Karena hari sudah larut malam, ketika Kiran dan kawan-kawannya bersiap untuk pergi, Hans dan Selima menghentikan mereka di ambang pintu. Udara dingin malam menyelinap masuk, menggigit kulit mereka yang sudah lelah.“Mengapa buru-buru pergi?” tanya Hans, suaranya penuh keprihatinan. Matanya menatap Kiran, Ethon, dan terutama Emma dengan pandangan yang dalam. “Diluar sana dinginnya bisa membekukan tulang. Apa kalian yakin bisa bertahan tidur di bawah langit tanpa selimut?”Selima, perempuan gemuk itu, langsung melangkah maju. Wajahnya merah padam, suaranya meninggi. “Apa yang kalian pikirkan? Membawa Emma, seorang gadis, keluar di malam hari seperti ini? Ini tidak pantas! Dia butuh kehangatan dan kenyamanan, bukan tidur di tengah hutan seperti binatang!”Tanpa menunggu jawaban, Selima langsung bergegas merapikan ruang tamu kecil di depan perapian. Rumah itu memang sederhana, hanya memiliki dua kamar tidur.“Kalian bisa tidur di sini, dekat perapian. Setidaknya kalian tidak kedinginan,”
Kiran berlari tergesa-gesa, napasnya tersengal-sengal. Dia bahkan lupa mengucapkan terima kasih pada perempuan Gypsi itu.Tanpa berpikir panjang, dia memotong jalan melewati padang bunga, melintasi semak-semak yang menghalangi, hingga akhirnya tiba di gubuk Hans dan Selima.“Nethon! Emma! Kita harus pergi—sekarang!” teriak Kiran di depan pintu, suaranya memecah keheningan pagi. Tanpa menunggu respon, dia mendorong pintu dengan kasar, hampir merobohkannya.Nethon, yang masih duduk di lantai berselimut kain usang, menikmati sisa kehangatan dari perapian, langsung menatap Kiran dengan tatapan kesal. “Ada apa, Kiran? Jangan bilang kamu melihat tentara Qinchang,” ujarnya sambil menguap, masih bermalas-malasan.“Sayangnya, tebakanmu benar!” jawab Kiran, wajahnya tegang.Nethon langsung duduk tegak, ekspresi malasnya hilang seketika.“Kita harus pergi sekarang. Di mana Emma?” tanya Kiran, matanya melirik ke kamar tempat Emma menginap semalam. Kosong.“Dia pergi sebentar,” jawab Nethon sambil
Hari sudah senja. Matahari tergantung rendah di ufuk barat, melemparkan cahaya kemerahan yang menyapu langit.Pohon-pohon Ek yang tinggi menjulang memantulkan bayangan panjang ke tanah, seperti jari-jari raksasa penyihir yang mencengkeram bumi. Suasana hutan terasa semakin gelap dan misterius.Kiran dan kawan-kawannya berlari tanpa henti, tanpa sempat memeriksa arah kompas. Mereka tidak menyadari bahwa mereka telah berbelok ke arah timur laut, jauh dari tujuan semula yang seharusnya ke timur.“Mengapa pohon maple tiba-tiba berganti menjadi pohon Ek? Ini terlihat aneh... dan sedikit menyeramkan,” ucap Emma, napasnya terengah-engah.Ketiga pelarian muda itu berhenti sejenak di bawah naungan pohon raksasa, mencoba menenangkan diri.“Dan aku merasa kita sedang diawasi oleh mata yang tak terlihat,” tambah Kiran, matanya menatap ke atas.Daun-daun pohon Ek yang rimbun membentuk kanopi hijau gelap, menutupi langit yang semakin kelam. Suara derap kaki para pengejar sudah tidak terdengar lagi,
