“Arg, Sayang!” Vania mengerang seraya mencengkram ujung bantal keras-keras. Semburan kenikmatan itu menjalar ke seluruh tubuhnya. Wajahnya memerah dan napasnya tersengal-sengal.
Di atasnya, Vania mendapati tubuh kekar Bima yang menjulang.
“Aku mau keluar,” Bima berucap sambil terus menghentakkan tubuhnya.
Lantas Vania merangkul leher pria itu. “Keluarin, Sayang. Di dalam juga enggak apa-apa.”
“Kamu serius?”
Vania mengangguk pelan. Tidak lama setelah itu, Vania bisa merasakan semburan hangat di bawah sana. Sesaat kemudian Bima menghempaskan tubuhnya di samping sahabat lama istrinya itu.
Vania memalingkan wajahnya, menatap Bima yang kelelahan. Telapak tangannya meraba rahang pria itu dengan lembut.
“Bima, kamu luar biasa,” Vania menyunggingkan senyumannya. Wanita itu lalu beringsut pelan dan mengecup bibir tebal Bima.
Bima hanya membalasnya dengan senyuman tipis. “Sudah lama aku enggak bergairah seperti ini.”
Sementara itu, jendela kamar hotel mereka diterjang rintik hujan yang bertubi-tubi. Petir menggelegar dan suara angin berembus kencang.
Ponsel Bima pun bergetar berkali-kali. Namun dia menghiraukannya. Malam ini dia ingin menikmati tubuh Vania sampai puas.
*
Paginya, Bima memalingkan pandangannya ke luar jendela kamar. Dia mendapati beberapa pohon tumbang yang menutupi jalan di depan hotel mereka. Genangan air pun masih terlihat agak dalam. Namun beberapa kendaraan bisa melewatinya.
“Semalam benar-benar terjadi badai,” Bima menyeruput kopinya.
“Aku malah enggak sadar kalau terjadi badai,” Vania menyilangkan kedua kakinya di hadapan Bima sehingga ujung jubah hotel yang dikenakannya itu menyingkap kakinya yang mulus.
Bima berdecak pelan. “Kurasa permainan kita semalam terlalu panas.”
“Tiga ronde, Bima. Apa kamu juga seperti itu kalau sama Mira?”
Seketika tenggorokan Bima tercekat mendengar nama istrinya itu. Bayangan wajah Mira kini memenuhi benaknya.
Vania memiringkan wajahnya dengan heran saat mendapati Bima yang nampak terdiam. “Kenapa, Bim?”
Bima menaruh cangkir kopinya di atas meja. Lantas dia menghela napas panjang. “Van, kurasa apa yang kita lakukan ini salah.”
“Aku tahu, Bim. Tapi kita menikmatinya kan?” Vania berujar lirih.
Lantas Bima menatap wajah Vania yang nampak polos tanpa riasan sama sekali. Wajahnya tirus dengan kulit yang begitu mulus.
“Aku benar-benar minta maaf. Kamu wanita yang sungguh menarik. Tapi sepertinya, kita enggak boleh melakukan hal ini lagi. Kurasa gara-gara kita mabuk semalam, jadi kita kebablasan.”
Vania menggigit bibir merahnya. “Maksud kamu, kita enggak akan bertemu lagi?”
Bima mengangguk mantap. “Biarkan kejadian semalam menjadi rahasia terbesar kita.”
“Tapi, Bima…” Vania memandang pria itu dengan sendu. “Sebenarnya aku…aku…”
Bima mengernyitkan dahinya. “Sebenarnya apa, Vania?”
“Sudah sejak lama aku menyukaimu, Bim,” ucap Vania pada akhirnya. “Aku tahu ini salah, tapi aku mencintaimu, Bima.”
“Vania, kurasa kamu sudah gila. Aku ini suami dari sahabat lamamu,” Bima berkata sambil geleng-geleng kepala.
“Tapi aku enggak bisa mengelak perasaan ini. Dari dulu aku ingin memelukmu, merasakan sentuhan bibirmu, Bima.” Vania beranjak dan merangkul pria itu dari belakang.
Sontak, Bima melepaskan rangkulan itu. “Vania, yang kita lakukan semalam itu adalah kesalahan. Ingat itu. Dan enggak ada alasan bagi kita untuk melanjutkan hubungan ini.”
“Jadi, kamu bercinta denganku hanya karena kamu mabuk?” Tanya Vania tidak terima.
