Tiga bulan lalu
Bima membenarkan posisi dasinya sambil berusaha mengatur napasnya yang tidak karuan. Jantungnya berdebar kencang dan telapak tangannya basah. Ini semua dikarenakan dia harus menemui klien penting di sebuah restoran yang ada di lantai 46.
Berkali-kali Bima berdeham seraya mensugesti dirinya agar tenang.
Di tengah ketegangan yang melanda dirinya, tiba-tiba saja pintu lift membuka perlahan.
Sudut matanya langsung menangkap sesosok wanita yang kini berdiri di sampingnya. Aroma parfum wanita itu menyerbak ke setiap sudut lift.
Kehadiran wanita itu membuat ketegangan Bima sedikit teralihkan. Karena hanya ada mereka berdua di dalam lift, pikiran kotor menyergap benak lelaki itu. Apalagi penampilan wanita itu sangat sensual.
Rok hitam di atas lutut yang dikenakan wanita itu memperlihatkan kakinya yang jenjang. Kemeja putihnya juga menerawang sehingga bra hitam wanita itu terlihat jelas.
Bima menelan ludahnya dalam-dalam.
Pria itu lantas tersontak saat wanita yang dipandanginya diam-diam menoleh ke arahnya.
Sontak Bima mengalihkan pandangannya ke sudut lift.
“Sialan!” pekiknya dalam hati.
Kening si wanita mengernyit. “Sepertinya kita pernah kenal?”
Bima terkesiap. “A-apa? Kenal?” Otaknya langsung bekerja, berusaha mengenali wajah wanita seksi di sampingnya ini.
Wanita itu tersenyum tipis. “Kamu pasti lupa denganku.”
Kedua alis Bima bertautan. “Benarkah? Kita pernah kenal di mana?”
“Aku Vania, sahabat lama istrimu, Mira. Aku pernah jadi bridesmaid-nya saat kalian menikah,” terangnya.
Bima memiringkan kepalanya sambil mengernyit. “Vania?”
Ting.
Pintu lift membuka perlahan. Kini mereka sampai di lantai 46. Kedua kaki mereka langsung melangkah keluar lift.
“Oh, kamu turun di lantai ini juga?” tanya Vania.
“Tunggu, kamu Vania yang itu?” Bima menyipitkan matanya.
“Iya, aku Vania yang dulu kerempeng itu,” balas Vania dengan nada satir.
“Ah, iya! Aku ingat sekarang. Well…sekarang kamu berubah,” ucap Bima kagum, memperhatikan penampilan sahabat lama istrinya itu.
Vania berdecak sambil berjalan di samping Bima. “Semua orang bilang begitu. Tapi people change, right?”
“Eh, kamu juga mau ke restoran itu juga?” Bima pun tersadar kalau mereka berjalan ke arah yang sama.
Vania mengangguk. “Aku ada meeting dengan klien di restoran ini.”
“Wah, aku juga.”
“Jangan-jangan jodoh,” gumam Vania lagi.
“Apa katamu?”
“Enggak,” Vania langsung menepiskan tangannya. “Aku bilang kebetulan banget.”
Bima hanya mengangguk-anggukkan kepala mendengarnya. Sampai akhirnya mereka sampai di depan meja pelayanan restoran yang mereka tuju.
“Untuk dua orang?” tanya pelayan dengan ramah.
Mereka langsung menggeleng dan berkata bahwa mereka sudah reservasi tempat secara terpisah.
“Mungkin pelayan itu mengira kita berkencan,” tandas Vania santai. Bima hanya menanggapinya dengan tertawa kecil.
“Senang berjumpa denganmu. Mungkin lain waktu kita bisa ngobrol lebih banyak lagi,” Bima melempar senyumnya.
“Baiklah,” Vania mengangguk, membalas senyum Bima. Saat Bima memutar tubuhnya, Vania menghela napas panjang. Jantungnya berdebar oleh senyuman pria itu, pria impiannya sejak lama.
*
Angin malam berembus kencang, membuat pohon-pohon di depan lobi bergoyang-goyang. Sesekali petir menyambar menerangi langit malam. Tidak butuh waktu lama hujan deras pun turun.
