Setelah kepulangan Vania, kini Mira berbaring di sebelah Kiran seraya mengusap kening anak itu supaya cepat tertidur.“Ma, Tante Vania itu baik juga yah,” ucap Kiran seketika.Kening Mira mengernyit. “Baik?”“Iya, waktu itu Tante Vania beliin aku tas barbie lho.”“Oh ya, Mama kok enggak tahu?” Mira memiringkan tubuhnya, menatap Kiran.“Itu lho Ma, tas pink itu,” telunjuk Kiran mengarah ke tas selempang yang ada di meja kecil di kamar Kiran.“Lho bukannya itu dibeliin sama Papa? Kamu bilang begitu waktu di rumah sakit,” Mira coba mengingat-ingat. Di hari ketiga dia dirawat, dia ingat betul Kiran menjenguknya sambil memamerkan tas baru itu yang katanya dibelikan oleh Bima.Kiran menggeleng cepat. “Enggak kok. Sebenernya itu tas dari Tante Vania. Tapi Papa bilang supaya aku ngomong ke Mama kalo tas itu dari Papa.”Deru napas Mira mulai berembus cepat. Dia berusaha untuk mengendalikan emosinya. “Tapi Ma, aku kadang enggak suka sama Tante Vania itu.”“Kenapa, Sayang? Bukannya katamu dia b
Melalui lubang kunci pintu kamar tamu, mata Mira menangkap adegan paling menjijikkan dalam hidupnya.Bima dan Vania berjibaku dengan panas di atas ranjang. Tanpa sehelai kain, tubuh mereka saling berhimpitan. Deru napas kedua sejoli itu menusuk gendang telinga Mira.“Mas Bima…” Vania meremas rambut Bima dan menarik kepalanya sehingga bibir Bima yang sedari tadi mengecup leher Vania kini terangkat. Tatapan mereka saling bersirobok. Saat Bima melihat Vania menggigit bibirnya keras-keras sambil memejamkan mata, pria itu pun langsung mempercepat gerakan pinggulnya.“Hm, enak Mas…argh…” Vania mengerang penuh nikmat.Erangan itu sontak membuat Mira bergidik muak. Dadanya seakan meledak karena dipenuhi amarah.“Dasar perempuan jalang…” desis Mira dari balik pintu. Napasnya menderu penuh kebencian.Begitu Bima memutar tubuh Vania agar berada di atasnya, tiba-tiba saja dari pojok kamar terdengar tangisan yang meraung-raung.Kedua mata Mira langsung membelalak saat mendengar suara Kiran. Namun,
“Astaga!” Bima terperanjat begitu mendapati Mira yang duduk di ruang tengah.Mira menoleh dan menyunggingkan senyuman dari bibir yang dipoles dengan lipstik merah menyala.“Mas Bima,” Mira beranjak dan menghampiri suaminya.“Ngapain sih kamu duduk di situ dengan keadaan temaram begini? Bikin kaget aku saja,” Bima menepiskan tangan Mira yang menyentuh pundaknya perlahan. “Lagian sudah kubilang, kamu enggak usah nungguin aku pulang.”Lantas Bima mengamati penampilan Mira malam ini yang membuat dahinya berkerut. Lingerie hitam berpotongan dada rendah itu membalut tubuh Mira.“Sebagai istri yang baik, aku harus menunggumu, Mas. Oh iya, aku sudah siapkan makan malam spesial unt
Keesokan harinya di akhir pekan, Mira bersiap untuk membuntuti Bima. Suaminya itu bilang kantornya mengadakan outing di daerah Sukabumi. Jadi, dia harus pergi pagi-pagi sekali.Seperti biasa, Mira tetap bersikap santai dan melepas kepergian suaminya itu dengan senyum lebar. Saat mobil Bima menghilang dari pandangannya, raut wajah Mira nampak dipenuhi dengan kekesalan.Lantas, Mira langsung menghubungi Bella. Sahabatnya itu sudah menunggu di pintu keluar komplek perumahan Mira.“Bell, rusa sudah keluar kandang,” ucap Mira di ujung telepon yang artinya Bima sudah pergi dari rumah.“Oke, harimau siap memburu,” balas Bella dengan penuh semangat.Bella pun mendapati mobil sedan hitam yang berbelok memasuki
