Hari ketiga setelah sidang pengadilan di balairung istana raja. Suasana kota Qingchang pagi itu riuh rendah, dipenuhi oleh desas-desus dan bisikan-bisikan yang bergulir seperti angin.
Tuk – tak – tuk – tak!
Suara roda kereta kuda bergema di jalanan berbatu, mengiringi langkah kuda-kuda putih yang gagah. Di belakang kereta, sebuah kerangkeng besi setinggi manusia terlihat jelas.
Di dalamnya, seorang pemuda berdiri tegak, tubuhnya dibelenggu rantai yang mengikat pergelangan tangan dan kakinya. Wajahnya tenang, tapi matanya yang dingin memancarkan ketegaran.
“Siapa dia? Apakah dia tahanan raja?” tanya seorang wanita tua, suaranya bergetar penuh rasa ingin tahu.
“Dia masih begitu muda. Sungguh kasihan!” sahut yang lain, suaranya lirih namun penuh simpati.
Semua mata penduduk Kota Qingchang tertuju pada kerangkeng itu. Mereka berdesakan, mencoba melihat lebih dekat sosok yang menjadi tahanan.
Rantai yang membelenggu pemuda itu berderak setiap kali kereta bergerak, seolah mengingatkan semua orang bahwa dia bukanlah orang biasa.
“Minggir!” bentak salah satu prajurit Tentara Suci yang menunggang kuda putih. Pedangnya terhunus, matanya tajam seperti elang.
Para tentara suci dengan tegas menghalau siapa pun yang berani mendekat, memastikan tak ada yang mengganggu perjalanan ini.
Angin pagi berhembus dingin, menyapu rambut Kiran yang terurai. Dia membuka matanya perlahan, menatap sekeliling dengan pandangan yang tak tergoyahkan.
Pipinya terasa basah oleh embun, tapi tak ada emosi yang terlihat di wajahnya.
“Mereka sengaja mempermalukanku, menjadikanku tontonan,” pikir Kiran dalam hati. Tapi dia tak menunjukkan rasa takut atau sedih. Tubuhnya tetap tegak, seolah tak peduli dengan segala pandangan dan bisikan yang mengikutinya.
Tiba-tiba, sekelompok anak kecil berlarian mendekati iring-iringan itu. Mereka berteriak-teriak, wajah-wajah polos mereka dipenuhi rasa penasaran dan keberanian.
“Pengkhianat terkutuk!” teriak salah satu anak, melemparkan telur busuk ke arah Kiran. Telur itu menghantam kepala Kiran, pecah dan mengalir ke wajahnya.
Anak-anak lain ikut melemparkan botol berisi air comberan, membuat suasana semakin gaduh.
Kiran, yang tubuhnya terpenjara dan kekuatan sihirnya telah dibelenggu, hanya bisa menutup mata. Dia menerima hinaan itu tanpa perlawanan, seolah tak peduli dengan segala yang terjadi di sekitarnya.
Namun, provokasi dari anak-anak itu memicu reaksi yang lebih besar.
Penduduk yang awalnya merasa iba, tiba-tiba berubah. Ekspresi mereka berubah beringas, mata-mata mereka menyala dengan kemarahan dan kecurigaan.
“Dia pengkhianat? Apa kesalahannya?” tanya seorang pria, suaranya keras dan penuh amarah.
“Aku dengar dia bersekutu dengan kelompok rahasia, ingin menggulingkan raja!” sahut yang lain, suaranya penuh keyakinan.
“Tidak! Kamu salah. Dia penyihir, yang konon akan menipu raja, menjatuhkan Qingchang kita ke dalam perang melawan Kekaisaran Hersen!” teriak seorang wanita, wajahnya pucat ketakutan.
“Apa? Dia dari kelompok Phoenix Merah? Anak muda itu sungguh berani. Dia tak takut dikutuk Raja Hersen?” bisik seorang lelaki tua, suaranya gemetar.
