“Jadi, sekarang kamu kerja di mana?” tanya Mira setelah menyeruput minuman bersoda di hadapannya.
“Aku kerja di daerah Sudirman sebagai konsultan keuangan,” terang Vania. Dia memperhatikan Mira yang mulai melahap ayam goreng.
“Wah, keren banget, Van!” timpal Mira sambil sedikit kepedasan.
“Tapi pekerjaanku bikin stres, Mir. Hampir setiap hari aku lembur,” Vania menghela napas panjang.
“Aku malah iri sama kamu. Soalnya cita-citaku dulu menjadi wanita karir,” tukas Mira lagi. “Kehidupanmu pasti menyenangkan.”
Mendengar hal itu Vania hanya bisa mendesah pelan. “Aku malah pengin menikah dan jadi ibu rumah tangga kayak kamu.”
Kedua mata Mira langsung melotot lebar. “Haduh, lebih baik kamu nikmati masa-masa lajangmu deh. Kalau sudah menikah dan punya anak, kamu bakal merindukan kebebasanmu sekarang ini.”
“Masa? Tapi aku memang ingin menikah, Mir. Sayangnya, enggak ada pria yang mau melamarku,” Vania mengaduk-aduk minumannya.
“Ah, masa cewek secantik kamu enggak ada yang naksir sih? Apa mungkin kamu terlalu pilih-pilih? Eh, tapi mencari pasangan itu memang harus pilih-pilih sih,” ucap Mira.
“Ada sih cowok yang kutaksir, tapi sayangnya suami orang,” Vania mengedikkan bahunya.
“Astaga, Van! Amit-amit deh naksir suami orang,” Mira geleng-geleng kepala. “Sebaiknya kamu jauhi pria itu. Kamu pasti bisa dapat pria yang jauh lebih baik.”
“Tapi aku cinta sama pria itu, Mir.”
Mira menggerak-gerakkan jari telunjuk di hadapan sahabatnya itu. “Perselingkuhan itu jurang kehancuran, Van. Kamu akan menghancurkan kehidupan rumah tangga orang dan hidupmu sendiri.”
Vania hanya tertegun mendengarnya. “Kalau kami saling mencintai gimana?”
Mira berdecak pelan. “Sebaiknya kamu dengarkan saranku, Van.”
“Sudahlah, lebih baik kita lupakan saja masalah percintaanku yang pelik ini,” Vania lantas
mengibaskan tangannya. “Nah, sekarang cerita dong tentang kehidupanmu. Kayaknya kamu bahagia banget ya menikah dengan Bima?”
Senyum tipis mengembang di wajah Mira. “Begitulah. Mas Bima bekerja keras untuk menghidupi keluarga kami. Dan aku bangga akan hal itu.”
Vania manggut-manggut sambil berdecak pelan. “Benar, meraih promosi sebagai manajer itu pasti bukan perkara mudah.
Mira langsung mengernyitkan dahinya. “Dari mana kamu tahu kalo Mas Bima dapat promosi sebagai manajer?”
“Ah…itu…itu hanya tebakanku saja,” Vania menjawab sambil tergagap. Bibirnya gemetar dan telapak tangannya terasa basah.
“Sial, seharusnya aku menjaga mulutku!” pekik Vania dalam hati.
Mira kembali menyeruput minumannya tanpa menaruh curiga pada sahabat lamanya itu. “Yah, tebakan kamu benar. Mas Bima memang mendapat promosi sebagai manajer sejak setahun yang lalu.”
“Tapi kenapa kamu malah terlihat sedih?” Vania memiringkan kepala dengan heran.
Mira menarik napas putus asa. “Entahlah. Sejak promosi jabatannya itu, Mas Bima jadi berubah.”
“Berubah seperti apa?”
“Dia jadi jarang pulang ke rumah dan kurang perhatian pada Kiran juga diriku. Sepertinya dia malu denganku,” Kedua mata Mira kini terlihat sayu.
“Malu denganmu? Tapi kamu kan istrinya, Mir?”
“Kurasa penampilanku setelah melahirkan Kiran adalah masalahnya. Dia selalu mengeluhkan tubuhku yang semakin besar. Dia juga bilang kalau aku kurang merawat diri. Mas Bima bahkan pernah berkata dia malu membawaku ke acara kantornya.”