“Membantu saya?” Kedua ujung alis Mira saling menyatu.Wanita setengah baya itu mengangguk pelan. Sementara Bella memperhatikan wanita itu dengan curiga. Rambutnya disanggul dengan rapi dan mengenakan kemeja putih formal.“Bagaimana Anda bisa membantu teman saya untuk mengecek keberadaan suaminya di hotel ini, sementara stafnya saja enggak mau memberi tahu?” cecar Bella sambil bersedekap.Wanita itu tersenyum simpul. “Karena saya adalah staf senior di hotel ini.”“Apa?!” ujar Mira dan Bella bersamaan.Wanita itu mengedarkan pandangan ke sekitar. “Sebaiknya kita enggak berbicara di sini.”Akhirnya mereka mencari tempat yang aman yaitu parkiran di ruko sebelah hotel tempat Bella memarkirkan mobilnya.“Apa yang membuat Anda ingin membantu saya?” Mira bertanya sambil terheran-heran, mengingat wanita itu bisa saja mempertaruhkan pekerjaannya.Wanita itu mendesah perlahan. “Sebenarnya besok adalah hari terakhir saya bekerja di hotel ini setelah dua puluh tahun mengabdi. Manajemen hotel mend
“Gimana, Sayang? Aman kan?” Tanya Vania sambil menatap pantulan dirinya di depan cermin.“Aman dong,” Bima merangkul pinggang Vania dari belakang. “Sudah kubilang, Mira itu gampang dibodohi. Jadi, kita bisa bersenang-senang sampai besok.”Bibir Bima mengecup pelan leher Vania yang jenjang.“Astaga, Sayang. Jangan mulai lagi deh. Aku kan baru keramas,” Vania menjauhkan kepala Bima yang mulai bergerak liar.Bima mempererat pelukannya. “Tinggal keramas lagi kan?”“Enak aja! Mas, malam ini kita kan mau dinner. Aku harus menata rambutku sedemikian rupa supaya bisa tampil cantik saat digandeng kamu,” Vania beralasan.“Enggak usah dandan pun kamu udah cantik kok, Sayang,” Bima melemparkan senyumannya melalui pantulan cermin.Lantas, Vania membalikkan tubuhnya. Kedua mata wanita itu langsung tertuju pada bulu-bulu tipis yang mulai menghiasi sekitaran rahang dan dagu Bima yang membuat pria itu semakin tampan.Telapak tangannya pun membelai lembut wajah Bima.“Sayang, makasih ya karena beberapa
“Kamu membuat keputusan yang tepat, Mir,” tukas Citra dari jok belakang. “Lelaki kurang ajar seperti itu harus diberi pelajaran!”Dari balik kemudi, Bella mengangguk setuju. “Setidaknya, dengan kemunculanmu nanti, mereka bakalan sadar kalau kamu itu enggak gampang dibodohi.”Sementara itu, Mira hanya tertunduk lesu. “Setelah aku memergoki mereka, apa yang harus kulakukan? Bercerai dengan Mas Bima?”Terdengar desahan panjang dari mulut Citra. “Semua keputusan ada di tanganmu, Mir. Yang pasti kita harus kumpulkan bukti dulu kalau suamimu itu benar berselingkuh.”Mulut Mira mengatup rapat. Pikirannya jadi kalut memikirkan perceraian, hal yang tidak pernah terlintas di benaknya sejak dulu.
