Share

Dejavu Lagi?

Penulis: Jimmy Chuu
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-10 17:43:11

BOOM!

Suara ledakan mengguncang alun-alun ketika obor yang dilempar algojo menghantam tumpukan kayu kering. Api langsung menjilat ke atas, membakar udara dengan panas yang menyengat.

Di langit, awan gelap mulai berkumpul, seakan alam turut merasakan ketegangan yang memuncak.

Derak nyala api terdengar seperti suara ular yang mendesis, sementara asap tebal mulai mengepul ke langit.

“Hukuman telah dilaksanakan!” teriak algojo dengan suara keras, mengangkat tangannya ke kerumunan. “Biarkan penyihir ini mati, menebus hutang darah atas perbuatan The Flame, sang Phoenix!”

Sorak-sorai dan desisan memenuhi alun-alun.

Wajah-wajah penduduk yang menonton tampak keras dan puas, tanpa belas kasihan. Namun, di antara kerumunan, beberapa suara lirih terdengar, seperti bisikan yang takut dihukum.

“Dia masih muda... terlalu muda untuk mati seperti ini.”

“Apakah kesalahannya sebesar itu? Dia hanya dituduh sebagai mata-mata. Belum ada bukti yang jelas.”

Kiran, yang terikat di tiang kayu, mulai gelisah.

Api merayap cepat, mendekati kakinya. Panasnya terasa menyengat, seperti pisau yang menusuk kulitnya. Dia menatap cakrawala yang tiba-tiba gelap, seolah-olah langit sendiri menangisi nasibnya.

“Ini mirip kejadian belasan tahun lalu di alun-alun Kota Begonia...” gumamnya lirih, suaranya hampir tak terdengar. “Apakah para Pengendali Air akan datang lagi, seperti ketika mereka menyelamatkan Nirajh Singh?”

Tawa getir meluncur dari bibirnya.

Dia bukan siapa-siapa bagi Klan Phoenix Merah. Mengapa mereka repot-repot menyelamatkannya? Dia hanyalah seorang anak dari Kota Begonia yang tidak tersohor. Tanpa dukungan kaum bangsawan, juga tanpa klan.

Suasana hening sejenak, hanya terdengar isak tangis kaum perempuan yang bersimpati, yang meratapi nasib Kiran. Udara di alun-alun semakin panas, seolah-olah semua yang ada ikut menghukumnya. Tiba-tiba—

DUAR!

Ledakan dahsyat mengguncang alun-alun, membuat tanah bergetar dan kerumunan menjerit ketakutan. Suara gemuruh datang dari kejauhan, seperti peringatan sebelum badai.

TOLONG!

Semua orang terkejut ketika seorang perempuan bertudung dan bermasker muncul di udara.

Rambut emasnya yang panjang berkibar seperti bendera di tengah angin kencang, dan jubah longgarnya melambai dengan elegan. Dia melayang, mengendarai aliran air yang seolah-olah hidup, bergerak sesuai keinginannya.

“Water bender!” teriak seseorang di kerumunan. “Pengendali Air!” “Penyihir!”

Kerumunan langsung gempar.

Pertunjukan sihir seperti ini jarang terlihat, apalagi di tengah eksekusi publik. Beberapa orang mulai mundur, ketakutan, sementara yang lain terpana, tak mampu memalingkan pandangan.

Perempuan itu tertawa parau, suaranya terdengar sember tak nyaman didengar. “Hihihi... Membunuh orang tak bersalah adalah dosa besar di hadapan para dewa. Bagaimana kalau aku selamatkan dia?”

Tanpa menunggu respons, tangannya melambai dengan gerakan anggun namun penuh kekuatan spiritual.

DUAR!

Langit yang gelap tiba-tiba mencurahkan hujan. Rintik-rintik awal berubah menjadi badai dalam hitungan detik.

Air hujan yang deras berubah menjadi gelombang raksasa, menghantam panggung dan memadamkan api dengan suara mendesis yang keras. Uap air naik ke udara, menciptakan kabut tebal yang menyelimuti alun-alun.

