Kiran dan kawan-kawannya menghilang dari arena perang dengan bantuan amulet sihir Elf yang dibawa Pigenor. Amulet itu berkilauan dengan cahaya kebiruan, memancarkan energi magis yang terasa hangat saat Pigenor melemparkannya ke udara.Seketika, portal sihir terbuka dengan suara gemuruh yang memecah udara. Cahaya putih kebiruan menyilaukan mata mereka saat mereka melangkah masuk ke dalam portal.Ruang dan waktu seolah terdistorsi, dan dalam sekejap, mereka muncul dua puluh kilometer dari arena perang.Udara di sekitar mereka terasa lebih dingin, dan keheningan hutan menggantikan kekacauan medan pertempuran.“Ayo, kita cari tempat untuk bersembunyi!” seru Pigenor, wajahnya tegang. “Meskipun kita jauh dari arena perang, bukan mustahil jika sihir pelacak lawan masih bisa mengidentifikasi ledakan portal tadi, lalu musuh akan mengejar kita.”Emma dan Nethon segera membuka selembar kertas besar yang mereka ambil dari dalam tas penyimpanan. Peta itu terlihat tua, dengan garis-garis yang sudah
Kiran berhenti mengikuti instruksi penjaga kota. Namun, dia tetap menunduk, dengan hoodie yang menutupi sebagian wajahnya, mencoba menyembunyikan identitasnya sebaik mungkin.Suaranya terdengar rendah, hampir tertelan oleh kain hoodie yang berkibar mengikuti angin, menutupi mulutnya.Sejak melihat gerbang Kota Tengzhi dari jauh, bukan hanya Kiran dan kawan-kawannya yang menyamarkan diri dengan jubah berhoodie ala pengelana.Chen, yang sekarat di punggung Kiran, juga disamarkan dengan hoodie untuk menghindari kecurigaan. Saat ini, napas Chen terasa lemah, dan Kiran bisa merasakan betapa panas tubuh sahabatnya itu.“Tuan-tuan, ada yang ingin ditanyakan?” tanyanya, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang meski jantungnya berdebar kencang. Udara dingin malam menusuk kulitnya, dan bayangan kegelapan di sekitar gerbang kota menambah ketegangan.TSING!Suara gemerincing tombak terdengar ketika salah satu penjaga menunjuk ke arah sosok Chen yang digendong di punggung Kiran.“Tunjukkan apa
Namun, keterkejutan itu hanya sebentar menyelimuti hati Kiran. Terbiasa dengan kejutan demi kejutan dalam perjalanan mereka, dia langsung bergegas ke meja administrasi yang juga berfungsi sebagai bar.Kiran merasa sedikit cemas, mengingat kondisi Chen yang semakin lemah di punggungnya.Di sana, seorang pria berusia sekitar empat puluh lima tahun sedang sibuk bekerja. Dia berjanggut tebal, mengenakan busana musim semi dengan lengan baju tergulung hingga siku. Keringat menetes di keningnya, bertolak belakang dengan udara dingin di luar.Pria itu tampak sangat fokus, tangannya bergerak cepat menyiapkan minuman dengan keterampilan yang luar biasa. Beberapa minuman yang dia buat berwarna menakjubkan, seperti biru laut dan hijau zamrud.Jika tidak melihat sendiri, seseorang mungkin mengira minuman itu dibuat dengan sihir.“Tuan, ada kamar kosong? Kami butuh setidaknya empat kamar,” ujar Kiran. Dia menghitung: Emma harus mendapat kamar sendiri karena dia perempuan, dan Chen yang sedang sakit
