Pagi ini, direktur PT. Bangun Karya–perusahaan tempat Bima bekerja–mengumumkan sebuah projek besar.“Projek rumah sakit ini akan menjadi rumah sakit terbesar di asia tenggara,” imbuh direktur dengan mata berbinar. “Dan kamu, Bima, sebagai manajer keuangan, kamu akan bertanggung jawab penuh terhadap pengalokasian anggaran tender.”Bima menahan napas dalam-dalam dan mengangguk pelan.“Kita harus bisa memenangkan tender ini,” ucap direktur dengan tegas yang dibarengi dengan anggukan dari anak buahnya yang duduk melingkar di ruang meeting.Setelah rapat selesai, Bima kembali ke ruangannya. Jantungnya berdegup keras. Dia belum pernah menangani proyek sebesar ini. Apalagi ini termasuk proyek prestisius. Otaknya mulai berpik
Mira menatap pantulan dirinya di cermin kamar mandi. Gaun hitam selutut membalut tubuhnya yang besar. Untungnya dia membeli gaun itu dengan ukuran ekstra sehingga lemak di tubuhnya itu lumayan tersamarkan.Sore tadi Mira menyempatkan diri ke salon. Dia merias wajahnya agar terlihat cantik. Rambut sebahunya pun di blow sehingga sedikit bervolume.Mira menyunggingkan senyumannya di depan cermin. Entah kenapa jantungnya berpacu kencang. Dia membayangkan dirinya berada di tengah-tengah acara kantor suaminya itu.Seketika perkataan Bima tempo lalu mengiang di telinganya. Hal itu sontak membuat kepercayaan dirinya kembali pudar.Mira lantas menarik napas dalam-dalam. Kedua tangannya mengepal erat.“Aku cantik kok. Dan aku ban
Bima melajukan mobilnya menembus malam. Di luar tetesan hujan mulai membasahi jalan. Sementara itu, Mira bersedekap sambil merengut kesal.“Apa kamu mau muncul di rumah Ibu dengan tampang seperti itu?” Tanya Bima tanpa menoleh pada Mira.Mira mendengus. “Kamu enggak ngerti perasaanku, Mas.”“Mengerti bagaimana? Kamu kesal karena aku enggak memberi tahu kamu soal Vania, hah? Sudah kubilang aku terlalu sibuk saat itu.”“Tapi seharusnya kamu kasih tahu aku,” balas Mira cepat.“Untuk apa? Kalau kamu tahu apa hal itu, apa akan memperlancar pekerjaanku? Enggak kan? Lagian, sekarang semua sudah lewat. Aku memenangkan tender dan Vania juga enggak bekerja dengan perusahaanku lagi.&
Tumpukan bola warna-warni membuat Kiran sontak melonjak kegirangan. Anak kecil itu langsung menarik tangan Mira.“Ayo, Mama!” pekik Kiran tidak sabaran.“Sebentar, Sayang. Kita tunggu temen Mama dulu ya?” jawab Mira sambil mengelus pundak putri kesayangannya itu.“Ah, lama banget sih,” keluh Kiran sambil bersedekap kesal.Mira menjulurkan lehernya kesana-kemari, mencari keberadaan Citra. Tidak lama kemudian, muncullah teman baiknya itu sambil menggandeng Daren beserta seorang suster yang menguntit di belakang mereka.“Mira!” Citra melambaikan tangannya seraya tersenyum lebar. Dengan tergesa dia menghampiri Mira dan Kiran yang sudah menunggu di depan pintu masuk Kid’s Cafe,
