“Kalian masuk lebih dulu!” bisik Emma pelan, suaranya hampir tak terdengar. Ia menunjuk ke arah selokan yang gelap, airnya menggenang busuk dengan bau menyengat yang memenuhi udara.Malam ini terlalu berbahaya. Setiap langkah harus dihitung cermat, setiap suara bisa menjadi petaka. Selalu ada mata-mata atau formasi sihir yang siap menangkap pergerakan mencurigakan.Nethon melompat masuk ke dalam lubang saluran pembuangan tanpa ragu, tubuhnya menghilang dalam kegelapan.Kiran menyusul dengan gerakan cepat, dan terakhir Emma, yang meluncur dengan gesit. Sebagai pengendali air, Emma tak kesulitan menghadapi lingkungan basah dan kotor ini. Air adalah sekutunya, bahkan dalam keadaan paling buruk sekalipun.“Nyalakan cahaya!” perintah Emma singkat, suaranya tetap bernada rendah.Tangan Nethon bergerak cepat membentuk segel sihir. Udara di sekitarnya bergetar halus sebelum mantra terlontar. Sebuah titik cahaya redup muncul di ujung jari telunjuknya, mirip nyala lilin yang kecil namun cukup u
Kiran menarik napas dalam-dalam sebelum menyelam ke dalam air yang gelap. Dari balik kabut air yang keruh, dia melihat anak panah meluncur masuk ke dalam arus deras, kecepatannya melambat seiring kedalaman.“Beruntung aku tumbuh di kota kecil. Berenang di sungai bukan hal baru bagiku. Setidaknya, dengan menyelam, aku bisa mengurangi daya serang anak panah dan menghindarinya,” gumam Kiran.Matanya terbuka lebar di dalam air, menatap sekeliling dengan waspada.Cahaya obor yang menyala dari atas memantulkan bayangan samar-samar. Kiran melihat setidaknya sepuluh tentara berdiri di tepi parit, mengelilingi Kota Qingchang. Senjata mereka siap, mata mereka tajam, mencari tanda-tanda gerakannya.“Tapi aku tidak bisa selamanya menyelam. Aku akan kehabisan napas. Aku harus naik ke permukaan dan menghadapi mereka—hidup atau mati.”Kakinya bergerak cepat, menyeret tubuhnya ke tepian. Kepalanya muncul dari air, menghirup udara segar dengan cepat.Di belakangnya, Kiran mendengar suara bentakan dan
"Mari kita adu undi!" Kiran melangkah maju, suaranya tegas namun tidak meninggi. Emma, yang selama ini memimpin, hanya diam.Matanya menatap jauh ke arah desa yang lampu-lampunya mulai menyala, memancarkan kehangatan yang menggoda.Bau makanan yang menguar dari desa itu seolah memanggil mereka, tapi Emma ragu. Apakah mereka harus mengambil risiko masuk ke desa, atau bertahan di hutan yang gelap dengan rasa lapar, dan makanan hambar?Ketiganya berdiri dalam lingkaran kecil, tangan mereka terkepal, siap untuk undian yang akan menentukan nasib mereka malam ini. Kepalan tangan, telapak terbuka, atau tinju—aturan sederhana yang mereka sepakati."Menang! Artinya kita masuk desa!" Kiran berseru, melihat telapak tangan mereka bertiga terbuka lebar. Senyum kecil mengembang di wajahnya, meski ada bayangan kehati-hatian di matanya.Dengan langkah percaya diri, ketiga anak muda itu memasuki desa.Lampu-lampu minyak yang tergantung di depan rumah-rumah menerangi jalan mereka, menciptakan bayangan p