“Lari jika tak ingin mati!” teriak seseorang di kerumunan, suaranya nyaris hilang dalam gemuruh air. “Tsunami sihir! Kita akan binasa!”

Kerumunan berhamburan, panik, sementara perempuan Pengendali Air itu tetap melayang, tersenyum puas melihat kekacauan yang ia ciptakan. Matanya yang bersinar di balik topeng memandang Kiran penuh arti, seolah memberi isyarat bahwa dia tidak sendirian.

Namun, aksi perempuan Pengendali Air itu terhenti sejenak.

Dari kejauhan, tiga sosok lain muncul, melesat cepat mendekati alun-alun. Mereka adalah ahli sihir yang mengenakan zirah resmi kekaisaran, masing-masing dengan kemampuan yang berbeda.

Yang pertama mengendarai seekor burung rajawali raksasa, hewan kontraknya yang setia. Sayapnya yang lebar menebar bayangan gelap di tanah, sementara cakar besinya berkilauan di bawah sinar matahari redup.

Yang kedua meluncur di atas pedang besar yang melayang, dia pengendali logam. Tubuhnya tegak seperti patung yang tak bergerak.

Sementara yang ketiga mengendarai angin, tubuhnya meliuk-liuk seperti daun di tengah badai.

Penonton yang tadinya bersiap pergi, tiba-tiba mengurungkan niat mereka. Mata mereka tertarik pada pertunjukan langka ini, meski mereka tahu bahwa menyaksikan pertarungan sihir semacam ini berarti mempertaruhkan nyawa.

“Tiga penyihir dari pihak kekaisaran sudah datang!” teriak seseorang.

“Water bender itu pasti akan ditaklukkan! Dia pasti anggota Klan Phoenix Merah!”

“Betapa menjijikkannya para pengikut klan itu! Mereka selalu menebar kekacauan di mana-mana!”

Desisan dan umpatan memenuhi udara, namun perempuan Pengendali Air itu tampak tidak peduli. Dia sudah mendarat di panggung, mendekati Kiran yang terikat.

Nyala api yang tadinya berkobar kini sudah padam, berkat hujan badai dan gelombang air yang ia panggil. Air masih menetes dari kayu-kayu yang hangus, menciptakan genangan di sekitar panggung.

Dengan gerakan cepat, perempuan itu mengeluarkan sebilah belati perak dari balik jubahnya. Pisau itu berkilau meski langit gelap, seolah-olah memiliki cahayanya sendiri.

“Bersiap melarikan diri bersamaku! Kau akan aman!” ujarnya pada Kiran, suaranya tidak keras. Matanya sesekali melirik ke arah tiga penyihir kekaisaran yang semakin mendekat, namun tangannya tetap fokus memotong rantai yang membelenggu Kiran.

“Siapa kau? Mengapa menolongku? Apa kau tidak takut dicap sebagai pengkhianat Klan Phoenix Merah?” tanya Kiran, suaranya lemah dan sempoyongan. Asap tebal yang ia hirup membuat kepalanya pening, dan matanya terasa berat.

Rasanya, Kiran hanya ingin menutup mata dan beristirahat.

Tapi perempuan Pengendali Air itu mengguncang bahu Kiran dengan kuat. “Jangan tidur! Buka matamu. Aku akan membawamu ke tempat aman! Jangan tidur!” teriaknya berulang kali, suaranya bernada khawatir.

Kiran mengerahkan sisa tenaganya untuk tetap terjaga. Dia tahu, kata-kata perempuan itu benar. Jika ia tertidur sekarang, mungkin ia tak akan pernah bangun lagi.

“Awas... di belakangmu. Ada tiga penyihir kuat akan menyerang,” ucap Kiran, setengah sadar.

Namun perempuan itu hanya tersenyum tipis. “Tidak usah pedulikan mereka. Ada yang akan mengurusnya...”