Malam harinya, Mira terperanjat saat mendapati Bima yang sudah menunggu dirinya di ruang tengah.“Mira,” Bima langsung bangkit dan menghampiri istrinya.“Papa, jahat!” pekik Kiran sambil melepaskan gandengan tangannya dari Mira. Lalu gadis mungil itu bersedekap seraya memanyunkan bibirnya.Kini mata Bima melotot ke arah Mira. Dia tidak menyangka kalau Mira memberi tahu Kiran apa yang terjadi tadi pagi.Bima pun menghambur pada Kiran dan memegang pundak putrinya itu. “Kiran…maafkan Papa. Apa yang Mama katakan itu enggak benar.”Mira mendengus mendengar ucapan Bima.“Padahal Papa kan udah janji mau anterin Kiran ke ulang tahun Jason!&
Di pinggir jalan yang nampak sibuk, Bima nampak kaget dengan ucapan yang keluar dari mulut Aryo.Kedua mata Bima menatap tajam wajah Aryo. Dengan penuh percaya diri, Aryo kini merangkul bahu Mira.Sontak Mira terperanjat, namun sebisa mungkin wanita itu berusaha menutupi keterkejutannya.“Jangan bercanda kamu, bocah tengil,” ucap Bima sambil mendongakkan dagunya.“Aku sedang tidak bercanda,” Aryo menukas tajam. “Aku ini pacar barunya Mira,” Aryo kembali menegaskan.Bima berdecak, melempar senyum mengejek ke arah Mira dan Aryo. “Astaga, Mira. Katakan padaku kalau semua ini hanya lelucon kan? Enggak mungkin kamu menjalin hubungan dengan bocah ingusan seperti dia.”Mira seakan terjebak di tengah situasi yang tidak mengenakan ini. Dia terlihat kebingungan dan pipinya nampak merona merah dengan pengakuan Aryo itu. Dada wanita itu terus berdebar keras, apalagi Aryo menggenggam tangannya semakin erat.“Dia…dia memang pacar baruku, Bima,” suara yang keluar dari bibir Mira terdengar begitu ser
Dua bulan berlalu. Perkuliahan yang dijalani Mira memang terasa berat namun menyenangkan. Berinteraksi dengan anak-anak muda zaman sekarang ternyata memberi Mira semangat baru.Terutama kedekatannya dengan Aryo.Tidak bisa dipungkiri, hubungan mereka semakin dekat, apalagi Mira sedang membantu Aryo menyebar kuesioner skripsinya. Terkadang Aryo juga membantu Mira menyelesaikan beberapa paper kuliahnya.Kini mereka berjalan di selasar gedung, menuju parkiran. “Mir, gimana kalau akhir pekan ini kita jalan-jalan?” ucap Aryo.Kening Mira langsung mengernyit. “Jalan-jalan?”“Iya, sekalian refreshing. Kurasa aku butuh udara segar dan melupakan sejenak skripsiku. Gimana kalau kita nonton? Ada film bagus lho.”“Sorry, tapi akhir pekan adalah waktuku bersama Kiran.”Aryo manggut-manggut sambil menyembunyikan ekspresi kecewanya. “Ah, gimana kalau kita ajak Kiran juga?”Mira tertawa pelan. “Kiran masih kecil. Dia belum bisa diajak nonton bioskop. Yang ada nanti malah merepotkan.”“Yah…kita jalan
“Aku sudah bercerai,” tandas Mira saat dirinya dan Aryo berada di kantin kampus.“Apa?” Aryo hampir saja tersedak minuman soda yang baru dia seruput.“Yah, aku ini seorang janda,” Mira mengedikkan bahunya sambil menyingkirkan mangkuk bakso yang sudah kosong itu. Lantas, dia meneliti buku-buku yang baru saja dipinjamnya di perpus.“Aku salut,” sela Aryo begitu melihat Mira membereskan buku-bukunya. “Kamu masih ingin melanjutkan pendidikanmu walaupun sudah enggak muda lagi. Kurasa itu semangat yang harus anak-anak muda punya saat ini.”Mira menyunggingkan senyum tipis. “Yah, karena hanya dengan pendidikan aku bisa mandiri, sekaligus jadi contoh untuk anakku satu-satunya.”“Anakmu lucu. Berapa umurnya? Namanya Kiran kan?”“Tahun ini dia menginjak usia lima tahun.”Aryo manggut-manggut. “Berarti kamu menikah di pertengahan umur dua puluhan ya?”“Aku menikah muda. Yah, pokoknya ceritanya panjang-lah,” Mira menepiskan tangannya. Dia tidak ingin mengumbar permasalahan hidupnya pada pria bron
