Share

Dejavu Lagi?

Author: Jimmy Chuu
last update Last Updated: 2025-02-10 17:43:11

BOOM!

Suara ledakan mengguncang alun-alun ketika obor yang dilempar algojo menghantam tumpukan kayu kering. Api langsung menjilat ke atas, membakar udara dengan panas yang menyengat.

Di langit, awan gelap mulai berkumpul, seakan alam turut merasakan ketegangan yang memuncak.

Derak nyala api terdengar seperti suara ular yang mendesis, sementara asap tebal mulai mengepul ke langit.

“Hukuman telah dilaksanakan!” teriak algojo dengan suara keras, mengangkat tangannya ke kerumunan. “Biarkan penyihir ini mati, menebus hutang darah atas perbuatan The Flame, sang Phoenix!”

Sorak-sorai dan desisan memenuhi alun-alun.

Wajah-wajah penduduk yang menonton tampak keras dan puas, tanpa belas kasihan. Namun, di antara kerumunan, beberapa suara lirih terdengar, seperti bisikan yang takut dihukum.

“Dia masih muda... terlalu muda untuk mati seperti ini.”

“Apakah kesalahannya sebesar itu? Dia hanya dituduh sebagai mata-mata. Belum ada bukti yang jelas.”

Kiran, yang terikat di tiang kayu, mulai gelisah.

Api merayap cepat, mendekati kakinya. Panasnya terasa menyengat, seperti pisau yang menusuk kulitnya. Dia menatap cakrawala yang tiba-tiba gelap, seolah-olah langit sendiri menangisi nasibnya.

“Ini mirip kejadian belasan tahun lalu di alun-alun Kota Begonia...” gumamnya lirih, suaranya hampir tak terdengar. “Apakah para Pengendali Air akan datang lagi, seperti ketika mereka menyelamatkan Nirajh Singh?”

Tawa getir meluncur dari bibirnya.

Dia bukan siapa-siapa bagi Klan Phoenix Merah. Mengapa mereka repot-repot menyelamatkannya? Dia hanyalah seorang anak dari Kota Begonia yang tidak tersohor. Tanpa dukungan kaum bangsawan, juga tanpa klan.

Suasana hening sejenak, hanya terdengar isak tangis kaum perempuan yang bersimpati, yang meratapi nasib Kiran. Udara di alun-alun semakin panas, seolah-olah semua yang ada ikut menghukumnya. Tiba-tiba—

DUAR!

Ledakan dahsyat mengguncang alun-alun, membuat tanah bergetar dan kerumunan menjerit ketakutan. Suara gemuruh datang dari kejauhan, seperti peringatan sebelum badai.

TOLONG!

Semua orang terkejut ketika seorang perempuan bertudung dan bermasker muncul di udara.

Rambut emasnya yang panjang berkibar seperti bendera di tengah angin kencang, dan jubah longgarnya melambai dengan elegan. Dia melayang, mengendarai aliran air yang seolah-olah hidup, bergerak sesuai keinginannya.

“Water bender!” teriak seseorang di kerumunan. “Pengendali Air!” “Penyihir!”

Kerumunan langsung gempar.

Pertunjukan sihir seperti ini jarang terlihat, apalagi di tengah eksekusi publik. Beberapa orang mulai mundur, ketakutan, sementara yang lain terpana, tak mampu memalingkan pandangan.

Perempuan itu tertawa parau, suaranya terdengar sember tak nyaman didengar. “Hihihi... Membunuh orang tak bersalah adalah dosa besar di hadapan para dewa. Bagaimana kalau aku selamatkan dia?”

Tanpa menunggu respons, tangannya melambai dengan gerakan anggun namun penuh kekuatan spiritual.

DUAR!

Langit yang gelap tiba-tiba mencurahkan hujan. Rintik-rintik awal berubah menjadi badai dalam hitungan detik.

Air hujan yang deras berubah menjadi gelombang raksasa, menghantam panggung dan memadamkan api dengan suara mendesis yang keras. Uap air naik ke udara, menciptakan kabut tebal yang menyelimuti alun-alun.