Di hari Minggu yang cerah, Bima mengajak Kiran jalan-jalan pagi di sekitaran komplek rumah mereka. Semantara itu, Mira memilih untuk tinggal di rumah.Entah kenapa dia merasa tidak enak badan. Setelah selesai mencuci piring, Mira memutuskan untuk berbaring di ranjang. Kepalanya pusing dan mual padahal dia masih harus menyiapkan sarapan lalu merendam pakaian.“Mama!” pekik Kiran dengan riang. Anak itu membawa sebuah plastik bening berisi seekor ikan hias mungil. “Mama! Aku punya ikan baru, Ma!”Namun, Mira tidak menjawab. Dia terlalu lemah bahkan untuk turun dari ranjang dan menghampiri Kiran.Kening Bima mengernyit saat mendapati rumah yang masih berantakan. Biasanya pagi-pagi begini Mira pasti sibuk berbenah. Saat Bima membuka tudung saji di meja
“Argh,” Bima mengerang begitu Vania mulai bangkit dan berjongkok di atas Bima. Dia menghentakkan cepat bokongnya sehingga menimbulkan sensasi yang luar biasa bagi Bima.Punggung Vania meliuk ke belakang sambil mengatur tempo gerakannya. Dia begitu menyukai gerakan ini yang membuatnya begitu dominan terhadap Bima.Saat mereka sama-sama akan mencapai klimaks, tiba-tiba pintu depan digedor dengan keras.“Mas! Mas Bima! Buka pintunya, Mas!” Pekik Rika dari luar sana.Begitu mendengar suara Rika, sontak konsentrasi Bima langsung buyar. Kenikmatan yang sebentar lagi akan pecah itu langsung tertahan. Dia bangkit dan hampir membuat Vania jatuh ke lantai.“Astaga, Van! Adikku datang!” Desis Bi
Setelah seminggu, akhirnya Mira diperbolehkan pulang karena trombositnya kembali normal.Mira menghela napas lega begitu dia menginjakkan kakinya di rumah. Walaupun dia dirawat di kamar VIP, tapi tetap saja rumah menjadi tempat ternyaman baginya.Mira melayangkan pandangannya ke seisi rumahnya yang rapi. “Terkadang Rika dan membereskan rumah,” ucap Bima sebelum MIra memuji dirinya.“Sepertinya kita harus memberi Rika imbalan, Mas. Dia udah banyak bantuin keluarga kita saat aku di rumah sakit,” terang Mira melangkah ke ruang tengah.“Tenang saja, aku sudah kasih dia uang jajan kok,” ucap Bima seraya membawa tas-tas Mira ke dalam kamar tidur.Mira merentangkan kedua tangannya di udara seraya menghempaskan bokongnya di sofa yang empuk. “Mas, kita mau makan siang apa?”“Ibu bilang dia mau bawa makanan dari rumah sekalian mengantar Kiran ke sini,” teriak Bima dari dalam kamar.Lantas, Mira beranjak menyusul suaminya. “Mas, makasih ya.”Bima mengernyit heran. “Untuk apa?”“Kamu menempatkan
Setelah kepulangan Vania, kini Mira berbaring di sebelah Kiran seraya mengusap kening anak itu supaya cepat tertidur.“Ma, Tante Vania itu baik juga yah,” ucap Kiran seketika.Kening Mira mengernyit. “Baik?”“Iya, waktu itu Tante Vania beliin aku tas barbie lho.”“Oh ya, Mama kok enggak tahu?” Mira memiringkan tubuhnya, menatap Kiran.“Itu lho Ma, tas pink itu,” telunjuk Kiran mengarah ke tas selempang yang ada di meja kecil di kamar Kiran.“Lho bukannya itu dibeliin sama Papa? Kamu bilang begitu waktu di rumah sakit,” Mira coba mengingat-ingat. Di hari ketiga dia dirawat, dia ingat betul Kiran menjenguknya sambil memamerkan tas baru itu yang katanya dibelikan oleh Bima.Kiran menggeleng cepat. “Enggak kok. Sebenernya itu tas dari Tante Vania. Tapi Papa bilang supaya aku ngomong ke Mama kalo tas itu dari Papa.”Deru napas Mira mulai berembus cepat. Dia berusaha untuk mengendalikan emosinya. “Tapi Ma, aku kadang enggak suka sama Tante Vania itu.”“Kenapa, Sayang? Bukannya katamu dia b