Vania menyandarkan punggungnya sambil memeriksa layar ponsel. Sudah lima belas menit dia menunggu di lobi karena tidak ada satu pun taksi online yang mau mengantarnya. Beberapa kali ordernya di-cancel.
Lantas, pandangannya beralih pada tetesan hujan yang semakin menjadi. Dia melirik jam tangannya. Sudah pukul delapan malam.
Tiba-tiba dia mendengar derap kaki yang mendekati dirinya.
“Vania,” ujar suara yang tidak asing itu.
Saat dia menoleh, Bima sudah berada di belakangnya. “Eh, Bima? Udah selesai meetingnya?”
“Baru saja. Tadi aku mengantar klienku yang orang Jepang ke mini market di lantai dasar. Katanya mereka mau beli teh kotak Indonesia. Aneh-aneh saja ya. Terus aku lihat kamu,” terang Bima.
“Mungkin di sana enggak ada teh kotak kali,” balas Vania.
Bima mengedikkan bahunya dan duduk di hadapan Vania. “Lagi nungguin pacar?”
“Oh, enggak. Aku enggak bawa mobil jadi aku nunggu taksi online. Tapi mungkin karena hujan jadi enggak ada yang mau ambil.”
“Gimana kalau aku anter kamu pulang?”
Vania terkesiap. Debaran jantungnya semakin menjadi. Dia tidak menyangka Bima akan menawarkan tumpangan padanya.
“Ta-tapi, apa enggak ngerepotin?”
“Memangnya kamu tinggal di mana?”
“Enggak jauh sih, hanya dua puluh menit dari sini,” ucap Vania.
“Ya sudah, lebih baik kuantar.Yuk,” Bima langsung beranjak dari sofanya. Dengan perasaan membuncah bahagia, Vania mengangguk dan mengeekor di samping Bima.
*
“Mira pasti kaget kalau aku ketemu sama sahabat lamanya,” Bima menukas dari balik kemudi. Sementara itu, mobil yang mereka tumpangi berjalan pelan menembus hujan dan genangan air yang mulai meninggi.
“Gimana kabar Mira?”
“Yah, dia sibuk mengurus anak kami Kiran,” jawab Bima sekenanya.
“Aku udah lama enggak menghubungi dia. Bahkan aku hanya kirim DM waktu Kiran lahir beberapa tahun lalu," suara Vania terdengar bersalah.
Tiba-tiba, ponsel Bima berdering kencang. Vania melirik dan mendapati nama istrinya Bima muncul di layar.
“Bim, jangan kasih tahu kalau kamu sedang bersamaku ya?” pinta Vania.
Kening Bima mengernyit. “Lho, kenapa?”
“Aku enggak enak kalau Mira tahu kamu mengantarku pulang.”
“Kurasa Mira enggak masalah soal itu. Kamu kan sahabatnya. Lagian dia pasti senang kalau bisa ngobrol sama kamu,” Bima berujar bingung.
Namun Vania tetap menggelengkan kepalanya. “Tolong, Bim. Jangan beri tahu Mira.”
Akhirnya Bima mengedikkan bahunya. “Baiklah, kalau itu memang maumu.”
Lantas, Bima mengangkat telepon dari istrinya itu. Vania mencuri dengar percakapan mereka. Terbesit rasa iri dalam hatinya. Seketika dia membayangkan kalau saja dirinya yang menjadi istri Bima.
“Hah, ternyata jalanan ke daerah rumahku tergenang air yang cukup dalam,” keluh Bima. “Mira bilang sebaiknya aku menginap di rumah orangtuaku saja.”
“Yah, hujannya memang cukup deras,” Vania memandang ke luar jendela. Tiba-tiba saja mobil Bima terhenti.
Seorang petugas lalu lintas mengetuk kaca mobil Bima dan menyuruhnya putar arah karena ada pohon tumbang yang melintang di jalan beberapa meter dari tempat mereka.
“Apa ada jalan lain menuju ke kosanmu itu?” Tanya Bima setelah memutar arah.
