Begitu aba-aba diteriakkan, semua Elf langsung membanjiri lapangan. Nyala api unggun yang tinggi dan panas menambah semangat mereka untuk berdansa. Suara tawa, bercampur musik biola yang riang memenuhi udara, menciptakan atmosfer yang hidup dan magis.“Ingin berdansa denganku?” suara lembut seElf gadis kecil menyapa Kiran.Kiran menoleh dan melihat seElf gadis Elf berusia sekitar tiga belas tahun. Meski terlihat muda, kecantikannya mencolok.Dia mengenakan gaun bordir dengan motif bunga dan daun tropis yang rumit. Di kepalanya, mahkota bunga hutan berwarna biru menambah kesan menawan.Kiran tersenyum lembut. “Baiklah, adik kecil. Siapa namamu?” tanyanya dengan nada serius.“Aku Nuela. Ngomong-ngomong, usiaku dua puluh lima tahun. Berapa usiamu?” jawab Nuela sambil menaruh tangan kanannya di bahu Kiran, siuap memulai dansa.“Apa?”Kiran mengejang. “Dua puluh lima tahun?” hatinya berdesir. Gadis kecil ini bahkan lebih tua darinya. Dan dia dengan santainya memanggilnya “adik”?Kiran hany
Sementara itu, jauh dari Hutan Luthion—tempat para Elf mendiami Kota Elf Felarion—di sebuah wilayah bersuhu beku, suara keras menggema memanggil.Udara terasa menusuk, membekukan setiap napas yang keluar dari mulut.“Onimur, pengendali arwah. Datang menghadap Warlock Hitam!” Suara itu bergemuruh, merobek keheningan dataran es yang membeku, menembus kabut gelap yang menyelimuti.Suara tersebut berasal dari sebuah kastil kuno yang megah, menjulang tinggi ke langit. Kastil itu berdiri di atas bukit es yang terjal, dindingnya dipenuhi oleh es yang mengkilap dan retakan misterius.Itulah Istana Kaisar Hersen, tempat bersemayam Sang Warlock Hitam yang Agung, Oberon Kravit. Cahaya redup dari jendela-jendela kastil menciptakan bayangan menyeramkan di atas es.Di bawah kastil, terdapat sebuah kota yang dihuni manusia dan makhluk-makhluk jahat seperti Imp dan Foliot.Kota itu bernama Oros, ibukota Kekaisaran Hersen. Jalan-jalannya dipenuhi oleh bangunan tua yang hampir runtuh, dengan atap-atap
Sudah tujuh hari tujuh malam, kelompok lima itu menembus hutan. Kabut tebal masih menyelimuti pepohonan, dan udara terasa lembab serta dingin. Namun, tak ada serangan yang menghadang, baik dari makhluk gaib penghuni hutan, maupun pasukan Qingchang—para penunggang Galileon yang ditakuti.Keheningan hutan seolah menipu, membuat Nethon, yang selama ini selalu tampak khawatir, akhirnya mengeluarkan komentar. “Jika perjalanan tetap aman seperti ini, kita akan tiba di Gunung Rotos lebih cepat dari jadwal!” ujarnya, mencoba mencairkan ketegangan yang terasa di antara mereka.Pigenor menoleh, matanya yang tajam menatap Nethon dengan tatapan dingin.“Jangan terlalu berlega hati, anak muda,” ucapnya, suaranya rendah namun penuh peringatan. “Kita baru memasuki Hutan Yarcam, wilayah perbatasan Tengzhi dengan Chosa!”Justru sekaranglah saatnya kau meningkatkan kewaspadaan. Wilayah ini dikenal sebagai tempat yang berbahaya, bahkan bagi mereka yang sudah berpengalaman.”Nethon mendengus dingin, tida
