Share

2 - Keteledoran Bima

Author: Poepoe
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

“Papa, lihat ini!” Kiran mengitari ruang tengah dengan sepeda roda tiganya, sembari satu tangannya melambai ke udara.

Bima menengadahkan kepalanya dari layar ponsel. “Hati-hati, Kiran. Nanti kamu jatuh.”

Lantas Bima kembali fokus ke ponselnya lagi. 

‘Sayang, aku kangen kamu…’ tulis pesan itu. Bima tersenyum tipis membaca pesan dari Vania.

‘Aku juga, Sayang.’ balas Bima sambil mengetik dengan cepat.

Tidak lama kemudian, Vania mengirimkan foto seksinya yang hanya berbalut pakaian dalam. Dia berpose menggoda di depan cermin.

Sontak Bima terkaget. Bagian bawahnya menegang keras.

‘Astaga, kamu seksi banget!’ jantung Bima berdebar kencang saat mengetik.

Vania hanya membalasnya dengan emotikon senyum. Seolah tidak puas menggoda Bima dengan satu foto, Vania kini mengirimkan fotonya tanpa busana.

Bima langsung tercekat saat melihat foto itu.

‘Sialan kamu, Sayang! Punyaku jadi mengeras!’ ketik Bima.

‘Punyaku juga basah, Sayang. Aku sedang membayangkanmu menyentuh tubuhku.’ goda Vania lagi.

‘Jangan menggodaku lagi. Aku sedang bersama Kiran.’ walaupun sebenarnya Bima masih ingin Vania mengirimkan foto-foto seksinya.

‘Oh, aku enggak peduli.’ tulis Vania dengan bercanda.

‘Kamu memang nakal. Tapi aku suka :)’ 

‘Jadi, Kiran sudah sembuh?’ tanya Vania.

‘Iya, demamnya turun tanpa harus dibawa ke RS.’

‘Syukurlah.’

‘Sekarang anaknya sedang main sepeda di ruang tengah. Dia jadi tambah aktif :(‘

‘Kenapa sedih? Kamu seharusnya senang punya anak lucu yang aktif.’

‘Aku kewalahan menjaganya.’ balas Bima lagi.

‘Memangnya kemana Mira?’

Bima mendongakkan kepalanya ke halaman belakang. ‘Dia sedang mengurus pekerjaan rumah.’

‘Kalau begitu, aku akan kirimkan video untukmu. Siap-siap ya. Jangan lupa pakai headset.’

‘Astaga, kamu enggak bercanda kan?’

‘Enggak. Aku jamin kamu pasti muncrat. Hahahaha…’ goda Vania.

‘Ah, sialan. Cepat kirimkan.’

Bima pun bergegas mencari headsetnya di kamar. 

*

Sementara itu, Mira mengibaskan pakaian untuk yang kesekian kalinya sebelum dia menggantungkannya di jemuran.

Peluh keringat membasahi pelipis Mira. Hari ini cuaca cukup terik sebelum hari-hari yang lalu matahari seakan sembunyi di balik awan gelap. Makanya, Mira langsung mencuci pakaian supaya cepat kering.

Dia lalu melemparkan pandangan ke keranjang cuciannya yang kosong. Namun, itu bukan berarti pekerjaannya selesai. Dia masih harus membereskan teras belakang, masak untuk makan siang dan membersihkan kamar mandi.

Saat Mira memapah keranjang cuciannya tiba-tiba dia mendengar jeritan Kiran dari ruang tengah yang sangat nyaring.

Sontak Mira terkejut. Dia menjatuhkan keranjang cucian yang dibawanya dan bergegas menuju sumber teriakan Kiran.

“Kiran!” pekik Mira sambil membelalakan kedua matanya.

Sepeda Kiran terjungkal karena menabrak ujung meja. Darah mengalir dari bibir Kiran dan dahinya nampak membiru. Kedua mata Kiran terpejam sambil menangis dan berteriak kesakitan memanggil Mira.

“Astaga, Kiran.” Mira begitu panik melihat keadaan anaknya itu. Matanya langsung basah dan jantungnya berdegup kencang. “Tenang ya, Nak. Kita langsung ke rumah sakit.”

Mira memeluk Kiran dengan erat. Lantas kedua matanya mencari keberadaan Bima.

“Kemana dia?” pekik Mira dengan kesal dalam hati.

