perpisahan di Puncak Rotos

    Angin dingin berhembus kencang di Puncak Gunung Rotos, membelai wajah mereka dengan sentuhan es. Awan-awan kelabu bergerak cepat di langit, seperti kawanan serigala yang berlari, seolah terburu-buru menghindari badai yang akan datang, memberikan kesan yang mencekam.Di gerbang Pintu menuju Kota Ironhold, di tepi tebing yang menjulang, Kiran, Emma, Pigenor, dan Chen berdiri menghadap tiga kurcaci yang telah menemani mereka selama beberapa hari terakhir, menjadi saksi perpisahan.Skarfum, Roric, dan Gladgrik—tiga kurcaci dengan perawakan dan karakter berbeda, namun dipersatukan oleh satu harapan: kesuksesan misi pencarian Orchid Altaalaite, permata yang akan mengubah segalanya."Perjalanan ke Tambang Tartaf tidak akan mudah, kalian harus bersiap," kata Gladgrik, suaranya berat dan serius, seperti gema di pegunungan. Janggut panjangnya bergerak tertiup angin, memberikan kesan kebijaksanaan."Kalian harus melewati Lembah Mystral lagi, tempat di mana Onimur dan Mandrazath menyerang kawan

  • Kebangkitan Klan Phoenix   Orchid Altaalaite

    Ketegangan perlahan mereda, seperti badai yang berlalu, meninggalkan langit yang lebih cerah. Emma menurunkan Pedang Air, senjata itu berubah menjadi butiran air yang jatuh ke lantai batu sebelum menghilang sepenuhnya, kembali ke wujud aslinya.Matanya masih menyiratkan kemarahan, namun kata-kata Kiran, yang penuh kebijaksanaan, telah menyadarkannya, menghentikan amarahnya."Bicaralah," kata Kiran kepada Roric, suaranya masih tegang, namun lebih terkendali, mencoba menenangkan diri. "Apa tujuanmu datang kemari, apa yang kau inginkan?"Roric menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri setelah nyaris kehilangan nyawa, sebuah pengalaman yang mengerikan. Ia melangkah masuk ke dalam ruangan dengan hati-hati, masih waspada terhadap Emma yang menatapnya tajam, penuh curiga."Aku datang dengan berita," ujar Roric, suaranya serius, "dan sebuah tawaran, sebuah kesempatan."Pigenor mengangkat alis, menunjukkan rasa ingin tahunya, tertarik dengan apa yang akan dikatakan Roric. "Berita ap

  • Kebangkitan Klan Phoenix   Duka yang Membekas di Ironhold

    Malam semakin larut di Kota Ironhold, kegelapan merangkul lorong-lorong batu yang kokoh. Obor-obor di sepanjang jalan, yang biasanya menyala terang, kini mulai meredup, seolah ikut merasakan kesedihan yang mendalam. Kiran, Emma, Chen, dan Pigenor berjalan dalam diam, langkah mereka berat dan penuh kesedihan, melewati jalan-jalan yang kini sepi setelah upacara pemakaman yang menyayat hati di kedalaman Sungai Gibna, tersembunyi di perut bumi, tempat peristirahatan terakhir.Mereka tiba di penginapan, tempat mereka biasa berbagi tawa dan cerita. Ruangan itu terasa lebih luas sekarang, lebih kosong, tanpa kehadiran Nethon dan Malven, dua sahabat yang telah pergi. Dua tempat tidur di sudut ruangan masih rapi, selimutnya terlipat sempurna, seolah menunggu pemiliknya kembali, sebuah pengingat yang menyakitkan.Emma duduk di tepi tempat tidurnya, menatap kosong ke arah lantai batu yang dingin, pikirannya melayang jauh. Chen berdiri di dekat dinding, tubuhnya tegak namun pikirannya masih m

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status