Karena hari sudah larut malam, ketika Kiran dan kawan-kawannya bersiap untuk pergi, Hans dan Selima menghentikan mereka di ambang pintu. Udara dingin malam menyelinap masuk, menggigit kulit mereka yang sudah lelah.“Mengapa buru-buru pergi?” tanya Hans, suaranya penuh keprihatinan. Matanya menatap Kiran, Ethon, dan terutama Emma dengan pandangan yang dalam. “Diluar sana dinginnya bisa membekukan tulang. Apa kalian yakin bisa bertahan tidur di bawah langit tanpa selimut?”Selima, perempuan gemuk itu, langsung melangkah maju. Wajahnya merah padam, suaranya meninggi. “Apa yang kalian pikirkan? Membawa Emma, seorang gadis, keluar di malam hari seperti ini? Ini tidak pantas! Dia butuh kehangatan dan kenyamanan, bukan tidur di tengah hutan seperti binatang!”Tanpa menunggu jawaban, Selima langsung bergegas merapikan ruang tamu kecil di depan perapian. Rumah itu memang sederhana, hanya memiliki dua kamar tidur.“Kalian bisa tidur di sini, dekat perapian. Setidaknya kalian tidak kedinginan,”
Kiran berlari tergesa-gesa, napasnya tersengal-sengal. Dia bahkan lupa mengucapkan terima kasih pada perempuan Gypsi itu.Tanpa berpikir panjang, dia memotong jalan melewati padang bunga, melintasi semak-semak yang menghalangi, hingga akhirnya tiba di gubuk Hans dan Selima.“Nethon! Emma! Kita harus pergi—sekarang!” teriak Kiran di depan pintu, suaranya memecah keheningan pagi. Tanpa menunggu respon, dia mendorong pintu dengan kasar, hampir merobohkannya.Nethon, yang masih duduk di lantai berselimut kain usang, menikmati sisa kehangatan dari perapian, langsung menatap Kiran dengan tatapan kesal. “Ada apa, Kiran? Jangan bilang kamu melihat tentara Qinchang,” ujarnya sambil menguap, masih bermalas-malasan.“Sayangnya, tebakanmu benar!” jawab Kiran, wajahnya tegang.Nethon langsung duduk tegak, ekspresi malasnya hilang seketika.“Kita harus pergi sekarang. Di mana Emma?” tanya Kiran, matanya melirik ke kamar tempat Emma menginap semalam. Kosong.“Dia pergi sebentar,” jawab Nethon sambil
Hari sudah senja. Matahari tergantung rendah di ufuk barat, melemparkan cahaya kemerahan yang menyapu langit.Pohon-pohon Ek yang tinggi menjulang memantulkan bayangan panjang ke tanah, seperti jari-jari raksasa penyihir yang mencengkeram bumi. Suasana hutan terasa semakin gelap dan misterius.Kiran dan kawan-kawannya berlari tanpa henti, tanpa sempat memeriksa arah kompas. Mereka tidak menyadari bahwa mereka telah berbelok ke arah timur laut, jauh dari tujuan semula yang seharusnya ke timur.“Mengapa pohon maple tiba-tiba berganti menjadi pohon Ek? Ini terlihat aneh... dan sedikit menyeramkan,” ucap Emma, napasnya terengah-engah.Ketiga pelarian muda itu berhenti sejenak di bawah naungan pohon raksasa, mencoba menenangkan diri.“Dan aku merasa kita sedang diawasi oleh mata yang tak terlihat,” tambah Kiran, matanya menatap ke atas.Daun-daun pohon Ek yang rimbun membentuk kanopi hijau gelap, menutupi langit yang semakin kelam. Suara derap kaki para pengejar sudah tidak terdengar lagi,
“Tembak!”Suara itu menggelegar, memecah kesunyian hutan. Itu adalah aba-aba untuk melepaskan anak panah.Ekspresi Kiran berubah pucat. Dia ingin berbalik, melarikan diri dari hujan anak panah yang akan datang, tapi kakinya seperti tertanam di tanah.Pimpinan Elf, yang wajahnya tampak muda, namun matanya penuh kebijaksanaan berabad-abad, menatapnya dengan ekspresi yang sulit diterka. Ada sesuatu dalam tatapan itu—sesuatu yang membuat Kiran merasa seperti sedang dihakimi.“Kita mati!” bisik Emma, suaranya bergetar ketakutan. Nethon hanya diam, tapi dari deru napasnya yang berat, jelas bahwa dia juga dilanda ketakutan yang sama.Namun, sebelum panik mereka mencapai puncak, pimpinan Elf itu mengangkat tangannya dengan gerakan halus.Seketika, desingan anak panah memecah udara, suaranya mengerikan seperti deru angin badai. Para Elf yang bersembunyi di balik pepohonan Ek melepaskan anak panah mereka. Suara itu semakin keras, berubah menjadi gemuruh seperti guntur.Percikan api menyala di u