Mira pun melangkah cepat ke kamar mereka, namun dia tidak menemukan sosok suaminya. Dia mengecek ke kamar mandi tapi Bima juga tidak ada di sana.

Kiran masih menjerit kesakitan. Mira pun semakin panik sembari mencari keberadaan suaminya.

*

“Ah…” erang Bima dengan nikmat. Di balik selimut, tangannya bergerak-gerak membelai kejantanannya. 

Dihadapan ponsel Bima, Vania memainkan jemarinya di daerah kewanitaannya, berusaha menggoda pria itu untuk mencapai klimaksnya.

“Enak, Sayang?” tanya Vania dengan mendesah.

“Liukkan badanmu, Sayang. Aku pengin lihat,” ujar Bima sambil terengah. Tangannya kirinya bergetar saat memegang ponsel begitu Vania mulai menuruti kemauannya.

Dia bisa melihat tubuh seksi Vania yang tanpa busana mendesah manja sambil bergoyang dengan erotis. Vania menyibakkan rambut panjangnya lalu meremas dadanya sambil mendesah panjang.

Tingkah Bima semakin menjadi. Debaran jantungnya meningkat dan punggungnya mulai meliuk ke belakang.

“Oh, Sayang. Sebentar lagi aku keluar,” Tangan Bima bergerak semakin cepat. “Aku ingin mendengar desahanmu lebih kencang lagi, Sayang.”

Desahan Vania pun semakin liar. Sementara itu, Bima tidak menyadari ada derap kaki tergesa yang menaiki anak tangga.

Napas Mira terputus-putus saat sampai ke lantai dua. Dia lalu membuka pintu kamar tamu yang ada di ujung lorong.

“Mas!” pekik Mira yang mendapati Bima sedang mengerang kencang. Tubuh bagian bawah suaminya itu dibalut selimut tebal namun Mira bisa melihat ada yang menyembul dari balik sana.

“Astaga!” Bima langsung melempar ponselnya ke samping ranjang sehingga headset yang menyumpal kupingnya juga ikut terlepas. “Apa-apaan kamu! Masuk tanpa ketuk pintu?! Keluar!”

Mira mengernyitkan keningnya dari ambang pintu. Dia melihat keringat yang membasahi kening suaminya itu. Pikiran buruk pun langsung menghampiri benaknya.

“Kamu lagi ngapain, Mas?” Mira menyipitkan kedua matanya.

Kejantanan milik Bima sontak melemas. Amarah langsung naik ke ubun-ubun pria itu. Dia menatap istrinya dengan geram.

“Bukan urusanmu! Dasar istri kurang ajar! Keluar dari sini!” bentaknya.

Mira menggelengkan kepalanya sambil menghela napas panjang. “Mas, Kiran jatuh dari sepedanya. Bibirnya berdarah dan dahinya bengkak. Kamu enggak denger apa tangisan dia di bawah?”

“Apa?” kedua bola mata Bima membesar.

“Kita harus segera membawanya ke rumah sakit,” tukas Mira lagi.

“Ya sudah, sebaiknya kamu ke bawah! Temani dia!” titah Bima dengan keras. “Aku akan segera menyusulmu.”

Mira mendengus keras sambil memutar tubuhnya. Dia bergegas menghampiri Kiran yang masih sesegukan di ruang tengah. Seraya menenangkan anaknya itu, pikiran Mira terus tertuju pada kelakukan suaminya tadi.

*

“Kamu ini gimana sih?” semprot Lela, ibu mertua Mira. Tampang wanita paruh baya itu merenggut marah.

“Maafkan aku, Bu.” balas Mira sambil tertunduk di depan lorong rumah sakit. Sementara itu, Kiran sudah ditangani oleh dokter dan sekarang tertidur tenang di gendongan Bima.

“Dasar enggak becus! Kalau Kiran terluka parah gimana?” Lela mengedikkan bahunya dengan kesal.

“Dokter bilang luka di bibir dan dahi Kiran akan sembuh beberapa hari ke depan. Dia juga enggak terkena gegar otak kok,” bela Mira, menatap Kiran.

“Kamu ini kalau dikasih tahu orangtua malah ngelawan.” desis Lela lagi.

“Bukan melawan, Bu. Tapi memang kenyataannya begitu. Ibu enggak perlu panik berlebihan seperti ini. Kiran baik-baik saja kok.” Mira berusaha berujar dengan sopan walaupun hatinya panas karena dituduh tidak becus mengurus anaknya sendiri.

