Ting.
Satu notifikasi email muncul di layar HP Mira. Keningnya langsung mengernyit begitu mendapati keterangan booking hotel atas nama suaminya, Bima Maharaja.
“Mas Bima nginap di hotel?” Mira berujar dalam hati. “Atau jangan-jangan dia mau mengajak aku sama Kiran menginap di sana? Tapi apa dia enggak baca pesanku yang bilang kalau Kiran tiba-tiba demam?”
“Ma…” suara Kiran terdengar parau.
Seketika Mira bangkit dari kursi meja rias dan menghampiri putri semata wayangnya itu. Dia menatap Kiran dengan sendu sambil mengusap keningnya.
“Iya, Sayang?”
“Mama tidur sama Kiran ya? Kiran takut tidur sendirian,” tukas anak berumur empat tahun itu.
Mira menyunggingkan senyumnya. Telapak tangannya bisa merasakan panas dari kening Kiran.
“Mama pasti temani Kiran kok. Setelah Papa pulang, kita ke dokter ya?” Mira menarik selimut Kiran sampai menutupi dadanya.
Kiran mengangguk pelan. Setelah itu, Mira beringsut pelan di samping Kiran. Punggungnya bersandar pada kepala ranjang sambil memperhatikan layar ponselnya.
Kedua matanya memicing, menelusuri setiap tulisan yang tertera di email itu.
Hati Mira kini ketar-ketir karena ada notifikasi booking hotel untuk malam ini sampai dua hari ke depan yang masuk ke emailnya.
“Hotel Princeton?” ulangnya dalam hati. “Bukannya itu hotel bintang lima yang tarifnya selangit?”
Lantas, Mira menekan nomor suaminya. Terdengar nada sambung dari seberang sana.
“Nomor yang Anda hubungi tidak menjawab. Silakan tinggalkan pesan setelah nada berikut.”
Mira mendesah pelan. Tapi dia tidak menyerah untuk menghubungi suaminya lagi.
Jam dinding di kamar Kiran sudah menunjukkan pukul delapan malam. Seharusnya jam segini suaminya itu sudah sampai rumah, apalagi Mira sudah mengirim pesan kalau Kiran demam.
Nada sambung dari HP suaminya itu terus terdengar sampai akhirnya suara berat itu menyapa dirinya dengan sedikit ketus.
“Ada apa sih, Mir?! Aku masih sibuk kerja,” jawab Bima dengan kesal.
“Kamu di mana, Mas?” Tanya Mira tanpa basi-basi. “Apa kamu enggak baca pesanku?”
Bima mendengus keras. “Sudah kubilang aku lagi sibuk.”
“Sampai malam begini?”
“Ya, mau bagaimana lagi? Proyek kali ini begitu penting bagiku." Terang Bima.
“Kiran sakit. Dari tadi demamnya enggak turun-turun,” jawab Mira. “Sebaiknya kamu cepat pulang dan antar kami ke rumah sakit.”
“Kamu bisa kan naik taksi,” keluh Bima.
“Lho, kamu sendiri yang bilang aku enggak boleh naik taksi malam-malam,” balas Mira lagi.
“Kalau lagi emergency enggak masalah, Mir. Jangan saklek begitu deh,” tukas Bima sambil menggeleng pelan. “Lagian, kok bisa Kiran sampai sakit begitu?”
“Entahlah, Mas. Sepulang sekolah dia enggak enak badan. Dan sore tadi dia mulai batuk-batuk dan sekarang deman,” lirih Mira.
“Hah, kamu ini gimana sih? Enggak becus jagain Kiran,” semprot Bima yang kini berujar dengan nada tinggi.
“Maafkan aku, Mas. Mungkin Kiran tertular dari temannya di preschool,” ucap Mira lesu.