Di pinggir jalan yang nampak sibuk, Bima nampak kaget dengan ucapan yang keluar dari mulut Aryo.Kedua mata Bima menatap tajam wajah Aryo. Dengan penuh percaya diri, Aryo kini merangkul bahu Mira.Sontak Mira terperanjat, namun sebisa mungkin wanita itu berusaha menutupi keterkejutannya.“Jangan bercanda kamu, bocah tengil,” ucap Bima sambil mendongakkan dagunya.“Aku sedang tidak bercanda,” Aryo menukas tajam. “Aku ini pacar barunya Mira,” Aryo kembali menegaskan.Bima berdecak, melempar senyum mengejek ke arah Mira dan Aryo. “Astaga, Mira. Katakan padaku kalau semua ini hanya lelucon kan? Enggak mungkin kamu menjalin hubungan dengan bocah ingusan seperti dia.”Mira seakan terjebak di tengah situasi yang tidak mengenakan ini. Dia terlihat kebingungan dan pipinya nampak merona merah dengan pengakuan Aryo itu. Dada wanita itu terus berdebar keras, apalagi Aryo menggenggam tangannya semakin erat.“Dia…dia memang pacar baruku, Bima,” suara yang keluar dari bibir Mira terdengar begitu ser
Dua bulan berlalu. Perkuliahan yang dijalani Mira memang terasa berat namun menyenangkan. Berinteraksi dengan anak-anak muda zaman sekarang ternyata memberi Mira semangat baru.Terutama kedekatannya dengan Aryo.Tidak bisa dipungkiri, hubungan mereka semakin dekat, apalagi Mira sedang membantu Aryo menyebar kuesioner skripsinya. Terkadang Aryo juga membantu Mira menyelesaikan beberapa paper kuliahnya.Kini mereka berjalan di selasar gedung, menuju parkiran. “Mir, gimana kalau akhir pekan ini kita jalan-jalan?” ucap Aryo.Kening Mira langsung mengernyit. “Jalan-jalan?”“Iya, sekalian refreshing. Kurasa aku butuh udara segar dan melupakan sejenak skripsiku. Gimana kalau kita nonton? Ada film bagus lho.”“Sorry, tapi akhir pekan adalah waktuku bersama Kiran.”Aryo manggut-manggut sambil menyembunyikan ekspresi kecewanya. “Ah, gimana kalau kita ajak Kiran juga?”Mira tertawa pelan. “Kiran masih kecil. Dia belum bisa diajak nonton bioskop. Yang ada nanti malah merepotkan.”“Yah…kita jalan
“Aku sudah bercerai,” tandas Mira saat dirinya dan Aryo berada di kantin kampus.“Apa?” Aryo hampir saja tersedak minuman soda yang baru dia seruput.“Yah, aku ini seorang janda,” Mira mengedikkan bahunya sambil menyingkirkan mangkuk bakso yang sudah kosong itu. Lantas, dia meneliti buku-buku yang baru saja dipinjamnya di perpus.“Aku salut,” sela Aryo begitu melihat Mira membereskan buku-bukunya. “Kamu masih ingin melanjutkan pendidikanmu walaupun sudah enggak muda lagi. Kurasa itu semangat yang harus anak-anak muda punya saat ini.”Mira menyunggingkan senyum tipis. “Yah, karena hanya dengan pendidikan aku bisa mandiri, sekaligus jadi contoh untuk anakku satu-satunya.”“Anakmu lucu. Berapa umurnya? Namanya Kiran kan?”“Tahun ini dia menginjak usia lima tahun.”Aryo manggut-manggut. “Berarti kamu menikah di pertengahan umur dua puluhan ya?”“Aku menikah muda. Yah, pokoknya ceritanya panjang-lah,” Mira menepiskan tangannya. Dia tidak ingin mengumbar permasalahan hidupnya pada pria bron