“Ayo ikut denganku,” tiba-tiba wajah Pigenor berubah menjadi ramah, senyumnya hangat tapi tetap menyimpan aura misterius.“M-Maksud Anda, Tuan?” Kiran bertanya dengan gugup. Dia masih tidak bisa melupakan keangkeran yang ditunjukkan Pigenor saat mengancam Krado dengan sihir pedangnya. Tangan Kiran mengepal erat, siap untuk bertindak jika diperlukan.Emma dan Nethon saling berpegangan tangan. Meski mereka adalah ahli dalam bidang tempur, berhadapan dengan Pigenor—sosok Elf yang hanya pernah mereka dengar dalam kisah-kisah legenda di akademi—adalah hal yang sama sekali berbeda.Ada sesuatu tentang Elf itu yang membuat mereka merasa kecil dan rentan.“Ah, kalian takut padaku, ya?” ujar Pigenor, suaranya lembut tapi penuh makna. “Perkenalkan, aku Pigenor, mewakili kaum Elf, mengundang kalian bertiga untuk beristirahat di Hutan Luthion selama beberapa hari. Apa kalian berminat melihat dunia kami, kaum Elf?” tanyanya, ekspresinya semakin ramah, seolah mencoba menghilangkan ketegangan.Aura
Matahari pagi bersinar hangat menyinari Desa Chandrapur.Kiran duduk di beranda rumah keluarga Rajagopal, menikmati secangkir teh rempah yang disajikan Nyonya Ranya. Pikirannya masih dipenuhi oleh pengalaman mistisnya di kuil semalam—pertemuan dengan Dewa Hiranyakashipu yang entah nyata atau hanya halusinasi akibat bunga popy."Dengarkan angin yang berbisik di antara daun-daun tertua," gumam Kiran, mengulang teka-teki yang diberikan oleh dewa itu."Ikuti aliran sungai yang tidak pernah mengalir ke laut..."Tiba-tiba..."Kau mengatakan sesuatu, anak muda?" tanya Surya Rajagopal, bergabung dengan Kiran di beranda.Hanya terkejut sesaat, Kiran menggeleng pelan."Hanya memikirkan perjalananku selanjutnya," jawabnya. Ia meletakkan cangkir tehnya dan menatap Surya dengan tenang."Aku sudah memuuskan. Harus pergi ke ibukota—ke Zahranar. Aku perlu mencari informasi lebih banyak tentang Suku Devahari," kata Kiran, menggambarkan sesuatu yang mendesak.Surya Rajagopal mengangguk pelan. Ada kilat
Kiran setelah menenggak ekstrak bunga popy...Kuil di sekitarnya mulai berubah. Dinding-dinding batu seolah meleleh dan berubah menjadi cahaya keemasan yang berpendar lembut. Lantai di bawah kakinya tidak lagi terasa keras, melainkan seperti awan yang lembut.Patung Hiranyakashipu di hadapannya tampak berkilau dengan cahaya dari dalam, mata permatanya berkedip-kedip seperti bintang.Kiran merasakan tubuhnya melayang, terlepas dari gravitasi. Ia tidak lagi berada di kuil, melainkan di sebuah ruang tak terbatas yang dipenuhi cahaya keemasan dan ungu.Tidak ada langit, tidak ada tanah—hanya keindahan murni yang tak terlukiskan. Bunga-bunga berwarna-warni melayang di sekitarnya, memancarkan aroma yang memabukkan. Musik lembut terdengar dari segala arah, seperti ribuan harpa yang dimainkan oleh tangan-tangan tak terlihat."Apakah ini... nirwana?" bisik Kiran, terpesona oleh keindahan di sekelilingnya."Bukan nirwana, anak muda," jawab sebuah suara yang dalam dan bergema. "Hanya sebuah ruan
