"Kami hanya kaum kelana yang kebetulan lewat," jawab Kiran sopan, menundukkan kepalanya sedikit sebagai tanda hormat."Kami dalam perjalanan ke Zahranar. Bermaksud mengisi perbekalan dan melanjutkan perjalanan besok pagi."Penjaga itu mengangguk, tampak puas dengan jawaban yang jujur."Festival Gandum Emas sedang berlangsung. Kota penuh dengan pengunjung dari seluruh Zolia dan bahkan dari luar kerajaan. Kalian mungkin kesulitan mencari penginapan.""Terima kasih atas informasinya," kata Kiran. "Kami akan mencoba peruntungan kami."Penjaga itu memberi isyarat dengan tombaknya agar mereka lewat. Kiran, Kon, dan Burs melangkah memasuki Samarkhal, segera disambut oleh hiruk-pikuk kota yang sedang berpesta.Jalanan Samarkhal dipenuhi dengan orang-orang yang berpakaian cerah, bernyanyi dan menari dalam lingkaran-lingkaran besar. Musik dari seruling, tambur, dan alat musik senar yang tidak Kiran kenali mengalun di setiap sudut, menciptakan atmosfer pesta yang meriah.Spanduk-spanduk berwarna
Mereka mengisi perbekalan di pasar pagi—roti gandum yang akan tahan beberapa hari, keju keras yang dibungkus dalam daun, buah kering dan kacang-kacangan untuk energi, dan air segar dalam kantong kulit—sebelum meninggalkan kota melalui gerbang utara.Jalan setapak yang mereka ikuti kini lebih lebar dan lebih ramai, dengan beberapa pedagang dan penjelajah yang juga menuju ke arah yang sama."Kota berikutnya adalah Marakand," kata Kiran, mengingat peta yang diberikan Surya. Ia membayangkan garis-garis dan simbol di perkamen tua itu."Kota Seribu Kubah. Kita mungkin bisa mencapai perbatasannya dalam tiga hari jika kita berjalan dengan baik."Perjalanan mereka relatif tenang dan tanpa insiden. Mereka berjalan saat matahari bersinar dan beristirahat di malam hari, terkadang bergabung dengan kelompok pedagang untuk keamanan tambahan.Kon dan Burs semakin terbiasa dengan wujud manusia mereka, meskipun Burs masih sering mengeluh tentang betapa lambatnya berjalan dibandingkan terbang dan bagaim
Matahari memantulkan cahaya tanpa ampun di lembah berbatu sempit itu, menciptakan bayangan tajam yang menggeliat di permukaan karang.Dua puluh bandit Zolia mengepung Kiran, Kon, dan Burs dalam formasi yang semakin menyempit, pedang-pedang bengkok mereka berkilauan mengerikan setiap kali tertimpa cahaya.Pemimpin bandit, seorang pria dengan bekas luka melintang di pipi kanannya, maju selangkah. Jubah kulitnya yang compang-camping menandakan bertahun-tahun hidup keras di bawah terik matahari padang pasir."Aku tidak akan mengulang perintahku," geramnya, suaranya serak dan penuh ancaman. "Serahkan semua hartamu, atau kau akan menyesal sampai saat-saat terakhir hidupmu."Kiran berdiri tegak, posturnya menunjukkan ketenangan yang ganjil untuk seseorang yang terkepung. Matanya yang tajam bergerak dari satu bandit ke bandit lainnya, mengkalkulasi jarak, senjata, dan postur tubuh mereka."Kami hanya membawa sedikit makanan dan beberapa koin," kata Kiran, suaranya tenang namun tegas. "Ambilla