“Astaga, aku enggak percaya suamimu berkata seperti itu,” ucap Vania sambil geleng-geleng kepala. Dalam hati, dia memang kaget dengan penampilan Mira yang kini berubah seratus delapan puluh derajat.
“Kenapa kamu enggak diet aja? Atau sedot lemak sekalian. Kamu juga bisa minta uang untuk perawatan kan? Kurasa gaji sebagai manajer cukup besar,” lanjut Vania.
“Pengeluaran kami lumayan banyak, Van. Apalagi, rumah kami masih ngontrak. Aku dan Mas Bima sedang menabung untuk beli rumah. Sementara itu, dana pendidikan Kiran juga masih jauh dari target. Lagian, mukaku kusam begini gara-gara aku enggak cocok dengan KB-nya.”
Vania meraih tangan kiri sahabatnya itu. “Sabar ya, Mir. Kalau kamu butuh bantuanku, kamu bilang saja, oke?”
Mira menyunggingkan bibirnya. “Sebenarnya aku baik-baik aja kok. Apa pun yang terjadi, aku bersyukur dengan keadaanku sekarang. Aku punya suami yang pekerja keras dan anak yang sehat.”
“Benar, Mir. Setiap orang pasti punya masalahnya masing-masing,” jawab Vania. Seketika perasaan bersalah hinggap pada diri wanita itu saat melihat penampilan Mira yang nampak menyimpan beban.
“Tapi sebenarnya, Van. Aku menaruh curiga dengan Mas Bima,” ucap Mira kemudian.
Vania menelan ludahnya dalam-dalam. “Ma-maksudmu?”
“Aku takut kalau selama ini Mas Bima jajan di luar,” Mira menyingkirkan piringnya yang kosong.
“Sebaiknya kamu jangan overthinking seperti itu, Mir. Itu hanya akan menyiksa dirimu sendiri.”
Rambut sebahu Mira bergerak pelan. “Aku juga mau berpikir positif soal suamiku, tapi sejak kelahiran Kiran Mas Bima jarang menyentuhku.”
“Be-benarkah?” Vania menggamit kedua telapak tangannya dengan keras.
“Dan aku pernah mendapat notifikasi email bookingan hotel atas namanya,” terang Mira.
Vania berusaha tertawa santai. “Mungkin dia mau mengajak kalian berlibur.”
“Bukan, aku yakin itu. Pokoknya waktu itu dia mengelak dan bilang kalau asistennya enggak sengaja memesankan hotel dengan email pribadinya karena Mas Bima lembur di hari itu.”
Vania menyampirkan beberapa helaian rambutnya ke balik telinga. “Sudahlah, Mir. Kamu jangan membebani pikiranmu dengan hal yang enggak penting seperti itu. Toh kamu enggak punya bukti kalau suamimu selingkuh.”
“Aku juga berusaha menghempaskan pikiran buruk yang terus menghampiri benakku, tapi semakin aku berusaha untuk berpikir positif, pikiran kalau Mas Bima selingkuh semakin kuat.”
“Kurasa kamu harus banyak me-time deh,” saran Vania.
“Aku juga maunya begitu. Tapi kadang aku enggak enak menitipkan Kiran sama ibu mertuaku. Hari ini tiba-tiba beliau bilang kangen sama Kiran dan mau menjaganya, makanya aku bisa pergi berdua sama Mas Bima.”
“Kalau begitu biar suamimu yang sekali-kali jaga Kiran.”
Mira menggeleng. “Terakhir aku membiarkan Mas Bima menjaga Kiran, dia malah membiarkan Kiran bermain sendirian dan akhirnya jatuh dari sepedanya sampai bibirnya berdarah. Kamu tahu, saat itu Mas Bima malah asyik menyalurkan hasratnya di kamar tamu dengan video mesum.”
Vania yang saat itu sedang menyeruput minumannya jadi tersedak.
“Ya ampun, Van. Kamu enggak apa-apa?” tanya Mira cemas.
Muka Vania memerah saat dia mulai bisa mengendalikan dirinya. “Aku enggak apa-apa kok. Kurasa aku terlalu haus,” dia tertawa kecil. “Tapi mungkin kamu salah lihat.”