“Halah, kamu ini banyak alasan. Malah nyalahin temannya Kiran segala. Seharusnya kamu itu bisa menjaga Kiran dengan baik. Aku sudah bekerja keras lho untuk kalian. Masa menjaga Kiran supaya sehat saja kamu enggak bisa sih?”
Mira menarik napasnya dalam-dalam. “Aku juga enggak pengin Kiran sakit, Mas.”
“Makanya kamu harus ekstra menjaga Kiran. Seharian di rumah ngapain saja sih? Sampai anak bisa sakit begitu,” keluh Bima. “Ya sudah, sekarang aku izinin kamu ke rumah sakit naik taksi. Terus catat nomor taksinya. Nanti kabari aku soal Kiran.”
“Mas,” sergah Mira sebelum Bima mengakhiri sambungan telepon.
“Duh, apalagi sih, Mir?”
“Ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan.” Mira menggigit bibirnya keras-keras.
“Soal apa? Kamu enggak punya uang cash? Kan bisa ambil di ATM dulu?”
“Bukan soal itu. Aku mendapat email notifikasi booking hotel atas namamu untuk malam ini,” ujar Mira.
“A-apa?”
Kedua alis Mira bertautan mendengar suara suaminya yang nampak tergagap. “Memangnya kamu ada rencana untuk menginap malam ini?”
“I-itu pasti salah,” sambar Bima cepat.
“Salah gimana? Jelas-jelas booking-an hotel itu atas nama kamu, Mas.”
Terdengar suara Bima yang sedang mengembuskan napas panjang. “Sebenarnya, malam ini aku memang berencana enggak pulang. Banyak kerjaan yang harus kukerjakan. Tapi kurasa asistenku berinisiatif memesankan hotel untukku agar aku enggak perlu pulang jauh-jauh ke rumah.”
“Benar begitu? Tapi kenapa pakai akun pribadimu, Mas?” cecar Mira.
“Asistenku itu memang ceroboh, Mir. Kamu tahu sendiri kan?”
“Ceroboh? Maksudmu kamu, aspri kamu itu tahu akun yang biasa kamu pakai untuk booking hotel? Mas, itu kan akun pribadimu. Kalau disalahgunakan sama dia bagaimana?”
“Haduh, kamu cerewet banget sih. Enggak mungkinlah asisten aku menyalahgunakannya. Lagian, aku punya banyak poin di akun itu, Mir. Dulu kita kan sering menginap sama Kiran. Sayang kan kalau poinnya hangus.”
“Tapi Mas—“
“Begini saja, secepat mungkin aku akan menyelesaikan pekerjaannku dan pulang ke rumah. Lagian, gara-gara kamu Kiran jadi sakit. Aku enggak tenang kalau begini.”
“Ya sudah, Mas. Nanti aku kabari keadaan Kiran setelah dia diperiksa dokter.”
“Hm, oke.”
Tanpa basa-basi Bima memutuskan sambungan teleponnya padahal Mira ingin mengucapkan selamat tinggal.
Kini Mira kembali menoleh ke arah Kiran. Gadis mungil itu mendengkur pelan. Dahinya masih saja panas saat Mira mengeceknya.
Mira menghela napas pelan. Seketika omongan suaminya itu terlintas di kepalanya. Dia jadi merasa bersalah karena tidak becus menjaga Kiran.
*
“Kenapa Sayang?” Kedua lengan Vania merangkul pundak Bima sembari melayangkan kecupan kilat di pipi pria itu.
Bima mendesah pelan. “Kamu ceroboh.”
Vania mengernyitkan dahinya. “Kok kamu bilang gitu sih?”
Bima memutar tubuhnya. Dia menatap tubuh Vania yang begitu menggoda dengan lingerie merah berpotongan minim. Kedua dadanya menyembul indah, membuat jantung Bima berdebar kencang.
“Kamu pesan hotel ini dengan akun pribadiku. Dan akun itu tersambung langsung ke emailnya Mira,” terang Bima, menyugar rambutnya.