“A-aku…aku menikmatinya. Tapi, aku enggak mau mengorbankan keluarga kecilku!”
“Bima, enggak ada yang bilang kamu harus mengorbankan keluargamu,” Vania mengusap pipi Bima pelan.
“Apa maksudmu?” Bima menyipitkan matanya lalu dia melempar pandangannya ke arah dada Vania yang menyembul dari balik jubah hotelnya. Wangi wanita itu begitu menggoda, memacu adrenalinnya untuk meremasnya kembali.
Ujung hidung Vania semakin mendekat ke wajah Bima.
“Aku rela menjadi wanita simpananmu, Bima. Kita bisa bercinta kapan saja,” bisik Vania sambil menggoda.
Bima langsung memalingkan pandangan dari dada Vania. “Kamu sudah gila.”
“Ya, aku memang sudah gila,” balas Vania yang langsung berubah ketus. “Tapi kamulah yang membuatku gila, Bim.”
Bima mendorong pelan tubuh wanita itu agar menjauh darinya. “Kamu enggak boleh mengkhianati sahabatmu sendiri, Van.”
“Mira bukan lagi sahabatku, Bim. Sejak dia jadian dengan kamu, aku sudah menganggapnya sebagai musuh.”
“Aku enggak paham.” Bima menautkan kedua alisnya.
“Aku duluan yang menyukaimu, Bima,” terang Vania.
“Tapi kita enggak pernah bertemu sebelumnya, kecuali di pernikahanku. Kamu tahu kan Mira enggak suka mengenalkanku pada teman-temannya. Lagian, aku duluan yang menembak Mira.”
Vania mengembuskan napas panjang. “Aku tahu, kalian teman satu SMA. Tapi aku pernah satu bimbingan belajar denganmu. Aku selalu memperhatikanmu, Bim. Tapi aku sadar kalau dulu aku enggak secantik Mira. Saat Mira bilang kamu menembaknya, duniaku seakan hancur. Kamu cinta pertamaku, Bima.”
Vania kembali menerjang tubuh Bima dan memeluknya.
“Astaga, Vania. Itu sudah lebih dari sepuluh tahun lalu! Kurasa kamu terlalu berlebihan.” Bima melepas pelukan wanita itu yang kini terisak. “Lihat, dirimu sekarang. Kamu cantik dan sukses. Kamu bisa mendapatkan pria mana pun.”
“Tapi aku maunya kamu. Belasan tahun aku menahan perasaan ini, Bim. Aku berubah juga demi kamu, supaya kamu suatu hari nanti akan melirikku. Dan kini impianku menjadi nyata. Tapi kamu malah…”
Bima menarik napasnya dalam-dalam. Dia memperhatikan wanita yang kini menangis di hadapannya. “Aku enggak pernah tahu kalau kamu sangat menyukaiku.”
Vania menghapus air matanya. “Bima, aku rela menjadi simpananmu. Kita rahasiakan semua ini dari Mira.”
“Bagaimana kalau sampai Mira tahu, Van?”
“Dia enggak akan tahu.”
“Aku enggak bisa melakukan ini. A-aku mencintai keluargaku.” Ucap Bima lirih.
“Tapi kamu tetap mau tidur sama aku, Bim! Ingat, kamu bahkan memanggilku Sayang semalam!” pekik Vania.
“Itu semua karena pengaruh alkohol, Van. Aku khilaf. Makanya aku minta maaf sekali lagi. Aku memang brengsek.”
Lantas Bima memutar tubuhnya. Dia ingin bergegas keluar dari sini.
“Bima, kamu tega…”
“Maafkan aku, Vania.” Bima pun menghilang dari balik pintu.
*
“Astaga, Mas. Aku cemas banget,” tukas Mira begitu mendapati Bima muncul dari balik pintu rumah mereka. “Aku menghubungi rumah Ibu, tapi beliau bilang kamu enggak pulang ke sana. Semalaman aku teleponin, tapi enggak kamu angkat.”
“Sorry, Mir. Aku enggak bilang sama kamu kalau aku menginap di hotel. Soalnya jalanan ke rumah ibu juga terendam banjir. Dan HP-ku low batt, aku lupa men-charge-nya.”
Mira mengekor di belakang suaminya itu. “Kamu mau mandi air panas?”
“Ya, tolong buatkan ya,” ucap Bima seraya memasuki kamar tidur mereka.