“Aku enggak bodoh, Van. Aku tahu perbuatannya, tapi dia tetap saja mengelak.” Mira mengedikkan bahunya.
Tiba-tiba ponsel Mira bergetar. Ada satu pesan masuk yang muncul di layarnya.
“Mas Bima bertanya apa kita sudah selesai makan siang,” ucap Mira sambil menekuri pesan itu. “Ini artinya aku harus segera pulang.”
“Pokoknya kalau butuh teman cerita, hubungi aku oke?”
Mira mengangguk. “Makasih ya, Van. Kamu rela mendengar keluh kesahku.”
Kedua bibir Vania menyungging pelan. “Itulah namanya sahabat, Mir. Lain kali kita makan bareng lagi yuk. Kamu ajak Kiran sekalian.”
“Ide bagus,” tukas Mira.
Setelah itu, mereka segera bergegas pergi dari sana.
*
“Ah…Sayang…ugh…” Kepala Bima tersandar di jok belakang. Kedua matanya terpejam sambil menikmati mulut Vania yang mengulum kejantanannya.
Kepala Vania semakin bergerak cepat di bawah sana, memberi sensasi yang luar bisa bagi tubuh Bima.
Seketika Bima langsung menarik kepala wanita itu dan melepaskan cairan miliknya di atas handuk yang sudah dipersiapkan.
Vania tersenyum melihatnya sambil mengusap mulutnya.
Setelah itu Vania naik ke atas pangkuan Bima. Di dalam mobil yang sesak, mereka kembali bercumbu dengan panas. Lidah Bima dengan liar bermain di rongga mulut wanita itu.
Vania pun melepaskan ciumannya karena mulai kehabisan napas.
“Kamu benar-benar liar, Sayang,” tukas Vania dengan nada menggoda. Kedua tangannya melingkar di leher Bima.
“Kamu yang liar. Tapi aku suka itu,” goda Bima, mengedipkan satu matanya.
Vania tersenyum mendengarnya. “Maaf ya, karena aku lagi datang bulan.”
“Enggak apa-apa, Sayang. Servismu tadi memuaskan. Sudah lama aku menahannya. Kini aku merasa begitu plong dan stresku hilang. Itu semua berkat kamu,” Bima menyentuh ujung hidung Vania dengan telunjuknya.
“Yang, kita harus hati-hati,” ucap Vania kemudian.
Kedua alis Bima bertautan. “Kenapa kamu tiba-tiba bilang begitu?”
“Tempo lalu, waktu aku makan siang dengan Mira, dia bilang kalau dia mencurigaimu selingkuh. Gara-gara tiket bookingan itu.”
Bima menghela napasnya. “Kamu tenang saja, dia bukan tipe wanita yang suka menyelidiki sesuatu dengan mendalam. Kamu tahu, dia enggak pernah ngecek HP-ku. Kalau dia minta pun, enggak akan aku kasih. Lagian, kenapa waktu itu kamu muncul tiba-tiba di supermarket sih?”
“Aku enggak tahu kalau dia pergi denganmu,” Vania memberi alasan.
“Waktu melihatmu berdiri di samping Mira, aku seperti melihat hantu tahu!”
Vania tertawa mendengarnya. “Maafkan aku ya karena sudah buat kamu ketakutan.”
Bima kembali mencium bibir ranum Vania. “Aku maafkan kok, tapi setelah datang bulan, kita check in yuk? Nanti aku cari alasan supaya bisa pergi dari rumah.”
“Oke. Aku juga udah kangen banget sama kamu,” Vania berujar manja. “Eh Yang, jujur ya, aku pangling saat melihat penampilan Mira sekarang ini. Dulu dia kan cantik dan langsing banget. Kulitnya putih pula. Kamu memang jahat ya enggak pernah ngasih duit lebih ke dia.”
Bima berdecak. “Hah, percuma. Dia itu malas merawat penampilan. Sejak Kiran lahir, dia hanya fokus mengurus anak kami. Awalnya aku enggak masalah, tapi lama-lama aku bosan juga. Hubungan kami pun jadi hambar.”
“Tapi dia melakukan itu kan demi Kiran. Dia bilang lebih baik uang untuk perawatan dirinya dipakai untuk dana pendidikan anak kalian.”