“Lari jika tak ingin mati!” teriak seseorang di kerumunan, suaranya nyaris hilang dalam gemuruh air. “Tsunami sihir! Kita akan binasa!”

Kerumunan berhamburan, panik, sementara perempuan Pengendali Air itu tetap melayang, tersenyum puas melihat kekacauan yang ia ciptakan. Matanya yang bersinar di balik topeng memandang Kiran penuh arti, seolah memberi isyarat bahwa dia tidak sendirian.

Namun, aksi perempuan Pengendali Air itu terhenti sejenak.

Dari kejauhan, tiga sosok lain muncul, melesat cepat mendekati alun-alun. Mereka adalah ahli sihir yang mengenakan zirah resmi kekaisaran, masing-masing dengan kemampuan yang berbeda.

Yang pertama mengendarai seekor burung rajawali raksasa, hewan kontraknya yang setia. Sayapnya yang lebar menebar bayangan gelap di tanah, sementara cakar besinya berkilauan di bawah sinar matahari redup.

Yang kedua meluncur di atas pedang besar yang melayang, dia pengendali logam. Tubuhnya tegak seperti patung yang tak bergerak.

Sementara yang ketiga mengendarai angin, tubuhnya meliuk-liuk seperti daun di tengah badai.

Penonton yang tadinya bersiap pergi, tiba-tiba mengurungkan niat mereka. Mata mereka tertarik pada pertunjukan langka ini, meski mereka tahu bahwa menyaksikan pertarungan sihir semacam ini berarti mempertaruhkan nyawa.

“Tiga penyihir dari pihak kekaisaran sudah datang!” teriak seseorang.

“Water bender itu pasti akan ditaklukkan! Dia pasti anggota Klan Phoenix Merah!”

“Betapa menjijikkannya para pengikut klan itu! Mereka selalu menebar kekacauan di mana-mana!”

Desisan dan umpatan memenuhi udara, namun perempuan Pengendali Air itu tampak tidak peduli. Dia sudah mendarat di panggung, mendekati Kiran yang terikat.

Nyala api yang tadinya berkobar kini sudah padam, berkat hujan badai dan gelombang air yang ia panggil. Air masih menetes dari kayu-kayu yang hangus, menciptakan genangan di sekitar panggung.

Dengan gerakan cepat, perempuan itu mengeluarkan sebilah belati perak dari balik jubahnya. Pisau itu berkilau meski langit gelap, seolah-olah memiliki cahayanya sendiri.

“Bersiap melarikan diri bersamaku! Kau akan aman!” ujarnya pada Kiran, suaranya tidak keras. Matanya sesekali melirik ke arah tiga penyihir kekaisaran yang semakin mendekat, namun tangannya tetap fokus memotong rantai yang membelenggu Kiran.

“Siapa kau? Mengapa menolongku? Apa kau tidak takut dicap sebagai pengkhianat Klan Phoenix Merah?” tanya Kiran, suaranya lemah dan sempoyongan. Asap tebal yang ia hirup membuat kepalanya pening, dan matanya terasa berat.

Rasanya, Kiran hanya ingin menutup mata dan beristirahat.

Tapi perempuan Pengendali Air itu mengguncang bahu Kiran dengan kuat. “Jangan tidur! Buka matamu. Aku akan membawamu ke tempat aman! Jangan tidur!” teriaknya berulang kali, suaranya bernada khawatir.

Kiran mengerahkan sisa tenaganya untuk tetap terjaga. Dia tahu, kata-kata perempuan itu benar. Jika ia tertidur sekarang, mungkin ia tak akan pernah bangun lagi.

“Awas... di belakangmu. Ada tiga penyihir kuat akan menyerang,” ucap Kiran, setengah sadar.

Namun perempuan itu hanya tersenyum tipis. “Tidak usah pedulikan mereka. Ada yang akan mengurusnya...”