Tidak lebih dari lima tarikan napas, suasana di sepanjang jalan dari penjara istana menuju alun-alun berubah menjadi hiruk-pikuk. Kerumunan orang yang berjejal di pinggir jalan mulai melontarkan kemarahan mereka.
“Bunuh dia!” teriak seorang lelaki dengan wajah merah padam.
“Hukum mati dia!” jerit seorang wanita, tangannya menunjuk ke arah Kiran yang terkurung dalam kerangkeng besi.
“Dia akan membawa negeri ini ke dalam perang tak berujung!” tambah suara lain, penuh kebencian.
Awalnya, hanya telur busuk yang dilemparkan oleh anak-anak nakal. Namun, semakin lama, benda-benda yang lebih keras dan berbahaya mulai melayang ke arah Kiran.
Batu, potongan kayu, bahkan sepatu tua—semua beterbangan menuju kerangkeng besi yang menguncinya.
Klontang!
PANG!
Suara gemerincing jeruji besi bergema setiap kali benda-benda itu menghantam kerangkeng. Beberapa batu meleset, mendarat dengan keras di besi-besi yang dingin.
Namun, beberapa lainnya menemukan sasarannya. Sebuah batu tajam menghantam wajah Kiran, meninggalkan luka kecil di pelipisnya.
Darah segar mulai mengalir, tapi Kiran tetap diam. Matanya yang dingin menatap lurus ke depan, seolah semua ini tidak berarti apa-apa baginya.
Di dalam hatinya yang telah membatu, bisikan dingin bergema. “Semua ini tidak ada artinya. Tidak ada yang bisa menyamai rasa sakit yang dirasakan ayah dan ibuku.”
Wajah Kiran diselimuti kabut kesedihan, tapi tidak ada air mata yang jatuh. Hatinya telah terlalu keras untuk menangis.
Tak lama kemudian, iring-iringan itu tiba di alun-alun kota. Suara gemuruh kerumunan semakin keras, memenuhi udara dengan teriakan penuh kebencian.
“Hukum dia!”
“Gantung dia!”
Suara-suara itu bergemuruh seperti guntur, seolah langit sendiri akan terbelah oleh kemarahan mereka. Namun, bagi Kiran, semua itu terdengar seperti bisikan jauh. Telinganya hanya menangkap keheningan, keheningan yang sama seperti yang ia rasakan belasan tahun lalu.
Matanya menatap panggung di tengah alun-alun.
Tumpukan kayu bakar yang disusun rapi di atasnya membuat dadanya sesak. Pemandangan itu terlalu familiar, terlalu mirip dengan kejadian yang pernah ia saksikan di masa kecilnya.
“Panggung dengan tumpukan kayu bakar untuk membakar tahanan... ini seperti dejavu,” batin Kiran, hatinya terasa berat.
Ia teringat pada hari itu, ketika ia masih kecil, berdiri di antara kerumunan bersama ibunya. Mereka menyaksikan pendongeng Niraj Singh dihukum di Kota Begonia.
Bahkan ekspresi Niraj Singh yang ketakutan ketika itu, masih terbayang jelas di benaknya. “Dan sekarang, giliranku! Aku juga dituduh sebagai mata-mata Klan Phoenix Merah—tuduhan yang sama yang menghancurkan hidup Niraj Singh!”
Kiran mengepalkan tangannya erat-erat.
Hatinya berdarah membayangkan wajah ibunya yang tak tega melihat Niraj terbakar di atas panggung.
Kenangan itu masih segar, seolah baru terjadi kemarin. Dan sekarang, ia akan menghadapi nasib yang sama.