Vania terdiam sejenak. Setelah itu dia mengedikkan bahunya. “Bagaimana kalau kita singgah ke mana gitu?”
“Maksudmu?”
“Yah, menunggu hujan sedikit reda,” Vania memberi alasan. “Kamu enggak keberatan kan?”
“Hm, baiklah. Kamu ada ide kita harus kemana?”
“Gimana kalau kita ke bar aja. Aku tahu bar yang cozy di daerah sekitar sini,” Vania pun langsung mengecek ponselnya.
“Boleh juga. Kamu tunjukkan arahnya ya.”
Vania mengangguk. Seketika hatinya berbunga-bunga karena pada akhirnya dia bisa berduaan dengan Bima.
*
Gelas mereka saling beradu sebelum akhirnya mereka menyesap wine mahal yang dipesan Vania.
Rasa hangat langsung memenuhi tenggorokan Bima yang membuatnya berdecak pelan.
“Kamu enggak salah pilih wine, Van,” puji Bima mengangkat gelasnya.
Vania hanya tersenyum kecil. “Ini bar favoritku, jadi aku tahu merek wine mana yang berkualitas.”
“Kamu sering datang ke sini sama pacar?”
“Aku enggak punya pacar,” ucap Vania setelah menyesap wine-nya lagi.
“Masa cewek secantik kamu enggak punya pacar? Jangan-jangan kamu baru putus,” tukas Bima tidak percaya.
“Beneran. Aku jomblo, Bim. Kamu mau sama aku?”
Bima langsung terkesiap dengan pertanyaan itu. “Ma-maksudmu?”
Vania menepiskan telapak tangannya. “Aku bercanda, Bima. Masa aku tega mengkhinanati sahabatku sendiri.”
Bima pun tertawa mendengarnya. “Tapi Van, penampilanmu saat ini benar-benar membuatku pangling. Aku enggak percaya kamu Vania yang jadi bridesmaid-nya Mira. Yah, walaupun waktu itu kita enggak banyak bicara, tapi aku sekarang ingat betul wajahmu saat itu.”
“Aku tahu. Dulu aku jelek kan?”
“Bukan begitu, hanya saja…”
“Yah, penampilan itu segalanya, Bima. Aku bisa bekerja di kantorku sekarang bukan hanya dilihat dari kemampuanku aja, tapi juga dari tampangku. Aku sadar kalau aku masih kucel dan jelek seperti dulu, aku enggak akan mungkin dilirik orang,” ungkap Vania sambil menuangkan wine ke gelasnya dan juga Bima.
“Tapi enggak semua orang menilai penampilan fisik kok.” Bima lalu menenggak wine-nya
lagi.
“Benarkah? Apa kamu mau memilih aku dibanding Mira kalau dulu penampilanku enggak seperti yang sekarang ini?”
Bima hampir tersedak mendengar pertanyaan itu. “Astaga, Vania. Kenapa kamu bertanya seperti itu?”
“Aku penasaran aja. Sebenarnya, tampangmu enggak berubah, Bim.” Vania menatap lurus ke kedua bola mata Bima yang berwarna abu.
“Aku enggak nyangka kalau kamu dari dulu memperhatikanku,” kini Bima jadi salah tingkah.
“Itu karena kamu yang enggak melirikkku sama sekali,” timpal Vania.
Bima mengusap-usap tengkuknya. “Yah, waktu itu kita hanya bertemu di pernikahanku dengan Mira. Mira enggak suka mengenalkan aku dengan para sahabatnya. Dia takut kalau aku diambil teman-teman ceweknya itu. Aneh ya pemikirannya.”
“Tapi kurasa Mira ada benarnya juga.”
“Oh ya?”
Vania mengangguk sambil memainkan gelasnya. “Karena kamu itu tampan, Bim. Dan ketampananmu itu enggak berubah sampai sekarang.”
Bima tergelak. Tawanya terdengar begitu canggung sekarang.
“Sebenarnya, aku iri dengan Mira. Dia bisa mendapatkan suami yang tampan dan sukses seperti dirimu.”
“Vania, kurasa kamu kebanyakan minum wine,” ungkap Bima.