Semua orang di dalam Pub The Rune terdiam, larut dalam dongeng dan cerita yang diperagakan Tuan Zayed. Suasana yang sebelumnya riuh rendah seketika berubah menjadi hening, seolah udara di ruangan itu ikut menahan napas.Pendongeng itu menceritakan kisah-kisah kedigdayaan tiga panglima perang dari Hersen.Suaranya bergema, penuh dengan intonasi yang menciptakan ketegangan. Setiap kata yang keluar dari mulutnya seperti membawa bayangan kegelapan, membuat seisi pub terpaku dalam diam.Kelompok Kiran juga demikian. Mereka duduk dalam diam. Tak ada yang berbicara.Namun, dari ekspresi mereka, semua bisa menebak bahwa sosok Onimur, pengendara Mandrasath, datang ke dataran tengah dengan misi khusus.Kiran merasakan dingin menyelinap di tulang punggungnya, seolah bayangan Onimur sudah mengintai dari jauh.“Apakah yang dimaksud sosok yang diburu Onimur adalah aku?” gumam Kiran pelan, matanya menatap kosong ke arah panggung. Pikirannya berputar, membayangkan ia diburu oleh panglima perang sekal
Matahari baru terlihat berupa jejak cahaya kuning di langit Timur. Kota Tengzhi masih gelap, hanya diterangi oleh lampu-lampu minyak yang redup di sepanjang jalan.Sesekali, terlihat para pedagang yang melintas dengan barang bawaan, bersiap untuk berjualan di pasar kota. Suasana pagi yang sepi itu terasa menegangkan, seolah menyembunyikan bahaya yang belum terlihat.Kiran beserta empat kawannya berjalan keluar dari The Rune. Mereka menyusuri lorong kumuh yang kini sepi, sambil menuntun seekor keledai yang menarik gerobak kecil, seukuran satu tubuh manusia.Di atas gerobak itu, Chen masih terlelap, tubuhnya dibungkus selimut tebal untuk melindunginya dari udara pagi yang dingin. Meski belum sadar, rona wajah Chen sudah terlihat lebih sehat, berkat ramuan herbal dari Pigenor.Gerobak itu dipesan khusus oleh Kiran pada Volker, pemilik Bar dan Penginapan The Rune. Volker, dengan sikapnya yang ramah namun penuh rahasia, membantu mereka tanpa banyak bertanya, selama koin emas ada.Pigenor,
Kiran bersama Nethon mengendap-endap masuk ke sebuah hutan kecil di kaki Gunung Rotos, tak jauh dari tempat kelompok mereka menghangatkan tubuh di api unggun.Suasana hutan yang gelap dan sunyi membuat setiap langkah mereka berdua terasa lebih menegangkan. Sesekali terdengar suara dahan kering patah dan bunyi dedaunan yang diinjak, meski pelan.Kiran menatap Nethon, matanya berbinar penuh tantangan.“Ayo bertanding. Siapa yang berhasil menembak sasaran, hewan liar di depan sana,” ujarnya dengan suara rendah namun penuh semangat.Nethon tersenyum remeh, matanya menantang balik. “Siapa takut? Ayo kita bertanding...” jawabnya cepat, langsung mulai membentuk segel sihir, siap untuk memanggil api.Ekspresi Kiran langsung mencemooh. “Apa nikmatnya berburu menggunakan sihir api? Semua akan terasa mudah, bukan? Mengapa tidak menggunakan keterampilan fisik saja? Kamu punya belati, bukan?” ujarnya, mencoba memprovokasi Nethon dengan tatapan menghina.Nethon diam sejenak, tampak berpikir. Lalu K
Karena mereka berada di kaki Gunung Rotos yang lebih tinggi, kelompok Kiran dengan mudah mencari tempat berlindung sambil merancang serangan balik terhadap Krado dan kelompoknya.Suasana genting seketika menyelimuti mereka.Krado datang dengan sepuluh orang, sementara Kiran hanya berlima. Situasi ini sangat riskan, tetapi Kiran tak mau menunjukkan kelemahannya.“Pigenor dan Malven, kalian harus mengambil posisi lebih tinggi lagi, di atas tebing itu,” ujar Kiran, memindai medan perang di bawah dengan cermat. Dari kejauhan, tampak debu mengepul tinggi, pertanda Galileon sedang berpacu cepat. “Dari atas sana, kalian bisa melancarkan serangan anak panah, menyerang dari jarak jauh!” titahnya.Pigenor dan Malven mengangguk, wajah mereka serius.Tanpa bicara, mereka segera bergerak serempak, memanjat tebing tinggi di sekitarnya dengan gesit. Tak lama kemudian, mereka sudah berdiri di ketinggian, busur dan anak panah siap ditarik.Dari posisi itu, mereka bisa melihat seluruh medan perang, me