Vania membekap mulutnya. “Astaga, Sayang! Kamu kok enggak bilang sih? Tahu begitu aku booking hotel ini pakai akun aku aja. Apa Mira curiga?”
“Tentu saja, wanita itu punya insting yang kuat. Tapi tenang, aku berhasil mengelak kok.” Balas Bima lalu merangkul pinggul ramping Vania.
Vania mendekatkan tubuhnya pada dada bidang Bima. “Jadi, kamu akan tetap bersamaku malam ini kan?”
Bima menggeleng pelan. “Sayangnya, aku harus pulang.”
Kedua bibir Vania langsung melengkung ke bawah. “Sayang,” rengeknya. “Sudah lama kita enggak berduaan seperti ini. Lagian, aku sudah menantikan malam ini begitu lama.”
Bima mengelus rambut hitam Vania yang berkilau. “Aku juga sudah menantikan malam ini, Sayang. Tapi apa daya, Kiran sakit.”
Vania melepaskan rangkulan Bima. Dia menyeret kakinya ke pinggiran ranjang. Sontak Bima langsung menghampiri wanita itu. Pria itu mencium pelan pundak Vania.
“Maafkan aku ya?” pinta Bima sambil memohon. “Aku janji minggu depan aku akan meluangkan waktu untukmu.”
Vania hanya terdiam. Pandangannya tertuju pada jendela kamar hotel yang menawarkan pemandangan pencakar langit di kota Jakarta.
“Baiklah. Aku juga enggak tega kalau Kiran sakit,” ujar Vania kemudian.
Lantas, Bima menautkan bibirnya pada bibir Vania. “Makasih ya. Kamu memang pengertian. Hal itu membuatku tambah jatuh cinta padamu.”
Mendengar kalimat yang terlontar dari mulut Bima itu membuat kedua pipi Vania merona. Tangan Vania lalu membelai dagu Bima yang lancip.
“Aku juga mencintaimu, Bima.” timpal Vania sambil tersenyum tipis.
Kemudian mereka kembali berciuman dengan mesra sampai akhirnya dengan berat hati Bima melepaskan bibirnya dan meninggalkan Vania sendirian di kamar hotel.
“Papa, lihat ini!” Kiran mengitari ruang tengah dengan sepeda roda tiganya, sembari satu tangannya melambai ke udara.Bima menengadahkan kepalanya dari layar ponsel. “Hati-hati, Kiran. Nanti kamu jatuh.”Lantas Bima kembali fokus ke ponselnya lagi. ‘Sayang, aku kangen kamu…’ tulis pesan itu. Bima tersenyum tipis membaca pesan dari Vania.‘Aku juga, Sayang.’ balas Bima sambil mengetik dengan cepat.Tidak lama kemudian, Vania mengirimkan foto seksinya yang hanya berbalut pakaian dalam. Dia berpose menggoda di depan cermin.Sontak Bima terkaget. Bagian bawahnya menegang keras.‘Astaga, kamu seksi banget!’ jantung Bima berdebar kencang saat mengetik.Vania hanya membalasnya dengan emotikon senyum. Seolah tidak puas menggoda Bima dengan satu foto, Vania kini mengirimkan fotonya tanpa busana.Bima langsung tercekat saat melihat foto itu.‘Sialan kamu, Sayang! Punyaku jadi mengeras!’ ketik Bima.‘Punyaku juga basah, Sayang. Aku sedang membayangkanmu menyentuh tubuhku.’ goda Vania lagi.‘Jan