Belati peraknya berhasil memotong rantai terakhir. Dengan gerakan cepat, ia membopong Kiran ke punggungnya. “Ayo kita pergi!” ujarnya, ekspresinya tampak tegang.

Tiba-tiba, dari arah yang tak terduga, tiga sosok lain muncul.

Mereka mengenakan jubah dan topeng yang serupa dengan perempuan Pengendali Air itu.

Satu di antaranya adalah Pengendali Api, tangannya sudah menyala dengan cambuk api yang berputar-putar seperti ular.

Yang lain adalah Pengendali Air, tangannya sudah mengumpulkan gelombang air yang siap dilepaskan. Dan yang terakhir juga pengendali api, ditangannya ada busur dan anak panah api yang meletup-letup.

“Mengapa buru-buru ingin ke panggung? Coba lawan dulu sihir api ini!” teriak Pengendali Api bertopeng, suaranya menggema. Cambuk apinya melesat ke udara, menghantam burung rajawali raksasa yang membawa salah satu penyihir kekaisaran.

Burung itu menjerit, sayapnya terbakar, sementara penunggangnya berusaha menjaga keseimbangan.

Sementara itu, Pengendali Air bertopeng sudah bertarung melawan penyihir kekaisaran yang mengendarai angin. Gelombang air dan tiupan angin saling bertabrakan, menciptakan kabut tebal yang menyelimuti alun-alun.

Dan di sisi lain, pemanah api itu berhadapan dengan penyihir kekaisaran yang mengendarai pedang. Udara bertambah panas ketika panah api melesat, dan pengendali logam melepaskan pedang raksasa untuk membelah benteng api yang diciptakan si pemanah.

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Kebangkitan Klan Phoenix   Tiga Pelarian.

    Kiran terbangun ketika hari sudah senja keesokan harinya. Dalam tidurnya—atau lebih tepatnya, dalam keadaan tidak sadarkan diri—dia bermimpi sedang berdoa di Kuil Dewa Tempestia, dewa yang dipuja di dataran Tengah.Dalam mimpinya, para pendeta di kuil membunyikan lonceng, suaranya berdengung keras, menggema dari dunia lain yang misterius. Suara itu menusuk ke dalam benaknya, membuatnya merasa terpisah dari kenyataan.“Di mana aku?” gumam Kiran perlahan saat bangun dari tempat tidurnya yang sederhana.Selimut tebal yang menumpuk di atas jerami terasa kasar di kulitnya. Dia mengusap wajah, mencoba mengusir sisa-sisa mimpi yang masih membayangi pikirannya.Pandangannya tertuju ke arah jendela kecil di kamar itu. Dari sana, ia bisa melihat Ibukota Qingchang yang megah, dengan menara-menara tinggi menjulang dan lampu-lampu yang mulai menyala seiring datangnya malam.“Sebuah kamar rahasia, di bangunan diatas bukit?” Kiran menyipitkan mata.Pikirannya masih melayang, mencoba mengingat apa ya

    Last Updated : 2025-02-14
  • Kebangkitan Klan Phoenix   Akhirnya, Melarikan Diri!

    “Kalian masuk lebih dulu!” bisik Emma pelan, suaranya hampir tak terdengar. Ia menunjuk ke arah selokan yang gelap, airnya menggenang busuk dengan bau menyengat yang memenuhi udara.Malam ini terlalu berbahaya. Setiap langkah harus dihitung cermat, setiap suara bisa menjadi petaka. Selalu ada mata-mata atau formasi sihir yang siap menangkap pergerakan mencurigakan.Nethon melompat masuk ke dalam lubang saluran pembuangan tanpa ragu, tubuhnya menghilang dalam kegelapan.Kiran menyusul dengan gerakan cepat, dan terakhir Emma, yang meluncur dengan gesit. Sebagai pengendali air, Emma tak kesulitan menghadapi lingkungan basah dan kotor ini. Air adalah sekutunya, bahkan dalam keadaan paling buruk sekalipun.“Nyalakan cahaya!” perintah Emma singkat, suaranya tetap bernada rendah.Tangan Nethon bergerak cepat membentuk segel sihir. Udara di sekitarnya bergetar halus sebelum mantra terlontar. Sebuah titik cahaya redup muncul di ujung jari telunjuknya, mirip nyala lilin yang kecil namun cukup u

    Last Updated : 2025-02-14
  • Kebangkitan Klan Phoenix   Hutan Maple.