Saat Bima sedang berganti pakaian, Mira muncul dari balik pintu. “Mas, kamu mau sarapan dulu? Kebetulan aku bikin nasi goreng.”
Bima melempar kemejanya ke atas ranjang. “Aku sudah sarapan di hotel. Mana Kiran? Jangan bilang dia ke pre-school.”
“Kiran masih tidur, Mas. Hari ini pre-school-nya libur karena jalanan ke sana tergenang banjir.”
“Mir,” sahut Bima begitu Mira akan balik badan keluar kamar.
“Kenapa, Mas?” Mira memandangi Bima heran. Cuaca yang mendung di luar membuat suasana kamar tidur mereka remang-remang walaupun gorden jendela sudah disibak terbuka.
Bima yang bertelanjang dada menghampiri istrinya itu. Dipandanginya Mira beberapa saat. Raut wajah Mira nampak lelah, rambutnya mencuat walau sudah diikat. Tubuhnya yang dulu langsing bak model kini berubah 180 derajat. Namun wajah Mira yang manis itu masih terlihat jelas.
Seketika Bima merengkuh wajah Mira dan menciumnya. Sontak, Mira terperanjat. Rasanya sudah berabad-abad Bima tidak pernah menciumnya.
Lumatan bibir Bima membuat Mira bergairah. Lututnya terasa lemas. Walaupun sebenarnya dia sedikit lelah karena habis mencuci pakaian, tapi dia tidak mau melewatkan kesempatan ini.
Sejak Kiran lahir empat tahun lalu, Bima jarang sekali menyentuhnya. Paling sebulan sekali. Enam bulan belakangan ini malah bertambah parah. Suaminya itu tidak pernah berhubungan dengannya ditambah sikapnya yang semakin dingin.
Saat Mira akan merangkul leher Bima, tiba-tiba Bima melepaskan ciumannya begitu saja.
“Ma-Mas…” Mira nampak terheran sekaligus kecewa.
“Kurasa ini bukan saat yang tepat,” Bima beranjak menjauh. “Aku takut Kiran bangun.”
“Tapi Kiran kan tidur di kamarnya sendiri,” Mira mendekati suaminya dan merangkulnya dari belakang. “Sebenarnya, aku kangen sekali sama kamu, Mas.”
Mira bisa merasakan desahan panjang suaminya itu. “Mir, sebaiknya kita lakukan malam saja. Lagian, kamu lagi masak air kan? Aku juga agak sedikit capek.”
“Baiklah, Mas,” ucap Mira berusaha sambil menahan kekecewaannya.
Malamnya, Bima malah tidur lebih cepat dan membiarkan Mira yang sudah bersiap diri dengan baju tidurnya yang seksi.
Kedua mata Bima terpana menatap liukan pinggul Vania. Goyangannya membuat Bima terasa seperti mengawang. Ditambah desahan menggoda wanita itu yang menusuk gendang telinganya. Debaran jantung Bima pun berdetak hebat.Begitu bibir Vania mengecup lehernya, Bima tidak tahan lagi untuk mengerang keras.Lantas, kedua matanya membuka lebar. Kini dia dihadapkan pada langit-langit kamarnya yang gelap. Bima menghela napas panjang dan menyandarkan punggungnya di kepala ranjang.“Sial! Kenapa aku jadi memikirkan Vania,” keluhnya dalam hati. Sesi bercinta mereka semalam memang susah untuk dihempaskan dari pikiran Bima.Lalu Bima berpaling ke sisinya. Dilihatnya Mira yang terlelap. Dia menyadari istrinya itu mengenakan baju tidur bertali dari bahan satin yang memperlihatkan lekuk tubuh Mira yang besar. Namun, dia tidak bernafsu menyentuh istrinya itu. Dia hanya ingin Vania.Bima mengusap wajahnya keras-keras. Lantas, dia membenamkan kepalanya di balik bantal berharap kantuk kembali menyerang sehing