“Aku mengatakan yang sebenarnya, Bim.”
Lantas, Vania beranjak dari tempatnya dan duduk di samping Bima. Wanita itu mulai meraba paha Bima secara perlahan.
“Va-Vania…” Bima mulai tergagap begitu bibir ranum Vania mulai mendekati wajahnya.
“Bima, kamu begitu menawan…” bisik Vania.
Debaran jantung Bima semakin menjadi. Bulu halusnya mulai meremang begitu tangan Vania mulai bermain di pangkal pahanya.
Saat bibir itu semakin mendekat, Bima diterpa rasa bimbang untuk membalas ciuman itu.
“Jangan, Bima. Dia sahabat istrimu! Jangan lakukan itu!” Bima berujar dalam hati.
Namun, hasrat untuk melumat bibir Vania semakin menjadi.
“Astaga, apa yang harus kulakukan?!” batin Bima penuh kebimbangan.
“Arg, Sayang!” Vania mengerang seraya mencengkram ujung bantal keras-keras. Semburan kenikmatan itu menjalar ke seluruh tubuhnya. Wajahnya memerah dan napasnya tersengal-sengal. Di atasnya, Vania mendapati tubuh kekar Bima yang menjulang. “Aku mau keluar,” Bima berucap sambil terus menghentakkan tubuhnya. Lantas Vania merangkul leher pria itu. “Keluarin, Sayang. Di dalam juga enggak apa-apa.” “Kamu serius?” Vania mengangguk pelan. Tidak lama setelah itu, Vania bisa merasakan semburan hangat di bawah sana. Sesaat kemudian Bima menghempaskan tubuhnya di samping sahabat lama istrinya itu. Vania memalingkan wajahnya, menatap Bima yang kelelahan. Telapak tangannya meraba rahang pria itu dengan lembut. “Bima, kamu luar biasa,” Vania menyunggingkan senyumannya. Wanita itu lalu beringsut pelan dan mengecup bibir tebal Bima. Bima hanya membalasnya dengan senyuman tipis. “Sudah lama aku enggak bergairah seperti ini.” Sementara itu, jendela kamar hotel mereka diterjang rintik hujan yang
Kedua mata Bima terpana menatap liukan pinggul Vania. Goyangannya membuat Bima terasa seperti mengawang. Ditambah desahan menggoda wanita itu yang menusuk gendang telinganya. Debaran jantung Bima pun berdetak hebat.Begitu bibir Vania mengecup lehernya, Bima tidak tahan lagi untuk mengerang keras.Lantas, kedua matanya membuka lebar. Kini dia dihadapkan pada langit-langit kamarnya yang gelap. Bima menghela napas panjang dan menyandarkan punggungnya di kepala ranjang.“Sial! Kenapa aku jadi memikirkan Vania,” keluhnya dalam hati. Sesi bercinta mereka semalam memang susah untuk dihempaskan dari pikiran Bima.Lalu Bima berpaling ke sisinya. Dilihatnya Mira yang terlelap. Dia menyadari istrinya itu mengenakan baju tidur bertali dari bahan satin yang memperlihatkan lekuk tubuh Mira yang besar. Namun, dia tidak bernafsu menyentuh istrinya itu. Dia hanya ingin Vania.Bima mengusap wajahnya keras-keras. Lantas, dia membenamkan kepalanya di balik bantal berharap kantuk kembali menyerang sehing
Kembali ke masa sekarangDi sepanjang perjalanan pulang, saran Vania agar Bima menyentuh istrinya itu terus menggantung di kepalanya.“Haruskah sekali-kali aku menyentuh Mira?” pikir Bima dalam hati dengan gundah.Begitu sampai di rumah, Bima mendapati istrinya yang sibuk bermain dengan Kiran. Daster yang lusuh membalut tubuh besar Mira dan nampak rambutnya mencuat kesana-kemari.“Papa!” Kiran langsung bangkit dan memeluk Bima yang berada di ambang pintu.Bima kemudian memasang senyum lebarnya untuk putri kesayangannya itu.“Anakku yang cantik,” Bima langsung menciumi Kiran dengan penuh kasih. “Mir, biar aku yang menemani Kiran main. Kamu mandi sana dan dandan yang cantik.”Kening Mira langsung mengernyit. “Apa maksudmu, Mas?”“Aku tahu pasti kamu belum mandi dari tadi sore kan? Jangan-jangan kamu juga belum makan malam,” tukasnya sambil menurunkan Kiran di karpet ruang tengah dan mulai menemaninya menyusun balok lego.“Aku sudah makan kok. Sebaiknya, kamu saja yang mandi dan makan ma