    Kiran menarik napas dalam-dalam sebelum menyelam ke dalam air yang gelap. Dari balik kabut air yang keruh, dia melihat anak panah meluncur masuk ke dalam arus deras, kecepatannya melambat seiring kedalaman.“Beruntung aku tumbuh di kota kecil. Berenang di sungai bukan hal baru bagiku. Setidaknya, dengan menyelam, aku bisa mengurangi daya serang anak panah dan menghindarinya,” gumam Kiran.Matanya terbuka lebar di dalam air, menatap sekeliling dengan waspada.Cahaya obor yang menyala dari atas memantulkan bayangan samar-samar. Kiran melihat setidaknya sepuluh tentara berdiri di tepi parit, mengelilingi Kota Qingchang. Senjata mereka siap, mata mereka tajam, mencari tanda-tanda gerakannya.“Tapi aku tidak bisa selamanya menyelam. Aku akan kehabisan napas. Aku harus naik ke permukaan dan menghadapi mereka—hidup atau mati.”Kakinya bergerak cepat, menyeret tubuhnya ke tepian. Kepalanya muncul dari air, menghirup udara segar dengan cepat.Di belakangnya, Kiran mendengar suara bentakan dan

    Last Updated : 2025-02-15
  • Kebangkitan Klan Phoenix   Desa Sago.

    "Mari kita adu undi!" Kiran melangkah maju, suaranya tegas namun tidak meninggi. Emma, yang selama ini memimpin, hanya diam.Matanya menatap jauh ke arah desa yang lampu-lampunya mulai menyala, memancarkan kehangatan yang menggoda.Bau makanan yang menguar dari desa itu seolah memanggil mereka, tapi Emma ragu. Apakah mereka harus mengambil risiko masuk ke desa, atau bertahan di hutan yang gelap dengan rasa lapar, dan makanan hambar?Ketiganya berdiri dalam lingkaran kecil, tangan mereka terkepal, siap untuk undian yang akan menentukan nasib mereka malam ini. Kepalan tangan, telapak terbuka, atau tinju—aturan sederhana yang mereka sepakati."Menang! Artinya kita masuk desa!" Kiran berseru, melihat telapak tangan mereka bertiga terbuka lebar. Senyum kecil mengembang di wajahnya, meski ada bayangan kehati-hatian di matanya.Dengan langkah percaya diri, ketiga anak muda itu memasuki desa.Lampu-lampu minyak yang tergantung di depan rumah-rumah menerangi jalan mereka, menciptakan bayangan p

    Last Updated : 2025-02-15
  • Kebangkitan Klan Phoenix   Desa Sago – Part ii.

    Karena hari sudah larut malam, ketika Kiran dan kawan-kawannya bersiap untuk pergi, Hans dan Selima menghentikan mereka di ambang pintu. Udara dingin malam menyelinap masuk, menggigit kulit mereka yang sudah lelah.“Mengapa buru-buru pergi?” tanya Hans, suaranya penuh keprihatinan. Matanya menatap Kiran, Ethon, dan terutama Emma dengan pandangan yang dalam. “Diluar sana dinginnya bisa membekukan tulang. Apa kalian yakin bisa bertahan tidur di bawah langit tanpa selimut?”Selima, perempuan gemuk itu, langsung melangkah maju. Wajahnya merah padam, suaranya meninggi. “Apa yang kalian pikirkan? Membawa Emma, seorang gadis, keluar di malam hari seperti ini? Ini tidak pantas! Dia butuh kehangatan dan kenyamanan, bukan tidur di tengah hutan seperti binatang!”Tanpa menunggu jawaban, Selima langsung bergegas merapikan ruang tamu kecil di depan perapian. Rumah itu memang sederhana, hanya memiliki dua kamar tidur.“Kalian bisa tidur di sini, dekat perapian. Setidaknya kalian tidak kedinginan,”

    Last Updated : 2025-02-17
  • Kebangkitan Klan Phoenix   Galileon.

