Jangan dikira bahwa dua anak panah yang ditembakkan oleh Pigenor dan Malven hanyalah anak panah biasa. Itu adalah anak panah sihir.Di kepala anak panah yang tajam, sudah terlilit mantra dan jampi-jampi khusus. Pemimpin Elf sendiri yang merapalkan mantra pada anak panah itu, memasukkan energi dahsyat ke dalamnya sehingga dampak yang dihasilkan bisa sangat mengerikan.Itulah sebabnya, ketika dua anak panah Pigenor dan Malven jatuh ke tanah, tak jauh dari kaki Galileon yang berlari kencang, efek ledakan langsung terjadi.BOOOM!Tanah bergetar hebat, bahkan beberapa bagiannya terlempar ke udara akibat ledakan eksplosif yang dahsyat. Dua penyihir yang berada di dekat lokasi ledakan terlempar dari punggung Galileon mereka.Keduanya terguling-guling di tanah, lalu menjerit kesakitan pada saat kaki Galileon yang lain yang berlari kencang menginjak-injak mereka hingga tewas seketika.“Terkutuk!” teriak Krado, wajahnya merah padam karena marah. “Kalian menggunakan panah sihir Elf! Ini tak akan
Kiran bersembunyi di balik pepohonan, terlindung oleh dahan-dahan rimbun dari pohon ek yang menjulang tinggi.Dari tempat persembunyiannya, Kiran mengamati tujuh perapal mantra yang tampak sibuk mengeluarkan kutukan agar tameng sihir mereka berfungsi menahan serangan anak panah dan tebasan pedang air.Para perapal mantra itu tampak berjuang dengan segenap tenaga untuk melemahkan serangan sihir elemen air yang dilontarkan oleh Emma, berbentuk pedang besar berkilau di udara.Setiap ayunan pedang air ciptaan Emma memancarkan kekuatan yang memukau, menebas udara dengan presisi yang mematikan.TRANG! TRANG!Tameng sihir yang dibuat perapal mantra berulang kali memercikkan api, membuat tangan tujuh orang itu gemetar. Mereka tampak kerepotan dan terdesak oleh serangan tebasan pedang air yang tak kunjung reda, ditambah hujaman anak panah dari atas tebing.“Hati-hati! Dia berbahaya!” teriak salah satu perapal mantra. “Kita tak bisa bergerak, dia dengan pedang sihir itu selalu menghalangi kami!
Ketujuh perapal mantra segera memacu Galileon mereka, berusaha mendekati posisi Emma dengan cepat, mengabaikan segala risiko yang mengintai.Namun, pada saat yang sama, dari atas pohon, sesosok bayangan berkelebat dengan gesit.Bayangan itu memegang sebilah pedang pendek yang berkilau, seolah itu adalah cahaya bintang. Dengan gerakan cepat dan terencana, sosok itu meluncur turun, jatuh tepat di atas Galileon perapal mantra yang bermulut kotor.Dengan sekali hujaman pedang yang mematikan, sosok yang ternyata adalah Kiran menusuk punggung perapal mantra bermulut cabul itu. “Mati kau!”“Kamu!” jerit perapal mantra itu, hanya sempat menoleh sejenak sebelum pedang bintang menembus punggungnya, langsung menuju jantung.Perapal mantra itu jatuh ke tanah dalam keadaan tak bernyawa, matanya melotot, menunjukkan ketidakpuasan akan kematiannya yang tiba-tiba dan tidak terduga.Kiran berdiri di atas tubuh lawan yang tak berdaya, merasakan adrenalin mengalir deras dalam dirinya.+++Di sisi lain,