Pagi ini, direktur PT. Bangun Karya–perusahaan tempat Bima bekerja–mengumumkan sebuah projek besar.“Projek rumah sakit ini akan menjadi rumah sakit terbesar di asia tenggara,” imbuh direktur dengan mata berbinar. “Dan kamu, Bima, sebagai manajer keuangan, kamu akan bertanggung jawab penuh terhadap pengalokasian anggaran tender.”Bima menahan napas dalam-dalam dan mengangguk pelan.“Kita harus bisa memenangkan tender ini,” ucap direktur dengan tegas yang dibarengi dengan anggukan dari anak buahnya yang duduk melingkar di ruang meeting.Setelah rapat selesai, Bima kembali ke ruangannya. Jantungnya berdegup keras. Dia belum pernah menangani proyek sebesar ini. Apalagi ini termasuk proyek prestisius. Otaknya mulai berpik
Mira menatap pantulan dirinya di cermin kamar mandi. Gaun hitam selutut membalut tubuhnya yang besar. Untungnya dia membeli gaun itu dengan ukuran ekstra sehingga lemak di tubuhnya itu lumayan tersamarkan.Sore tadi Mira menyempatkan diri ke salon. Dia merias wajahnya agar terlihat cantik. Rambut sebahunya pun di blow sehingga sedikit bervolume.Mira menyunggingkan senyumannya di depan cermin. Entah kenapa jantungnya berpacu kencang. Dia membayangkan dirinya berada di tengah-tengah acara kantor suaminya itu.Seketika perkataan Bima tempo lalu mengiang di telinganya. Hal itu sontak membuat kepercayaan dirinya kembali pudar.Mira lantas menarik napas dalam-dalam. Kedua tangannya mengepal erat.“Aku cantik kok. Dan aku ban
Bima melajukan mobilnya menembus malam. Di luar tetesan hujan mulai membasahi jalan. Sementara itu, Mira bersedekap sambil merengut kesal.“Apa kamu mau muncul di rumah Ibu dengan tampang seperti itu?” Tanya Bima tanpa menoleh pada Mira.Mira mendengus. “Kamu enggak ngerti perasaanku, Mas.”“Mengerti bagaimana? Kamu kesal karena aku enggak memberi tahu kamu soal Vania, hah? Sudah kubilang aku terlalu sibuk saat itu.”“Tapi seharusnya kamu kasih tahu aku,” balas Mira cepat.“Untuk apa? Kalau kamu tahu apa hal itu, apa akan memperlancar pekerjaanku? Enggak kan? Lagian, sekarang semua sudah lewat. Aku memenangkan tender dan Vania juga enggak bekerja dengan perusahaanku lagi.&
Tumpukan bola warna-warni membuat Kiran sontak melonjak kegirangan. Anak kecil itu langsung menarik tangan Mira.“Ayo, Mama!” pekik Kiran tidak sabaran.“Sebentar, Sayang. Kita tunggu temen Mama dulu ya?” jawab Mira sambil mengelus pundak putri kesayangannya itu.“Ah, lama banget sih,” keluh Kiran sambil bersedekap kesal.Mira menjulurkan lehernya kesana-kemari, mencari keberadaan Citra. Tidak lama kemudian, muncullah teman baiknya itu sambil menggandeng Daren beserta seorang suster yang menguntit di belakang mereka.“Mira!” Citra melambaikan tangannya seraya tersenyum lebar. Dengan tergesa dia menghampiri Mira dan Kiran yang sudah menunggu di depan pintu masuk Kid’s Cafe,