Bima menelan ludahnya dalam-dalam. Mati-matian dia berusaha menahan keterkejutannya, menangkap sosok mantan istrinya yang begitu berbeda. Mira menatap Bima dan Vania secara bergantian. “Aku…aku baik-baik saja…” balas Bima dengan tergagap. “Sudah lama kamu enggak menjenguk Kiran,” sindir Mira lagi. “Oh, itu…itu karena aku sibuk menyambut kedatangan anak pertama kami,” ucap Bima. Dia masih terpana dengan wajah Mira yang kembali cantik seperti dulu. “Ya, kami sudah menikah,” Vania dengan bangga menunjukkan cincin berlian yang melingkar di jari manisnya. “Well, selamat. Semoga kalian bahagia,” Mira menyunggingkan senyum kecut sambil berlalu. “Mira, tunggu!” Sela Bima cepat. Sontak kening Vania mengernyit tidak suka. “Apa?” Mira memutar tubuhnya, kembali menatap wajah mantan suaminya itu. “Kurasa…minggu depan aku mau menjenguk Kiran.” “Lho, minggu depan kita harus ke dokter!” Pekik Vania kesal, menyenggol lengan Bima. “Bisa diatur, Sayang,” tukas Bima pada istrinya yang cemburu
Peluh keringat membasahi sekujur tubuh Mira. Langkahnya nampak tertatih, namun sekuat tenaga perempuan itu terus memaksa dirinya untuk bergerak, mengikuti lajur treadmill yang kini dalam mode menanjak.“Ayo, Mir. Kamu bisa!” Bella menyemangati sahabatnya itu. “Lima menit lagi selesai.”“Ya, aku pasti bisa,” gumam Mira dengan napas tersengal–walaupun sebenarnya dia ingin pingsan.“Cukup,” suara pelatih pribadi Mira itu terdengar dari balik punggungnya. “Sekarang kamu bisa istirahat dua menit, lalu kita lanjut latihan angkat beban.”“Coach, saya rasa latihannya cukup sampai di sini saja,” balas Mira. Dadanya naik turun karena kekurangan oksigen. Sementara Bella menjulurkan botol minum ke arah Mira. Jujur, Bella takut kalau tiba-tiba Mira pingsan.“Hey, itu baru pemanasan,” balas pelatih berbadan kekar itu. “Ta-tapi saya enggak kuat, Coach. Rasanya saya pengin pingsan,” Mira terbata sambil mengusap keringat di dahinya. Dia tidak menyangka latihan perdananya ini terasa seperti latihan mi
Pagi itu, langit biru nampak membentang dengan cerah di atas sana. Udara yang masih segar membuat Bima jadi sedikit rileks.Mobil yang dilajukannya membelah jalan yang tidak terlalu padat. Di samping Bima, terlihat Rika yang sedang membenarkan riasannya berkali-kali. Sementara Lela duduk di jok belakang. Sesekali wanita setengah baya itu membenarkan posisi sanggulnya. Di samping Lela, menumpuk barang-barang seserahan yang akan diberikan ke Vania.“Aduh, Mas Bima! Yang bener dong nyetirnya,” keluh Rika saat polesan lipstiknya jadi berantakan begitu Bima tidak sengaja menghantam polisi tidur begitu saja.“Lagian kenapa dari tadi kamu dandan melulu sih?” Komentar Bima sambil memperhatikan jalan.“Aku kan harus tampil menawan di depan calon besan kita, Mas. Apalagi Mbak Vania datang dari keluarga terpandang. Jadi, aku enggak boleh tampil malu-maluin,” balas Rika masih menatap kaca kecil yang dibawanya.“Apa kamu sebelumnya sudah pernah ketemu dengan keluarganya Vania?” Tanya Lela penasar