"Healing!""Buff!”“Debuff!"Kiran menatap ke arah gua yang jauh, di sana bayangan seseorang terlihat mengangkat tangan ke langit. Energi sihir pemulihan yang kuat membuat keadaan berubah drastis.Cahaya berwarna putih, seperti sinar bintang yang bersinar terang, melingkupi Kiran dan kawan-kawannya, memberikan mereka energi pengharapan.Keadaan yang mulanya genting dan mencekam kini bertransformasi dengan cepat. Semua orang yang bertarung dibuat tercengang oleh kejadian aneh ini.“Mengapa sinar itu tepat jatuh di atas kepala para penghianat?”“Apa arti Buff dan Debuff?” tanya salah satu perapal mantra lainnya, suaranya penuh kebingungan dan ketidakpastian.Tak ada yang bisa menjelaskan, hanya aura asing yang melayang di udara, membuat kelompok Krado menjadi gentar. Sebuah ketakutan yang tak terucapkan menyelimuti mereka, seolah-olah mereka sedang menghadapi kekuatan yang tidak dapat mereka kendalikan.Emma, yang tadinya sudah kehabisan energi spiritual, tiba-tiba merasakan lautan ener
Ancaman di depan mata semakin nyata."Kita berpencar. Buat mereka bingung!" teriak yang lainnya, berusaha menyusun rencana untuk menyelamatkan diri dari bencana yang mengancam.Ketika ketiga perapal mantra ini mencoba melarikan diri, tiba-tiba Kiran sudah berdiri di hadapan salah satu perapal mantra. Dia berdiri di atas Galileon jarahan. Pedang Bintang tampak berkilauan di tangan, memancarkan cahaya tajam yang menakutkan."Mau lari? Jangan mimpi!" ejek Kiran, suaranya penuh tantangan dan keberanian, menggema di tengah kegelapan yang menyelimuti medan pertempuran.Perapal mantra ini menatap Kiran dengan tatapan marah, lalu melepaskan kutukan sekali lagi, berusaha membuat Kiran menjadi kaku dan membatu, seolah-olah ia adalah patung yang tak berdaya.Namun, suara misterius dari atas bukit kembali terdengar..."Healing!!""Buff!""Debuff!"Seperti kejadian sebelumnya, cahaya berwarna putih itu jatuh menimpa Kiran dan kawan-kawannya.Energi pemulihan menyembuhkan mereka dengan cepat, dan e
"Chen... Anda baik-baik saja?" tanya Kiran, matanya menantang cahaya matahari senja yang membayangi Chen. Priest itu berdiri tegak di depan Kiran, meski tubuhnya tampak goyah.Di belakang Kiran, sahabat-sahabatnya—Emma, Nethon, Pigenor, dan Malven—mendaki tebing tinggi, berusaha secepat mungkin mencapai gua tempat Chen berdiri.Suara angin berdesir mengiringi gerakan gesit para petarung terlatih itu. Dalam sekejap, mereka sudah berdiri di samping Kiran, wajah mereka memancarkan keprihatinan yang mendalam saat menatap Chen."Tuan Priest... Terima kasih atas bantuan Anda," ucap Emma, suaranya lembut, menghangatkan suasana. Dia merasa lega melihat Chen masih berdiri di sana, meskipun jelas bahwa dia belum pulih sepenuhnya.Chen hanya memberikan senyuman tipis, senyum yang memancarkan keikhlasan meskipun wajahnya terlihat pucat. Dengan sikap hormat, dia membungkuk sambil memegang dadanya, tanda bahwa ia belum sepenuhnya pulih dari kelelahan yang dideritanya."Priest, Anda baik-baik saja?"