Bima mengedikkan bahunya. “Yah, memang seharusnya begitu. Sudahlah, jangan membahas soal dia lagi.”
“Tapi Yang, aku takut kalau kita ketahuan,” ucap Vania. “Gimana kalau sekali-kali kamu
berhubungan intim dengannya?”
Bima nampak berpikir sejenak. “Aku malas menyentuhnya.”
“Yah, supaya dia enggak curiga, Sayang.”
Tiba-tiba ponsel Bima berbunyi. Dia berdecak kesal begitu nama istrinya itu muncul di layar.
“Angkat aja, Yang. Supaya dia enggak curiga,” tukas Vania.
“Enggak usah. Nanti aku bilang saja lagi nyetir.” Lalu Bima mengembuskan napas berat. “Sepertinya kita harus berpisah.”
Vania beranjak dari pangkuan Bima dan membenarkan pakaiannya kerjanya. “I love you, Yang. Aku masuk dulu ya. Makasih udah nganter aku ke kosan.”
Dengan cepat Vania mengecup pipinya Bima.
“I love you too,” balas Bima sambil melempar ciuman jarak jauh. “Aku yang makasih karena kamu sudah memuaskanku malam ini.”
Mendengar hal itu, Vania tersenyum senang. Lantas, Bima melihat punggung wanita selingkuhannya itu menjauh dari pandangannya.
Tiga bulan lalu Bima membenarkan posisi dasinya sambil berusaha mengatur napasnya yang tidak karuan. Jantungnya berdebar kencang dan telapak tangannya basah. Ini semua dikarenakan dia harus menemui klien penting di sebuah restoran yang ada di lantai 46. Berkali-kali Bima berdeham seraya mensugesti dirinya agar tenang. Di tengah ketegangan yang melanda dirinya, tiba-tiba saja pintu lift membuka perlahan. Sudut matanya langsung menangkap sesosok wanita yang kini berdiri di sampingnya. Aroma parfum wanita itu menyerbak ke setiap sudut lift. Kehadiran wanita itu membuat ketegangan Bima sedikit teralihkan. Karena hanya ada mereka berdua di dalam lift, pikiran kotor menyergap benak lelaki itu. Apalagi penampilan wanita itu sangat sensual. Rok hitam di atas lutut yang dikenakan wanita itu memperlihatkan kakinya yang jenjang. Kemeja putihnya juga menerawang sehingga bra hitam wanita itu terlihat jelas. Bima menelan ludahnya dalam-dalam. Pria itu lantas tersontak saat wanita yang dipand
“Arg, Sayang!” Vania mengerang seraya mencengkram ujung bantal keras-keras. Semburan kenikmatan itu menjalar ke seluruh tubuhnya. Wajahnya memerah dan napasnya tersengal-sengal. Di atasnya, Vania mendapati tubuh kekar Bima yang menjulang. “Aku mau keluar,” Bima berucap sambil terus menghentakkan tubuhnya. Lantas Vania merangkul leher pria itu. “Keluarin, Sayang. Di dalam juga enggak apa-apa.” “Kamu serius?” Vania mengangguk pelan. Tidak lama setelah itu, Vania bisa merasakan semburan hangat di bawah sana. Sesaat kemudian Bima menghempaskan tubuhnya di samping sahabat lama istrinya itu. Vania memalingkan wajahnya, menatap Bima yang kelelahan. Telapak tangannya meraba rahang pria itu dengan lembut. “Bima, kamu luar biasa,” Vania menyunggingkan senyumannya. Wanita itu lalu beringsut pelan dan mengecup bibir tebal Bima. Bima hanya membalasnya dengan senyuman tipis. “Sudah lama aku enggak bergairah seperti ini.” Sementara itu, jendela kamar hotel mereka diterjang rintik hujan yang