Kiran berdiri diantara sosok penyamun yang kesakitan, tiada tara..."Bagaimana rasanya?" tanya Kiran, suaranya hampir berbisik namun entah bagaimana terdengar jelas di tengah teriakan-teriakan kesakitan. "Bagaimana rasanya tidak berdaya menghadapi sesuatu yang tidak bisa kau lawan?"Kon dan Burs menatap pemandangan itu dengan campuran kekaguman dan ketakutan yang tidak bisa disembunyikan. Mereka telah menyaksikan Kiran bertarung sebelumnya—melihatnya memanggil api Phoenix yang membakar musuh-musuhnya menjadi abu, atau menggunakan Crimson Dawn yang membelah baja seolah itu hanya kain sutra. Tapi ini—sihir ilusi yang menciptakan rasa sakit tanpa meninggalkan bekas fisik—adalah manifestasi kekuatan yang jauh lebih mengerikan. Lebih halus, namun pada saat yang sama, jauh lebih kejam."Tuan," bisik Burs akhirnya, suaranya bergetar. Ia memberanikan diri menyentuh lengan Kiran. "Mereka... mereka sudah cukup menderita."Kiran tidak langsung merespon. Matanya masih terfokus pada para bandit ya
Gerbang ZahranarGerbang Zahranar menjulang tinggi, dibangun dari batu marmer putih yang berkilau keperakan di bawah sinar matahari. Ukiran-ukiran rumit menghiasi setiap sentinya, menggambarkan sejarah kuno Kekaisaran Zolia—pertempuran epik, perjanjian damai, dan ritual sihir kuno yang telah lama terlupakan.Simbol-simbol arkais dan rune-rune sihir tersembunyi di antara relief, memancarkan aura magis yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang memiliki kepekaan terhadap energi spiritual.Di bawah lengkungan tembok kota yang megah, ada lebih dari lima ratus orang berbaris dalam antrean panjang yang meliuk seperti naga raksasa yang sedang tertidur. Udara dipenuhi dengan aroma beragam—rempah-rempah eksotis dari pedagang dengan gerobak penuh barang dagangan, aroma dupa yang dibawa peziarah berjubah sederhana, dan wewangian mahal yang menguar dari bangsawan dengan tandu mewah berukir. Semua berbaur dalam ketidaknyamanan yang sama, menunggu giliran diperiksa dalam panas terik yang menyenga
Dengan gerakan halus yang hampir tak terlihat — hanya jari-jarinya yang bergerak dalam pola rumit di balik jubah — Kiran mulai melafalkan mantra ilusi tingkat tinggi dalam bahasa kuno. Kata-kata magis mengalir dari bibirnya seperti melodi lembut, hampir tak terdengar namun menggetarkan udara di sekitarnya. Kiran memusatkan energi spiritualnya, merasakan aliran reiki yang berputar di dalam meridiannya, bersinar keemasan dalam pandangan mata batinnya, sebelum kemudian menyebar ke luar, menyelimuti dirinya, Kon, dan Burs dalam lapisan tipis energi tak kasat mata."Lumiiseo Aviectum Mortalis," bisik Kiran, menambahkan kata terakhir untuk memperkuat mantra. Seketika, perubahan halus mulai terjadi pada penampilan mereka, menyebar seperti riak air di kolam yang tenang.Wajah Kiran yang khas dengan mata tajam seperti serigala dan tulang pipi tinggi berubah menjadi wajah pria biasa dengan fitur-fitur yang mudah dilupakan— tipe wajah yang akan terlewatkan dalam kerumunan dan terlupakan seger
*Bab Ekstra, karena gem bertambah diatas 5 gem. Terima kasih pembaca.Akhirnya, giliran mereka tiba. Kiran melangkah maju dengan sikap seorang petani sederhana, sedikit membungkuk dan menghindari kontak mata langsung—sikap yang umum di kalangan rakyat biasa saat berhadapan dengan otoritas. Ia bisa merasakan sihir ilusinya bergetar halus di sekitar tubuhnya, seperti lapisan tipis air yang berusaha mempertahankan bentuknya di telapak tangan."Nama dan tujuan," perintah seorang prajurit dengan suara datar, tombaknya mengetuk tanah sekali — sesekali mengirimkan getaran magis kecil yang bisa Kiran rasakan merambat melalui kakinya."Rajan dari Desa Rohini," jawab Kiran dengan suara yang ia buat lebih berat dan kasar, sempurna meniru aksen pedesaan Wilayah Timur Zolia.Tatapan prajurit manatap dengan sorot menusuk, membuat Kiran memperjelas..."Er... Aku membawa keponakan-keponakanku untuk melihat festival musim semi. Anak-anak ini belum pernah melihat sirkus Arvandis sebelumnya."Kapten B