Di akhir pekan berikutnya, Mira dan Bima menitipkan Kiran di rumah Lela sementara mereka pergi ke supermarket untuk belanja bulanan. “Seharusnya, Kiran ikut kita saja,” keluh Bima di balik kemudi. “Mau bagaimana lagi, Ibu bilang dia kangen sama Kiran,” balas Mira sambil memperhatikan jalanan yang padat. “Memangnya kamu enggak suka ya pergi berduaan sama aku aja?” Bima berdecak pelan. “Hah, sudahlah. Jangan mulai drama lagi.” Mira menyandarkan kepala di kepala jok. Sesaat dia memandangi wajah suaminya yang nampak muram. “Bukan maksudku untuk memulai drama, Mas. Tapi kita memang sudah lama enggak pernah pergi kencan,” tukas Mira pelan. Kedua alis Bima bertautan. “Kencan? Kayak Abg saja.” “Tapi kencan itu bagus lho untuk mempererat hubungan kita. Aku rasa kamu mulai enggak perhatian sama aku,” Mira kini tertunduk. “Tuh kan, kamu mulai lagi. Aku itu sibuk kerja untuk menghidupi keluarga kita, Mir. Seharusnya kamu paham itu. Dulu, waktu awal-awal nikah kedua orangtuamu itu meremehk
“Jadi, sekarang kamu kerja di mana?” tanya Mira setelah menyeruput minuman bersoda di hadapannya. “Aku kerja di daerah Sudirman sebagai konsultan keuangan,” terang Vania. Dia memperhatikan Mira yang mulai melahap ayam goreng. “Wah, keren banget, Van!” timpal Mira sambil sedikit kepedasan. “Tapi pekerjaanku bikin stres, Mir. Hampir setiap hari aku lembur,” Vania menghela napas panjang. “Aku malah iri sama kamu. Soalnya cita-citaku dulu menjadi wanita karir,” tukas Mira lagi. “Kehidupanmu pasti menyenangkan.” Mendengar hal itu Vania hanya bisa mendesah pelan. “Aku malah pengin menikah dan jadi ibu rumah tangga kayak kamu.” Kedua mata Mira langsung melotot lebar. “Haduh, lebih baik kamu nikmati masa-masa lajangmu deh. Kalau sudah menikah dan punya anak, kamu bakal merindukan kebebasanmu sekarang ini.” “Masa? Tapi aku memang ingin menikah, Mir. Sayangnya, enggak ada pria yang mau melamarku,” Vania mengaduk-aduk minumannya. “Ah, masa cewek secantik kamu enggak ada yang naksir sih?
Tiga bulan lalu Bima membenarkan posisi dasinya sambil berusaha mengatur napasnya yang tidak karuan. Jantungnya berdebar kencang dan telapak tangannya basah. Ini semua dikarenakan dia harus menemui klien penting di sebuah restoran yang ada di lantai 46. Berkali-kali Bima berdeham seraya mensugesti dirinya agar tenang. Di tengah ketegangan yang melanda dirinya, tiba-tiba saja pintu lift membuka perlahan. Sudut matanya langsung menangkap sesosok wanita yang kini berdiri di sampingnya. Aroma parfum wanita itu menyerbak ke setiap sudut lift. Kehadiran wanita itu membuat ketegangan Bima sedikit teralihkan. Karena hanya ada mereka berdua di dalam lift, pikiran kotor menyergap benak lelaki itu. Apalagi penampilan wanita itu sangat sensual. Rok hitam di atas lutut yang dikenakan wanita itu memperlihatkan kakinya yang jenjang. Kemeja putihnya juga menerawang sehingga bra hitam wanita itu terlihat jelas. Bima menelan ludahnya dalam-dalam. Pria itu lantas tersontak saat wanita yang dipand