Di depan mata mereka, dua kelompok pasukan saling baku hantam. Dari pakaian dan baju zirah yang mereka kenakan, Kiran menebak bahwa ini adalah pertempuran antara Tentara Aliansi Qingchang - Hersen melawan pasukan Chosa.Sekitar seribu tentara Aliansi beradu pedang dengan seribu pasukan Zolia. Sementara itu, dari balik bukit kecil di sisi Timur, pasukan Chosa melepaskan hujan anak panah. Setiap anak panah itu menyala dengan api, mengaum saat melesat di udara.“Panah sihir!” gumam Kiran pelan, matanya menyipit. “Sepertinya Aliansi tidak akan bertahan lama. Pasukan Chosa dengan peralatan tempur mereka yang canggih akan menang.”Kata-kata Kiran tidak ditanggapi. Semua orang tercekam, menyaksikan kecanggihan alat perang Chosa. Bukan hanya panah sihir, pasukan Chosa juga melepaskan tembakan dari senjata api berbahan mesiu. Suaranya bergemuruh, seperti mesin perang semi-modern yang mengancam.Dalam sekejap, pasukan Aliansi kocar-kacir.Bahkan kapal roh milik Qingchang yang melayang di udara
“Chen!” teriak Kiran, suaranya menggelegar di tengah hiruk-pikuk medan perang. Tanpa peduli hujan anak panah sihir yang melesat atau dentuman senjata semi-modern yang meluluhlantakkan segala sesuatu di sekitarnya, Kiran melompat.WUSSH!Dengan gerakan gesit, Kiran melompati batu tinggi tempat mereka bersembunyi. Keempat kawannya hanya bisa melongo, menyaksikan Kiran melompat batu setinggi tiga meter dengan mudah, seperti seorang ahli.Meskipun kekuatan sihirnya terblokir oleh kalung kutukan, kemampuan fisik dan keterampilan tempurnya masih utuh. Skill Evasion—kelincahan yang telah ia latih sejak di akademi sihir — muncul seolah terbangunkan oleh naluri menyelamatkan Chen, sahabatnya sejak masa kecil di Institut Sihir Kota Shanggu.Kiran, Lila, Chen, dan Kenji adalah empat sahabat yang tak terpisahkan. Persahabatan mereka terjalin erat, seperti keluarga sendiri. Mereka pernah menghabiskan hari-hari panjang bersama, berlatih sihir, dan berbagi mimpi di bawah langit Kota Shanggu.Itulah
Kiran dan kawan-kawannya menghilang dari arena perang dengan bantuan amulet sihir Elf yang dibawa Pigenor. Amulet itu berkilauan dengan cahaya kebiruan, memancarkan energi magis yang terasa hangat saat Pigenor melemparkannya ke udara.Seketika, portal sihir terbuka dengan suara gemuruh yang memecah udara. Cahaya putih kebiruan menyilaukan mata mereka saat mereka melangkah masuk ke dalam portal.Ruang dan waktu seolah terdistorsi, dan dalam sekejap, mereka muncul dua puluh kilometer dari arena perang.Udara di sekitar mereka terasa lebih dingin, dan keheningan hutan menggantikan kekacauan medan pertempuran.“Ayo, kita cari tempat untuk bersembunyi!” seru Pigenor, wajahnya tegang. “Meskipun kita jauh dari arena perang, bukan mustahil jika sihir pelacak lawan masih bisa mengidentifikasi ledakan portal tadi, lalu musuh akan mengejar kita.”Emma dan Nethon segera membuka selembar kertas besar yang mereka ambil dari dalam tas penyimpanan. Peta itu terlihat tua, dengan garis-garis yang sudah
Kiran berhenti mengikuti instruksi penjaga kota. Namun, dia tetap menunduk, dengan hoodie yang menutupi sebagian wajahnya, mencoba menyembunyikan identitasnya sebaik mungkin.Suaranya terdengar rendah, hampir tertelan oleh kain hoodie yang berkibar mengikuti angin, menutupi mulutnya.Sejak melihat gerbang Kota Tengzhi dari jauh, bukan hanya Kiran dan kawan-kawannya yang menyamarkan diri dengan jubah berhoodie ala pengelana.Chen, yang sekarat di punggung Kiran, juga disamarkan dengan hoodie untuk menghindari kecurigaan. Saat ini, napas Chen terasa lemah, dan Kiran bisa merasakan betapa panas tubuh sahabatnya itu.“Tuan-tuan, ada yang ingin ditanyakan?” tanyanya, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang meski jantungnya berdebar kencang. Udara dingin malam menusuk kulitnya, dan bayangan kegelapan di sekitar gerbang kota menambah ketegangan.TSING!Suara gemerincing tombak terdengar ketika salah satu penjaga menunjuk ke arah sosok Chen yang digendong di punggung Kiran.“Tunjukkan apa