Kiran menepis tangan Imp yang mencoba mentransfer energi spiritualnya..."Aku... baik-baik saja," katanya. Padahal.. wajahnya pucat pasi seperti kertas dan bibir bawahnya mulai berdarah karena terlalu keras ia gigit untuk menahan sakit. "Well.. mungkin aku hanya... butuh istirahat."Burs melihat sekeliling dengan cemas, matanya yang besar berkilat dengan kekhawatiran. "Kita harus menemukan tempat untuk beristirahat. Tuan membutuhkan meditasi - metode Xiulian untuk memulihkan energi spiritualnya. Jika tidak... ilusi ini tidak akan bertahan sampai fajar."Apa yang tidak dikatakan Burs adalah bahwa jika ilusi itu lenyap, identitas asli mereka akan terungkap. Kiran adalah penyihir api buronan dari Qingchang. Kon dan Burs, dua Impnyam mereka akan menerima hukuman mati jika tertangkap.Saat itu juga.. Mereka berjalan dengan susah payah menyusuri jalanan Zahranar yang ramai. Beruntungnya kehadiran mereka dengan mudah tenggelam di antara kerumunan pengunjung festival. Ibukota Zolia ini me
"Siken," kata Sang Warlock, suaranya bergema di ruangan batu yang dingin, "Klan Phoenix Merah telah muncul kembali.""Mereka bersembunyi di Zolia seperti tikus di balik dinding. Aku ingin kau pergi ke sana, temukan mereka, dan hancurkan mereka. Tidak boleh ada yang tersisa—bahkan debu pun tidak."Siken mengangkat wajahnya, senyum dingin menghiasi bibirnya yang pucat seperti bulan di malam tanpa bintang. Mata birunya yang sedingin es lautan utara menatap tajam."Dengan senang hati, Tuanku. Apakah ada petunjuk khusus tentang mereka?" tanyanya, jari-jarinya yang panjang dan pucat memainkan belati perak di pinggangnya."Mereka memiliki Kyuubi berekor sembilan," jawab Sang Warlock. Keheningan mencekam melanda ruangan, seolah-olah suara Sang Warlock berasal dari dimensi lain yang menerobos masuk ke dunia fana. Bara api di obor-obor dinding bergoyang tanpa angin, seakan-akan takut."Dan kemungkinan besar, pemimpin mereka adalah penerus Sage Alaric. Dia adalah seorang pemuda bernama Kiran
Kaisar Darius mengangkat tangannya, menghentikan kata-kata Kapten Bao. Ia tidak perlu mendengar kelanjutannya. Semua orang tahu apa yang terjadi pada kerajaan-kerajaan yang berani menentang atau mengecewakan Warlock Hitam Oberon Kravit—kehancuran total."Kita harus menemukan mereka sebelum Kaisar Oberon mengirim pasukannya ke sini," kata Kaisar Darius akhirnya, suaranya tegas dan matanya menyiratkan kekhawatiran. "Kerahkan seluruh pasukan, sisir setiap sudut Zahranar. Temukan penyusup itu dan jaringan Klan Phoenix Merah yang mungkin bersembunyi di kota ini," Titah Kaisar Darius penuh otoritas."Baik, Yang Mulia," jawab Kapten Bao, bangkit dari posisi berlututnya. "Saya akan memimpin pencarian sendiri.""Dan Lyra," Kaisar Darius berpaling pada penyihir wanita itu, "hubungi Klan Zorya. Minta bantuan mereka untuk mendeteksi keberadaan penyihir asing di kota kita."Lyra mengangguk, wajahnya serius. Dia bersyukur tidak di jatuhi hukuman oleh kaisar."Saya akan melakukannya segera, Yang