Jangan dikira bahwa dua anak panah yang ditembakkan oleh Pigenor dan Malven hanyalah anak panah biasa. Itu adalah anak panah sihir.Di kepala anak panah yang tajam, sudah terlilit mantra dan jampi-jampi khusus. Pemimpin Elf sendiri yang merapalkan mantra pada anak panah itu, memasukkan energi dahsyat ke dalamnya sehingga dampak yang dihasilkan bisa sangat mengerikan.Itulah sebabnya, ketika dua anak panah Pigenor dan Malven jatuh ke tanah, tak jauh dari kaki Galileon yang berlari kencang, efek ledakan langsung terjadi.BOOOM!Tanah bergetar hebat, bahkan beberapa bagiannya terlempar ke udara akibat ledakan eksplosif yang dahsyat. Dua penyihir yang berada di dekat lokasi ledakan terlempar dari punggung Galileon mereka.Keduanya terguling-guling di tanah, lalu menjerit kesakitan pada saat kaki Galileon yang lain yang berlari kencang menginjak-injak mereka hingga tewas seketika.“Terkutuk!” teriak Krado, wajahnya merah padam karena marah. “Kalian menggunakan panah sihir Elf! Ini tak akan
*Bab Ekstra, karena gem bertambah diatas 5 gem. Terima kasih pembaca.Akhirnya, giliran mereka tiba. Kiran melangkah maju dengan sikap seorang petani sederhana, sedikit membungkuk dan menghindari kontak mata langsung—sikap yang umum di kalangan rakyat biasa saat berhadapan dengan otoritas. Ia bisa merasakan sihir ilusinya bergetar halus di sekitar tubuhnya, seperti lapisan tipis air yang berusaha mempertahankan bentuknya di telapak tangan."Nama dan tujuan," perintah seorang prajurit dengan suara datar, tombaknya mengetuk tanah sekali — sesekali mengirimkan getaran magis kecil yang bisa Kiran rasakan merambat melalui kakinya."Rajan dari Desa Rohini," jawab Kiran dengan suara yang ia buat lebih berat dan kasar, sempurna meniru aksen pedesaan Wilayah Timur Zolia.Tatapan prajurit manatap dengan sorot menusuk, membuat Kiran memperjelas..."Er... Aku membawa keponakan-keponakanku untuk melihat festival musim semi. Anak-anak ini belum pernah melihat sirkus Arvandis sebelumnya."Kapten B
Dengan gerakan halus yang hampir tak terlihat — hanya jari-jarinya yang bergerak dalam pola rumit di balik jubah — Kiran mulai melafalkan mantra ilusi tingkat tinggi dalam bahasa kuno. Kata-kata magis mengalir dari bibirnya seperti melodi lembut, hampir tak terdengar namun menggetarkan udara di sekitarnya. Kiran memusatkan energi spiritualnya, merasakan aliran reiki yang berputar di dalam meridiannya, bersinar keemasan dalam pandangan mata batinnya, sebelum kemudian menyebar ke luar, menyelimuti dirinya, Kon, dan Burs dalam lapisan tipis energi tak kasat mata."Lumiiseo Aviectum Mortalis," bisik Kiran, menambahkan kata terakhir untuk memperkuat mantra. Seketika, perubahan halus mulai terjadi pada penampilan mereka, menyebar seperti riak air di kolam yang tenang.Wajah Kiran yang khas dengan mata tajam seperti serigala dan tulang pipi tinggi berubah menjadi wajah pria biasa dengan fitur-fitur yang mudah dilupakan— tipe wajah yang akan terlewatkan dalam kerumunan dan terlupakan seger