Kiran menunggu hingga tengah malam, ketika seluruh desa telah terlelap.Suara-suara malam—jangkrik, burung hantu, dan angin yang berdesir di antara pepohonan—menjadi satu-satunya pengiring langkahnya. Dengan hati-hati, ia menyelinap keluar dari rumah Rajagopal, membawa cairan ekstrak bunga popy dalam botol kecil yang ia temukan di dapur.Kon dan Burs mengikutinya, terbang rendah dan bersembunyi di balik bayangan.Kuil Hiranyakashipu tampak berbeda di malam hari—lebih misterius dan sedikit mengintimidasi. Bangunan batu itu seolah menyerap cahaya bulan, menciptakan siluet gelap yang menjulang di tengah desa.Cahaya bulan menyinari ukiran-ukiran di dindingnya, menciptakan bayangan-bayangan aneh yang seolah bergerak dan menari. Beberapa pendeta masih terlihat berjaga di sekitar kuil, melakukan ritual malam mereka dengan lilin-lilin dan dupa yang menyala redup."Bagaimana kita bisa masuk tanpa terlihat?" bisik Burs, mengamati para pendeta dari kejauhan. Matanya yang tajam menghitung jumlah
Kiran menatap bunga yang cantik, secantik namanya... “Popy”Dengan hati-hati, ia memetik beberapa kuntum bunga popy yang paling mekar, memilih dari berbagai warna—merah darah yang menyala seperti api, ungu kebiruan yang dalam seperti langit senja, dan putih murni bagai salju pertama.Kelopak-kelopak tipis itu terasa lembut di antara jemarinya, namun ia bisa merasakan getaran aneh—hampir seperti denyut kehidupan—dari bunga-bunga tersebut. Ia memasukkan bunga-bunga itu ke dalam kantong kecil di balik jubahnya, memastikan tidak ada yang melihat tindakannya."Tuan, apa yang kau lakukan?" bisik Kon, mengintip dari tas Kiran dengan mata besarnya yang berkilau cemas. "Bukankah mereka bilang bunga itu berbahaya?""Kadang-kadang kita perlu mengambil risiko untuk mendapatkan jawaban," jawab Kiran pelan, matanya terus mengawasi keadaan sekitar."Jika bunga ini bisa membantuku berkomunikasi dengan dewa mereka, mungkin aku bisa mendapatkan petunjuk tentang Suku Devahari.""Tapi bagaimana cara meng
Setelah berpikir kira-kira lima tarikan nafas... "Suku Devahari adalah legenda kuno," jawab Surya setelah jeda yang cukup panjang itu. Suaranya berubah lebih dalam."Konon, mereka adalah suku pertama yang mendiami Zolia, jauh sebelum Kekaisaran terbentuk. Mereka dikatakan memiliki hubungan khusus dengan para dewa, mampu melakukan sihir yang tidak bisa dilakukan oleh manusia biasa.""Mereka bisa memanipulasi elemen," tambah Ranya, matanya berkilat penuh keingintahuan."Air, api, tanah, udara—semua tunduk pada kehendak mereka. Beberapa cerita bahkan menyebutkan mereka bisa berbicara dengan hewan dan tumbuhan."Keheningan..."Tapi itu hanya cerita untuk anak-anak sekarang," lanjut Surya, suaranya sedikit lebih pelan."Tidak ada yang pernah bertemu dengan anggota Suku Devahari dalam beberapa generasi terakhir. Banyak yang percaya mereka telah punah, atau mungkin hanya mitos belaka."Kiran merasakan kekecewaan menyelimuti hatinya.Jika bahkan penduduk Zolia sendiri menganggap Suku Devahari
Matahari siang bersinar terang di atas Kuil Hiranyakashipu, sinarnya menembus kaca-kaca berwarna pada jendela tinggi kuil, menciptakan pola-pola mistis di lantai marmer yang dingin.Kiran masih berlutut di depan altar, matanya tak lepas dari patung dewa yang baru saja berkedip padanya. Jantungnya berdegup kencang, campuran antara takjub dan kebingungan."Tuan Rajagopal... Apa anda melihatnya?" bisik Kiran kepada Surya yang berlutut di sampingnya. Suaranya hampir tak terdengar di tengah gumaman doa para penduduk desa."Melihat apa?" tanya Surya, menoleh dengan alis terangkat. Cahaya lilin menyinari wajahnya yang kebingungan."Patung itu..." Kiran menunjuk ke arah patung Hiranyakashipu yang menjulang—sosok dengan empat tangan yang masing-masing memegang simbol kekuasaan berbeda."Matanya berkedip padaku."Surya menatap Kiran dengan pandangan heran, kemudian tertawa kecil."Ah, mungkin itu hanya pantulan cahaya matahari dari jendela kuil, anak muda. Atau mungkin kau terlalu lelah setela