Belati peraknya berhasil memotong rantai terakhir. Dengan gerakan cepat, ia membopong Kiran ke punggungnya. “Ayo kita pergi!” ujarnya, ekspresinya tampak tegang.

Tiba-tiba, dari arah yang tak terduga, tiga sosok lain muncul.

Mereka mengenakan jubah dan topeng yang serupa dengan perempuan Pengendali Air itu.

Satu di antaranya adalah Pengendali Api, tangannya sudah menyala dengan cambuk api yang berputar-putar seperti ular.

Yang lain adalah Pengendali Air, tangannya sudah mengumpulkan gelombang air yang siap dilepaskan. Dan yang terakhir juga pengendali api, ditangannya ada busur dan anak panah api yang meletup-letup.

“Mengapa buru-buru ingin ke panggung? Coba lawan dulu sihir api ini!” teriak Pengendali Api bertopeng, suaranya menggema. Cambuk apinya melesat ke udara, menghantam burung rajawali raksasa yang membawa salah satu penyihir kekaisaran.

Burung itu menjerit, sayapnya terbakar, sementara penunggangnya berusaha menjaga keseimbangan.

Sementara itu, Pengendali Air bertopeng sudah bertarung melawan penyihir kekaisaran yang mengendarai angin. Gelombang air dan tiupan angin saling bertabrakan, menciptakan kabut tebal yang menyelimuti alun-alun.

Dan di sisi lain, pemanah api itu berhadapan dengan penyihir kekaisaran yang mengendarai pedang. Udara bertambah panas ketika panah api melesat, dan pengendali logam melepaskan pedang raksasa untuk membelah benteng api yang diciptakan si pemanah.

Bersambung

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Kebangkitan Klan Phoenix   Tiga Pelarian.

    Kiran terbangun ketika hari sudah senja keesokan harinya. Dalam tidurnya—atau lebih tepatnya, dalam keadaan tidak sadarkan diri—dia bermimpi sedang berdoa di Kuil Dewa Tempestia, dewa yang dipuja di dataran Tengah.Dalam mimpinya, para pendeta di kuil membunyikan lonceng, suaranya berdengung keras, menggema dari dunia lain yang misterius. Suara itu menusuk ke dalam benaknya, membuatnya merasa terpisah dari kenyataan.“Di mana aku?” gumam Kiran perlahan saat bangun dari tempat tidurnya yang sederhana.Selimut tebal yang menumpuk di atas jerami terasa kasar di kulitnya. Dia mengusap wajah, mencoba mengusir sisa-sisa mimpi yang masih membayangi pikirannya.Pandangannya tertuju ke arah jendela kecil di kamar itu. Dari sana, ia bisa melihat Ibukota Qingchang yang megah, dengan menara-menara tinggi menjulang dan lampu-lampu yang mulai menyala seiring datangnya malam.“Sebuah kamar rahasia, di bangunan diatas bukit?” Kiran menyipitkan mata.Pikirannya masih melayang, mencoba mengingat apa ya

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-14
  • Kebangkitan Klan Phoenix   Akhirnya, Melarikan Diri!

    “Kalian masuk lebih dulu!” bisik Emma pelan, suaranya hampir tak terdengar. Ia menunjuk ke arah selokan yang gelap, airnya menggenang busuk dengan bau menyengat yang memenuhi udara.Malam ini terlalu berbahaya. Setiap langkah harus dihitung cermat, setiap suara bisa menjadi petaka. Selalu ada mata-mata atau formasi sihir yang siap menangkap pergerakan mencurigakan.Nethon melompat masuk ke dalam lubang saluran pembuangan tanpa ragu, tubuhnya menghilang dalam kegelapan.Kiran menyusul dengan gerakan cepat, dan terakhir Emma, yang meluncur dengan gesit. Sebagai pengendali air, Emma tak kesulitan menghadapi lingkungan basah dan kotor ini. Air adalah sekutunya, bahkan dalam keadaan paling buruk sekalipun.“Nyalakan cahaya!” perintah Emma singkat, suaranya tetap bernada rendah.Tangan Nethon bergerak cepat membentuk segel sihir. Udara di sekitarnya bergetar halus sebelum mantra terlontar. Sebuah titik cahaya redup muncul di ujung jari telunjuknya, mirip nyala lilin yang kecil namun cukup u

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-14
  • Kebangkitan Klan Phoenix   Hutan Maple.