Namun, keterkejutan itu hanya sebentar menyelimuti hati Kiran. Terbiasa dengan kejutan demi kejutan dalam perjalanan mereka, dia langsung bergegas ke meja administrasi yang juga berfungsi sebagai bar.Kiran merasa sedikit cemas, mengingat kondisi Chen yang semakin lemah di punggungnya.Di sana, seorang pria berusia sekitar empat puluh lima tahun sedang sibuk bekerja. Dia berjanggut tebal, mengenakan busana musim semi dengan lengan baju tergulung hingga siku. Keringat menetes di keningnya, bertolak belakang dengan udara dingin di luar.Pria itu tampak sangat fokus, tangannya bergerak cepat menyiapkan minuman dengan keterampilan yang luar biasa. Beberapa minuman yang dia buat berwarna menakjubkan, seperti biru laut dan hijau zamrud.Jika tidak melihat sendiri, seseorang mungkin mengira minuman itu dibuat dengan sihir.“Tuan, ada kamar kosong? Kami butuh setidaknya empat kamar,” ujar Kiran. Dia menghitung: Emma harus mendapat kamar sendiri karena dia perempuan, dan Chen yang sedang sakit
Mereka mengisi perbekalan di pasar pagi—roti gandum yang akan tahan beberapa hari, keju keras yang dibungkus dalam daun, buah kering dan kacang-kacangan untuk energi, dan air segar dalam kantong kulit—sebelum meninggalkan kota melalui gerbang utara.Jalan setapak yang mereka ikuti kini lebih lebar dan lebih ramai, dengan beberapa pedagang dan penjelajah yang juga menuju ke arah yang sama."Kota berikutnya adalah Marakand," kata Kiran, mengingat peta yang diberikan Surya. Ia membayangkan garis-garis dan simbol di perkamen tua itu."Kota Seribu Kubah. Kita mungkin bisa mencapai perbatasannya dalam tiga hari jika kita berjalan dengan baik."Perjalanan mereka relatif tenang dan tanpa insiden. Mereka berjalan saat matahari bersinar dan beristirahat di malam hari, terkadang bergabung dengan kelompok pedagang untuk keamanan tambahan.Kon dan Burs semakin terbiasa dengan wujud manusia mereka, meskipun Burs masih sering mengeluh tentang betapa lambatnya berjalan dibandingkan terbang dan bagaim
"Kami hanya kaum kelana yang kebetulan lewat," jawab Kiran sopan, menundukkan kepalanya sedikit sebagai tanda hormat."Kami dalam perjalanan ke Zahranar. Bermaksud mengisi perbekalan dan melanjutkan perjalanan besok pagi."Penjaga itu mengangguk, tampak puas dengan jawaban yang jujur."Festival Gandum Emas sedang berlangsung. Kota penuh dengan pengunjung dari seluruh Zolia dan bahkan dari luar kerajaan. Kalian mungkin kesulitan mencari penginapan.""Terima kasih atas informasinya," kata Kiran. "Kami akan mencoba peruntungan kami."Penjaga itu memberi isyarat dengan tombaknya agar mereka lewat. Kiran, Kon, dan Burs melangkah memasuki Samarkhal, segera disambut oleh hiruk-pikuk kota yang sedang berpesta.Jalanan Samarkhal dipenuhi dengan orang-orang yang berpakaian cerah, bernyanyi dan menari dalam lingkaran-lingkaran besar. Musik dari seruling, tambur, dan alat musik senar yang tidak Kiran kenali mengalun di setiap sudut, menciptakan atmosfer pesta yang meriah.Spanduk-spanduk berwarna