Bima menelan ludahnya dalam-dalam. Mati-matian dia berusaha menahan keterkejutannya, menangkap sosok mantan istrinya yang begitu berbeda. Mira menatap Bima dan Vania secara bergantian. “Aku…aku baik-baik saja…” balas Bima dengan tergagap. “Sudah lama kamu enggak menjenguk Kiran,” sindir Mira lagi. “Oh, itu…itu karena aku sibuk menyambut kedatangan anak pertama kami,” ucap Bima. Dia masih terpana dengan wajah Mira yang kembali cantik seperti dulu. “Ya, kami sudah menikah,” Vania dengan bangga menunjukkan cincin berlian yang melingkar di jari manisnya. “Well, selamat. Semoga kalian bahagia,” Mira menyunggingkan senyum kecut sambil berlalu. “Mira, tunggu!” Sela Bima cepat. Sontak kening Vania mengernyit tidak suka. “Apa?” Mira memutar tubuhnya, kembali menatap wajah mantan suaminya itu. “Kurasa…minggu depan aku mau menjenguk Kiran.” “Lho, minggu depan kita harus ke dokter!” Pekik Vania kesal, menyenggol lengan Bima. “Bisa diatur, Sayang,” tukas Bima pada istrinya yang cemburu
Peluh keringat membasahi sekujur tubuh Mira. Langkahnya nampak tertatih, namun sekuat tenaga perempuan itu terus memaksa dirinya untuk bergerak, mengikuti lajur treadmill yang kini dalam mode menanjak.“Ayo, Mir. Kamu bisa!” Bella menyemangati sahabatnya itu. “Lima menit lagi selesai.”“Ya, aku pasti bisa,” gumam Mira dengan napas tersengal–walaupun sebenarnya dia ingin pingsan.“Cukup,” suara pelatih pribadi Mira itu terdengar dari balik punggungnya. “Sekarang kamu bisa istirahat dua menit, lalu kita lanjut latihan angkat beban.”“Coach, saya rasa latihannya cukup sampai di sini saja,” balas Mira. Dadanya naik turun karena kekurangan oksigen. Sementara Bella menjulurkan botol minum ke arah Mira. Jujur, Bella takut kalau tiba-tiba Mira pingsan.“Hey, itu baru pemanasan,” balas pelatih berbadan kekar itu. “Ta-tapi saya enggak kuat, Coach. Rasanya saya pengin pingsan,” Mira terbata sambil mengusap keringat di dahinya. Dia tidak menyangka latihan perdananya ini terasa seperti latihan mi
Pagi itu, langit biru nampak membentang dengan cerah di atas sana. Udara yang masih segar membuat Bima jadi sedikit rileks.Mobil yang dilajukannya membelah jalan yang tidak terlalu padat. Di samping Bima, terlihat Rika yang sedang membenarkan riasannya berkali-kali. Sementara Lela duduk di jok belakang. Sesekali wanita setengah baya itu membenarkan posisi sanggulnya. Di samping Lela, menumpuk barang-barang seserahan yang akan diberikan ke Vania.“Aduh, Mas Bima! Yang bener dong nyetirnya,” keluh Rika saat polesan lipstiknya jadi berantakan begitu Bima tidak sengaja menghantam polisi tidur begitu saja.“Lagian kenapa dari tadi kamu dandan melulu sih?” Komentar Bima sambil memperhatikan jalan.“Aku kan harus tampil menawan di depan calon besan kita, Mas. Apalagi Mbak Vania datang dari keluarga terpandang. Jadi, aku enggak boleh tampil malu-maluin,” balas Rika masih menatap kaca kecil yang dibawanya.“Apa kamu sebelumnya sudah pernah ketemu dengan keluarganya Vania?” Tanya Lela penasar