“Arg, Sayang!” Vania mengerang seraya mencengkram ujung bantal keras-keras. Semburan kenikmatan itu menjalar ke seluruh tubuhnya. Wajahnya memerah dan napasnya tersengal-sengal. Di atasnya, Vania mendapati tubuh kekar Bima yang menjulang. “Aku mau keluar,” Bima berucap sambil terus menghentakkan tubuhnya. Lantas Vania merangkul leher pria itu. “Keluarin, Sayang. Di dalam juga enggak apa-apa.” “Kamu serius?” Vania mengangguk pelan. Tidak lama setelah itu, Vania bisa merasakan semburan hangat di bawah sana. Sesaat kemudian Bima menghempaskan tubuhnya di samping sahabat lama istrinya itu. Vania memalingkan wajahnya, menatap Bima yang kelelahan. Telapak tangannya meraba rahang pria itu dengan lembut. “Bima, kamu luar biasa,” Vania menyunggingkan senyumannya. Wanita itu lalu beringsut pelan dan mengecup bibir tebal Bima. Bima hanya membalasnya dengan senyuman tipis. “Sudah lama aku enggak bergairah seperti ini.” Sementara itu, jendela kamar hotel mereka diterjang rintik hujan yang
Kedua mata Bima terpana menatap liukan pinggul Vania. Goyangannya membuat Bima terasa seperti mengawang. Ditambah desahan menggoda wanita itu yang menusuk gendang telinganya. Debaran jantung Bima pun berdetak hebat.Begitu bibir Vania mengecup lehernya, Bima tidak tahan lagi untuk mengerang keras.Lantas, kedua matanya membuka lebar. Kini dia dihadapkan pada langit-langit kamarnya yang gelap. Bima menghela napas panjang dan menyandarkan punggungnya di kepala ranjang.“Sial! Kenapa aku jadi memikirkan Vania,” keluhnya dalam hati. Sesi bercinta mereka semalam memang susah untuk dihempaskan dari pikiran Bima.Lalu Bima berpaling ke sisinya. Dilihatnya Mira yang terlelap. Dia menyadari istrinya itu mengenakan baju tidur bertali dari bahan satin yang memperlihatkan lekuk tubuh Mira yang besar. Namun, dia tidak bernafsu menyentuh istrinya itu. Dia hanya ingin Vania.Bima mengusap wajahnya keras-keras. Lantas, dia membenamkan kepalanya di balik bantal berharap kantuk kembali menyerang sehing
Kembali ke masa sekarangDi sepanjang perjalanan pulang, saran Vania agar Bima menyentuh istrinya itu terus menggantung di kepalanya.“Haruskah sekali-kali aku menyentuh Mira?” pikir Bima dalam hati dengan gundah.Begitu sampai di rumah, Bima mendapati istrinya yang sibuk bermain dengan Kiran. Daster yang lusuh membalut tubuh besar Mira dan nampak rambutnya mencuat kesana-kemari.“Papa!” Kiran langsung bangkit dan memeluk Bima yang berada di ambang pintu.Bima kemudian memasang senyum lebarnya untuk putri kesayangannya itu.“Anakku yang cantik,” Bima langsung menciumi Kiran dengan penuh kasih. “Mir, biar aku yang menemani Kiran main. Kamu mandi sana dan dandan yang cantik.”Kening Mira langsung mengernyit. “Apa maksudmu, Mas?”“Aku tahu pasti kamu belum mandi dari tadi sore kan? Jangan-jangan kamu juga belum makan malam,” tukasnya sambil menurunkan Kiran di karpet ruang tengah dan mulai menemaninya menyusun balok lego.“Aku sudah makan kok. Sebaiknya, kamu saja yang mandi dan makan ma
Pagi ini, direktur PT. Bangun Karya–perusahaan tempat Bima bekerja–mengumumkan sebuah projek besar.“Projek rumah sakit ini akan menjadi rumah sakit terbesar di asia tenggara,” imbuh direktur dengan mata berbinar. “Dan kamu, Bima, sebagai manajer keuangan, kamu akan bertanggung jawab penuh terhadap pengalokasian anggaran tender.”Bima menahan napas dalam-dalam dan mengangguk pelan.“Kita harus bisa memenangkan tender ini,” ucap direktur dengan tegas yang dibarengi dengan anggukan dari anak buahnya yang duduk melingkar di ruang meeting.Setelah rapat selesai, Bima kembali ke ruangannya. Jantungnya berdegup keras. Dia belum pernah menangani proyek sebesar ini. Apalagi ini termasuk proyek prestisius. Otaknya mulai berpik