    Kiran berlari tergesa-gesa, napasnya tersengal-sengal. Dia bahkan lupa mengucapkan terima kasih pada perempuan Gypsi itu.Tanpa berpikir panjang, dia memotong jalan melewati padang bunga, melintasi semak-semak yang menghalangi, hingga akhirnya tiba di gubuk Hans dan Selima.“Nethon! Emma! Kita harus pergi—sekarang!” teriak Kiran di depan pintu, suaranya memecah keheningan pagi. Tanpa menunggu respon, dia mendorong pintu dengan kasar, hampir merobohkannya.Nethon, yang masih duduk di lantai berselimut kain usang, menikmati sisa kehangatan dari perapian, langsung menatap Kiran dengan tatapan kesal. “Ada apa, Kiran? Jangan bilang kamu melihat tentara Qinchang,” ujarnya sambil menguap, masih bermalas-malasan.“Sayangnya, tebakanmu benar!” jawab Kiran, wajahnya tegang.Nethon langsung duduk tegak, ekspresi malasnya hilang seketika.“Kita harus pergi sekarang. Di mana Emma?” tanya Kiran, matanya melirik ke kamar tempat Emma menginap semalam. Kosong.“Dia pergi sebentar,” jawab Nethon sambil

    Last Updated : 2025-02-17
  • Kebangkitan Klan Phoenix   Hutan Luthion.

    Hari sudah senja. Matahari tergantung rendah di ufuk barat, melemparkan cahaya kemerahan yang menyapu langit.Pohon-pohon Ek yang tinggi menjulang memantulkan bayangan panjang ke tanah, seperti jari-jari raksasa penyihir yang mencengkeram bumi. Suasana hutan terasa semakin gelap dan misterius.Kiran dan kawan-kawannya berlari tanpa henti, tanpa sempat memeriksa arah kompas. Mereka tidak menyadari bahwa mereka telah berbelok ke arah timur laut, jauh dari tujuan semula yang seharusnya ke timur.“Mengapa pohon maple tiba-tiba berganti menjadi pohon Ek? Ini terlihat aneh... dan sedikit menyeramkan,” ucap Emma, napasnya terengah-engah.Ketiga pelarian muda itu berhenti sejenak di bawah naungan pohon raksasa, mencoba menenangkan diri.“Dan aku merasa kita sedang diawasi oleh mata yang tak terlihat,” tambah Kiran, matanya menatap ke atas.Daun-daun pohon Ek yang rimbun membentuk kanopi hijau gelap, menutupi langit yang semakin kelam. Suara derap kaki para pengejar sudah tidak terdengar lagi,

    Last Updated : 2025-02-17
  • Kebangkitan Klan Phoenix   Pigenor Elf Putih.

    “Tembak!”Suara itu menggelegar, memecah kesunyian hutan. Itu adalah aba-aba untuk melepaskan anak panah.Ekspresi Kiran berubah pucat. Dia ingin berbalik, melarikan diri dari hujan anak panah yang akan datang, tapi kakinya seperti tertanam di tanah.Pimpinan Elf, yang wajahnya tampak muda, namun matanya penuh kebijaksanaan berabad-abad, menatapnya dengan ekspresi yang sulit diterka. Ada sesuatu dalam tatapan itu—sesuatu yang membuat Kiran merasa seperti sedang dihakimi.“Kita mati!” bisik Emma, suaranya bergetar ketakutan. Nethon hanya diam, tapi dari deru napasnya yang berat, jelas bahwa dia juga dilanda ketakutan yang sama.Namun, sebelum panik mereka mencapai puncak, pimpinan Elf itu mengangkat tangannya dengan gerakan halus.Seketika, desingan anak panah memecah udara, suaranya mengerikan seperti deru angin badai. Para Elf yang bersembunyi di balik pepohonan Ek melepaskan anak panah mereka. Suara itu semakin keras, berubah menjadi gemuruh seperti guntur.Percikan api menyala di u

    Last Updated : 2025-02-18

Latest chapter

  • Kebangkitan Klan Phoenix   Kontrak Dua Imp.