Di hari Minggu yang cerah, Bima mengajak Kiran jalan-jalan pagi di sekitaran komplek rumah mereka. Semantara itu, Mira memilih untuk tinggal di rumah.Entah kenapa dia merasa tidak enak badan. Setelah selesai mencuci piring, Mira memutuskan untuk berbaring di ranjang. Kepalanya pusing dan mual padahal dia masih harus menyiapkan sarapan lalu merendam pakaian.“Mama!” pekik Kiran dengan riang. Anak itu membawa sebuah plastik bening berisi seekor ikan hias mungil. “Mama! Aku punya ikan baru, Ma!”Namun, Mira tidak menjawab. Dia terlalu lemah bahkan untuk turun dari ranjang dan menghampiri Kiran.Kening Bima mengernyit saat mendapati rumah yang masih berantakan. Biasanya pagi-pagi begini Mira pasti sibuk berbenah. Saat Bima membuka tudung saji di meja
Di pinggir jalan yang nampak sibuk, Bima nampak kaget dengan ucapan yang keluar dari mulut Aryo.Kedua mata Bima menatap tajam wajah Aryo. Dengan penuh percaya diri, Aryo kini merangkul bahu Mira.Sontak Mira terperanjat, namun sebisa mungkin wanita itu berusaha menutupi keterkejutannya.“Jangan bercanda kamu, bocah tengil,” ucap Bima sambil mendongakkan dagunya.“Aku sedang tidak bercanda,” Aryo menukas tajam. “Aku ini pacar barunya Mira,” Aryo kembali menegaskan.Bima berdecak, melempar senyum mengejek ke arah Mira dan Aryo. “Astaga, Mira. Katakan padaku kalau semua ini hanya lelucon kan? Enggak mungkin kamu menjalin hubungan dengan bocah ingusan seperti dia.”Mira seakan terjebak di tengah situasi yang tidak mengenakan ini. Dia terlihat kebingungan dan pipinya nampak merona merah dengan pengakuan Aryo itu. Dada wanita itu terus berdebar keras, apalagi Aryo menggenggam tangannya semakin erat.“Dia…dia memang pacar baruku, Bima,” suara yang keluar dari bibir Mira terdengar begitu ser
Dua bulan berlalu. Perkuliahan yang dijalani Mira memang terasa berat namun menyenangkan. Berinteraksi dengan anak-anak muda zaman sekarang ternyata memberi Mira semangat baru.Terutama kedekatannya dengan Aryo.Tidak bisa dipungkiri, hubungan mereka semakin dekat, apalagi Mira sedang membantu Aryo menyebar kuesioner skripsinya. Terkadang Aryo juga membantu Mira menyelesaikan beberapa paper kuliahnya.Kini mereka berjalan di selasar gedung, menuju parkiran. “Mir, gimana kalau akhir pekan ini kita jalan-jalan?” ucap Aryo.Kening Mira langsung mengernyit. “Jalan-jalan?”“Iya, sekalian refreshing. Kurasa aku butuh udara segar dan melupakan sejenak skripsiku. Gimana kalau kita nonton? Ada film bagus lho.”“Sorry, tapi akhir pekan adalah waktuku bersama Kiran.”Aryo manggut-manggut sambil menyembunyikan ekspresi kecewanya. “Ah, gimana kalau kita ajak Kiran juga?”Mira tertawa pelan. “Kiran masih kecil. Dia belum bisa diajak nonton bioskop. Yang ada nanti malah merepotkan.”“Yah…kita jalan