Pintu rumah kontrakan kedua orangtua Mira membuka perlahan. Dengan wajah yang tertunduk, Mira memasuki ruangan.Suswanto dan Arianti, yang sedang menonton televisi, langsung menyadari ekspresi anak mereka yang diliputi kesedihan.Mira menghela napas panjang setelah menghempaskan tubuhnya di atas sofa. PHK yang mendadak serta ajakan mesum dari mantan atasannya itu membuat kepalanya pusing.“Ada masalah apa, Mir?” Tanya Arianti, menatap lekat wajah putrinya itu.Mira menggeleng pelan. Dia tidak tega memberi tahu mereka soal dirinya yang baru saja di PHK.“Jangan bohong,” sela Suswanto cepat. “Papa tahu dari raut wajahmu, Mir. Ceritakan pada kami apa yang terjadi.”Mira menghela napas panjang. “Se-sebenarnya…aku baru saja dipecat dari Bahagia Mart.”Suswanto dan Arianti pun saling bertukar pandang.“Aku…enggak punya pekerjaan lagi…” Mira berujar dengan putus asa.“Sudahlah, Mir. Kamu tidak perlu bekerja sekarang,” tukas Suswanto lagi.“Tapi Pa, aku butuh biaya untuk kehidupan Kiran. Uang
Siang itu, Mira bersedekap. Bibirnya nampak mengerucut kesal dari balik meja kasir. Sementara itu, Lilis berdiri di sampingnya dengan raut wajah yang dipenuhi rasa bersalah.“Aku enggak nyangka, kamu tega padaku, Lis,” Mira bersungut. “Kamu tahu? Aku hampir saja dilecehkan sama om-om setengah baya!”“Sst! Jangan keras-keras, Mir,” desis Lilis. Lehernya menjulur ke sekitar, takut ada pelanggan yang mendengar. Lantas, Lilis menatap teman kerjanya itu lekat-lekat. “Maafkan aku, Mir. Aku pikir kamu enggak keberatan kerja seperti itu.”Mira masih saja marah. Perempuan itu memalingkan pandangannya ke luar sana.“Sebenarnya, kamu bisa nolak kok kalau enggak mau diajak tidur bareng,” lanjut Lilis.Mira mendengus keras. “Tapi om-om brengsek itu memaksaku, Lis! Dia bahkan menjambak rambutku!”“Tenang, Mir. Tenang. Toh, akhirnya kamu selamat juga kan?” Balas Lilis.Mira menghela napas panjang. “Aku enggak mau kerja begituan lagi. Bilang sama bosmu itu kalau aku keluar.”“Yah, terserah kamu deh,”
Mira menatap pantulan dirinya di cermin yang lusuh itu. Gincu merah darah memoles bibirnya yang tebal, sementara rambutnya yang biasanya diikat itu kini nampak bergelombang.Tangan Mira menarik ujung gaun hitamnya yang mengkilap. Jujur, dia begitu risih karena gaun ini sangat ketat. Apalagi potongannya yang rendah membuat dadanya menyembul dengan jelas.“Udah, Mir. Santai aja,” Lilis muncul dari balik punggung Mira.Penampilannya begitu seksi malam ini. Lilis mengenakan rok mini dan tanktop berwarna pink serta riasan yang tidak kalah menor dari Mira.“Tapi, aku enggak biasa pakai baju kayak gini,” keluh Mira.“Ih, udah deh, jangan narik-narik ujung gaun itu nanti malah melar,” Lilis menepis tangan Mira yang sedari tadi menarik ujung gaunnya yang di atas lutut itu. “Lihat, kamu sangat seksi malam ini! Pasti banyak pelanggan yang mau ditemani sama kamu, Mir!”“Aku enggak pe-de, Lis. Gimana kalau aku pulang saja?” Raut wajah Mira nampak cemas.“Eh, jangan! Dicoba dulu aja, Mir. Ingat, an