Gerbang ZahranarGerbang Zahranar menjulang tinggi, dibangun dari batu marmer putih yang berkilau keperakan di bawah sinar matahari. Ukiran-ukiran rumit menghiasi setiap sentinya, menggambarkan sejarah kuno Kekaisaran Zolia—pertempuran epik, perjanjian damai, dan ritual sihir kuno yang telah lama terlupakan.Simbol-simbol arkais dan rune-rune sihir tersembunyi di antara relief, memancarkan aura magis yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang memiliki kepekaan terhadap energi spiritual.Di bawah lengkungan tembok kota yang megah, ada lebih dari lima ratus orang berbaris dalam antrean panjang yang meliuk seperti naga raksasa yang sedang tertidur. Udara dipenuhi dengan aroma beragam—rempah-rempah eksotis dari pedagang dengan gerobak penuh barang dagangan, aroma dupa yang dibawa peziarah berjubah sederhana, dan wewangian mahal yang menguar dari bangsawan dengan tandu mewah berukir. Semua berbaur dalam ketidaknyamanan yang sama, menunggu giliran diperiksa dalam panas terik yang menyenga
Kiran berdiri diantara sosok penyamun yang kesakitan, tiada tara..."Bagaimana rasanya?" tanya Kiran, suaranya hampir berbisik namun entah bagaimana terdengar jelas di tengah teriakan-teriakan kesakitan. "Bagaimana rasanya tidak berdaya menghadapi sesuatu yang tidak bisa kau lawan?"Kon dan Burs menatap pemandangan itu dengan campuran kekaguman dan ketakutan yang tidak bisa disembunyikan. Mereka telah menyaksikan Kiran bertarung sebelumnya—melihatnya memanggil api Phoenix yang membakar musuh-musuhnya menjadi abu, atau menggunakan Crimson Dawn yang membelah baja seolah itu hanya kain sutra. Tapi ini—sihir ilusi yang menciptakan rasa sakit tanpa meninggalkan bekas fisik—adalah manifestasi kekuatan yang jauh lebih mengerikan. Lebih halus, namun pada saat yang sama, jauh lebih kejam."Tuan," bisik Burs akhirnya, suaranya bergetar. Ia memberanikan diri menyentuh lengan Kiran. "Mereka... mereka sudah cukup menderita."Kiran tidak langsung merespon. Matanya masih terfokus pada para bandit ya
Matahari memantulkan cahaya tanpa ampun di lembah berbatu sempit itu, menciptakan bayangan tajam yang menggeliat di permukaan karang.Dua puluh bandit Zolia mengepung Kiran, Kon, dan Burs dalam formasi yang semakin menyempit, pedang-pedang bengkok mereka berkilauan mengerikan setiap kali tertimpa cahaya.Pemimpin bandit, seorang pria dengan bekas luka melintang di pipi kanannya, maju selangkah. Jubah kulitnya yang compang-camping menandakan bertahun-tahun hidup keras di bawah terik matahari padang pasir."Aku tidak akan mengulang perintahku," geramnya, suaranya serak dan penuh ancaman. "Serahkan semua hartamu, atau kau akan menyesal sampai saat-saat terakhir hidupmu."Kiran berdiri tegak, posturnya menunjukkan ketenangan yang ganjil untuk seseorang yang terkepung. Matanya yang tajam bergerak dari satu bandit ke bandit lainnya, mengkalkulasi jarak, senjata, dan postur tubuh mereka."Kami hanya membawa sedikit makanan dan beberapa koin," kata Kiran, suaranya tenang namun tegas. "Ambilla
Mereka mengisi perbekalan di pasar pagi—roti gandum yang akan tahan beberapa hari, keju keras yang dibungkus dalam daun, buah kering dan kacang-kacangan untuk energi, dan air segar dalam kantong kulit—sebelum meninggalkan kota melalui gerbang utara.Jalan setapak yang mereka ikuti kini lebih lebar dan lebih ramai, dengan beberapa pedagang dan penjelajah yang juga menuju ke arah yang sama."Kota berikutnya adalah Marakand," kata Kiran, mengingat peta yang diberikan Surya. Ia membayangkan garis-garis dan simbol di perkamen tua itu."Kota Seribu Kubah. Kita mungkin bisa mencapai perbatasannya dalam tiga hari jika kita berjalan dengan baik."Perjalanan mereka relatif tenang dan tanpa insiden. Mereka berjalan saat matahari bersinar dan beristirahat di malam hari, terkadang bergabung dengan kelompok pedagang untuk keamanan tambahan.Kon dan Burs semakin terbiasa dengan wujud manusia mereka, meskipun Burs masih sering mengeluh tentang betapa lambatnya berjalan dibandingkan terbang dan bagaim