“Aku sudah bercerai,” tandas Mira saat dirinya dan Aryo berada di kantin kampus.“Apa?” Aryo hampir saja tersedak minuman soda yang baru dia seruput.“Yah, aku ini seorang janda,” Mira mengedikkan bahunya sambil menyingkirkan mangkuk bakso yang sudah kosong itu. Lantas, dia meneliti buku-buku yang baru saja dipinjamnya di perpus.“Aku salut,” sela Aryo begitu melihat Mira membereskan buku-bukunya. “Kamu masih ingin melanjutkan pendidikanmu walaupun sudah enggak muda lagi. Kurasa itu semangat yang harus anak-anak muda punya saat ini.”Mira menyunggingkan senyum tipis. “Yah, karena hanya dengan pendidikan aku bisa mandiri, sekaligus jadi contoh untuk anakku satu-satunya.”“Anakmu lucu. Berapa umurnya? Namanya Kiran kan?”“Tahun ini dia menginjak usia lima tahun.”Aryo manggut-manggut. “Berarti kamu menikah di pertengahan umur dua puluhan ya?”“Aku menikah muda. Yah, pokoknya ceritanya panjang-lah,” Mira menepiskan tangannya. Dia tidak ingin mengumbar permasalahan hidupnya pada pria bron
Bima menelan ludahnya dalam-dalam. Mati-matian dia berusaha menahan keterkejutannya, menangkap sosok mantan istrinya yang begitu berbeda. Mira menatap Bima dan Vania secara bergantian. “Aku…aku baik-baik saja…” balas Bima dengan tergagap. “Sudah lama kamu enggak menjenguk Kiran,” sindir Mira lagi. “Oh, itu…itu karena aku sibuk menyambut kedatangan anak pertama kami,” ucap Bima. Dia masih terpana dengan wajah Mira yang kembali cantik seperti dulu. “Ya, kami sudah menikah,” Vania dengan bangga menunjukkan cincin berlian yang melingkar di jari manisnya. “Well, selamat. Semoga kalian bahagia,” Mira menyunggingkan senyum kecut sambil berlalu. “Mira, tunggu!” Sela Bima cepat. Sontak kening Vania mengernyit tidak suka. “Apa?” Mira memutar tubuhnya, kembali menatap wajah mantan suaminya itu. “Kurasa…minggu depan aku mau menjenguk Kiran.” “Lho, minggu depan kita harus ke dokter!” Pekik Vania kesal, menyenggol lengan Bima. “Bisa diatur, Sayang,” tukas Bima pada istrinya yang cemburu
Peluh keringat membasahi sekujur tubuh Mira. Langkahnya nampak tertatih, namun sekuat tenaga perempuan itu terus memaksa dirinya untuk bergerak, mengikuti lajur treadmill yang kini dalam mode menanjak.“Ayo, Mir. Kamu bisa!” Bella menyemangati sahabatnya itu. “Lima menit lagi selesai.”“Ya, aku pasti bisa,” gumam Mira dengan napas tersengal–walaupun sebenarnya dia ingin pingsan.“Cukup,” suara pelatih pribadi Mira itu terdengar dari balik punggungnya. “Sekarang kamu bisa istirahat dua menit, lalu kita lanjut latihan angkat beban.”“Coach, saya rasa latihannya cukup sampai di sini saja,” balas Mira. Dadanya naik turun karena kekurangan oksigen. Sementara Bella menjulurkan botol minum ke arah Mira. Jujur, Bella takut kalau tiba-tiba Mira pingsan.“Hey, itu baru pemanasan,” balas pelatih berbadan kekar itu. “Ta-tapi saya enggak kuat, Coach. Rasanya saya pengin pingsan,” Mira terbata sambil mengusap keringat di dahinya. Dia tidak menyangka latihan perdananya ini terasa seperti latihan mi
Pagi itu, langit biru nampak membentang dengan cerah di atas sana. Udara yang masih segar membuat Bima jadi sedikit rileks.Mobil yang dilajukannya membelah jalan yang tidak terlalu padat. Di samping Bima, terlihat Rika yang sedang membenarkan riasannya berkali-kali. Sementara Lela duduk di jok belakang. Sesekali wanita setengah baya itu membenarkan posisi sanggulnya. Di samping Lela, menumpuk barang-barang seserahan yang akan diberikan ke Vania.“Aduh, Mas Bima! Yang bener dong nyetirnya,” keluh Rika saat polesan lipstiknya jadi berantakan begitu Bima tidak sengaja menghantam polisi tidur begitu saja.“Lagian kenapa dari tadi kamu dandan melulu sih?” Komentar Bima sambil memperhatikan jalan.“Aku kan harus tampil menawan di depan calon besan kita, Mas. Apalagi Mbak Vania datang dari keluarga terpandang. Jadi, aku enggak boleh tampil malu-maluin,” balas Rika masih menatap kaca kecil yang dibawanya.“Apa kamu sebelumnya sudah pernah ketemu dengan keluarganya Vania?” Tanya Lela penasar