    Hutan White Parrot, setelah kematian Kazam yang Agung..."Jangan bunuh aku, jangan akhiri hidupku..." Tiba-tiba, Imp bernama Burs, makhluk kecil yang ketakutan, langsung bersujud di kaki Kiran, memohon belas kasihan."Aku mendukungmu, Tuan muda, aku akan menjadi pelayanmu," Ucap Burs si Imp, suaranya gemetar, yang langsung mencium kaki Kiran, menunjukkan kesetiaan.Melihat hal ini, ekspresi Imp yang satunya, Kon, berubah jelek, menunjukkan rasa iri. Wajahnya menjadi ungu, pertanda marah, ekspresi yang tak menyenangkan."Burs! Kamu sungguh tak punya malu, kamu menjijikkan. Seharusnya aku yang bersujud di kaki Tuan muda ini, aku yang pertama. Kamu yang pada awalnya sangat keras, mencaci kelompok Tuan muda Kiran, kini sudah lebih dahulu mencari muka, kamu munafik!"Tak mau kalah dengan Burs, Kon si Imp yang satunya ikut-ikutan bersujud di kaki Kiran, menunjukkan kesetiaan. Anehnya, mereka berdua kini sikut menyikut, saling dorong, bersikap seolah-olah takut tak diangkat sebagai master o

  • Kebangkitan Klan Phoenix   Bab 60: Pertarungan Sihir Api Di Hutan White Parrot.

    Kazam berdiri, wajahnya memerah padam, dilanda amarah yang membara. Matanya menyipit, menatap tajam ke arah Emma yang baru saja menghajar dua Imp budaknya, sebuah tindakan yang tak terduga. Kedua makhluk kecil berwarna merah itu kini tergeletak di tanah, merintih kesakitan dengan suara melengking yang memekakkan telinga, sebuah pemandangan yang memuakkan."Beraninya kau menyentuh Burs dan Kon, beraninya kau melakukan itu!" desis Kazam, suaranya sarat akan kebencian, tangannya terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih, menunjukkan kemarahan yang memuncak."Tidak ada yang boleh menyentuh budak-budakku, tidak ada yang berani!"Burs, Imp yang lebih kecil dengan tanduk melengkung, perlahan bangkit, mencoba berdiri. Air mata buaya mengalir di pipinya yang merah, menunjukkan kepura-puraan. "Tuan Kazam... mereka menyerang kami tanpa alasan, mereka sangat kejam," rengeknya dengan suara yang dibuat-buat, mencoba mencari simpati. "Kami hanya bertanya arah, kami tidak melakukan apa-apa, ta

  • Kebangkitan Klan Phoenix   Hutan White Parrot, Hutan yang Penuh Misteri

    Dua hari telah berlalu sejak mereka meninggalkan Lembah Mystral, tempat yang menyimpan kenangan pahit. Perjalanan mereka kini membawa Kiran dan kelompoknya memasuki kedalaman Hutan White Parrot, sebuah hutan pinus abadi yang menjulang tinggi ke langit, sebuah tempat yang penuh misteri.Pohon-pohon pinus raksasa dengan batang keperakan, seperti pilar-pilar yang menjulang, berdiri kokoh, menciptakan kanopi tebal yang hampir tidak meneruskan cahaya matahari ke tanah hutan, memberikan kesan yang mencekam.Udara di Hutan White Parrot terasa berbeda, sebuah perbedaan yang jelas. Lebih dingin, lebih pekat, seolah diselimuti kabut tipis yang tak kasat mata, memberikan kesan yang aneh. Aroma getah pinus yang kuat, seperti wewangian yang khas, bercampur dengan bau tanah lembab dan jamur hutan, menciptakan wewangian khas yang memenuhi setiap tarikan napas, memberikan kesan yang unik."Hutan ini terasa aneh, ada sesuatu yang berbeda," gumam Emma, matanya waspada mengamati sekeliling, mencoba mema