Bersambung
Sementara itu, jauh dari keramaian alun-alun ibu kota, Raja Thalion Stormrider berdiri di balkon tinggi istananya.Teleskop perak di tangannya mengarah ke alun-alun kota, lensanya menangkap setiap detail dari kejauhan. Sorot matanya tajam, menembus jarak untuk memastikan sesuatu yang penting terjadi di sana."Dia sudah tiba," gumam Raja dengan suara rendah yang penuh kepuasan. "Semoga tubuh dan jiwanya terbakar habis, dan Raja Hersen memaafkan Qingchang."Di sampingnya, Kanselir Agung Cedric Ironwood berdiri dengan sikap tenang. Wajahnya yang berkerut oleh usia dan pengalaman tampak ikut senang."Raja tak perlu khawatir," ujar Kanselir, suaranya halus namun penuh keyakinan. "Aku sudah memerintahkan Menteri Sihir dan Kepala Akademi Sihir untuk berjaga-jaga di alun-alun.""Mereka telah menyiapkan pasukan sihir terbaik untuk menangkal segala serangan. Jika Klan Phoenix Merah muncul dan mencoba membuat kekacauan, mereka akan dihadapi dengan kekuatan yang tak tertandingi."Raja menurunkan
BOOM!Suara ledakan mengguncang alun-alun ketika obor yang dilempar algojo menghantam tumpukan kayu kering. Api langsung menjilat ke atas, membakar udara dengan panas yang menyengat.Di langit, awan gelap mulai berkumpul, seakan alam turut merasakan ketegangan yang memuncak.Derak nyala api terdengar seperti suara ular yang mendesis, sementara asap tebal mulai mengepul ke langit.“Hukuman telah dilaksanakan!” teriak algojo dengan suara keras, mengangkat tangannya ke kerumunan. “Biarkan penyihir ini mati, menebus hutang darah atas perbuatan The Flame, sang Phoenix!”Sorak-sorai dan desisan memenuhi alun-alun.Wajah-wajah penduduk yang menonton tampak keras dan puas, tanpa belas kasihan. Namun, di antara kerumunan, beberapa suara lirih terdengar, seperti bisikan yang takut dihukum.“Dia masih muda... terlalu muda untuk mati seperti ini.”“Apakah kesalahannya sebesar itu? Dia hanya dituduh sebagai mata-mata. Belum ada bukti yang jelas.”Kiran, yang terikat di tiang kayu, mulai gelisah.A
Kiran terbangun ketika hari sudah senja keesokan harinya. Dalam tidurnya—atau lebih tepatnya, dalam keadaan tidak sadarkan diri—dia bermimpi sedang berdoa di Kuil Dewa Tempestia, dewa yang dipuja di dataran Tengah.Dalam mimpinya, para pendeta di kuil membunyikan lonceng, suaranya berdengung keras, menggema dari dunia lain yang misterius. Suara itu menusuk ke dalam benaknya, membuatnya merasa terpisah dari kenyataan.“Di mana aku?” gumam Kiran perlahan saat bangun dari tempat tidurnya yang sederhana.Selimut tebal yang menumpuk di atas jerami terasa kasar di kulitnya. Dia mengusap wajah, mencoba mengusir sisa-sisa mimpi yang masih membayangi pikirannya.Pandangannya tertuju ke arah jendela kecil di kamar itu. Dari sana, ia bisa melihat Ibukota Qingchang yang megah, dengan menara-menara tinggi menjulang dan lampu-lampu yang mulai menyala seiring datangnya malam.“Sebuah kamar rahasia, di bangunan diatas bukit?” Kiran menyipitkan mata.Pikirannya masih melayang, mencoba mengingat apa ya