Pintu rumah kontrakan kedua orangtua Mira membuka perlahan. Dengan wajah yang tertunduk, Mira memasuki ruangan.Suswanto dan Arianti, yang sedang menonton televisi, langsung menyadari ekspresi anak mereka yang diliputi kesedihan.Mira menghela napas panjang setelah menghempaskan tubuhnya di atas sofa. PHK yang mendadak serta ajakan mesum dari mantan atasannya itu membuat kepalanya pusing.“Ada masalah apa, Mir?” Tanya Arianti, menatap lekat wajah putrinya itu.Mira menggeleng pelan. Dia tidak tega memberi tahu mereka soal dirinya yang baru saja di PHK.“Jangan bohong,” sela Suswanto cepat. “Papa tahu dari raut wajahmu, Mir. Ceritakan pada kami apa yang terjadi.”Mira menghela napas panjang. “Se-sebenarnya…aku baru saja dipecat dari Bahagia Mart.”Suswanto dan Arianti pun saling bertukar pandang.“Aku…enggak punya pekerjaan lagi…” Mira berujar dengan putus asa.“Sudahlah, Mir. Kamu tidak perlu bekerja sekarang,” tukas Suswanto lagi.“Tapi Pa, aku butuh biaya untuk kehidupan Kiran. Uang
Siang itu, Mira bersedekap. Bibirnya nampak mengerucut kesal dari balik meja kasir. Sementara itu, Lilis berdiri di sampingnya dengan raut wajah yang dipenuhi rasa bersalah.“Aku enggak nyangka, kamu tega padaku, Lis,” Mira bersungut. “Kamu tahu? Aku hampir saja dilecehkan sama om-om setengah baya!”“Sst! Jangan keras-keras, Mir,” desis Lilis. Lehernya menjulur ke sekitar, takut ada pelanggan yang mendengar. Lantas, Lilis menatap teman kerjanya itu lekat-lekat. “Maafkan aku, Mir. Aku pikir kamu enggak keberatan kerja seperti itu.”Mira masih saja marah. Perempuan itu memalingkan pandangannya ke luar sana.“Sebenarnya, kamu bisa nolak kok kalau enggak mau diajak tidur bareng,” lanjut Lilis.Mira mendengus keras. “Tapi om-om brengsek itu memaksaku, Lis! Dia bahkan menjambak rambutku!”“Tenang, Mir. Tenang. Toh, akhirnya kamu selamat juga kan?” Balas Lilis.Mira menghela napas panjang. “Aku enggak mau kerja begituan lagi. Bilang sama bosmu itu kalau aku keluar.”“Yah, terserah kamu deh,”
Mira menatap pantulan dirinya di cermin yang lusuh itu. Gincu merah darah memoles bibirnya yang tebal, sementara rambutnya yang biasanya diikat itu kini nampak bergelombang.Tangan Mira menarik ujung gaun hitamnya yang mengkilap. Jujur, dia begitu risih karena gaun ini sangat ketat. Apalagi potongannya yang rendah membuat dadanya menyembul dengan jelas.“Udah, Mir. Santai aja,” Lilis muncul dari balik punggung Mira.Penampilannya begitu seksi malam ini. Lilis mengenakan rok mini dan tanktop berwarna pink serta riasan yang tidak kalah menor dari Mira.“Tapi, aku enggak biasa pakai baju kayak gini,” keluh Mira.“Ih, udah deh, jangan narik-narik ujung gaun itu nanti malah melar,” Lilis menepis tangan Mira yang sedari tadi menarik ujung gaunnya yang di atas lutut itu. “Lihat, kamu sangat seksi malam ini! Pasti banyak pelanggan yang mau ditemani sama kamu, Mir!”“Aku enggak pe-de, Lis. Gimana kalau aku pulang saja?” Raut wajah Mira nampak cemas.“Eh, jangan! Dicoba dulu aja, Mir. Ingat, an