Matahari bersinar terik di atas padang rumput luas yang membentang hingga kaki langit, menciptakan gelombang panas yang menari-nari di atas tanah.Kiran berjalan dengan langkah mantap, menyusuri jalan setapak yang telah dilewati ribuan kaki pedagang dan penjelajah selama berabad-abad. Jalur Kafilah—rute kuno yang menghubungkan kota-kota besar Zolia—terbentang di hadapannya seperti ular raksasa yang meliuk di antara bukit-bukit hijau.Jubah linen tipis berwarna cokelat tanah menutupi tubuhnya, dengan tudung yang ditarik rendah menutupi sebagian wajahnya untuk melindungi dari terik matahari dan tatapan penasaran.Crimson Dawn—pedang legendaris dengan bilah merah darah yang konon ditempa dari logam bintang jatuh — tersembunyi dengan baik di dalam tas punggungnya, terbungkus kain tebal yang dilapisi rune-rune peredam energi agar aura sihirnya tidak menarik perhatian penyihir atau pemburu bounty yang mungkin berkeliaran."Tuan, apakah masih jauh?" tanya seorang anak laki-laki berusia sekit
Matahari pagi bersinar hangat menyinari Desa Chandrapur.Kiran duduk di beranda rumah keluarga Rajagopal, menikmati secangkir teh rempah yang disajikan Nyonya Ranya. Pikirannya masih dipenuhi oleh pengalaman mistisnya di kuil semalam—pertemuan dengan Dewa Hiranyakashipu yang entah nyata atau hanya halusinasi akibat bunga popy."Dengarkan angin yang berbisik di antara daun-daun tertua," gumam Kiran, mengulang teka-teki yang diberikan oleh dewa itu."Ikuti aliran sungai yang tidak pernah mengalir ke laut..."Tiba-tiba..."Kau mengatakan sesuatu, anak muda?" tanya Surya Rajagopal, bergabung dengan Kiran di beranda.Hanya terkejut sesaat, Kiran menggeleng pelan."Hanya memikirkan perjalananku selanjutnya," jawabnya. Ia meletakkan cangkir tehnya dan menatap Surya dengan tenang."Aku sudah memuuskan. Harus pergi ke ibukota—ke Zahranar. Aku perlu mencari informasi lebih banyak tentang Suku Devahari," kata Kiran, menggambarkan sesuatu yang mendesak.Surya Rajagopal mengangguk pelan. Ada kilat
Kiran setelah menenggak ekstrak bunga popy...Kuil di sekitarnya mulai berubah. Dinding-dinding batu seolah meleleh dan berubah menjadi cahaya keemasan yang berpendar lembut. Lantai di bawah kakinya tidak lagi terasa keras, melainkan seperti awan yang lembut.Patung Hiranyakashipu di hadapannya tampak berkilau dengan cahaya dari dalam, mata permatanya berkedip-kedip seperti bintang.Kiran merasakan tubuhnya melayang, terlepas dari gravitasi. Ia tidak lagi berada di kuil, melainkan di sebuah ruang tak terbatas yang dipenuhi cahaya keemasan dan ungu.Tidak ada langit, tidak ada tanah—hanya keindahan murni yang tak terlukiskan. Bunga-bunga berwarna-warni melayang di sekitarnya, memancarkan aroma yang memabukkan. Musik lembut terdengar dari segala arah, seperti ribuan harpa yang dimainkan oleh tangan-tangan tak terlihat."Apakah ini... nirwana?" bisik Kiran, terpesona oleh keindahan di sekelilingnya."Bukan nirwana, anak muda," jawab sebuah suara yang dalam dan bergema. "Hanya sebuah ruan
Kiran menunggu hingga tengah malam, ketika seluruh desa telah terlelap.Suara-suara malam—jangkrik, burung hantu, dan angin yang berdesir di antara pepohonan—menjadi satu-satunya pengiring langkahnya. Dengan hati-hati, ia menyelinap keluar dari rumah Rajagopal, membawa cairan ekstrak bunga popy dalam botol kecil yang ia temukan di dapur.Kon dan Burs mengikutinya, terbang rendah dan bersembunyi di balik bayangan.Kuil Hiranyakashipu tampak berbeda di malam hari—lebih misterius dan sedikit mengintimidasi. Bangunan batu itu seolah menyerap cahaya bulan, menciptakan siluet gelap yang menjulang di tengah desa.Cahaya bulan menyinari ukiran-ukiran di dindingnya, menciptakan bayangan-bayangan aneh yang seolah bergerak dan menari. Beberapa pendeta masih terlihat berjaga di sekitar kuil, melakukan ritual malam mereka dengan lilin-lilin dan dupa yang menyala redup."Bagaimana kita bisa masuk tanpa terlihat?" bisik Burs, mengamati para pendeta dari kejauhan. Matanya yang tajam menghitung jumlah