"Kami hanya kaum kelana yang kebetulan lewat," jawab Kiran sopan, menundukkan kepalanya sedikit sebagai tanda hormat."Kami dalam perjalanan ke Zahranar. Bermaksud mengisi perbekalan dan melanjutkan perjalanan besok pagi."Penjaga itu mengangguk, tampak puas dengan jawaban yang jujur."Festival Gandum Emas sedang berlangsung. Kota penuh dengan pengunjung dari seluruh Zolia dan bahkan dari luar kerajaan. Kalian mungkin kesulitan mencari penginapan.""Terima kasih atas informasinya," kata Kiran. "Kami akan mencoba peruntungan kami."Penjaga itu memberi isyarat dengan tombaknya agar mereka lewat. Kiran, Kon, dan Burs melangkah memasuki Samarkhal, segera disambut oleh hiruk-pikuk kota yang sedang berpesta.Jalanan Samarkhal dipenuhi dengan orang-orang yang berpakaian cerah, bernyanyi dan menari dalam lingkaran-lingkaran besar. Musik dari seruling, tambur, dan alat musik senar yang tidak Kiran kenali mengalun di setiap sudut, menciptakan atmosfer pesta yang meriah.Spanduk-spanduk berwarna
Matahari bersinar terik di atas padang rumput luas yang membentang hingga kaki langit, menciptakan gelombang panas yang menari-nari di atas tanah.Kiran berjalan dengan langkah mantap, menyusuri jalan setapak yang telah dilewati ribuan kaki pedagang dan penjelajah selama berabad-abad. Jalur Kafilah—rute kuno yang menghubungkan kota-kota besar Zolia—terbentang di hadapannya seperti ular raksasa yang meliuk di antara bukit-bukit hijau.Jubah linen tipis berwarna cokelat tanah menutupi tubuhnya, dengan tudung yang ditarik rendah menutupi sebagian wajahnya untuk melindungi dari terik matahari dan tatapan penasaran.Crimson Dawn—pedang legendaris dengan bilah merah darah yang konon ditempa dari logam bintang jatuh — tersembunyi dengan baik di dalam tas punggungnya, terbungkus kain tebal yang dilapisi rune-rune peredam energi agar aura sihirnya tidak menarik perhatian penyihir atau pemburu bounty yang mungkin berkeliaran."Tuan, apakah masih jauh?" tanya seorang anak laki-laki berusia sekit
Matahari pagi bersinar hangat menyinari Desa Chandrapur.Kiran duduk di beranda rumah keluarga Rajagopal, menikmati secangkir teh rempah yang disajikan Nyonya Ranya. Pikirannya masih dipenuhi oleh pengalaman mistisnya di kuil semalam—pertemuan dengan Dewa Hiranyakashipu yang entah nyata atau hanya halusinasi akibat bunga popy."Dengarkan angin yang berbisik di antara daun-daun tertua," gumam Kiran, mengulang teka-teki yang diberikan oleh dewa itu."Ikuti aliran sungai yang tidak pernah mengalir ke laut..."Tiba-tiba..."Kau mengatakan sesuatu, anak muda?" tanya Surya Rajagopal, bergabung dengan Kiran di beranda.Hanya terkejut sesaat, Kiran menggeleng pelan."Hanya memikirkan perjalananku selanjutnya," jawabnya. Ia meletakkan cangkir tehnya dan menatap Surya dengan tenang."Aku sudah memuuskan. Harus pergi ke ibukota—ke Zahranar. Aku perlu mencari informasi lebih banyak tentang Suku Devahari," kata Kiran, menggambarkan sesuatu yang mendesak.Surya Rajagopal mengangguk pelan. Ada kilat