Kembali ke masa sekarangDi sepanjang perjalanan pulang, saran Vania agar Bima menyentuh istrinya itu terus menggantung di kepalanya.“Haruskah sekali-kali aku menyentuh Mira?” pikir Bima dalam hati dengan gundah.Begitu sampai di rumah, Bima mendapati istrinya yang sibuk bermain dengan Kiran. Daster yang lusuh membalut tubuh besar Mira dan nampak rambutnya mencuat kesana-kemari.“Papa!” Kiran langsung bangkit dan memeluk Bima yang berada di ambang pintu.Bima kemudian memasang senyum lebarnya untuk putri kesayangannya itu.“Anakku yang cantik,” Bima langsung menciumi Kiran dengan penuh kasih. “Mir, biar aku yang menemani Kiran main. Kamu mandi sana dan dandan yang cantik.”Kening Mira langsung mengernyit. “Apa maksudmu, Mas?”“Aku tahu pasti kamu belum mandi dari tadi sore kan? Jangan-jangan kamu juga belum makan malam,” tukasnya sambil menurunkan Kiran di karpet ruang tengah dan mulai menemaninya menyusun balok lego.“Aku sudah makan kok. Sebaiknya, kamu saja yang mandi dan makan ma
Pagi ini, direktur PT. Bangun Karya–perusahaan tempat Bima bekerja–mengumumkan sebuah projek besar.“Projek rumah sakit ini akan menjadi rumah sakit terbesar di asia tenggara,” imbuh direktur dengan mata berbinar. “Dan kamu, Bima, sebagai manajer keuangan, kamu akan bertanggung jawab penuh terhadap pengalokasian anggaran tender.”Bima menahan napas dalam-dalam dan mengangguk pelan.“Kita harus bisa memenangkan tender ini,” ucap direktur dengan tegas yang dibarengi dengan anggukan dari anak buahnya yang duduk melingkar di ruang meeting.Setelah rapat selesai, Bima kembali ke ruangannya. Jantungnya berdegup keras. Dia belum pernah menangani proyek sebesar ini. Apalagi ini termasuk proyek prestisius. Otaknya mulai berpik
Mira menatap pantulan dirinya di cermin kamar mandi. Gaun hitam selutut membalut tubuhnya yang besar. Untungnya dia membeli gaun itu dengan ukuran ekstra sehingga lemak di tubuhnya itu lumayan tersamarkan.Sore tadi Mira menyempatkan diri ke salon. Dia merias wajahnya agar terlihat cantik. Rambut sebahunya pun di blow sehingga sedikit bervolume.Mira menyunggingkan senyumannya di depan cermin. Entah kenapa jantungnya berpacu kencang. Dia membayangkan dirinya berada di tengah-tengah acara kantor suaminya itu.Seketika perkataan Bima tempo lalu mengiang di telinganya. Hal itu sontak membuat kepercayaan dirinya kembali pudar.Mira lantas menarik napas dalam-dalam. Kedua tangannya mengepal erat.“Aku cantik kok. Dan aku ban
Bima melajukan mobilnya menembus malam. Di luar tetesan hujan mulai membasahi jalan. Sementara itu, Mira bersedekap sambil merengut kesal.“Apa kamu mau muncul di rumah Ibu dengan tampang seperti itu?” Tanya Bima tanpa menoleh pada Mira.Mira mendengus. “Kamu enggak ngerti perasaanku, Mas.”“Mengerti bagaimana? Kamu kesal karena aku enggak memberi tahu kamu soal Vania, hah? Sudah kubilang aku terlalu sibuk saat itu.”“Tapi seharusnya kamu kasih tahu aku,” balas Mira cepat.“Untuk apa? Kalau kamu tahu apa hal itu, apa akan memperlancar pekerjaanku? Enggak kan? Lagian, sekarang semua sudah lewat. Aku memenangkan tender dan Vania juga enggak bekerja dengan perusahaanku lagi.&
Tumpukan bola warna-warni membuat Kiran sontak melonjak kegirangan. Anak kecil itu langsung menarik tangan Mira.“Ayo, Mama!” pekik Kiran tidak sabaran.“Sebentar, Sayang. Kita tunggu temen Mama dulu ya?” jawab Mira sambil mengelus pundak putri kesayangannya itu.“Ah, lama banget sih,” keluh Kiran sambil bersedekap kesal.Mira menjulurkan lehernya kesana-kemari, mencari keberadaan Citra. Tidak lama kemudian, muncullah teman baiknya itu sambil menggandeng Daren beserta seorang suster yang menguntit di belakang mereka.“Mira!” Citra melambaikan tangannya seraya tersenyum lebar. Dengan tergesa dia menghampiri Mira dan Kiran yang sudah menunggu di depan pintu masuk Kid’s Cafe,