    Kiran menarik napas dalam-dalam sebelum menyelam ke dalam air yang gelap. Dari balik kabut air yang keruh, dia melihat anak panah meluncur masuk ke dalam arus deras, kecepatannya melambat seiring kedalaman.“Beruntung aku tumbuh di kota kecil. Berenang di sungai bukan hal baru bagiku. Setidaknya, dengan menyelam, aku bisa mengurangi daya serang anak panah dan menghindarinya,” gumam Kiran.Matanya terbuka lebar di dalam air, menatap sekeliling dengan waspada.Cahaya obor yang menyala dari atas memantulkan bayangan samar-samar. Kiran melihat setidaknya sepuluh tentara berdiri di tepi parit, mengelilingi Kota Qingchang. Senjata mereka siap, mata mereka tajam, mencari tanda-tanda gerakannya.“Tapi aku tidak bisa selamanya menyelam. Aku akan kehabisan napas. Aku harus naik ke permukaan dan menghadapi mereka—hidup atau mati.”Kakinya bergerak cepat, menyeret tubuhnya ke tepian. Kepalanya muncul dari air, menghirup udara segar dengan cepat.Di belakangnya, Kiran mendengar suara bentakan dan

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-15
  • Kebangkitan Klan Phoenix   Desa Sago.

    "Mari kita adu undi!" Kiran melangkah maju, suaranya tegas namun tidak meninggi. Emma, yang selama ini memimpin, hanya diam.Matanya menatap jauh ke arah desa yang lampu-lampunya mulai menyala, memancarkan kehangatan yang menggoda.Bau makanan yang menguar dari desa itu seolah memanggil mereka, tapi Emma ragu. Apakah mereka harus mengambil risiko masuk ke desa, atau bertahan di hutan yang gelap dengan rasa lapar, dan makanan hambar?Ketiganya berdiri dalam lingkaran kecil, tangan mereka terkepal, siap untuk undian yang akan menentukan nasib mereka malam ini. Kepalan tangan, telapak terbuka, atau tinju—aturan sederhana yang mereka sepakati."Menang! Artinya kita masuk desa!" Kiran berseru, melihat telapak tangan mereka bertiga terbuka lebar. Senyum kecil mengembang di wajahnya, meski ada bayangan kehati-hatian di matanya.Dengan langkah percaya diri, ketiga anak muda itu memasuki desa.Lampu-lampu minyak yang tergantung di depan rumah-rumah menerangi jalan mereka, menciptakan bayangan p

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-15
  • Kebangkitan Klan Phoenix   Desa Sago – Part ii.

    Karena hari sudah larut malam, ketika Kiran dan kawan-kawannya bersiap untuk pergi, Hans dan Selima menghentikan mereka di ambang pintu. Udara dingin malam menyelinap masuk, menggigit kulit mereka yang sudah lelah.“Mengapa buru-buru pergi?” tanya Hans, suaranya penuh keprihatinan. Matanya menatap Kiran, Ethon, dan terutama Emma dengan pandangan yang dalam. “Diluar sana dinginnya bisa membekukan tulang. Apa kalian yakin bisa bertahan tidur di bawah langit tanpa selimut?”Selima, perempuan gemuk itu, langsung melangkah maju. Wajahnya merah padam, suaranya meninggi. “Apa yang kalian pikirkan? Membawa Emma, seorang gadis, keluar di malam hari seperti ini? Ini tidak pantas! Dia butuh kehangatan dan kenyamanan, bukan tidur di tengah hutan seperti binatang!”Tanpa menunggu jawaban, Selima langsung bergegas merapikan ruang tamu kecil di depan perapian. Rumah itu memang sederhana, hanya memiliki dua kamar tidur.“Kalian bisa tidur di sini, dekat perapian. Setidaknya kalian tidak kedinginan,”

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-17
  • Kebangkitan Klan Phoenix   Galileon.