Kedua mata Bima terpana menatap liukan pinggul Vania. Goyangannya membuat Bima terasa seperti mengawang. Ditambah desahan menggoda wanita itu yang menusuk gendang telinganya. Debaran jantung Bima pun berdetak hebat.Begitu bibir Vania mengecup lehernya, Bima tidak tahan lagi untuk mengerang keras.Lantas, kedua matanya membuka lebar. Kini dia dihadapkan pada langit-langit kamarnya yang gelap. Bima menghela napas panjang dan menyandarkan punggungnya di kepala ranjang.“Sial! Kenapa aku jadi memikirkan Vania,” keluhnya dalam hati. Sesi bercinta mereka semalam memang susah untuk dihempaskan dari pikiran Bima.Lalu Bima berpaling ke sisinya. Dilihatnya Mira yang terlelap. Dia menyadari istrinya itu mengenakan baju tidur bertali dari bahan satin yang memperlihatkan lekuk tubuh Mira yang besar. Namun, dia tidak bernafsu menyentuh istrinya itu. Dia hanya ingin Vania.Bima mengusap wajahnya keras-keras. Lantas, dia membenamkan kepalanya di balik bantal berharap kantuk kembali menyerang sehing
Kembali ke masa sekarangDi sepanjang perjalanan pulang, saran Vania agar Bima menyentuh istrinya itu terus menggantung di kepalanya.“Haruskah sekali-kali aku menyentuh Mira?” pikir Bima dalam hati dengan gundah.Begitu sampai di rumah, Bima mendapati istrinya yang sibuk bermain dengan Kiran. Daster yang lusuh membalut tubuh besar Mira dan nampak rambutnya mencuat kesana-kemari.“Papa!” Kiran langsung bangkit dan memeluk Bima yang berada di ambang pintu.Bima kemudian memasang senyum lebarnya untuk putri kesayangannya itu.“Anakku yang cantik,” Bima langsung menciumi Kiran dengan penuh kasih. “Mir, biar aku yang menemani Kiran main. Kamu mandi sana dan dandan yang cantik.”Kening Mira langsung mengernyit. “Apa maksudmu, Mas?”“Aku tahu pasti kamu belum mandi dari tadi sore kan? Jangan-jangan kamu juga belum makan malam,” tukasnya sambil menurunkan Kiran di karpet ruang tengah dan mulai menemaninya menyusun balok lego.“Aku sudah makan kok. Sebaiknya, kamu saja yang mandi dan makan ma
Pagi ini, direktur PT. Bangun Karya–perusahaan tempat Bima bekerja–mengumumkan sebuah projek besar.“Projek rumah sakit ini akan menjadi rumah sakit terbesar di asia tenggara,” imbuh direktur dengan mata berbinar. “Dan kamu, Bima, sebagai manajer keuangan, kamu akan bertanggung jawab penuh terhadap pengalokasian anggaran tender.”Bima menahan napas dalam-dalam dan mengangguk pelan.“Kita harus bisa memenangkan tender ini,” ucap direktur dengan tegas yang dibarengi dengan anggukan dari anak buahnya yang duduk melingkar di ruang meeting.Setelah rapat selesai, Bima kembali ke ruangannya. Jantungnya berdegup keras. Dia belum pernah menangani proyek sebesar ini. Apalagi ini termasuk proyek prestisius. Otaknya mulai berpik
Mira menatap pantulan dirinya di cermin kamar mandi. Gaun hitam selutut membalut tubuhnya yang besar. Untungnya dia membeli gaun itu dengan ukuran ekstra sehingga lemak di tubuhnya itu lumayan tersamarkan.Sore tadi Mira menyempatkan diri ke salon. Dia merias wajahnya agar terlihat cantik. Rambut sebahunya pun di blow sehingga sedikit bervolume.Mira menyunggingkan senyumannya di depan cermin. Entah kenapa jantungnya berpacu kencang. Dia membayangkan dirinya berada di tengah-tengah acara kantor suaminya itu.Seketika perkataan Bima tempo lalu mengiang di telinganya. Hal itu sontak membuat kepercayaan dirinya kembali pudar.Mira lantas menarik napas dalam-dalam. Kedua tangannya mengepal erat.“Aku cantik kok. Dan aku ban