“Tembak!”Suara itu menggelegar, memecah kesunyian hutan. Itu adalah aba-aba untuk melepaskan anak panah.Ekspresi Kiran berubah pucat. Dia ingin berbalik, melarikan diri dari hujan anak panah yang akan datang, tapi kakinya seperti tertanam di tanah.Pimpinan Elf, yang wajahnya tampak muda, namun matanya penuh kebijaksanaan berabad-abad, menatapnya dengan ekspresi yang sulit diterka. Ada sesuatu dalam tatapan itu—sesuatu yang membuat Kiran merasa seperti sedang dihakimi.“Kita mati!” bisik Emma, suaranya bergetar ketakutan. Nethon hanya diam, tapi dari deru napasnya yang berat, jelas bahwa dia juga dilanda ketakutan yang sama.Namun, sebelum panik mereka mencapai puncak, pimpinan Elf itu mengangkat tangannya dengan gerakan halus.Seketika, desingan anak panah memecah udara, suaranya mengerikan seperti deru angin badai. Para Elf yang bersembunyi di balik pepohonan Ek melepaskan anak panah mereka. Suara itu semakin keras, berubah menjadi gemuruh seperti guntur.Percikan api menyala di u
“Ayo ikut denganku,” tiba-tiba wajah Pigenor berubah menjadi ramah, senyumnya hangat tapi tetap menyimpan aura misterius.“M-Maksud Anda, Tuan?” Kiran bertanya dengan gugup. Dia masih tidak bisa melupakan keangkeran yang ditunjukkan Pigenor saat mengancam Krado dengan sihir pedangnya. Tangan Kiran mengepal erat, siap untuk bertindak jika diperlukan.Emma dan Nethon saling berpegangan tangan. Meski mereka adalah ahli dalam bidang tempur, berhadapan dengan Pigenor—sosok Elf yang hanya pernah mereka dengar dalam kisah-kisah legenda di akademi—adalah hal yang sama sekali berbeda.Ada sesuatu tentang Elf itu yang membuat mereka merasa kecil dan rentan.“Ah, kalian takut padaku, ya?” ujar Pigenor, suaranya lembut tapi penuh makna. “Perkenalkan, aku Pigenor, mewakili kaum Elf, mengundang kalian bertiga untuk beristirahat di Hutan Luthion selama beberapa hari. Apa kalian berminat melihat dunia kami, kaum Elf?” tanyanya, ekspresinya semakin ramah, seolah mencoba menghilangkan ketegangan.Aura
Pigenor tidak memedulikan ekspresi Kiran, Emma, dan Nethon yang berubah. Dia melangkah dengan tenang, kaki mendarat di anak tangga batu yang halus, langkahnya nyaris tanpa suara.Namun, baru lima langkah, dia berbalik dengan gerakan yang halus seperti angin.“Mengapa hanya bengong? Tidak ingin menikmati keindahan Kota Elf?” suaranya menggema, dingin namun tidak mengancam.Kiran dan kawan-kawannya tersentak, seolah terbangun dari mimpi. Mereka buru-buru melangkah menaiki anak tangga, saling berdesakan, seolah takut tertinggal.Sembilan Elf pemanah mengikuti di belakang, langkah mereka senyap, hampir tak terdengar.“gerak gerik mereka begitu halus,” gumam Kiran, matanya mengikuti gerakan para Elf.“Tiap langkah mereka nyaris serupan pesenam artistik. Tak heran Kaum Elf disebut sebagai makhluk dengan kemampuan Evasion terbaik sepanjang sejarah.” Emma dan Nethon mengangguk diam, setuju tapi terlalu terpana untuk berbicara.Evasion—kemampuan supernatural yang membuat seseorang sulit terken
Lord Grogor tersentak, matanya terpaku pada kilatan api phoenix yang tiba-tiba muncul di mata Kiran.Selama dua tarikan napas, dia terdiam, seolah mencerna apa yang baru saja dilihatnya. “Ah, jadi begitu,” ujarnya akhirnya, suaranya rendah penuh makna.“Aku percaya kamu memiliki hubungan batin dengan Phoenix Api, tapi hal semacam itu belum bisa diungkapkan sekarang.”Ruangan seketika hening. Semua orang percaya pada kata-kata Lord Grogor, pemimpin Kota Elf Felarion yang telah hidup selama seribu lima ratus tahun.Kebijaksanaannya mendalam, dan tafsirannya jarang meleset.Meski usianya sudah sangat tua, penampilannya seperti pria berusia tiga puluh lima tahun—sebuah keajaiban yang membuat siapa pun terkesima.Kata-kata Elf tua ini yang menyebut Kiran memiliki hubungan dengan The Flame, makin membuat Emma dan Nethon makin percaya, tak ragu untuk menemani Kiran.Emma dan Nethon menepuk pundak Kiran, seolah ingin meyakinkan kalau perjuangan mereka tidak sia-sia. Jadi Kiran yang sejak semu