    Kiran berlari tergesa-gesa, napasnya tersengal-sengal. Dia bahkan lupa mengucapkan terima kasih pada perempuan Gypsi itu.Tanpa berpikir panjang, dia memotong jalan melewati padang bunga, melintasi semak-semak yang menghalangi, hingga akhirnya tiba di gubuk Hans dan Selima.“Nethon! Emma! Kita harus pergi—sekarang!” teriak Kiran di depan pintu, suaranya memecah keheningan pagi. Tanpa menunggu respon, dia mendorong pintu dengan kasar, hampir merobohkannya.Nethon, yang masih duduk di lantai berselimut kain usang, menikmati sisa kehangatan dari perapian, langsung menatap Kiran dengan tatapan kesal. “Ada apa, Kiran? Jangan bilang kamu melihat tentara Qinchang,” ujarnya sambil menguap, masih bermalas-malasan.“Sayangnya, tebakanmu benar!” jawab Kiran, wajahnya tegang.Nethon langsung duduk tegak, ekspresi malasnya hilang seketika.“Kita harus pergi sekarang. Di mana Emma?” tanya Kiran, matanya melirik ke kamar tempat Emma menginap semalam. Kosong.“Dia pergi sebentar,” jawab Nethon sambil

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-17
  • Kebangkitan Klan Phoenix   Hutan Luthion.

    Hari sudah senja. Matahari tergantung rendah di ufuk barat, melemparkan cahaya kemerahan yang menyapu langit.Pohon-pohon Ek yang tinggi menjulang memantulkan bayangan panjang ke tanah, seperti jari-jari raksasa penyihir yang mencengkeram bumi. Suasana hutan terasa semakin gelap dan misterius.Kiran dan kawan-kawannya berlari tanpa henti, tanpa sempat memeriksa arah kompas. Mereka tidak menyadari bahwa mereka telah berbelok ke arah timur laut, jauh dari tujuan semula yang seharusnya ke timur.“Mengapa pohon maple tiba-tiba berganti menjadi pohon Ek? Ini terlihat aneh... dan sedikit menyeramkan,” ucap Emma, napasnya terengah-engah.Ketiga pelarian muda itu berhenti sejenak di bawah naungan pohon raksasa, mencoba menenangkan diri.“Dan aku merasa kita sedang diawasi oleh mata yang tak terlihat,” tambah Kiran, matanya menatap ke atas.Daun-daun pohon Ek yang rimbun membentuk kanopi hijau gelap, menutupi langit yang semakin kelam. Suara derap kaki para pengejar sudah tidak terdengar lagi,

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-17
  • Kebangkitan Klan Phoenix   Pigenor Elf Putih.

    “Tembak!”Suara itu menggelegar, memecah kesunyian hutan. Itu adalah aba-aba untuk melepaskan anak panah.Ekspresi Kiran berubah pucat. Dia ingin berbalik, melarikan diri dari hujan anak panah yang akan datang, tapi kakinya seperti tertanam di tanah.Pimpinan Elf, yang wajahnya tampak muda, namun matanya penuh kebijaksanaan berabad-abad, menatapnya dengan ekspresi yang sulit diterka. Ada sesuatu dalam tatapan itu—sesuatu yang membuat Kiran merasa seperti sedang dihakimi.“Kita mati!” bisik Emma, suaranya bergetar ketakutan. Nethon hanya diam, tapi dari deru napasnya yang berat, jelas bahwa dia juga dilanda ketakutan yang sama.Namun, sebelum panik mereka mencapai puncak, pimpinan Elf itu mengangkat tangannya dengan gerakan halus.Seketika, desingan anak panah memecah udara, suaranya mengerikan seperti deru angin badai. Para Elf yang bersembunyi di balik pepohonan Ek melepaskan anak panah mereka. Suara itu semakin keras, berubah menjadi gemuruh seperti guntur.Percikan api menyala di u

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-18

Bab terbaru

  • Kebangkitan Klan Phoenix   Menuju Zahranar.