“Kalian masuk lebih dulu!” bisik Emma pelan, suaranya hampir tak terdengar. Ia menunjuk ke arah selokan yang gelap, airnya menggenang busuk dengan bau menyengat yang memenuhi udara.Malam ini terlalu berbahaya. Setiap langkah harus dihitung cermat, setiap suara bisa menjadi petaka. Selalu ada mata-mata atau formasi sihir yang siap menangkap pergerakan mencurigakan.Nethon melompat masuk ke dalam lubang saluran pembuangan tanpa ragu, tubuhnya menghilang dalam kegelapan.Kiran menyusul dengan gerakan cepat, dan terakhir Emma, yang meluncur dengan gesit. Sebagai pengendali air, Emma tak kesulitan menghadapi lingkungan basah dan kotor ini. Air adalah sekutunya, bahkan dalam keadaan paling buruk sekalipun.“Nyalakan cahaya!” perintah Emma singkat, suaranya tetap bernada rendah.Tangan Nethon bergerak cepat membentuk segel sihir. Udara di sekitarnya bergetar halus sebelum mantra terlontar. Sebuah titik cahaya redup muncul di ujung jari telunjuknya, mirip nyala lilin yang kecil namun cukup u
Kiran menarik napas dalam-dalam sebelum menyelam ke dalam air yang gelap. Dari balik kabut air yang keruh, dia melihat anak panah meluncur masuk ke dalam arus deras, kecepatannya melambat seiring kedalaman.“Beruntung aku tumbuh di kota kecil. Berenang di sungai bukan hal baru bagiku. Setidaknya, dengan menyelam, aku bisa mengurangi daya serang anak panah dan menghindarinya,” gumam Kiran.Matanya terbuka lebar di dalam air, menatap sekeliling dengan waspada.Cahaya obor yang menyala dari atas memantulkan bayangan samar-samar. Kiran melihat setidaknya sepuluh tentara berdiri di tepi parit, mengelilingi Kota Qingchang. Senjata mereka siap, mata mereka tajam, mencari tanda-tanda gerakannya.“Tapi aku tidak bisa selamanya menyelam. Aku akan kehabisan napas. Aku harus naik ke permukaan dan menghadapi mereka—hidup atau mati.”Kakinya bergerak cepat, menyeret tubuhnya ke tepian. Kepalanya muncul dari air, menghirup udara segar dengan cepat.Di belakangnya, Kiran mendengar suara bentakan dan
"Mari kita adu undi!" Kiran melangkah maju, suaranya tegas namun tidak meninggi. Emma, yang selama ini memimpin, hanya diam.Matanya menatap jauh ke arah desa yang lampu-lampunya mulai menyala, memancarkan kehangatan yang menggoda.Bau makanan yang menguar dari desa itu seolah memanggil mereka, tapi Emma ragu. Apakah mereka harus mengambil risiko masuk ke desa, atau bertahan di hutan yang gelap dengan rasa lapar, dan makanan hambar?Ketiganya berdiri dalam lingkaran kecil, tangan mereka terkepal, siap untuk undian yang akan menentukan nasib mereka malam ini. Kepalan tangan, telapak terbuka, atau tinju—aturan sederhana yang mereka sepakati."Menang! Artinya kita masuk desa!" Kiran berseru, melihat telapak tangan mereka bertiga terbuka lebar. Senyum kecil mengembang di wajahnya, meski ada bayangan kehati-hatian di matanya.Dengan langkah percaya diri, ketiga anak muda itu memasuki desa.Lampu-lampu minyak yang tergantung di depan rumah-rumah menerangi jalan mereka, menciptakan bayangan p
Karena hari sudah larut malam, ketika Kiran dan kawan-kawannya bersiap untuk pergi, Hans dan Selima menghentikan mereka di ambang pintu. Udara dingin malam menyelinap masuk, menggigit kulit mereka yang sudah lelah.“Mengapa buru-buru pergi?” tanya Hans, suaranya penuh keprihatinan. Matanya menatap Kiran, Ethon, dan terutama Emma dengan pandangan yang dalam. “Diluar sana dinginnya bisa membekukan tulang. Apa kalian yakin bisa bertahan tidur di bawah langit tanpa selimut?”Selima, perempuan gemuk itu, langsung melangkah maju. Wajahnya merah padam, suaranya meninggi. “Apa yang kalian pikirkan? Membawa Emma, seorang gadis, keluar di malam hari seperti ini? Ini tidak pantas! Dia butuh kehangatan dan kenyamanan, bukan tidur di tengah hutan seperti binatang!”Tanpa menunggu jawaban, Selima langsung bergegas merapikan ruang tamu kecil di depan perapian. Rumah itu memang sederhana, hanya memiliki dua kamar tidur.“Kalian bisa tidur di sini, dekat perapian. Setidaknya kalian tidak kedinginan,”