Di pinggir jalan yang nampak sibuk, Bima nampak kaget dengan ucapan yang keluar dari mulut Aryo.Kedua mata Bima menatap tajam wajah Aryo. Dengan penuh percaya diri, Aryo kini merangkul bahu Mira.Sontak Mira terperanjat, namun sebisa mungkin wanita itu berusaha menutupi keterkejutannya.“Jangan bercanda kamu, bocah tengil,” ucap Bima sambil mendongakkan dagunya.“Aku sedang tidak bercanda,” Aryo menukas tajam. “Aku ini pacar barunya Mira,” Aryo kembali menegaskan.Bima berdecak, melempar senyum mengejek ke arah Mira dan Aryo. “Astaga, Mira. Katakan padaku kalau semua ini hanya lelucon kan? Enggak mungkin kamu menjalin hubungan dengan bocah ingusan seperti dia.”Mira seakan terjebak di tengah situasi yang tidak mengenakan ini. Dia terlihat kebingungan dan pipinya nampak merona merah dengan pengakuan Aryo itu. Dada wanita itu terus berdebar keras, apalagi Aryo menggenggam tangannya semakin erat.“Dia…dia memang pacar baruku, Bima,” suara yang keluar dari bibir Mira terdengar begitu ser
Dua bulan berlalu. Perkuliahan yang dijalani Mira memang terasa berat namun menyenangkan. Berinteraksi dengan anak-anak muda zaman sekarang ternyata memberi Mira semangat baru.Terutama kedekatannya dengan Aryo.Tidak bisa dipungkiri, hubungan mereka semakin dekat, apalagi Mira sedang membantu Aryo menyebar kuesioner skripsinya. Terkadang Aryo juga membantu Mira menyelesaikan beberapa paper kuliahnya.Kini mereka berjalan di selasar gedung, menuju parkiran. “Mir, gimana kalau akhir pekan ini kita jalan-jalan?” ucap Aryo.Kening Mira langsung mengernyit. “Jalan-jalan?”“Iya, sekalian refreshing. Kurasa aku butuh udara segar dan melupakan sejenak skripsiku. Gimana kalau kita nonton? Ada film bagus lho.”“Sorry, tapi akhir pekan adalah waktuku bersama Kiran.”Aryo manggut-manggut sambil menyembunyikan ekspresi kecewanya. “Ah, gimana kalau kita ajak Kiran juga?”Mira tertawa pelan. “Kiran masih kecil. Dia belum bisa diajak nonton bioskop. Yang ada nanti malah merepotkan.”“Yah…kita jalan
“Aku sudah bercerai,” tandas Mira saat dirinya dan Aryo berada di kantin kampus.“Apa?” Aryo hampir saja tersedak minuman soda yang baru dia seruput.“Yah, aku ini seorang janda,” Mira mengedikkan bahunya sambil menyingkirkan mangkuk bakso yang sudah kosong itu. Lantas, dia meneliti buku-buku yang baru saja dipinjamnya di perpus.“Aku salut,” sela Aryo begitu melihat Mira membereskan buku-bukunya. “Kamu masih ingin melanjutkan pendidikanmu walaupun sudah enggak muda lagi. Kurasa itu semangat yang harus anak-anak muda punya saat ini.”Mira menyunggingkan senyum tipis. “Yah, karena hanya dengan pendidikan aku bisa mandiri, sekaligus jadi contoh untuk anakku satu-satunya.”“Anakmu lucu. Berapa umurnya? Namanya Kiran kan?”“Tahun ini dia menginjak usia lima tahun.”Aryo manggut-manggut. “Berarti kamu menikah di pertengahan umur dua puluhan ya?”“Aku menikah muda. Yah, pokoknya ceritanya panjang-lah,” Mira menepiskan tangannya. Dia tidak ingin mengumbar permasalahan hidupnya pada pria bron