“Lagi pula, kenapa kamu bisa meleng begitu sih, membiarkan Kiran main sepeda di dalam rumah sendirian? Ibu benar-benar enggak habis pikir,” semprot Lela sambil geleng-geleng kepala keheranan.

Mira menarik napasnya dalam-dalam. Sejak awal pernikahannya dengan Bima, ibu mertuanya

ini memang tidak pernah menyukai dirinya.

“Sebenarnya yang menjaga Kiran saat itu adalah Bima, Bu. Bukan aku. Saat itu aku baru selesai menjemur pakaian,” tandas Mira.

Hati Bima pun langsung ketar-ketir mendengar hal itu. Dia sengaja memalingkan tubuhnya sambil menjauh dari istri dan ibunya itu.

Lela tertegun lalu berdecak keras. “Hah, tetap saja semua itu salahmu! Aturan kamu enggak membiarkan Bima menjaga Kiran sendirian. Kamu tahu kan kalau Bima itu ceroboh?”

“Huh, semuanya saja salahku.” keluh Mira dalam hati.

“Bima,” Lela kini memalingkan pandangannya pada putra bungsunya itu. “Bisa-bisanya kamu membiarkan Kiran bermain sendirian. Saat itu, kamu lagi ngapain sih?!”

Mira menyunggingkan senyum tipisnya. Dia penasaran Bima akan mengelak seperti apa.

“Sudahlah, Bu. Jangan ungkit-ungkit masalah ini lagi,” keluh Bima.

“Bukannya Ibu mau mengungkit, tapi Ibu heran kenapa kamu bisa membiarkan Kiran main sendirian,” balas Lela dengan nada tinggi. Mendengar suaminya dicecar oleh ibunya sendiri, Mira merasa senang.

Bima menghela napas putus asa. “Sebenarnya, tiba-tiba ada panggilan telepon mendadak dari kantor.”

“Tapi ini kan hari Minggu, Mas?” tanya Mira cepat. Bima lantas membelalakan matanya pada istrinya itu. “Masa kantormu menghubungimu di hari libur begini?”

“Sialan!” pekik Bima dalam hati. “Dia pasti senang aku terpojok seperti ini,” batin Bima lagi.

“Iya, masa kantormu sampai sebegitunya sih? Hari minggu kan harinya keluarga,” tandas Lela yang dibarengi anggukan Mira. Baru kali ini dia merasa sepaham dengan ibu mertuanya itu.

Bima berdecak kesal. “Aku sedang menangani proyek penting, Bu.”

“Hah, dia memang pandai berkilah,” desis Mira dalam hati.

Lela pun mengibaskan tangannya. “Ya sudah. Pokoknya lain kali, kalian harus berhati-hati. Jangan biarkan Kiran main sendirian. Ingat itu!”

Kedua mata Lela memandangi Mira dan Bima bergantian. Mereka pun hanya bisa mengangguk pasrah.

Related chapters

  • Kebangkitan Istri yang Dikhianati   3 - Sahabat Lama

    Di akhir pekan berikutnya, Mira dan Bima menitipkan Kiran di rumah Lela sementara mereka pergi ke supermarket untuk belanja bulanan. “Seharusnya, Kiran ikut kita saja,” keluh Bima di balik kemudi. “Mau bagaimana lagi, Ibu bilang dia kangen sama Kiran,” balas Mira sambil memperhatikan jalanan yang padat. “Memangnya kamu enggak suka ya pergi berduaan sama aku aja?” Bima berdecak pelan. “Hah, sudahlah. Jangan mulai drama lagi.” Mira menyandarkan kepala di kepala jok. Sesaat dia memandangi wajah suaminya yang nampak muram. “Bukan maksudku untuk memulai drama, Mas. Tapi kita memang sudah lama enggak pernah pergi kencan,” tukas Mira pelan. Kedua alis Bima bertautan. “Kencan? Kayak Abg saja.” “Tapi kencan itu bagus lho untuk mempererat hubungan kita. Aku rasa kamu mulai enggak perhatian sama aku,” Mira kini tertunduk. “Tuh kan, kamu mulai lagi. Aku itu sibuk kerja untuk menghidupi keluarga kita, Mir. Seharusnya kamu paham itu. Dulu, waktu awal-awal nikah kedua orangtuamu itu meremehk