Di hari Minggu yang cerah, Bima mengajak Kiran jalan-jalan pagi di sekitaran komplek rumah mereka. Semantara itu, Mira memilih untuk tinggal di rumah.Entah kenapa dia merasa tidak enak badan. Setelah selesai mencuci piring, Mira memutuskan untuk berbaring di ranjang. Kepalanya pusing dan mual padahal dia masih harus menyiapkan sarapan lalu merendam pakaian.“Mama!” pekik Kiran dengan riang. Anak itu membawa sebuah plastik bening berisi seekor ikan hias mungil. “Mama! Aku punya ikan baru, Ma!”Namun, Mira tidak menjawab. Dia terlalu lemah bahkan untuk turun dari ranjang dan menghampiri Kiran.Kening Bima mengernyit saat mendapati rumah yang masih berantakan. Biasanya pagi-pagi begini Mira pasti sibuk berbenah. Saat Bima membuka tudung saji di meja
“Argh,” Bima mengerang begitu Vania mulai bangkit dan berjongkok di atas Bima. Dia menghentakkan cepat bokongnya sehingga menimbulkan sensasi yang luar biasa bagi Bima.Punggung Vania meliuk ke belakang sambil mengatur tempo gerakannya. Dia begitu menyukai gerakan ini yang membuatnya begitu dominan terhadap Bima.Saat mereka sama-sama akan mencapai klimaks, tiba-tiba pintu depan digedor dengan keras.“Mas! Mas Bima! Buka pintunya, Mas!” Pekik Rika dari luar sana.Begitu mendengar suara Rika, sontak konsentrasi Bima langsung buyar. Kenikmatan yang sebentar lagi akan pecah itu langsung tertahan. Dia bangkit dan hampir membuat Vania jatuh ke lantai.“Astaga, Van! Adikku datang!” Desis Bi
Di pinggir jalan yang nampak sibuk, Bima nampak kaget dengan ucapan yang keluar dari mulut Aryo.Kedua mata Bima menatap tajam wajah Aryo. Dengan penuh percaya diri, Aryo kini merangkul bahu Mira.Sontak Mira terperanjat, namun sebisa mungkin wanita itu berusaha menutupi keterkejutannya.“Jangan bercanda kamu, bocah tengil,” ucap Bima sambil mendongakkan dagunya.“Aku sedang tidak bercanda,” Aryo menukas tajam. “Aku ini pacar barunya Mira,” Aryo kembali menegaskan.Bima berdecak, melempar senyum mengejek ke arah Mira dan Aryo. “Astaga, Mira. Katakan padaku kalau semua ini hanya lelucon kan? Enggak mungkin kamu menjalin hubungan dengan bocah ingusan seperti dia.”Mira seakan terjebak di tengah situasi yang tidak mengenakan ini. Dia terlihat kebingungan dan pipinya nampak merona merah dengan pengakuan Aryo itu. Dada wanita itu terus berdebar keras, apalagi Aryo menggenggam tangannya semakin erat.“Dia…dia memang pacar baruku, Bima,” suara yang keluar dari bibir Mira terdengar begitu ser
Dua bulan berlalu. Perkuliahan yang dijalani Mira memang terasa berat namun menyenangkan. Berinteraksi dengan anak-anak muda zaman sekarang ternyata memberi Mira semangat baru.Terutama kedekatannya dengan Aryo.Tidak bisa dipungkiri, hubungan mereka semakin dekat, apalagi Mira sedang membantu Aryo menyebar kuesioner skripsinya. Terkadang Aryo juga membantu Mira menyelesaikan beberapa paper kuliahnya.Kini mereka berjalan di selasar gedung, menuju parkiran. “Mir, gimana kalau akhir pekan ini kita jalan-jalan?” ucap Aryo.Kening Mira langsung mengernyit. “Jalan-jalan?”“Iya, sekalian refreshing. Kurasa aku butuh udara segar dan melupakan sejenak skripsiku. Gimana kalau kita nonton? Ada film bagus lho.”“Sorry, tapi akhir pekan adalah waktuku bersama Kiran.”Aryo manggut-manggut sambil menyembunyikan ekspresi kecewanya. “Ah, gimana kalau kita ajak Kiran juga?”Mira tertawa pelan. “Kiran masih kecil. Dia belum bisa diajak nonton bioskop. Yang ada nanti malah merepotkan.”“Yah…kita jalan