    Matahari pagi bersinar hangat menyinari Desa Chandrapur.Kiran duduk di beranda rumah keluarga Rajagopal, menikmati secangkir teh rempah yang disajikan Nyonya Ranya. Pikirannya masih dipenuhi oleh pengalaman mistisnya di kuil semalam—pertemuan dengan Dewa Hiranyakashipu yang entah nyata atau hanya halusinasi akibat bunga popy."Dengarkan angin yang berbisik di antara daun-daun tertua," gumam Kiran, mengulang teka-teki yang diberikan oleh dewa itu."Ikuti aliran sungai yang tidak pernah mengalir ke laut..."Tiba-tiba..."Kau mengatakan sesuatu, anak muda?" tanya Surya Rajagopal, bergabung dengan Kiran di beranda.Hanya terkejut sesaat, Kiran menggeleng pelan."Hanya memikirkan perjalananku selanjutnya," jawabnya. Ia meletakkan cangkir tehnya dan menatap Surya dengan tenang."Aku sudah memuuskan. Harus pergi ke ibukota—ke Zahranar. Aku perlu mencari informasi lebih banyak tentang Suku Devahari," kata Kiran, menggambarkan sesuatu yang mendesak.Surya Rajagopal mengangguk pelan. Ada kilat

  • Kebangkitan Klan Phoenix   Bisikan di Nirwana.

    Kiran setelah menenggak ekstrak bunga popy...Kuil di sekitarnya mulai berubah. Dinding-dinding batu seolah meleleh dan berubah menjadi cahaya keemasan yang berpendar lembut. Lantai di bawah kakinya tidak lagi terasa keras, melainkan seperti awan yang lembut.Patung Hiranyakashipu di hadapannya tampak berkilau dengan cahaya dari dalam, mata permatanya berkedip-kedip seperti bintang.Kiran merasakan tubuhnya melayang, terlepas dari gravitasi. Ia tidak lagi berada di kuil, melainkan di sebuah ruang tak terbatas yang dipenuhi cahaya keemasan dan ungu.Tidak ada langit, tidak ada tanah—hanya keindahan murni yang tak terlukiskan. Bunga-bunga berwarna-warni melayang di sekitarnya, memancarkan aroma yang memabukkan. Musik lembut terdengar dari segala arah, seperti ribuan harpa yang dimainkan oleh tangan-tangan tak terlihat."Apakah ini... nirwana?" bisik Kiran, terpesona oleh keindahan di sekelilingnya."Bukan nirwana, anak muda," jawab sebuah suara yang dalam dan bergema. "Hanya sebuah ruan

  • Kebangkitan Klan Phoenix   Trance.

    Kiran menunggu hingga tengah malam, ketika seluruh desa telah terlelap.Suara-suara malam—jangkrik, burung hantu, dan angin yang berdesir di antara pepohonan—menjadi satu-satunya pengiring langkahnya. Dengan hati-hati, ia menyelinap keluar dari rumah Rajagopal, membawa cairan ekstrak bunga popy dalam botol kecil yang ia temukan di dapur.Kon dan Burs mengikutinya, terbang rendah dan bersembunyi di balik bayangan.Kuil Hiranyakashipu tampak berbeda di malam hari—lebih misterius dan sedikit mengintimidasi. Bangunan batu itu seolah menyerap cahaya bulan, menciptakan siluet gelap yang menjulang di tengah desa.Cahaya bulan menyinari ukiran-ukiran di dindingnya, menciptakan bayangan-bayangan aneh yang seolah bergerak dan menari. Beberapa pendeta masih terlihat berjaga di sekitar kuil, melakukan ritual malam mereka dengan lilin-lilin dan dupa yang menyala redup."Bagaimana kita bisa masuk tanpa terlihat?" bisik Burs, mengamati para pendeta dari kejauhan. Matanya yang tajam menghitung jumlah

  • Kebangkitan Klan Phoenix   Mengekstraksi.