Kabut asap melayang-layang di lorong sempit Zahranar seperti hantu-hantu kelabu yang enggan pergi. Rembulan telah mencapai puncak langit, menyinari jalanan kota dengan cahaya perak yang dingin. Suara derap kaki prajurit dan teriakan perintah masih bergema di kejauhan, namun kini terdengar lebih lemah, lebih putus asa.Di lorong tempat Kiran dan Roneko menghilang, sekelompok prajurit masih mengaduk-aduk setiap sudut, menyibak tumpukan sampah dan mengetuk dinding-dinding batu, mencari jalan rahasia yang mungkin terlewatkan.Wajah mereka kusut oleh kelelahan dan keringat, mata mereka nyalang oleh ketakutan akan kegagalan.Kapten Bao berdiri di tengah lorong, tubuhnya kaku oleh amarah yang nyaris tak terbendung. Darah telah mengering di pelipisnya, membentuk garis kecokelatan yang kontras dengan kulitnya yang pucat. Matanya yang tajam menyapu setiap inci lorong, mencari petunjuk sekecil apapun."Tidak mungkin mereka menghilang begitu saja!" geramnya, suaranya rendah dan berbahaya sepert
Detak jantung Kiran bergema di telinganya seperti genderang perang kuno, sementara keringat dingin merayapi punggungnya bagai jemari es yang mengancam.Perpustakaan Nasional Zolia—tempat yang seharusnya menjadi kuil pengetahuan dan ketenangan—kini berubah menjadi arena pertarungan yang mematikan.Cahaya ungu dari tongkat Lyra menyinari wajah Kiran, menciptakan bayangan-bayangan aneh yang menari di pipinya. Ilusi yang menutupi identitas aslinya berkedip-kedip seperti lilin di tengah badai, hampir padam di bawah tekanan sihir pengungkap kebenaran."Aku bisa melihatmu," bisik Lyra, matanya berkilat penuh kemenangan. "Topengmu hampir jatuh, penyusup."Kapten Bao berdiri dengan kaki terbuka lebar, tangannya mencengkeram gagang pedang dengan keyakinan seorang algojo yang telah menjatuhkan ribuan kepala. Wajahnya keras seperti batu granit, tanpa setitik pun belas kasihan."Tidak ada gunanya melawan," kata Kapten Bao, suaranya rendah dan mengancam."Menyerahlah, dan mungkin Kaisar akan berbai
Kiran teringat pada tatapan aneh Magister Farouk di toko alkemis."Alkemis itu," katanya, rahangnya mengeras. "Dia pasti melaporkan kita. Tidak ada orang biasa yang membeli dua puluh pot mana sekaligus."Suara langkah kaki semakin dekat, prajurit mulai memasuki perpustakaan dan memeriksa setiap pengunjung satu per satu. Kapten Bao sendiri memimpin pencarian, matanya yang tajam menyapu ruangan dengan teliti."Kita terjebak," bisik Roneko, tangannya bersiap untuk mengeluarkan cakra api jika diperlukan.Kiran menatap sekeliling, mencari jalan keluar. Perpustakaan dikepung dari segala arah, dan ilusi mereka tidak akan bertahan lama jika berhadapan langsung dengan Penyihir Lyra.Suara langkah kaki semakin mendekat, dan Kiran bisa merasakan energi spiritualnya mulai terkuras untuk mempertahankan penyamaran mereka."Mereka menuju ke sini," bisik Roneko, telinganya yang tajam menangkap suara langkah kaki yang semakin dekat ke bagian sejarah kuno. "Tuan Muda, apa yang harus kita lakukan?"Kira
Alis Magister Farouk terangkat, seketika memperlihatkan wajahnya yang culas dan jahat."Dua ratus pot? Itu jumlah yang sangat banyak untuk perjalanan biasa. Bahkan penyihir tingkat tinggi jarang membutuhkan lebih dari lima atau enam untuk perjalanan panjang."Kiran mencoba mencari alasan yang masuk akal, namun Roneko menyambar pertanyaan itu dengan percaya diri."Kami memiliki kebutuhan khusus," kata Roneko dengan suara lembut, memainkan perannya dengan baik. "Perjalanan kami melintasi daerah dengan energi spiritual yang rendah."Magister Farouk menatap mereka beberapa saat, kemudian mengangguk perlahan. Namun ada kilatan tersembunyi dimatanya. Namun semua ini tak lolos dari pengawasan Kiran, dan Roneko."Baiklah. Dua puluh pot mana kualitas terbaik. Itu akan menjadi dua ratus lima puluh dinar emas."Kiran mengeluarkan kantong koin dari balik jubahnya dan menghitung jumlah yang diminta.Sementara itu, Magister Farouk berjalan ke ruang belakang dan kembali dengan kotak kayu berukir. Ia