Bima melajukan mobilnya menembus malam. Di luar tetesan hujan mulai membasahi jalan. Sementara itu, Mira bersedekap sambil merengut kesal.“Apa kamu mau muncul di rumah Ibu dengan tampang seperti itu?” Tanya Bima tanpa menoleh pada Mira.Mira mendengus. “Kamu enggak ngerti perasaanku, Mas.”“Mengerti bagaimana? Kamu kesal karena aku enggak memberi tahu kamu soal Vania, hah? Sudah kubilang aku terlalu sibuk saat itu.”“Tapi seharusnya kamu kasih tahu aku,” balas Mira cepat.“Untuk apa? Kalau kamu tahu apa hal itu, apa akan memperlancar pekerjaanku? Enggak kan? Lagian, sekarang semua sudah lewat. Aku memenangkan tender dan Vania juga enggak bekerja dengan perusahaanku lagi.&
Tumpukan bola warna-warni membuat Kiran sontak melonjak kegirangan. Anak kecil itu langsung menarik tangan Mira.“Ayo, Mama!” pekik Kiran tidak sabaran.“Sebentar, Sayang. Kita tunggu temen Mama dulu ya?” jawab Mira sambil mengelus pundak putri kesayangannya itu.“Ah, lama banget sih,” keluh Kiran sambil bersedekap kesal.Mira menjulurkan lehernya kesana-kemari, mencari keberadaan Citra. Tidak lama kemudian, muncullah teman baiknya itu sambil menggandeng Daren beserta seorang suster yang menguntit di belakang mereka.“Mira!” Citra melambaikan tangannya seraya tersenyum lebar. Dengan tergesa dia menghampiri Mira dan Kiran yang sudah menunggu di depan pintu masuk Kid’s Cafe,
Di pinggir jalan yang nampak sibuk, Bima nampak kaget dengan ucapan yang keluar dari mulut Aryo.Kedua mata Bima menatap tajam wajah Aryo. Dengan penuh percaya diri, Aryo kini merangkul bahu Mira.Sontak Mira terperanjat, namun sebisa mungkin wanita itu berusaha menutupi keterkejutannya.“Jangan bercanda kamu, bocah tengil,” ucap Bima sambil mendongakkan dagunya.“Aku sedang tidak bercanda,” Aryo menukas tajam. “Aku ini pacar barunya Mira,” Aryo kembali menegaskan.Bima berdecak, melempar senyum mengejek ke arah Mira dan Aryo. “Astaga, Mira. Katakan padaku kalau semua ini hanya lelucon kan? Enggak mungkin kamu menjalin hubungan dengan bocah ingusan seperti dia.”Mira seakan terjebak di tengah situasi yang tidak mengenakan ini. Dia terlihat kebingungan dan pipinya nampak merona merah dengan pengakuan Aryo itu. Dada wanita itu terus berdebar keras, apalagi Aryo menggenggam tangannya semakin erat.“Dia…dia memang pacar baruku, Bima,” suara yang keluar dari bibir Mira terdengar begitu ser
Dua bulan berlalu. Perkuliahan yang dijalani Mira memang terasa berat namun menyenangkan. Berinteraksi dengan anak-anak muda zaman sekarang ternyata memberi Mira semangat baru.Terutama kedekatannya dengan Aryo.Tidak bisa dipungkiri, hubungan mereka semakin dekat, apalagi Mira sedang membantu Aryo menyebar kuesioner skripsinya. Terkadang Aryo juga membantu Mira menyelesaikan beberapa paper kuliahnya.Kini mereka berjalan di selasar gedung, menuju parkiran. “Mir, gimana kalau akhir pekan ini kita jalan-jalan?” ucap Aryo.Kening Mira langsung mengernyit. “Jalan-jalan?”“Iya, sekalian refreshing. Kurasa aku butuh udara segar dan melupakan sejenak skripsiku. Gimana kalau kita nonton? Ada film bagus lho.”“Sorry, tapi akhir pekan adalah waktuku bersama Kiran.”Aryo manggut-manggut sambil menyembunyikan ekspresi kecewanya. “Ah, gimana kalau kita ajak Kiran juga?”Mira tertawa pelan. “Kiran masih kecil. Dia belum bisa diajak nonton bioskop. Yang ada nanti malah merepotkan.”“Yah…kita jalan