Keesokan hari, kelompok Kiran meninggalkan kaki gunung, bergerak menuju Puncak Rotos. Angin pagi bertiup lembut, membawa udara segar yang memenuhi paru-paru, menyegarkan semangat kelompok yang kini berjumlah enam orang."Beruntung kami mendapatkan Galileon peninggalan Krado dan kelompoknya. Perjalanan ini jadi lebih mudah..." teriak Kiran dengan ekspresi gembira, suara tawanya mengisi udara pagi yang sejuk.Galileon adalah makhluk tunggangan yang sangat cepat menyesuaikan diri. Meskipun ganas, begitu seseorang berhasil menaklukkan mereka, makhluk itu akan patuh sepenuhnya.Kiran dan kawan-kawannya harus berjuang selama satu jam untuk menaklukkan Galileon. Berulang kali mereka terjungkal, terhempas oleh kekuatan Galileon yang liar, sebelum akhirnya menaklukkannya."Dan kita akan lebih cepat mencapai puncak, lalu bertemu Kemrick sang penempa..." tambah Nethon dengan semangat yang menyala, membayangkan pertemuan yang indah dengan sang kurcaci legendaris."Ngomong-ngomong, seperti apakah
Kiran dan kawan-kawannya tiba di Puncak Rotos ketika malam sudah sangat larut. Di puncak gunung, hanya terlihat pepohonan cemara yang bergoyang tertiup angin.Suara daun bergesek menimbulkan simfoni yang memberi kesan menyeramkan pada malam itu."Kita akan mencari pintu masuk ke Kota Ironhold di tiap tebing terjal. Nanti akan ada petunjuk," jelas Pigenor, mengambil alih kepemimpinan. Dalam hal ini, Pigenor lebih memiliki pengetahuan tentang Kaum Kurcaci. Jadi, alangkah bijak jika dia yang memimpin perjalanan menuju kota di perut bumi."Kita membagi kelompok menjadi dua. Kami ke barat dan kalian ke timur," teriak Pigenor kepada Kiran, Emma, dan Nethon. Dia sendiri sekelompok bersama Malven dan Chen."Baik!" balas Kiran, memisahkan diri.Kiran dengan kelompoknya bergerak menuju timur, menyusuri jalan setapak yang samar di bawah cahaya bintang.+++Malam semakin larut. Suara binatang malam sesekali terdengar menjawab langkah-langkah Pigenor, Malven, dan Chen, yang meraba-raba di tebing.
*Bab Ekstra, karena gem bertambah diatas 5 gem. Terima kasih pembaca.Akhirnya, giliran mereka tiba. Kiran melangkah maju dengan sikap seorang petani sederhana, sedikit membungkuk dan menghindari kontak mata langsung—sikap yang umum di kalangan rakyat biasa saat berhadapan dengan otoritas. Ia bisa merasakan sihir ilusinya bergetar halus di sekitar tubuhnya, seperti lapisan tipis air yang berusaha mempertahankan bentuknya di telapak tangan."Nama dan tujuan," perintah seorang prajurit dengan suara datar, tombaknya mengetuk tanah sekali — sesekali mengirimkan getaran magis kecil yang bisa Kiran rasakan merambat melalui kakinya."Rajan dari Desa Rohini," jawab Kiran dengan suara yang ia buat lebih berat dan kasar, sempurna meniru aksen pedesaan Wilayah Timur Zolia.Tatapan prajurit manatap dengan sorot menusuk, membuat Kiran memperjelas..."Er... Aku membawa keponakan-keponakanku untuk melihat festival musim semi. Anak-anak ini belum pernah melihat sirkus Arvandis sebelumnya."Kapten B
Dengan gerakan halus yang hampir tak terlihat — hanya jari-jarinya yang bergerak dalam pola rumit di balik jubah — Kiran mulai melafalkan mantra ilusi tingkat tinggi dalam bahasa kuno. Kata-kata magis mengalir dari bibirnya seperti melodi lembut, hampir tak terdengar namun menggetarkan udara di sekitarnya. Kiran memusatkan energi spiritualnya, merasakan aliran reiki yang berputar di dalam meridiannya, bersinar keemasan dalam pandangan mata batinnya, sebelum kemudian menyebar ke luar, menyelimuti dirinya, Kon, dan Burs dalam lapisan tipis energi tak kasat mata."Lumiiseo Aviectum Mortalis," bisik Kiran, menambahkan kata terakhir untuk memperkuat mantra. Seketika, perubahan halus mulai terjadi pada penampilan mereka, menyebar seperti riak air di kolam yang tenang.Wajah Kiran yang khas dengan mata tajam seperti serigala dan tulang pipi tinggi berubah menjadi wajah pria biasa dengan fitur-fitur yang mudah dilupakan— tipe wajah yang akan terlewatkan dalam kerumunan dan terlupakan seger