Kiran menatap bunga yang cantik, secantik namanya... “Popy”Dengan hati-hati, ia memetik beberapa kuntum bunga popy yang paling mekar, memilih dari berbagai warna—merah darah yang menyala seperti api, ungu kebiruan yang dalam seperti langit senja, dan putih murni bagai salju pertama.Kelopak-kelopak tipis itu terasa lembut di antara jemarinya, namun ia bisa merasakan getaran aneh—hampir seperti denyut kehidupan—dari bunga-bunga tersebut. Ia memasukkan bunga-bunga itu ke dalam kantong kecil di balik jubahnya, memastikan tidak ada yang melihat tindakannya."Tuan, apa yang kau lakukan?" bisik Kon, mengintip dari tas Kiran dengan mata besarnya yang berkilau cemas. "Bukankah mereka bilang bunga itu berbahaya?""Kadang-kadang kita perlu mengambil risiko untuk mendapatkan jawaban," jawab Kiran pelan, matanya terus mengawasi keadaan sekitar."Jika bunga ini bisa membantuku berkomunikasi dengan dewa mereka, mungkin aku bisa mendapatkan petunjuk tentang Suku Devahari.""Tapi bagaimana cara meng
Setelah berpikir kira-kira lima tarikan nafas... "Suku Devahari adalah legenda kuno," jawab Surya setelah jeda yang cukup panjang itu. Suaranya berubah lebih dalam."Konon, mereka adalah suku pertama yang mendiami Zolia, jauh sebelum Kekaisaran terbentuk. Mereka dikatakan memiliki hubungan khusus dengan para dewa, mampu melakukan sihir yang tidak bisa dilakukan oleh manusia biasa.""Mereka bisa memanipulasi elemen," tambah Ranya, matanya berkilat penuh keingintahuan."Air, api, tanah, udara—semua tunduk pada kehendak mereka. Beberapa cerita bahkan menyebutkan mereka bisa berbicara dengan hewan dan tumbuhan."Keheningan..."Tapi itu hanya cerita untuk anak-anak sekarang," lanjut Surya, suaranya sedikit lebih pelan."Tidak ada yang pernah bertemu dengan anggota Suku Devahari dalam beberapa generasi terakhir. Banyak yang percaya mereka telah punah, atau mungkin hanya mitos belaka."Kiran merasakan kekecewaan menyelimuti hatinya.Jika bahkan penduduk Zolia sendiri menganggap Suku Devahari
Matahari siang bersinar terang di atas Kuil Hiranyakashipu, sinarnya menembus kaca-kaca berwarna pada jendela tinggi kuil, menciptakan pola-pola mistis di lantai marmer yang dingin.Kiran masih berlutut di depan altar, matanya tak lepas dari patung dewa yang baru saja berkedip padanya. Jantungnya berdegup kencang, campuran antara takjub dan kebingungan."Tuan Rajagopal... Apa anda melihatnya?" bisik Kiran kepada Surya yang berlutut di sampingnya. Suaranya hampir tak terdengar di tengah gumaman doa para penduduk desa."Melihat apa?" tanya Surya, menoleh dengan alis terangkat. Cahaya lilin menyinari wajahnya yang kebingungan."Patung itu..." Kiran menunjuk ke arah patung Hiranyakashipu yang menjulang—sosok dengan empat tangan yang masing-masing memegang simbol kekuasaan berbeda."Matanya berkedip padaku."Surya menatap Kiran dengan pandangan heran, kemudian tertawa kecil."Ah, mungkin itu hanya pantulan cahaya matahari dari jendela kuil, anak muda. Atau mungkin kau terlalu lelah setela