“Aku sudah bercerai,” tandas Mira saat dirinya dan Aryo berada di kantin kampus.“Apa?” Aryo hampir saja tersedak minuman soda yang baru dia seruput.“Yah, aku ini seorang janda,” Mira mengedikkan bahunya sambil menyingkirkan mangkuk bakso yang sudah kosong itu. Lantas, dia meneliti buku-buku yang baru saja dipinjamnya di perpus.“Aku salut,” sela Aryo begitu melihat Mira membereskan buku-bukunya. “Kamu masih ingin melanjutkan pendidikanmu walaupun sudah enggak muda lagi. Kurasa itu semangat yang harus anak-anak muda punya saat ini.”Mira menyunggingkan senyum tipis. “Yah, karena hanya dengan pendidikan aku bisa mandiri, sekaligus jadi contoh untuk anakku satu-satunya.”“Anakmu lucu. Berapa umurnya? Namanya Kiran kan?”“Tahun ini dia menginjak usia lima tahun.”Aryo manggut-manggut. “Berarti kamu menikah di pertengahan umur dua puluhan ya?”“Aku menikah muda. Yah, pokoknya ceritanya panjang-lah,” Mira menepiskan tangannya. Dia tidak ingin mengumbar permasalahan hidupnya pada pria bron
Bima menelan ludahnya dalam-dalam. Mati-matian dia berusaha menahan keterkejutannya, menangkap sosok mantan istrinya yang begitu berbeda. Mira menatap Bima dan Vania secara bergantian. “Aku…aku baik-baik saja…” balas Bima dengan tergagap. “Sudah lama kamu enggak menjenguk Kiran,” sindir Mira lagi. “Oh, itu…itu karena aku sibuk menyambut kedatangan anak pertama kami,” ucap Bima. Dia masih terpana dengan wajah Mira yang kembali cantik seperti dulu. “Ya, kami sudah menikah,” Vania dengan bangga menunjukkan cincin berlian yang melingkar di jari manisnya. “Well, selamat. Semoga kalian bahagia,” Mira menyunggingkan senyum kecut sambil berlalu. “Mira, tunggu!” Sela Bima cepat. Sontak kening Vania mengernyit tidak suka. “Apa?” Mira memutar tubuhnya, kembali menatap wajah mantan suaminya itu. “Kurasa…minggu depan aku mau menjenguk Kiran.” “Lho, minggu depan kita harus ke dokter!” Pekik Vania kesal, menyenggol lengan Bima. “Bisa diatur, Sayang,” tukas Bima pada istrinya yang cemburu
Peluh keringat membasahi sekujur tubuh Mira. Langkahnya nampak tertatih, namun sekuat tenaga perempuan itu terus memaksa dirinya untuk bergerak, mengikuti lajur treadmill yang kini dalam mode menanjak.“Ayo, Mir. Kamu bisa!” Bella menyemangati sahabatnya itu. “Lima menit lagi selesai.”“Ya, aku pasti bisa,” gumam Mira dengan napas tersengal–walaupun sebenarnya dia ingin pingsan.“Cukup,” suara pelatih pribadi Mira itu terdengar dari balik punggungnya. “Sekarang kamu bisa istirahat dua menit, lalu kita lanjut latihan angkat beban.”“Coach, saya rasa latihannya cukup sampai di sini saja,” balas Mira. Dadanya naik turun karena kekurangan oksigen. Sementara Bella menjulurkan botol minum ke arah Mira. Jujur, Bella takut kalau tiba-tiba Mira pingsan.“Hey, itu baru pemanasan,” balas pelatih berbadan kekar itu. “Ta-tapi saya enggak kuat, Coach. Rasanya saya pengin pingsan,” Mira terbata sambil mengusap keringat di dahinya. Dia tidak menyangka latihan perdananya ini terasa seperti latihan mi
Pagi itu, langit biru nampak membentang dengan cerah di atas sana. Udara yang masih segar membuat Bima jadi sedikit rileks.Mobil yang dilajukannya membelah jalan yang tidak terlalu padat. Di samping Bima, terlihat Rika yang sedang membenarkan riasannya berkali-kali. Sementara Lela duduk di jok belakang. Sesekali wanita setengah baya itu membenarkan posisi sanggulnya. Di samping Lela, menumpuk barang-barang seserahan yang akan diberikan ke Vania.“Aduh, Mas Bima! Yang bener dong nyetirnya,” keluh Rika saat polesan lipstiknya jadi berantakan begitu Bima tidak sengaja menghantam polisi tidur begitu saja.“Lagian kenapa dari tadi kamu dandan melulu sih?” Komentar Bima sambil memperhatikan jalan.“Aku kan harus tampil menawan di depan calon besan kita, Mas. Apalagi Mbak Vania datang dari keluarga terpandang. Jadi, aku enggak boleh tampil malu-maluin,” balas Rika masih menatap kaca kecil yang dibawanya.“Apa kamu sebelumnya sudah pernah ketemu dengan keluarganya Vania?” Tanya Lela penasar