    Kiran menatap bunga yang cantik, secantik namanya... “Popy”Dengan hati-hati, ia memetik beberapa kuntum bunga popy yang paling mekar, memilih dari berbagai warna—merah darah yang menyala seperti api, ungu kebiruan yang dalam seperti langit senja, dan putih murni bagai salju pertama.Kelopak-kelopak tipis itu terasa lembut di antara jemarinya, namun ia bisa merasakan getaran aneh—hampir seperti denyut kehidupan—dari bunga-bunga tersebut. Ia memasukkan bunga-bunga itu ke dalam kantong kecil di balik jubahnya, memastikan tidak ada yang melihat tindakannya."Tuan, apa yang kau lakukan?" bisik Kon, mengintip dari tas Kiran dengan mata besarnya yang berkilau cemas. "Bukankah mereka bilang bunga itu berbahaya?""Kadang-kadang kita perlu mengambil risiko untuk mendapatkan jawaban," jawab Kiran pelan, matanya terus mengawasi keadaan sekitar."Jika bunga ini bisa membantuku berkomunikasi dengan dewa mereka, mungkin aku bisa mendapatkan petunjuk tentang Suku Devahari.""Tapi bagaimana cara meng

  • Kebangkitan Klan Phoenix   Bunga Popy dan Dewa Hiranyakashipu – Part II.

    Setelah berpikir kira-kira lima tarikan nafas... "Suku Devahari adalah legenda kuno," jawab Surya setelah jeda yang cukup panjang itu. Suaranya berubah lebih dalam."Konon, mereka adalah suku pertama yang mendiami Zolia, jauh sebelum Kekaisaran terbentuk. Mereka dikatakan memiliki hubungan khusus dengan para dewa, mampu melakukan sihir yang tidak bisa dilakukan oleh manusia biasa.""Mereka bisa memanipulasi elemen," tambah Ranya, matanya berkilat penuh keingintahuan."Air, api, tanah, udara—semua tunduk pada kehendak mereka. Beberapa cerita bahkan menyebutkan mereka bisa berbicara dengan hewan dan tumbuhan."Keheningan..."Tapi itu hanya cerita untuk anak-anak sekarang," lanjut Surya, suaranya sedikit lebih pelan."Tidak ada yang pernah bertemu dengan anggota Suku Devahari dalam beberapa generasi terakhir. Banyak yang percaya mereka telah punah, atau mungkin hanya mitos belaka."Kiran merasakan kekecewaan menyelimuti hatinya.Jika bahkan penduduk Zolia sendiri menganggap Suku Devahari

  • Kebangkitan Klan Phoenix   Bunga Popy dan Dewa Hiranyakashipu.

    Matahari siang bersinar terang di atas Kuil Hiranyakashipu, sinarnya menembus kaca-kaca berwarna pada jendela tinggi kuil, menciptakan pola-pola mistis di lantai marmer yang dingin.Kiran masih berlutut di depan altar, matanya tak lepas dari patung dewa yang baru saja berkedip padanya. Jantungnya berdegup kencang, campuran antara takjub dan kebingungan."Tuan Rajagopal... Apa anda melihatnya?" bisik Kiran kepada Surya yang berlutut di sampingnya. Suaranya hampir tak terdengar di tengah gumaman doa para penduduk desa."Melihat apa?" tanya Surya, menoleh dengan alis terangkat. Cahaya lilin menyinari wajahnya yang kebingungan."Patung itu..." Kiran menunjuk ke arah patung Hiranyakashipu yang menjulang—sosok dengan empat tangan yang masing-masing memegang simbol kekuasaan berbeda."Matanya berkedip padaku."Surya menatap Kiran dengan pandangan heran, kemudian tertawa kecil."Ah, mungkin itu hanya pantulan cahaya matahari dari jendela kuil, anak muda. Atau mungkin kau terlalu lelah setela

  • Kebangkitan Klan Phoenix   Patung Dewa Hiranyakashipu.