  • Kebangkitan Istri yang Dikhianati   4 - Kegundahan Vania

    “Jadi, sekarang kamu kerja di mana?” tanya Mira setelah menyeruput minuman bersoda di hadapannya. “Aku kerja di daerah Sudirman sebagai konsultan keuangan,” terang Vania. Dia memperhatikan Mira yang mulai melahap ayam goreng. “Wah, keren banget, Van!” timpal Mira sambil sedikit kepedasan. “Tapi pekerjaanku bikin stres, Mir. Hampir setiap hari aku lembur,” Vania menghela napas panjang. “Aku malah iri sama kamu. Soalnya cita-citaku dulu menjadi wanita karir,” tukas Mira lagi. “Kehidupanmu pasti menyenangkan.” Mendengar hal itu Vania hanya bisa mendesah pelan. “Aku malah pengin menikah dan jadi ibu rumah tangga kayak kamu.” Kedua mata Mira langsung melotot lebar. “Haduh, lebih baik kamu nikmati masa-masa lajangmu deh. Kalau sudah menikah dan punya anak, kamu bakal merindukan kebebasanmu sekarang ini.” “Masa? Tapi aku memang ingin menikah, Mir. Sayangnya, enggak ada pria yang mau melamarku,” Vania mengaduk-aduk minumannya. “Ah, masa cewek secantik kamu enggak ada yang naksir sih?

  • Kebangkitan Istri yang Dikhianati   5 - Awal Mula

    Tiga bulan lalu Bima membenarkan posisi dasinya sambil berusaha mengatur napasnya yang tidak karuan. Jantungnya berdebar kencang dan telapak tangannya basah. Ini semua dikarenakan dia harus menemui klien penting di sebuah restoran yang ada di lantai 46. Berkali-kali Bima berdeham seraya mensugesti dirinya agar tenang. Di tengah ketegangan yang melanda dirinya, tiba-tiba saja pintu lift membuka perlahan. Sudut matanya langsung menangkap sesosok wanita yang kini berdiri di sampingnya. Aroma parfum wanita itu menyerbak ke setiap sudut lift. Kehadiran wanita itu membuat ketegangan Bima sedikit teralihkan. Karena hanya ada mereka berdua di dalam lift, pikiran kotor menyergap benak lelaki itu. Apalagi penampilan wanita itu sangat sensual. Rok hitam di atas lutut yang dikenakan wanita itu memperlihatkan kakinya yang jenjang. Kemeja putihnya juga menerawang sehingga bra hitam wanita itu terlihat jelas. Bima menelan ludahnya dalam-dalam. Pria itu lantas tersontak saat wanita yang dipand

  • Kebangkitan Istri yang Dikhianati   6 - One Night Stand

    “Arg, Sayang!” Vania mengerang seraya mencengkram ujung bantal keras-keras. Semburan kenikmatan itu menjalar ke seluruh tubuhnya. Wajahnya memerah dan napasnya tersengal-sengal. Di atasnya, Vania mendapati tubuh kekar Bima yang menjulang. “Aku mau keluar,” Bima berucap sambil terus menghentakkan tubuhnya. Lantas Vania merangkul leher pria itu. “Keluarin, Sayang. Di dalam juga enggak apa-apa.” “Kamu serius?” Vania mengangguk pelan. Tidak lama setelah itu, Vania bisa merasakan semburan hangat di bawah sana. Sesaat kemudian Bima menghempaskan tubuhnya di samping sahabat lama istrinya itu. Vania memalingkan wajahnya, menatap Bima yang kelelahan. Telapak tangannya meraba rahang pria itu dengan lembut. “Bima, kamu luar biasa,” Vania menyunggingkan senyumannya. Wanita itu lalu beringsut pelan dan mengecup bibir tebal Bima. Bima hanya membalasnya dengan senyuman tipis. “Sudah lama aku enggak bergairah seperti ini.” Sementara itu, jendela kamar hotel mereka diterjang rintik hujan yang