Kiran berlari tergesa-gesa, napasnya tersengal-sengal. Dia bahkan lupa mengucapkan terima kasih pada perempuan Gypsi itu.Tanpa berpikir panjang, dia memotong jalan melewati padang bunga, melintasi semak-semak yang menghalangi, hingga akhirnya tiba di gubuk Hans dan Selima.“Nethon! Emma! Kita harus pergi—sekarang!” teriak Kiran di depan pintu, suaranya memecah keheningan pagi. Tanpa menunggu respon, dia mendorong pintu dengan kasar, hampir merobohkannya.Nethon, yang masih duduk di lantai berselimut kain usang, menikmati sisa kehangatan dari perapian, langsung menatap Kiran dengan tatapan kesal. “Ada apa, Kiran? Jangan bilang kamu melihat tentara Qinchang,” ujarnya sambil menguap, masih bermalas-malasan.“Sayangnya, tebakanmu benar!” jawab Kiran, wajahnya tegang.Nethon langsung duduk tegak, ekspresi malasnya hilang seketika.“Kita harus pergi sekarang. Di mana Emma?” tanya Kiran, matanya melirik ke kamar tempat Emma menginap semalam. Kosong.“Dia pergi sebentar,” jawab Nethon sambil
Matahari pagi bersinar hangat menyinari Desa Chandrapur.Kiran duduk di beranda rumah keluarga Rajagopal, menikmati secangkir teh rempah yang disajikan Nyonya Ranya. Pikirannya masih dipenuhi oleh pengalaman mistisnya di kuil semalam—pertemuan dengan Dewa Hiranyakashipu yang entah nyata atau hanya halusinasi akibat bunga popy."Dengarkan angin yang berbisik di antara daun-daun tertua," gumam Kiran, mengulang teka-teki yang diberikan oleh dewa itu."Ikuti aliran sungai yang tidak pernah mengalir ke laut..."Tiba-tiba..."Kau mengatakan sesuatu, anak muda?" tanya Surya Rajagopal, bergabung dengan Kiran di beranda.Hanya terkejut sesaat, Kiran menggeleng pelan."Hanya memikirkan perjalananku selanjutnya," jawabnya. Ia meletakkan cangkir tehnya dan menatap Surya dengan tenang."Aku sudah memuuskan. Harus pergi ke ibukota—ke Zahranar. Aku perlu mencari informasi lebih banyak tentang Suku Devahari," kata Kiran, menggambarkan sesuatu yang mendesak.Surya Rajagopal mengangguk pelan. Ada kilat
Kiran setelah menenggak ekstrak bunga popy...Kuil di sekitarnya mulai berubah. Dinding-dinding batu seolah meleleh dan berubah menjadi cahaya keemasan yang berpendar lembut. Lantai di bawah kakinya tidak lagi terasa keras, melainkan seperti awan yang lembut.Patung Hiranyakashipu di hadapannya tampak berkilau dengan cahaya dari dalam, mata permatanya berkedip-kedip seperti bintang.Kiran merasakan tubuhnya melayang, terlepas dari gravitasi. Ia tidak lagi berada di kuil, melainkan di sebuah ruang tak terbatas yang dipenuhi cahaya keemasan dan ungu.Tidak ada langit, tidak ada tanah—hanya keindahan murni yang tak terlukiskan. Bunga-bunga berwarna-warni melayang di sekitarnya, memancarkan aroma yang memabukkan. Musik lembut terdengar dari segala arah, seperti ribuan harpa yang dimainkan oleh tangan-tangan tak terlihat."Apakah ini... nirwana?" bisik Kiran, terpesona oleh keindahan di sekelilingnya."Bukan nirwana, anak muda," jawab sebuah suara yang dalam dan bergema. "Hanya sebuah ruan