Gerbang ZahranarGerbang Zahranar menjulang tinggi, dibangun dari batu marmer putih yang berkilau keperakan di bawah sinar matahari. Ukiran-ukiran rumit menghiasi setiap sentinya, menggambarkan sejarah kuno Kekaisaran Zolia—pertempuran epik, perjanjian damai, dan ritual sihir kuno yang telah lama terlupakan.Simbol-simbol arkais dan rune-rune sihir tersembunyi di antara relief, memancarkan aura magis yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang memiliki kepekaan terhadap energi spiritual.Di bawah lengkungan tembok kota yang megah, ada lebih dari lima ratus orang berbaris dalam antrean panjang yang meliuk seperti naga raksasa yang sedang tertidur. Udara dipenuhi dengan aroma beragam—rempah-rempah eksotis dari pedagang dengan gerobak penuh barang dagangan, aroma dupa yang dibawa peziarah berjubah sederhana, dan wewangian mahal yang menguar dari bangsawan dengan tandu mewah berukir. Semua berbaur dalam ketidaknyamanan yang sama, menunggu giliran diperiksa dalam panas terik yang menyenga
Kiran berdiri diantara sosok penyamun yang kesakitan, tiada tara..."Bagaimana rasanya?" tanya Kiran, suaranya hampir berbisik namun entah bagaimana terdengar jelas di tengah teriakan-teriakan kesakitan. "Bagaimana rasanya tidak berdaya menghadapi sesuatu yang tidak bisa kau lawan?"Kon dan Burs menatap pemandangan itu dengan campuran kekaguman dan ketakutan yang tidak bisa disembunyikan. Mereka telah menyaksikan Kiran bertarung sebelumnya—melihatnya memanggil api Phoenix yang membakar musuh-musuhnya menjadi abu, atau menggunakan Crimson Dawn yang membelah baja seolah itu hanya kain sutra. Tapi ini—sihir ilusi yang menciptakan rasa sakit tanpa meninggalkan bekas fisik—adalah manifestasi kekuatan yang jauh lebih mengerikan. Lebih halus, namun pada saat yang sama, jauh lebih kejam."Tuan," bisik Burs akhirnya, suaranya bergetar. Ia memberanikan diri menyentuh lengan Kiran. "Mereka... mereka sudah cukup menderita."Kiran tidak langsung merespon. Matanya masih terfokus pada para bandit ya
Matahari memantulkan cahaya tanpa ampun di lembah berbatu sempit itu, menciptakan bayangan tajam yang menggeliat di permukaan karang.Dua puluh bandit Zolia mengepung Kiran, Kon, dan Burs dalam formasi yang semakin menyempit, pedang-pedang bengkok mereka berkilauan mengerikan setiap kali tertimpa cahaya.Pemimpin bandit, seorang pria dengan bekas luka melintang di pipi kanannya, maju selangkah. Jubah kulitnya yang compang-camping menandakan bertahun-tahun hidup keras di bawah terik matahari padang pasir."Aku tidak akan mengulang perintahku," geramnya, suaranya serak dan penuh ancaman. "Serahkan semua hartamu, atau kau akan menyesal sampai saat-saat terakhir hidupmu."Kiran berdiri tegak, posturnya menunjukkan ketenangan yang ganjil untuk seseorang yang terkepung. Matanya yang tajam bergerak dari satu bandit ke bandit lainnya, mengkalkulasi jarak, senjata, dan postur tubuh mereka."Kami hanya membawa sedikit makanan dan beberapa koin," kata Kiran, suaranya tenang namun tegas. "Ambilla