Bima menelan ludahnya dalam-dalam. Mati-matian dia berusaha menahan keterkejutannya, menangkap sosok mantan istrinya yang begitu berbeda. Mira menatap Bima dan Vania secara bergantian. “Aku…aku baik-baik saja…” balas Bima dengan tergagap. “Sudah lama kamu enggak menjenguk Kiran,” sindir Mira lagi. “Oh, itu…itu karena aku sibuk menyambut kedatangan anak pertama kami,” ucap Bima. Dia masih terpana dengan wajah Mira yang kembali cantik seperti dulu. “Ya, kami sudah menikah,” Vania dengan bangga menunjukkan cincin berlian yang melingkar di jari manisnya. “Well, selamat. Semoga kalian bahagia,” Mira menyunggingkan senyum kecut sambil berlalu. “Mira, tunggu!” Sela Bima cepat. Sontak kening Vania mengernyit tidak suka. “Apa?” Mira memutar tubuhnya, kembali menatap wajah mantan suaminya itu. “Kurasa…minggu depan aku mau menjenguk Kiran.” “Lho, minggu depan kita harus ke dokter!” Pekik Vania kesal, menyenggol lengan Bima. “Bisa diatur, Sayang,” tukas Bima pada istrinya yang cemburu
Peluh keringat membasahi sekujur tubuh Mira. Langkahnya nampak tertatih, namun sekuat tenaga perempuan itu terus memaksa dirinya untuk bergerak, mengikuti lajur treadmill yang kini dalam mode menanjak.“Ayo, Mir. Kamu bisa!” Bella menyemangati sahabatnya itu. “Lima menit lagi selesai.”“Ya, aku pasti bisa,” gumam Mira dengan napas tersengal–walaupun sebenarnya dia ingin pingsan.“Cukup,” suara pelatih pribadi Mira itu terdengar dari balik punggungnya. “Sekarang kamu bisa istirahat dua menit, lalu kita lanjut latihan angkat beban.”“Coach, saya rasa latihannya cukup sampai di sini saja,” balas Mira. Dadanya naik turun karena kekurangan oksigen. Sementara Bella menjulurkan botol minum ke arah Mira. Jujur, Bella takut kalau tiba-tiba Mira pingsan.“Hey, itu baru pemanasan,” balas pelatih berbadan kekar itu. “Ta-tapi saya enggak kuat, Coach. Rasanya saya pengin pingsan,” Mira terbata sambil mengusap keringat di dahinya. Dia tidak menyangka latihan perdananya ini terasa seperti latihan mi
Pagi itu, langit biru nampak membentang dengan cerah di atas sana. Udara yang masih segar membuat Bima jadi sedikit rileks.Mobil yang dilajukannya membelah jalan yang tidak terlalu padat. Di samping Bima, terlihat Rika yang sedang membenarkan riasannya berkali-kali. Sementara Lela duduk di jok belakang. Sesekali wanita setengah baya itu membenarkan posisi sanggulnya. Di samping Lela, menumpuk barang-barang seserahan yang akan diberikan ke Vania.“Aduh, Mas Bima! Yang bener dong nyetirnya,” keluh Rika saat polesan lipstiknya jadi berantakan begitu Bima tidak sengaja menghantam polisi tidur begitu saja.“Lagian kenapa dari tadi kamu dandan melulu sih?” Komentar Bima sambil memperhatikan jalan.“Aku kan harus tampil menawan di depan calon besan kita, Mas. Apalagi Mbak Vania datang dari keluarga terpandang. Jadi, aku enggak boleh tampil malu-maluin,” balas Rika masih menatap kaca kecil yang dibawanya.“Apa kamu sebelumnya sudah pernah ketemu dengan keluarganya Vania?” Tanya Lela penasar