Kiran menunggu hingga tengah malam, ketika seluruh desa telah terlelap.Suara-suara malam—jangkrik, burung hantu, dan angin yang berdesir di antara pepohonan—menjadi satu-satunya pengiring langkahnya. Dengan hati-hati, ia menyelinap keluar dari rumah Rajagopal, membawa cairan ekstrak bunga popy dalam botol kecil yang ia temukan di dapur.Kon dan Burs mengikutinya, terbang rendah dan bersembunyi di balik bayangan.Kuil Hiranyakashipu tampak berbeda di malam hari—lebih misterius dan sedikit mengintimidasi. Bangunan batu itu seolah menyerap cahaya bulan, menciptakan siluet gelap yang menjulang di tengah desa.Cahaya bulan menyinari ukiran-ukiran di dindingnya, menciptakan bayangan-bayangan aneh yang seolah bergerak dan menari. Beberapa pendeta masih terlihat berjaga di sekitar kuil, melakukan ritual malam mereka dengan lilin-lilin dan dupa yang menyala redup."Bagaimana kita bisa masuk tanpa terlihat?" bisik Burs, mengamati para pendeta dari kejauhan. Matanya yang tajam menghitung jumlah
Kiran menatap bunga yang cantik, secantik namanya... “Popy”Dengan hati-hati, ia memetik beberapa kuntum bunga popy yang paling mekar, memilih dari berbagai warna—merah darah yang menyala seperti api, ungu kebiruan yang dalam seperti langit senja, dan putih murni bagai salju pertama.Kelopak-kelopak tipis itu terasa lembut di antara jemarinya, namun ia bisa merasakan getaran aneh—hampir seperti denyut kehidupan—dari bunga-bunga tersebut. Ia memasukkan bunga-bunga itu ke dalam kantong kecil di balik jubahnya, memastikan tidak ada yang melihat tindakannya."Tuan, apa yang kau lakukan?" bisik Kon, mengintip dari tas Kiran dengan mata besarnya yang berkilau cemas. "Bukankah mereka bilang bunga itu berbahaya?""Kadang-kadang kita perlu mengambil risiko untuk mendapatkan jawaban," jawab Kiran pelan, matanya terus mengawasi keadaan sekitar."Jika bunga ini bisa membantuku berkomunikasi dengan dewa mereka, mungkin aku bisa mendapatkan petunjuk tentang Suku Devahari.""Tapi bagaimana cara meng
Setelah berpikir kira-kira lima tarikan nafas... "Suku Devahari adalah legenda kuno," jawab Surya setelah jeda yang cukup panjang itu. Suaranya berubah lebih dalam."Konon, mereka adalah suku pertama yang mendiami Zolia, jauh sebelum Kekaisaran terbentuk. Mereka dikatakan memiliki hubungan khusus dengan para dewa, mampu melakukan sihir yang tidak bisa dilakukan oleh manusia biasa.""Mereka bisa memanipulasi elemen," tambah Ranya, matanya berkilat penuh keingintahuan."Air, api, tanah, udara—semua tunduk pada kehendak mereka. Beberapa cerita bahkan menyebutkan mereka bisa berbicara dengan hewan dan tumbuhan."Keheningan..."Tapi itu hanya cerita untuk anak-anak sekarang," lanjut Surya, suaranya sedikit lebih pelan."Tidak ada yang pernah bertemu dengan anggota Suku Devahari dalam beberapa generasi terakhir. Banyak yang percaya mereka telah punah, atau mungkin hanya mitos belaka."Kiran merasakan kekecewaan menyelimuti hatinya.Jika bahkan penduduk Zolia sendiri menganggap Suku Devahari
Matahari siang bersinar terang di atas Kuil Hiranyakashipu, sinarnya menembus kaca-kaca berwarna pada jendela tinggi kuil, menciptakan pola-pola mistis di lantai marmer yang dingin.Kiran masih berlutut di depan altar, matanya tak lepas dari patung dewa yang baru saja berkedip padanya. Jantungnya berdegup kencang, campuran antara takjub dan kebingungan."Tuan Rajagopal... Apa anda melihatnya?" bisik Kiran kepada Surya yang berlutut di sampingnya. Suaranya hampir tak terdengar di tengah gumaman doa para penduduk desa."Melihat apa?" tanya Surya, menoleh dengan alis terangkat. Cahaya lilin menyinari wajahnya yang kebingungan."Patung itu..." Kiran menunjuk ke arah patung Hiranyakashipu yang menjulang—sosok dengan empat tangan yang masing-masing memegang simbol kekuasaan berbeda."Matanya berkedip padaku."Surya menatap Kiran dengan pandangan heran, kemudian tertawa kecil."Ah, mungkin itu hanya pantulan cahaya matahari dari jendela kuil, anak muda. Atau mungkin kau terlalu lelah setela