Awan kelabu menggantung rendah di atas Zahranar, seolah kota itu diselimuti selendang abu-abu yang meredam cahaya matahari.Jalanan yang biasanya ramai oleh pedagang dan pengunjung festival kini tampak lengang.Para penjaga berseragam biru tua Kekaisaran Zolia berdiri di setiap persimpangan, mata mereka waspada mengawasi setiap orang yang lewat.Di sudut-sudut kota, pengumuman tertulis ditempelkan pada dinding-dinding bangunan—peringatan tentang mata-mata berbahaya dari Qingchang yang sedang bersembunyi di kota.Wajah-wajah penduduk menyiratkan kecemasan, berbisik-bisik tentang pencurian Kyuubi berekor sembilan dan kemungkinan penyusupan musuh.Di kamar Penginapan Bulan Sabit, Kiran berdiri di dekat jendela, mengamati situasi di luar dengan seksama. Meskipun wajahnya tenang, matanya menyiratkan perhitungan dan kewaspadaan."Penjagaan semakin ketat," kata Kiran, berpaling pada tiga sosok yang menunggu instruksinya. "Mereka menempatkan penjaga di setiap sudut kota."Roneko, dalam wujud
Kapten Bao terdiam, ia seperti sedang mencerna informasi itu. "Pedang seperti apa yang memiliki kekuatan sebesar itu?"Ekspresi Kapten Bao setengah mengejek.Wajar jika Kapten Bao meremehkan. Dia bukan penyihir. Namun kalimat dan ekspresinya membuat ekspresi Lyra berubah."Saya tidak tahu, Kapten," jawab Lyra berusaha sopan."Dalam seluruh pengetahuan saya tentang senjata sihir, saya belum pernah mendengar pedang dengan kemampuan seperti ini. Kecuali..." Lyra sengaja menghentikan kata-katanya, mencoba melihat perubahan di wajah Kapten Bao."Kecuali?" Ujar Kapten Bao masih dengan wajah tawar."Kecuali legenda tentang Pedang Crimson yang dimiliki oleh Sage Alaric," kata Lyra antara ragu-ragu, juga senang melihat perubahan di wajah Kapten Bao.. "Tapi itu hanya legenda. Pedang itu konon hilang setelah kematian Sage Alaric seratus tahun lalu," sambungnya.Mata Kapten Bao berkilat berbahaya. "Sage Alaric... dan Phoenix Api - The Flame?" Ia berbalik dengan gerakan cepat, jubahnya berkibar d
Matahari telah menyingsing di ufuk timur. Semburatnya mewarnai langit Kota Zahranar dengan SINAR keemasan yang perlahan mengusir kegelapan malam. Alun-alun kota, yang semalam dipenuhi dengan kegembiraan festival dan pertunjukan sirkus, kini menjadi pusat kekacauan yang tidak terduga.Tenda-tenda berwarna-warni Sirkus Arvandil yang biasanya berdiri megah kini tampak berantakan, beberapa bahkan robek di beberapa bagian. Para pekerja sirkus berlarian dengan panik, sementara kerumunan penonton yang penasaran mulai berkumpul di pinggiran alun-alun, berbisik-bisik tentang apa yang telah terjadi."Pencuri! Seseorang mencuri aset berharga Sirkus Arvandi!""Jadi Rubah ekor sembilan itu menghilang?""Astagaa... Aku tau dia dibeli dengan harga yang sangat mahal..."Itulah percakapan yang terjadi diantara para anggota sirkus, maupun masyarakat Kota Zahranar yang pagi-pagi benar sudah datang menyaksikan kehebohan.Di tengah kekacauan itu, sekelompok prajurit berbaju zirah biru tua dengan simbol