Pintu rumah kontrakan kedua orangtua Mira membuka perlahan. Dengan wajah yang tertunduk, Mira memasuki ruangan.Suswanto dan Arianti, yang sedang menonton televisi, langsung menyadari ekspresi anak mereka yang diliputi kesedihan.Mira menghela napas panjang setelah menghempaskan tubuhnya di atas sofa. PHK yang mendadak serta ajakan mesum dari mantan atasannya itu membuat kepalanya pusing.“Ada masalah apa, Mir?” Tanya Arianti, menatap lekat wajah putrinya itu.Mira menggeleng pelan. Dia tidak tega memberi tahu mereka soal dirinya yang baru saja di PHK.“Jangan bohong,” sela Suswanto cepat. “Papa tahu dari raut wajahmu, Mir. Ceritakan pada kami apa yang terjadi.”Mira menghela napas panjang. “Se-sebenarnya…aku baru saja dipecat dari Bahagia Mart.”Suswanto dan Arianti pun saling bertukar pandang.“Aku…enggak punya pekerjaan lagi…” Mira berujar dengan putus asa.“Sudahlah, Mir. Kamu tidak perlu bekerja sekarang,” tukas Suswanto lagi.“Tapi Pa, aku butuh biaya untuk kehidupan Kiran. Uang
Siang itu, Mira bersedekap. Bibirnya nampak mengerucut kesal dari balik meja kasir. Sementara itu, Lilis berdiri di sampingnya dengan raut wajah yang dipenuhi rasa bersalah.“Aku enggak nyangka, kamu tega padaku, Lis,” Mira bersungut. “Kamu tahu? Aku hampir saja dilecehkan sama om-om setengah baya!”“Sst! Jangan keras-keras, Mir,” desis Lilis. Lehernya menjulur ke sekitar, takut ada pelanggan yang mendengar. Lantas, Lilis menatap teman kerjanya itu lekat-lekat. “Maafkan aku, Mir. Aku pikir kamu enggak keberatan kerja seperti itu.”Mira masih saja marah. Perempuan itu memalingkan pandangannya ke luar sana.“Sebenarnya, kamu bisa nolak kok kalau enggak mau diajak tidur bareng,” lanjut Lilis.Mira mendengus keras. “Tapi om-om brengsek itu memaksaku, Lis! Dia bahkan menjambak rambutku!”“Tenang, Mir. Tenang. Toh, akhirnya kamu selamat juga kan?” Balas Lilis.Mira menghela napas panjang. “Aku enggak mau kerja begituan lagi. Bilang sama bosmu itu kalau aku keluar.”“Yah, terserah kamu deh,”
Mira menatap pantulan dirinya di cermin yang lusuh itu. Gincu merah darah memoles bibirnya yang tebal, sementara rambutnya yang biasanya diikat itu kini nampak bergelombang.Tangan Mira menarik ujung gaun hitamnya yang mengkilap. Jujur, dia begitu risih karena gaun ini sangat ketat. Apalagi potongannya yang rendah membuat dadanya menyembul dengan jelas.“Udah, Mir. Santai aja,” Lilis muncul dari balik punggung Mira.Penampilannya begitu seksi malam ini. Lilis mengenakan rok mini dan tanktop berwarna pink serta riasan yang tidak kalah menor dari Mira.“Tapi, aku enggak biasa pakai baju kayak gini,” keluh Mira.“Ih, udah deh, jangan narik-narik ujung gaun itu nanti malah melar,” Lilis menepis tangan Mira yang sedari tadi menarik ujung gaunnya yang di atas lutut itu. “Lihat, kamu sangat seksi malam ini! Pasti banyak pelanggan yang mau ditemani sama kamu, Mir!”“Aku enggak pe-de, Lis. Gimana kalau aku pulang saja?” Raut wajah Mira nampak cemas.“Eh, jangan! Dicoba dulu aja, Mir. Ingat, an