“Aku sudah bercerai,” tandas Mira saat dirinya dan Aryo berada di kantin kampus.“Apa?” Aryo hampir saja tersedak minuman soda yang baru dia seruput.“Yah, aku ini seorang janda,” Mira mengedikkan bahunya sambil menyingkirkan mangkuk bakso yang sudah kosong itu. Lantas, dia meneliti buku-buku yang baru saja dipinjamnya di perpus.“Aku salut,” sela Aryo begitu melihat Mira membereskan buku-bukunya. “Kamu masih ingin melanjutkan pendidikanmu walaupun sudah enggak muda lagi. Kurasa itu semangat yang harus anak-anak muda punya saat ini.”Mira menyunggingkan senyum tipis. “Yah, karena hanya dengan pendidikan aku bisa mandiri, sekaligus jadi contoh untuk anakku satu-satunya.”“Anakmu lucu. Berapa umurnya? Namanya Kiran kan?”“Tahun ini dia menginjak usia lima tahun.”Aryo manggut-manggut. “Berarti kamu menikah di pertengahan umur dua puluhan ya?”“Aku menikah muda. Yah, pokoknya ceritanya panjang-lah,” Mira menepiskan tangannya. Dia tidak ingin mengumbar permasalahan hidupnya pada pria bron
Bima menelan ludahnya dalam-dalam. Mati-matian dia berusaha menahan keterkejutannya, menangkap sosok mantan istrinya yang begitu berbeda. Mira menatap Bima dan Vania secara bergantian. “Aku…aku baik-baik saja…” balas Bima dengan tergagap. “Sudah lama kamu enggak menjenguk Kiran,” sindir Mira lagi. “Oh, itu…itu karena aku sibuk menyambut kedatangan anak pertama kami,” ucap Bima. Dia masih terpana dengan wajah Mira yang kembali cantik seperti dulu. “Ya, kami sudah menikah,” Vania dengan bangga menunjukkan cincin berlian yang melingkar di jari manisnya. “Well, selamat. Semoga kalian bahagia,” Mira menyunggingkan senyum kecut sambil berlalu. “Mira, tunggu!” Sela Bima cepat. Sontak kening Vania mengernyit tidak suka. “Apa?” Mira memutar tubuhnya, kembali menatap wajah mantan suaminya itu. “Kurasa…minggu depan aku mau menjenguk Kiran.” “Lho, minggu depan kita harus ke dokter!” Pekik Vania kesal, menyenggol lengan Bima. “Bisa diatur, Sayang,” tukas Bima pada istrinya yang cemburu
Peluh keringat membasahi sekujur tubuh Mira. Langkahnya nampak tertatih, namun sekuat tenaga perempuan itu terus memaksa dirinya untuk bergerak, mengikuti lajur treadmill yang kini dalam mode menanjak.“Ayo, Mir. Kamu bisa!” Bella menyemangati sahabatnya itu. “Lima menit lagi selesai.”“Ya, aku pasti bisa,” gumam Mira dengan napas tersengal–walaupun sebenarnya dia ingin pingsan.“Cukup,” suara pelatih pribadi Mira itu terdengar dari balik punggungnya. “Sekarang kamu bisa istirahat dua menit, lalu kita lanjut latihan angkat beban.”“Coach, saya rasa latihannya cukup sampai di sini saja,” balas Mira. Dadanya naik turun karena kekurangan oksigen. Sementara Bella menjulurkan botol minum ke arah Mira. Jujur, Bella takut kalau tiba-tiba Mira pingsan.“Hey, itu baru pemanasan,” balas pelatih berbadan kekar itu. “Ta-tapi saya enggak kuat, Coach. Rasanya saya pengin pingsan,” Mira terbata sambil mengusap keringat di dahinya. Dia tidak menyangka latihan perdananya ini terasa seperti latihan mi
Pagi itu, langit biru nampak membentang dengan cerah di atas sana. Udara yang masih segar membuat Bima jadi sedikit rileks.Mobil yang dilajukannya membelah jalan yang tidak terlalu padat. Di samping Bima, terlihat Rika yang sedang membenarkan riasannya berkali-kali. Sementara Lela duduk di jok belakang. Sesekali wanita setengah baya itu membenarkan posisi sanggulnya. Di samping Lela, menumpuk barang-barang seserahan yang akan diberikan ke Vania.“Aduh, Mas Bima! Yang bener dong nyetirnya,” keluh Rika saat polesan lipstiknya jadi berantakan begitu Bima tidak sengaja menghantam polisi tidur begitu saja.“Lagian kenapa dari tadi kamu dandan melulu sih?” Komentar Bima sambil memperhatikan jalan.“Aku kan harus tampil menawan di depan calon besan kita, Mas. Apalagi Mbak Vania datang dari keluarga terpandang. Jadi, aku enggak boleh tampil malu-maluin,” balas Rika masih menatap kaca kecil yang dibawanya.“Apa kamu sebelumnya sudah pernah ketemu dengan keluarganya Vania?” Tanya Lela penasar