    Rumah Surya terletak di ujung desa, dikelilingi kebun bunga yang indah dan pohon-pohon yang rindang. Bangunannya lebih besar dari rumah-rumah lainnya namun tetap sederhana, dengan teras luas yang dihiasi tanaman merambat berbunga ungu.Ranya, istri Surya, menyambut Kiran dengan senyum hangat. Wanita itu memiliki wajah yang lembut dengan mata yang memancarkan kebijaksanaan, dan rambut hitamnya yang panjang digelung rapi dengan hiasan bunga kecil.Ia segera menyiapkan makanan berlimpah—nasi dengan kari daging yang mengepulkan aroma rempah menggoda, roti pipih yang disebut naan yang masih hangat dari tungku tanah liat, dan berbagai macam sayuran yang dimasak dengan rempah-rempah wangi yang tidak Kiran kenali."Makanlah yang banyak," kata Ranya dengan nada keibuan, terus menambahkan makanan ke piring Kiran meskipun ia sudah mengatakan cukup. Tangannya yang lincah terus menyendokkan lauk-pauk ke piring Kiran."Kau terlalu kurus. Perjalanan pasti sangat berat."Malam itu, setelah makan mala

  • Kebangkitan Klan Phoenix   Penduduk Desa Yang Ramah.

    "Ah, seorang pengembara!" seru seorang wanita gemuk dengan gelang-gelang perak yang berdenting merdu di pergelangan tangannya setiap kali ia bergerak."Dan lihat wajahmu yang unik! Kau pasti dari Qingchang, bukan? Sangat jarang kami melihat orang Qingchang di sini."Kiran mengangguk kaku, menunggu reaksi negatif yang pasti akan muncul setelah identitasnya terungkap. Namun, yang ia dapatkan justru lebih banyak senyuman dan tatapan kagum, seolah ia adalah makhluk eksotis yang menarik untuk diamati."Sungguh menarik! Matamu seperti serigala—tajam dan penuh kewaspadaan," komentar seorang pedagang kain, mengamati Kiran dari atas ke bawah dengan tatapan menilai."Dan kulitmu yang putih kekuningan... sangat kontras dengan kulit kami yang kecokelatan. Kau pasti akan terlihat menakjubkan dengan kain sutra biru langit ini!" Ia mengangkat selembar kain berwarna biru cerah dengan bordiran perak."Kau harus mampir ke rumahku untuk makan siang!" ajak seorang ibu dengan antusias, menarik lengan Kira

  • Kebangkitan Klan Phoenix   Desa Chandrapur.

    Matahari pagi bersinar lembut di atas padang rumput yang membentang hingga kaki bukit di kejauhan, menyelimuti tanah dengan cahaya keemasan yang hangat.Embun pagi masih menggantung di ujung-ujung rumput tinggi, berkilauan seperti permata kecil saat tersentuh sinar matahari.Kiran berjalan dengan langkah berat, jubah perjalanannya yang dulu berwarna merah kini kotor oleh debu dan robek di beberapa bagian, berkibar lembut tertiup angin pagi yang sejuk.Crimson Dawn—pedang legendaris dengan bilah merah darah yang konon ditempa dari logam langit—tersarung rapat di punggungnya, tersembunyi di balik kain lusuh untuk menghindari perhatian yang tidak diinginkan.Energi sihir yang biasanya berpendar dari pedang itu kini diredam, hanya sesekali berkedut seperti detak jantung yang tertidur.Tiga hari telah berlalu sejak pertempuran dahsyat di Tembok Perbatasan. Tiga hari penuh kewaspadaan dan kekhawatiran yang menggerogoti pikiran Kiran seperti racun lambat.Setiap kali memejamkan mata, bayanga

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status