Pintu rumah kontrakan kedua orangtua Mira membuka perlahan. Dengan wajah yang tertunduk, Mira memasuki ruangan.Suswanto dan Arianti, yang sedang menonton televisi, langsung menyadari ekspresi anak mereka yang diliputi kesedihan.Mira menghela napas panjang setelah menghempaskan tubuhnya di atas sofa. PHK yang mendadak serta ajakan mesum dari mantan atasannya itu membuat kepalanya pusing.“Ada masalah apa, Mir?” Tanya Arianti, menatap lekat wajah putrinya itu.Mira menggeleng pelan. Dia tidak tega memberi tahu mereka soal dirinya yang baru saja di PHK.“Jangan bohong,” sela Suswanto cepat. “Papa tahu dari raut wajahmu, Mir. Ceritakan pada kami apa yang terjadi.”Mira menghela napas panjang. “Se-sebenarnya…aku baru saja dipecat dari Bahagia Mart.”Suswanto dan Arianti pun saling bertukar pandang.“Aku…enggak punya pekerjaan lagi…” Mira berujar dengan putus asa.“Sudahlah, Mir. Kamu tidak perlu bekerja sekarang,” tukas Suswanto lagi.“Tapi Pa, aku butuh biaya untuk kehidupan Kiran. Uang
Siang itu, Mira bersedekap. Bibirnya nampak mengerucut kesal dari balik meja kasir. Sementara itu, Lilis berdiri di sampingnya dengan raut wajah yang dipenuhi rasa bersalah.“Aku enggak nyangka, kamu tega padaku, Lis,” Mira bersungut. “Kamu tahu? Aku hampir saja dilecehkan sama om-om setengah baya!”“Sst! Jangan keras-keras, Mir,” desis Lilis. Lehernya menjulur ke sekitar, takut ada pelanggan yang mendengar. Lantas, Lilis menatap teman kerjanya itu lekat-lekat. “Maafkan aku, Mir. Aku pikir kamu enggak keberatan kerja seperti itu.”Mira masih saja marah. Perempuan itu memalingkan pandangannya ke luar sana.“Sebenarnya, kamu bisa nolak kok kalau enggak mau diajak tidur bareng,” lanjut Lilis.Mira mendengus keras. “Tapi om-om brengsek itu memaksaku, Lis! Dia bahkan menjambak rambutku!”“Tenang, Mir. Tenang. Toh, akhirnya kamu selamat juga kan?” Balas Lilis.Mira menghela napas panjang. “Aku enggak mau kerja begituan lagi. Bilang sama bosmu itu kalau aku keluar.”“Yah, terserah kamu deh,”
Mira menatap pantulan dirinya di cermin yang lusuh itu. Gincu merah darah memoles bibirnya yang tebal, sementara rambutnya yang biasanya diikat itu kini nampak bergelombang.Tangan Mira menarik ujung gaun hitamnya yang mengkilap. Jujur, dia begitu risih karena gaun ini sangat ketat. Apalagi potongannya yang rendah membuat dadanya menyembul dengan jelas.“Udah, Mir. Santai aja,” Lilis muncul dari balik punggung Mira.Penampilannya begitu seksi malam ini. Lilis mengenakan rok mini dan tanktop berwarna pink serta riasan yang tidak kalah menor dari Mira.“Tapi, aku enggak biasa pakai baju kayak gini,” keluh Mira.“Ih, udah deh, jangan narik-narik ujung gaun itu nanti malah melar,” Lilis menepis tangan Mira yang sedari tadi menarik ujung gaunnya yang di atas lutut itu. “Lihat, kamu sangat seksi malam ini! Pasti banyak pelanggan yang mau ditemani sama kamu, Mir!”“Aku enggak pe-de, Lis. Gimana kalau aku pulang saja?” Raut wajah Mira nampak cemas.“Eh, jangan! Dicoba dulu aja, Mir. Ingat, an