Tak ada yang perlu dijelaskan lagi. Dari kata-kata Lord Grogor, Kiran paham bahwa dialah yang dimaksud sebagai pengganti Sage Putih untuk perang yang akan datang. Perang yang akan menentukan nasib seluruh benua.“Aku mengerti,” jawab Kiran, suaranya tegas. Dia tak ingin berpura-pura lagi, meski beban di pundaknya terasa semakin berat.“Lalu apa rencanamu jika nanti sukses menemui penempa Kemrick?” tanya Lord Grogor, matanya menatap Kiran dengan intens, ia terlihat ingin melihat jauh ke dalam jiwanya.Kiran terdiam sejenak, merenung. Sejujurnya, dia belum memiliki rencana yang jelas. “Well...” gumamnya, mencoba mencari kata-kata. “Mungkin melarikan diri? Mengumpulkan kawan-kawan seperjuangan?” jawabnya asal, suaranya terdengar ragu.Lord Grogor tertawa, suaranya menggema di ruangan.“Menurut hematku, keterampilanmu dalam sihir dan pertempuran, meski hebat, tak ada artinya jika ingin melawan Penyihir Gelap, Kaisar Hersen. Kamu masih perlu berlatih lagi, Kiran. Kekuatanmu belum cukup. It
Hutan White Parrot, setelah kematian Kazam yang Agung..."Jangan bunuh aku, jangan akhiri hidupku..." Tiba-tiba, Imp bernama Burs, makhluk kecil yang ketakutan, langsung bersujud di kaki Kiran, memohon belas kasihan."Aku mendukungmu, Tuan muda, aku akan menjadi pelayanmu," Ucap Burs si Imp, suaranya gemetar, yang langsung mencium kaki Kiran, menunjukkan kesetiaan.Melihat hal ini, ekspresi Imp yang satunya, Kon, berubah jelek, menunjukkan rasa iri. Wajahnya menjadi ungu, pertanda marah, ekspresi yang tak menyenangkan."Burs! Kamu sungguh tak punya malu, kamu menjijikkan. Seharusnya aku yang bersujud di kaki Tuan muda ini, aku yang pertama. Kamu yang pada awalnya sangat keras, mencaci kelompok Tuan muda Kiran, kini sudah lebih dahulu mencari muka, kamu munafik!"Tak mau kalah dengan Burs, Kon si Imp yang satunya ikut-ikutan bersujud di kaki Kiran, menunjukkan kesetiaan. Anehnya, mereka berdua kini sikut menyikut, saling dorong, bersikap seolah-olah takut tak diangkat sebagai master o
Kazam berdiri, wajahnya memerah padam, dilanda amarah yang membara. Matanya menyipit, menatap tajam ke arah Emma yang baru saja menghajar dua Imp budaknya, sebuah tindakan yang tak terduga. Kedua makhluk kecil berwarna merah itu kini tergeletak di tanah, merintih kesakitan dengan suara melengking yang memekakkan telinga, sebuah pemandangan yang memuakkan."Beraninya kau menyentuh Burs dan Kon, beraninya kau melakukan itu!" desis Kazam, suaranya sarat akan kebencian, tangannya terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih, menunjukkan kemarahan yang memuncak."Tidak ada yang boleh menyentuh budak-budakku, tidak ada yang berani!"Burs, Imp yang lebih kecil dengan tanduk melengkung, perlahan bangkit, mencoba berdiri. Air mata buaya mengalir di pipinya yang merah, menunjukkan kepura-puraan. "Tuan Kazam... mereka menyerang kami tanpa alasan, mereka sangat kejam," rengeknya dengan suara yang dibuat-buat, mencoba mencari simpati. "Kami hanya bertanya arah, kami tidak melakukan apa-apa, ta