Pintu rumah kontrakan kedua orangtua Mira membuka perlahan. Dengan wajah yang tertunduk, Mira memasuki ruangan.Suswanto dan Arianti, yang sedang menonton televisi, langsung menyadari ekspresi anak mereka yang diliputi kesedihan.Mira menghela napas panjang setelah menghempaskan tubuhnya di atas sofa. PHK yang mendadak serta ajakan mesum dari mantan atasannya itu membuat kepalanya pusing.“Ada masalah apa, Mir?” Tanya Arianti, menatap lekat wajah putrinya itu.Mira menggeleng pelan. Dia tidak tega memberi tahu mereka soal dirinya yang baru saja di PHK.“Jangan bohong,” sela Suswanto cepat. “Papa tahu dari raut wajahmu, Mir. Ceritakan pada kami apa yang terjadi.”Mira menghela napas panjang. “Se-sebenarnya…aku baru saja dipecat dari Bahagia Mart.”Suswanto dan Arianti pun saling bertukar pandang.“Aku…enggak punya pekerjaan lagi…” Mira berujar dengan putus asa.“Sudahlah, Mir. Kamu tidak perlu bekerja sekarang,” tukas Suswanto lagi.“Tapi Pa, aku butuh biaya untuk kehidupan Kiran. Uang
Siang itu, Mira bersedekap. Bibirnya nampak mengerucut kesal dari balik meja kasir. Sementara itu, Lilis berdiri di sampingnya dengan raut wajah yang dipenuhi rasa bersalah.“Aku enggak nyangka, kamu tega padaku, Lis,” Mira bersungut. “Kamu tahu? Aku hampir saja dilecehkan sama om-om setengah baya!”“Sst! Jangan keras-keras, Mir,” desis Lilis. Lehernya menjulur ke sekitar, takut ada pelanggan yang mendengar. Lantas, Lilis menatap teman kerjanya itu lekat-lekat. “Maafkan aku, Mir. Aku pikir kamu enggak keberatan kerja seperti itu.”Mira masih saja marah. Perempuan itu memalingkan pandangannya ke luar sana.“Sebenarnya, kamu bisa nolak kok kalau enggak mau diajak tidur bareng,” lanjut Lilis.Mira mendengus keras. “Tapi om-om brengsek itu memaksaku, Lis! Dia bahkan menjambak rambutku!”“Tenang, Mir. Tenang. Toh, akhirnya kamu selamat juga kan?” Balas Lilis.Mira menghela napas panjang. “Aku enggak mau kerja begituan lagi. Bilang sama bosmu itu kalau aku keluar.”“Yah, terserah kamu deh,”
Mira menatap pantulan dirinya di cermin yang lusuh itu. Gincu merah darah memoles bibirnya yang tebal, sementara rambutnya yang biasanya diikat itu kini nampak bergelombang.Tangan Mira menarik ujung gaun hitamnya yang mengkilap. Jujur, dia begitu risih karena gaun ini sangat ketat. Apalagi potongannya yang rendah membuat dadanya menyembul dengan jelas.“Udah, Mir. Santai aja,” Lilis muncul dari balik punggung Mira.Penampilannya begitu seksi malam ini. Lilis mengenakan rok mini dan tanktop berwarna pink serta riasan yang tidak kalah menor dari Mira.“Tapi, aku enggak biasa pakai baju kayak gini,” keluh Mira.“Ih, udah deh, jangan narik-narik ujung gaun itu nanti malah melar,” Lilis menepis tangan Mira yang sedari tadi menarik ujung gaunnya yang di atas lutut itu. “Lihat, kamu sangat seksi malam ini! Pasti banyak pelanggan yang mau ditemani sama kamu, Mir!”“Aku enggak pe-de, Lis. Gimana kalau aku pulang saja?” Raut wajah Mira nampak cemas.“Eh, jangan! Dicoba dulu aja, Mir. Ingat, an