Pintu rumah kontrakan kedua orangtua Mira membuka perlahan. Dengan wajah yang tertunduk, Mira memasuki ruangan.Suswanto dan Arianti, yang sedang menonton televisi, langsung menyadari ekspresi anak mereka yang diliputi kesedihan.Mira menghela napas panjang setelah menghempaskan tubuhnya di atas sofa. PHK yang mendadak serta ajakan mesum dari mantan atasannya itu membuat kepalanya pusing.“Ada masalah apa, Mir?” Tanya Arianti, menatap lekat wajah putrinya itu.Mira menggeleng pelan. Dia tidak tega memberi tahu mereka soal dirinya yang baru saja di PHK.“Jangan bohong,” sela Suswanto cepat. “Papa tahu dari raut wajahmu, Mir. Ceritakan pada kami apa yang terjadi.”Mira menghela napas panjang. “Se-sebenarnya…aku baru saja dipecat dari Bahagia Mart.”Suswanto dan Arianti pun saling bertukar pandang.“Aku…enggak punya pekerjaan lagi…” Mira berujar dengan putus asa.“Sudahlah, Mir. Kamu tidak perlu bekerja sekarang,” tukas Suswanto lagi.“Tapi Pa, aku butuh biaya untuk kehidupan Kiran. Uang
Siang itu, Mira bersedekap. Bibirnya nampak mengerucut kesal dari balik meja kasir. Sementara itu, Lilis berdiri di sampingnya dengan raut wajah yang dipenuhi rasa bersalah.“Aku enggak nyangka, kamu tega padaku, Lis,” Mira bersungut. “Kamu tahu? Aku hampir saja dilecehkan sama om-om setengah baya!”“Sst! Jangan keras-keras, Mir,” desis Lilis. Lehernya menjulur ke sekitar, takut ada pelanggan yang mendengar. Lantas, Lilis menatap teman kerjanya itu lekat-lekat. “Maafkan aku, Mir. Aku pikir kamu enggak keberatan kerja seperti itu.”Mira masih saja marah. Perempuan itu memalingkan pandangannya ke luar sana.“Sebenarnya, kamu bisa nolak kok kalau enggak mau diajak tidur bareng,” lanjut Lilis.Mira mendengus keras. “Tapi om-om brengsek itu memaksaku, Lis! Dia bahkan menjambak rambutku!”“Tenang, Mir. Tenang. Toh, akhirnya kamu selamat juga kan?” Balas Lilis.Mira menghela napas panjang. “Aku enggak mau kerja begituan lagi. Bilang sama bosmu itu kalau aku keluar.”“Yah, terserah kamu deh,”
Mira menatap pantulan dirinya di cermin yang lusuh itu. Gincu merah darah memoles bibirnya yang tebal, sementara rambutnya yang biasanya diikat itu kini nampak bergelombang.Tangan Mira menarik ujung gaun hitamnya yang mengkilap. Jujur, dia begitu risih karena gaun ini sangat ketat. Apalagi potongannya yang rendah membuat dadanya menyembul dengan jelas.“Udah, Mir. Santai aja,” Lilis muncul dari balik punggung Mira.Penampilannya begitu seksi malam ini. Lilis mengenakan rok mini dan tanktop berwarna pink serta riasan yang tidak kalah menor dari Mira.“Tapi, aku enggak biasa pakai baju kayak gini,” keluh Mira.“Ih, udah deh, jangan narik-narik ujung gaun itu nanti malah melar,” Lilis menepis tangan Mira yang sedari tadi menarik ujung gaunnya yang di atas lutut itu. “Lihat, kamu sangat seksi malam ini! Pasti banyak pelanggan yang mau ditemani sama kamu, Mir!”“Aku enggak pe-de, Lis. Gimana kalau aku pulang saja?” Raut wajah Mira nampak cemas.“Eh, jangan! Dicoba dulu aja, Mir. Ingat, an