  • Kebangkitan Klan Phoenix   Lembah Mystral - Kenangan dan Ancaman

    Matahari perlahan tenggelam di ufuk barat, seperti bola api yang memudar, menyisakan semburat jingga kemerahan yang memudar dengan cepat di langit, memberikan kesan waktu yang berlalu.Perjalanan dari Puncak Rotos menuju Lembah Mystral memakan waktu enam jam yang melelahkan.Bayangan panjang kelompok itu terbentuk di tanah saat cahaya terakhir matahari menerangi punggung mereka, menciptakan siluet empat penunggang yang bergerak menuju Tenggara, menuju bahaya yang tersembunyi.Ketika akhirnya kegelapan malam menyelimuti langit, seperti selubung yang tak kasat mata, mereka telah mencapai pinggiran Lembah Mystral, tempat yang tak terlupakan. Bulan sabit menggantung di langit, memberikan penerangan samar, seperti mata yang mengawasi, yang memperlihatkan hamparan luas ladang gandum dan sorgum yang bergoyang pelan ditiup angin malam, memberikan kesan keindahan yang menenangkan."Kita sudah sampai, kita telah kembali," kata Kiran pelan, suaranya penuh makna, menarik tali kekang Gallileonnya

  • Kebangkitan Klan Phoenix   Perpisahan di Puncak Rotos

    Angin dingin berhembus kencang di Puncak Gunung Rotos, membelai wajah mereka dengan sentuhan es. Awan-awan kelabu bergerak cepat di langit, seperti kawanan serigala yang berlari, seolah terburu-buru menghindari badai yang akan datang, memberikan kesan yang mencekam.Di gerbang Pintu menuju Kota Ironhold, di tepi tebing yang menjulang, Kiran, Emma, Pigenor, dan Chen berdiri menghadap tiga kurcaci yang telah menemani mereka selama beberapa hari terakhir, menjadi saksi perpisahan.Skarfum, Roric, dan Gladgrik—tiga kurcaci dengan perawakan dan karakter berbeda, namun dipersatukan oleh satu harapan: kesuksesan misi pencarian Orchid Altaalaite, permata yang akan mengubah segalanya."Perjalanan ke Tambang Tartaf tidak akan mudah, kalian harus bersiap," kata Gladgrik, suaranya berat dan serius, seperti gema di pegunungan. Janggut panjangnya bergerak tertiup angin, memberikan kesan kebijaksanaan."Kalian harus melewati Lembah Mystral lagi, tempat di mana Onimur dan Mandrazath menyerang kawan

  • Kebangkitan Klan Phoenix   Orchid Altaalaite

    Ketegangan perlahan mereda, seperti badai yang berlalu, meninggalkan langit yang lebih cerah. Emma menurunkan Pedang Air, senjata itu berubah menjadi butiran air yang jatuh ke lantai batu sebelum menghilang sepenuhnya, kembali ke wujud aslinya.Matanya masih menyiratkan kemarahan, namun kata-kata Kiran, yang penuh kebijaksanaan, telah menyadarkannya, menghentikan amarahnya."Bicaralah," kata Kiran kepada Roric, suaranya masih tegang, namun lebih terkendali, mencoba menenangkan diri. "Apa tujuanmu datang kemari, apa yang kau inginkan?"Roric menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri setelah nyaris kehilangan nyawa, sebuah pengalaman yang mengerikan. Ia melangkah masuk ke dalam ruangan dengan hati-hati, masih waspada terhadap Emma yang menatapnya tajam, penuh curiga."Aku datang dengan berita," ujar Roric, suaranya serius, "dan sebuah tawaran, sebuah kesempatan."Pigenor mengangkat alis, menunjukkan rasa ingin tahunya, tertarik dengan apa yang akan dikatakan Roric. "Berita ap