Rumah Surya terletak di ujung desa, dikelilingi kebun bunga yang indah dan pohon-pohon yang rindang. Bangunannya lebih besar dari rumah-rumah lainnya namun tetap sederhana, dengan teras luas yang dihiasi tanaman merambat berbunga ungu.Ranya, istri Surya, menyambut Kiran dengan senyum hangat. Wanita itu memiliki wajah yang lembut dengan mata yang memancarkan kebijaksanaan, dan rambut hitamnya yang panjang digelung rapi dengan hiasan bunga kecil.Ia segera menyiapkan makanan berlimpah—nasi dengan kari daging yang mengepulkan aroma rempah menggoda, roti pipih yang disebut naan yang masih hangat dari tungku tanah liat, dan berbagai macam sayuran yang dimasak dengan rempah-rempah wangi yang tidak Kiran kenali."Makanlah yang banyak," kata Ranya dengan nada keibuan, terus menambahkan makanan ke piring Kiran meskipun ia sudah mengatakan cukup. Tangannya yang lincah terus menyendokkan lauk-pauk ke piring Kiran."Kau terlalu kurus. Perjalanan pasti sangat berat."Malam itu, setelah makan mala
"Ah, seorang pengembara!" seru seorang wanita gemuk dengan gelang-gelang perak yang berdenting merdu di pergelangan tangannya setiap kali ia bergerak."Dan lihat wajahmu yang unik! Kau pasti dari Qingchang, bukan? Sangat jarang kami melihat orang Qingchang di sini."Kiran mengangguk kaku, menunggu reaksi negatif yang pasti akan muncul setelah identitasnya terungkap. Namun, yang ia dapatkan justru lebih banyak senyuman dan tatapan kagum, seolah ia adalah makhluk eksotis yang menarik untuk diamati."Sungguh menarik! Matamu seperti serigala—tajam dan penuh kewaspadaan," komentar seorang pedagang kain, mengamati Kiran dari atas ke bawah dengan tatapan menilai."Dan kulitmu yang putih kekuningan... sangat kontras dengan kulit kami yang kecokelatan. Kau pasti akan terlihat menakjubkan dengan kain sutra biru langit ini!" Ia mengangkat selembar kain berwarna biru cerah dengan bordiran perak."Kau harus mampir ke rumahku untuk makan siang!" ajak seorang ibu dengan antusias, menarik lengan Kira
Matahari pagi bersinar lembut di atas padang rumput yang membentang hingga kaki bukit di kejauhan, menyelimuti tanah dengan cahaya keemasan yang hangat.Embun pagi masih menggantung di ujung-ujung rumput tinggi, berkilauan seperti permata kecil saat tersentuh sinar matahari.Kiran berjalan dengan langkah berat, jubah perjalanannya yang dulu berwarna merah kini kotor oleh debu dan robek di beberapa bagian, berkibar lembut tertiup angin pagi yang sejuk.Crimson Dawn—pedang legendaris dengan bilah merah darah yang konon ditempa dari logam langit—tersarung rapat di punggungnya, tersembunyi di balik kain lusuh untuk menghindari perhatian yang tidak diinginkan.Energi sihir yang biasanya berpendar dari pedang itu kini diredam, hanya sesekali berkedut seperti detak jantung yang tertidur.Tiga hari telah berlalu sejak pertempuran dahsyat di Tembok Perbatasan. Tiga hari penuh kewaspadaan dan kekhawatiran yang menggerogoti pikiran Kiran seperti racun lambat.Setiap kali memejamkan mata, bayanga