Rumah Surya terletak di ujung desa, dikelilingi kebun bunga yang indah dan pohon-pohon yang rindang. Bangunannya lebih besar dari rumah-rumah lainnya namun tetap sederhana, dengan teras luas yang dihiasi tanaman merambat berbunga ungu.Ranya, istri Surya, menyambut Kiran dengan senyum hangat. Wanita itu memiliki wajah yang lembut dengan mata yang memancarkan kebijaksanaan, dan rambut hitamnya yang panjang digelung rapi dengan hiasan bunga kecil.Ia segera menyiapkan makanan berlimpah—nasi dengan kari daging yang mengepulkan aroma rempah menggoda, roti pipih yang disebut naan yang masih hangat dari tungku tanah liat, dan berbagai macam sayuran yang dimasak dengan rempah-rempah wangi yang tidak Kiran kenali."Makanlah yang banyak," kata Ranya dengan nada keibuan, terus menambahkan makanan ke piring Kiran meskipun ia sudah mengatakan cukup. Tangannya yang lincah terus menyendokkan lauk-pauk ke piring Kiran."Kau terlalu kurus. Perjalanan pasti sangat berat."Malam itu, setelah makan mala
"Ah, seorang pengembara!" seru seorang wanita gemuk dengan gelang-gelang perak yang berdenting merdu di pergelangan tangannya setiap kali ia bergerak."Dan lihat wajahmu yang unik! Kau pasti dari Qingchang, bukan? Sangat jarang kami melihat orang Qingchang di sini."Kiran mengangguk kaku, menunggu reaksi negatif yang pasti akan muncul setelah identitasnya terungkap. Namun, yang ia dapatkan justru lebih banyak senyuman dan tatapan kagum, seolah ia adalah makhluk eksotis yang menarik untuk diamati."Sungguh menarik! Matamu seperti serigala—tajam dan penuh kewaspadaan," komentar seorang pedagang kain, mengamati Kiran dari atas ke bawah dengan tatapan menilai."Dan kulitmu yang putih kekuningan... sangat kontras dengan kulit kami yang kecokelatan. Kau pasti akan terlihat menakjubkan dengan kain sutra biru langit ini!" Ia mengangkat selembar kain berwarna biru cerah dengan bordiran perak."Kau harus mampir ke rumahku untuk makan siang!" ajak seorang ibu dengan antusias, menarik lengan Kira
Matahari pagi bersinar lembut di atas padang rumput yang membentang hingga kaki bukit di kejauhan, menyelimuti tanah dengan cahaya keemasan yang hangat.Embun pagi masih menggantung di ujung-ujung rumput tinggi, berkilauan seperti permata kecil saat tersentuh sinar matahari.Kiran berjalan dengan langkah berat, jubah perjalanannya yang dulu berwarna merah kini kotor oleh debu dan robek di beberapa bagian, berkibar lembut tertiup angin pagi yang sejuk.Crimson Dawn—pedang legendaris dengan bilah merah darah yang konon ditempa dari logam langit—tersarung rapat di punggungnya, tersembunyi di balik kain lusuh untuk menghindari perhatian yang tidak diinginkan.Energi sihir yang biasanya berpendar dari pedang itu kini diredam, hanya sesekali berkedut seperti detak jantung yang tertidur.Tiga hari telah berlalu sejak pertempuran dahsyat di Tembok Perbatasan. Tiga hari penuh kewaspadaan dan kekhawatiran yang menggerogoti pikiran Kiran seperti racun lambat.Setiap kali memejamkan mata, bayanga