  • Kebangkitan Klan Phoenix   Duka yang Membekas di Ironhold

    Malam semakin larut di Kota Ironhold, kegelapan merangkul lorong-lorong batu yang kokoh. Obor-obor di sepanjang jalan, yang biasanya menyala terang, kini mulai meredup, seolah ikut merasakan kesedihan yang mendalam. Kiran, Emma, Chen, dan Pigenor berjalan dalam diam, langkah mereka berat dan penuh kesedihan, melewati jalan-jalan yang kini sepi setelah upacara pemakaman yang menyayat hati di kedalaman Sungai Gibna, tersembunyi di perut bumi, tempat peristirahatan terakhir.Mereka tiba di penginapan, tempat mereka biasa berbagi tawa dan cerita. Ruangan itu terasa lebih luas sekarang, lebih kosong, tanpa kehadiran Nethon dan Malven, dua sahabat yang telah pergi. Dua tempat tidur di sudut ruangan masih rapi, selimutnya terlipat sempurna, seolah menunggu pemiliknya kembali, sebuah pengingat yang menyakitkan.Emma duduk di tepi tempat tidurnya, menatap kosong ke arah lantai batu yang dingin, pikirannya melayang jauh. Chen berdiri di dekat dinding, tubuhnya tegak namun pikirannya masih m

  • Kebangkitan Klan Phoenix   Pemakaman DI Sungai Gibna

    Tubuh Nethon terbaring di perahu pertama, dibalut jubah sutra biru tua, warna kebanggaan para penyihir api, simbol kekuatan dan semangat. Cambuk sihirnya diletakkan di atas dadanya, siap menemaninya dalam perjalanan terakhir, menjadi teman setia. Wajahnya yang tenang seolah hanya tertidur, menunggu untuk terbangun di dunia yang lebih baik, di tempat yang lebih damai.Di perahu kedua, tubuh Malven dibaringkan dengan khidmat, penuh penghormatan. Busur dan anak panahnya tersusun rapi di sampingnya, simbol keahlian dan ketangkasan. Rambut pirang keemasannya yang panjang dihiasi dengan daun-daun perak, simbol kehormatan tertinggi bagi kaum Elf, menunjukkan keagungannya. Bahkan dalam kematian, keanggunan seorang Elf tetap terpancar dari sosoknya, keindahan yang tak lekang oleh waktu.Emma berdiri di tepi sungai, tangannya menggenggam sebuah lampion kecil berbentuk bunga teratai, simbol harapan dan cinta. Air matanya jatuh ke permukaan air, seolah menciptakan riak-riak kecil yang berkilaua

  • Kebangkitan Klan Phoenix   Duka di Ironhold

    Denting logam yang biasanya memenuhi Kota Ironhold, irama palu yang tak kenal lelah, kini digantikan oleh bisikan-bisikan penuh kecemasan, seperti air yang mengalir di antara bebatuan. Lorong-lorong batu yang biasanya ramai oleh aktivitas para kurcaci penempa, suara langkah kaki yang berderap, kini dipenuhi kerumunan yang berbisik-bisik, menatap rombongan yang baru tiba dengan tatapan iba, penuh duka.Kiran berjalan dengan langkah berat, setiap pijakan terasa seperti beban yang tak terhingga. Wajahnya pucat pasi, kehilangan semua warna kehidupan. Matanya merah dan bengkak, bukti tangis yang tak henti-hentinya. Di belakangnya, beberapa kurcaci yang kuat dan tegap membawa dua tandu yang ditutupi kain putih, sebuah pemandangan yang memilukan."Beri jalan! Beri jalan!" teriak Skarfum, suaranya yang biasanya lantang kini terdengar berat dan penuh kesedihan. Ia telah bertemu rombongan itu di pintu gerbang, dan kini memimpin mereka melewati kerumunan kurcaci yang semakin bertambah, sepert

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status