Dua hari telah berlalu sejak mereka meninggalkan Lembah Mystral, tempat yang menyimpan kenangan pahit. Perjalanan mereka kini membawa Kiran dan kelompoknya memasuki kedalaman Hutan White Parrot, sebuah hutan pinus abadi yang menjulang tinggi ke langit, sebuah tempat yang penuh misteri.Pohon-pohon pinus raksasa dengan batang keperakan, seperti pilar-pilar yang menjulang, berdiri kokoh, menciptakan kanopi tebal yang hampir tidak meneruskan cahaya matahari ke tanah hutan, memberikan kesan yang mencekam.Udara di Hutan White Parrot terasa berbeda, sebuah perbedaan yang jelas. Lebih dingin, lebih pekat, seolah diselimuti kabut tipis yang tak kasat mata, memberikan kesan yang aneh. Aroma getah pinus yang kuat, seperti wewangian yang khas, bercampur dengan bau tanah lembab dan jamur hutan, menciptakan wewangian khas yang memenuhi setiap tarikan napas, memberikan kesan yang unik."Hutan ini terasa aneh, ada sesuatu yang berbeda," gumam Emma, matanya waspada mengamati sekeliling, mencoba mema
Matahari perlahan tenggelam di ufuk barat, seperti bola api yang memudar, menyisakan semburat jingga kemerahan yang memudar dengan cepat di langit, memberikan kesan waktu yang berlalu.Perjalanan dari Puncak Rotos menuju Lembah Mystral memakan waktu enam jam yang melelahkan.Bayangan panjang kelompok itu terbentuk di tanah saat cahaya terakhir matahari menerangi punggung mereka, menciptakan siluet empat penunggang yang bergerak menuju Tenggara, menuju bahaya yang tersembunyi.Ketika akhirnya kegelapan malam menyelimuti langit, seperti selubung yang tak kasat mata, mereka telah mencapai pinggiran Lembah Mystral, tempat yang tak terlupakan. Bulan sabit menggantung di langit, memberikan penerangan samar, seperti mata yang mengawasi, yang memperlihatkan hamparan luas ladang gandum dan sorgum yang bergoyang pelan ditiup angin malam, memberikan kesan keindahan yang menenangkan."Kita sudah sampai, kita telah kembali," kata Kiran pelan, suaranya penuh makna, menarik tali kekang Gallileonnya
Angin dingin berhembus kencang di Puncak Gunung Rotos, membelai wajah mereka dengan sentuhan es. Awan-awan kelabu bergerak cepat di langit, seperti kawanan serigala yang berlari, seolah terburu-buru menghindari badai yang akan datang, memberikan kesan yang mencekam.Di gerbang Pintu menuju Kota Ironhold, di tepi tebing yang menjulang, Kiran, Emma, Pigenor, dan Chen berdiri menghadap tiga kurcaci yang telah menemani mereka selama beberapa hari terakhir, menjadi saksi perpisahan.Skarfum, Roric, dan Gladgrik—tiga kurcaci dengan perawakan dan karakter berbeda, namun dipersatukan oleh satu harapan: kesuksesan misi pencarian Orchid Altaalaite, permata yang akan mengubah segalanya."Perjalanan ke Tambang Tartaf tidak akan mudah, kalian harus bersiap," kata Gladgrik, suaranya berat dan serius, seperti gema di pegunungan. Janggut panjangnya bergerak tertiup angin, memberikan kesan kebijaksanaan."Kalian harus melewati Lembah Mystral lagi, tempat di mana Onimur dan Mandrazath menyerang kawan
Ketegangan perlahan mereda, seperti badai yang berlalu, meninggalkan langit yang lebih cerah. Emma menurunkan Pedang Air, senjata itu berubah menjadi butiran air yang jatuh ke lantai batu sebelum menghilang sepenuhnya, kembali ke wujud aslinya.Matanya masih menyiratkan kemarahan, namun kata-kata Kiran, yang penuh kebijaksanaan, telah menyadarkannya, menghentikan amarahnya."Bicaralah," kata Kiran kepada Roric, suaranya masih tegang, namun lebih terkendali, mencoba menenangkan diri. "Apa tujuanmu datang kemari, apa yang kau inginkan?"Roric menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri setelah nyaris kehilangan nyawa, sebuah pengalaman yang mengerikan. Ia melangkah masuk ke dalam ruangan dengan hati-hati, masih waspada terhadap Emma yang menatapnya tajam, penuh curiga."Aku datang dengan berita," ujar Roric, suaranya serius, "dan sebuah tawaran, sebuah kesempatan."Pigenor mengangkat alis, menunjukkan rasa ingin tahunya, tertarik dengan apa yang akan dikatakan Roric. "Berita ap