Mereka mengisi perbekalan di pasar pagi—roti gandum yang akan tahan beberapa hari, keju keras yang dibungkus dalam daun, buah kering dan kacang-kacangan untuk energi, dan air segar dalam kantong kulit—sebelum meninggalkan kota melalui gerbang utara.Jalan setapak yang mereka ikuti kini lebih lebar dan lebih ramai, dengan beberapa pedagang dan penjelajah yang juga menuju ke arah yang sama."Kota berikutnya adalah Marakand," kata Kiran, mengingat peta yang diberikan Surya. Ia membayangkan garis-garis dan simbol di perkamen tua itu."Kota Seribu Kubah. Kita mungkin bisa mencapai perbatasannya dalam tiga hari jika kita berjalan dengan baik."Perjalanan mereka relatif tenang dan tanpa insiden. Mereka berjalan saat matahari bersinar dan beristirahat di malam hari, terkadang bergabung dengan kelompok pedagang untuk keamanan tambahan.Kon dan Burs semakin terbiasa dengan wujud manusia mereka, meskipun Burs masih sering mengeluh tentang betapa lambatnya berjalan dibandingkan terbang dan bagaim
"Kami hanya kaum kelana yang kebetulan lewat," jawab Kiran sopan, menundukkan kepalanya sedikit sebagai tanda hormat."Kami dalam perjalanan ke Zahranar. Bermaksud mengisi perbekalan dan melanjutkan perjalanan besok pagi."Penjaga itu mengangguk, tampak puas dengan jawaban yang jujur."Festival Gandum Emas sedang berlangsung. Kota penuh dengan pengunjung dari seluruh Zolia dan bahkan dari luar kerajaan. Kalian mungkin kesulitan mencari penginapan.""Terima kasih atas informasinya," kata Kiran. "Kami akan mencoba peruntungan kami."Penjaga itu memberi isyarat dengan tombaknya agar mereka lewat. Kiran, Kon, dan Burs melangkah memasuki Samarkhal, segera disambut oleh hiruk-pikuk kota yang sedang berpesta.Jalanan Samarkhal dipenuhi dengan orang-orang yang berpakaian cerah, bernyanyi dan menari dalam lingkaran-lingkaran besar. Musik dari seruling, tambur, dan alat musik senar yang tidak Kiran kenali mengalun di setiap sudut, menciptakan atmosfer pesta yang meriah.Spanduk-spanduk berwarna
Matahari bersinar terik di atas padang rumput luas yang membentang hingga kaki langit, menciptakan gelombang panas yang menari-nari di atas tanah.Kiran berjalan dengan langkah mantap, menyusuri jalan setapak yang telah dilewati ribuan kaki pedagang dan penjelajah selama berabad-abad. Jalur Kafilah—rute kuno yang menghubungkan kota-kota besar Zolia—terbentang di hadapannya seperti ular raksasa yang meliuk di antara bukit-bukit hijau.Jubah linen tipis berwarna cokelat tanah menutupi tubuhnya, dengan tudung yang ditarik rendah menutupi sebagian wajahnya untuk melindungi dari terik matahari dan tatapan penasaran.Crimson Dawn—pedang legendaris dengan bilah merah darah yang konon ditempa dari logam bintang jatuh — tersembunyi dengan baik di dalam tas punggungnya, terbungkus kain tebal yang dilapisi rune-rune peredam energi agar aura sihirnya tidak menarik perhatian penyihir atau pemburu bounty yang mungkin berkeliaran."Tuan, apakah masih jauh?" tanya seorang anak laki-laki berusia sekit
Matahari pagi bersinar hangat menyinari Desa Chandrapur.Kiran duduk di beranda rumah keluarga Rajagopal, menikmati secangkir teh rempah yang disajikan Nyonya Ranya. Pikirannya masih dipenuhi oleh pengalaman mistisnya di kuil semalam—pertemuan dengan Dewa Hiranyakashipu yang entah nyata atau hanya halusinasi akibat bunga popy."Dengarkan angin yang berbisik di antara daun-daun tertua," gumam Kiran, mengulang teka-teki yang diberikan oleh dewa itu."Ikuti aliran sungai yang tidak pernah mengalir ke laut..."Tiba-tiba..."Kau mengatakan sesuatu, anak muda?" tanya Surya Rajagopal, bergabung dengan Kiran di beranda.Hanya terkejut sesaat, Kiran menggeleng pelan."Hanya memikirkan perjalananku selanjutnya," jawabnya. Ia meletakkan cangkir tehnya dan menatap Surya dengan tenang."Aku sudah memuuskan. Harus pergi ke ibukota—ke Zahranar. Aku perlu mencari informasi lebih banyak tentang Suku Devahari," kata Kiran, menggambarkan sesuatu yang mendesak.Surya Rajagopal mengangguk pelan. Ada kilat