Malam semakin larut di Kota Ironhold, kegelapan merangkul lorong-lorong batu yang kokoh. Obor-obor di sepanjang jalan, yang biasanya menyala terang, kini mulai meredup, seolah ikut merasakan kesedihan yang mendalam. Kiran, Emma, Chen, dan Pigenor berjalan dalam diam, langkah mereka berat dan penuh kesedihan, melewati jalan-jalan yang kini sepi setelah upacara pemakaman yang menyayat hati di kedalaman Sungai Gibna, tersembunyi di perut bumi, tempat peristirahatan terakhir.Mereka tiba di penginapan, tempat mereka biasa berbagi tawa dan cerita. Ruangan itu terasa lebih luas sekarang, lebih kosong, tanpa kehadiran Nethon dan Malven, dua sahabat yang telah pergi. Dua tempat tidur di sudut ruangan masih rapi, selimutnya terlipat sempurna, seolah menunggu pemiliknya kembali, sebuah pengingat yang menyakitkan.Emma duduk di tepi tempat tidurnya, menatap kosong ke arah lantai batu yang dingin, pikirannya melayang jauh. Chen berdiri di dekat dinding, tubuhnya tegak namun pikirannya masih m
Tubuh Nethon terbaring di perahu pertama, dibalut jubah sutra biru tua, warna kebanggaan para penyihir api, simbol kekuatan dan semangat. Cambuk sihirnya diletakkan di atas dadanya, siap menemaninya dalam perjalanan terakhir, menjadi teman setia. Wajahnya yang tenang seolah hanya tertidur, menunggu untuk terbangun di dunia yang lebih baik, di tempat yang lebih damai.Di perahu kedua, tubuh Malven dibaringkan dengan khidmat, penuh penghormatan. Busur dan anak panahnya tersusun rapi di sampingnya, simbol keahlian dan ketangkasan. Rambut pirang keemasannya yang panjang dihiasi dengan daun-daun perak, simbol kehormatan tertinggi bagi kaum Elf, menunjukkan keagungannya. Bahkan dalam kematian, keanggunan seorang Elf tetap terpancar dari sosoknya, keindahan yang tak lekang oleh waktu.Emma berdiri di tepi sungai, tangannya menggenggam sebuah lampion kecil berbentuk bunga teratai, simbol harapan dan cinta. Air matanya jatuh ke permukaan air, seolah menciptakan riak-riak kecil yang berkilaua
Denting logam yang biasanya memenuhi Kota Ironhold, irama palu yang tak kenal lelah, kini digantikan oleh bisikan-bisikan penuh kecemasan, seperti air yang mengalir di antara bebatuan. Lorong-lorong batu yang biasanya ramai oleh aktivitas para kurcaci penempa, suara langkah kaki yang berderap, kini dipenuhi kerumunan yang berbisik-bisik, menatap rombongan yang baru tiba dengan tatapan iba, penuh duka.Kiran berjalan dengan langkah berat, setiap pijakan terasa seperti beban yang tak terhingga. Wajahnya pucat pasi, kehilangan semua warna kehidupan. Matanya merah dan bengkak, bukti tangis yang tak henti-hentinya. Di belakangnya, beberapa kurcaci yang kuat dan tegap membawa dua tandu yang ditutupi kain putih, sebuah pemandangan yang memilukan."Beri jalan! Beri jalan!" teriak Skarfum, suaranya yang biasanya lantang kini terdengar berat dan penuh kesedihan. Ia telah bertemu rombongan itu di pintu gerbang, dan kini memimpin mereka melewati kerumunan kurcaci yang semakin bertambah, sepert