  • Kebangkitan Istri yang Dikhianati   7 - Kembalinya Bima

    Kedua mata Bima terpana menatap liukan pinggul Vania. Goyangannya membuat Bima terasa seperti mengawang. Ditambah desahan menggoda wanita itu yang menusuk gendang telinganya. Debaran jantung Bima pun berdetak hebat.Begitu bibir Vania mengecup lehernya, Bima tidak tahan lagi untuk mengerang keras.Lantas, kedua matanya membuka lebar. Kini dia dihadapkan pada langit-langit kamarnya yang gelap. Bima menghela napas panjang dan menyandarkan punggungnya di kepala ranjang.“Sial! Kenapa aku jadi memikirkan Vania,” keluhnya dalam hati. Sesi bercinta mereka semalam memang susah untuk dihempaskan dari pikiran Bima.Lalu Bima berpaling ke sisinya. Dilihatnya Mira yang terlelap. Dia menyadari istrinya itu mengenakan baju tidur bertali dari bahan satin yang memperlihatkan lekuk tubuh Mira yang besar. Namun, dia tidak bernafsu menyentuh istrinya itu. Dia hanya ingin Vania.Bima mengusap wajahnya keras-keras. Lantas, dia membenamkan kepalanya di balik bantal berharap kantuk kembali menyerang sehing

  • Kebangkitan Istri yang Dikhianati   8 - Menyentuh Mira

    Kembali ke masa sekarangDi sepanjang perjalanan pulang, saran Vania agar Bima menyentuh istrinya itu terus menggantung di kepalanya.“Haruskah sekali-kali aku menyentuh Mira?” pikir Bima dalam hati dengan gundah.Begitu sampai di rumah, Bima mendapati istrinya yang sibuk bermain dengan Kiran. Daster yang lusuh membalut tubuh besar Mira dan nampak rambutnya mencuat kesana-kemari.“Papa!” Kiran langsung bangkit dan memeluk Bima yang berada di ambang pintu.Bima kemudian memasang senyum lebarnya untuk putri kesayangannya itu.“Anakku yang cantik,” Bima langsung menciumi Kiran dengan penuh kasih. “Mir, biar aku yang menemani Kiran main. Kamu mandi sana dan dandan yang cantik.”Kening Mira langsung mengernyit. “Apa maksudmu, Mas?”“Aku tahu pasti kamu belum mandi dari tadi sore kan? Jangan-jangan kamu juga belum makan malam,” tukasnya sambil menurunkan Kiran di karpet ruang tengah dan mulai menemaninya menyusun balok lego.“Aku sudah makan kok. Sebaiknya, kamu saja yang mandi dan makan ma

  • Kebangkitan Istri yang Dikhianati   9 - Partner Kerja Baru Bima

    Pagi ini, direktur PT. Bangun Karya–perusahaan tempat Bima bekerja–mengumumkan sebuah projek besar.“Projek rumah sakit ini akan menjadi rumah sakit terbesar di asia tenggara,” imbuh direktur dengan mata berbinar. “Dan kamu, Bima, sebagai manajer keuangan, kamu akan bertanggung jawab penuh terhadap pengalokasian anggaran tender.”Bima menahan napas dalam-dalam dan mengangguk pelan.“Kita harus bisa memenangkan tender ini,” ucap direktur dengan tegas yang dibarengi dengan anggukan dari anak buahnya yang duduk melingkar di ruang meeting.Setelah rapat selesai, Bima kembali ke ruangannya. Jantungnya berdegup keras. Dia belum pernah menangani proyek sebesar ini. Apalagi ini termasuk proyek prestisius. Otaknya mulai berpik

  • Kebangkitan Istri yang Dikhianati   10 - Acara Kantor yang Menyesakkan Hati

    Mira menatap pantulan dirinya di cermin kamar mandi. Gaun hitam selutut membalut tubuhnya yang besar. Untungnya dia membeli gaun itu dengan ukuran ekstra sehingga lemak di tubuhnya itu lumayan tersamarkan.Sore tadi Mira menyempatkan diri ke salon. Dia merias wajahnya agar terlihat cantik. Rambut sebahunya pun di blow sehingga sedikit bervolume.Mira menyunggingkan senyumannya di depan cermin. Entah kenapa jantungnya berpacu kencang. Dia membayangkan dirinya berada di tengah-tengah acara kantor suaminya itu.Seketika perkataan Bima tempo lalu mengiang di telinganya. Hal itu sontak membuat kepercayaan dirinya kembali pudar.Mira lantas menarik napas dalam-dalam. Kedua tangannya mengepal erat.“Aku cantik kok. Dan aku ban

Latest chapter

  • Kebangkitan Istri yang Dikhianati   44 - Tekad Bima

    Di pinggir jalan yang nampak sibuk, Bima nampak kaget dengan ucapan yang keluar dari mulut Aryo.Kedua mata Bima menatap tajam wajah Aryo. Dengan penuh percaya diri, Aryo kini merangkul bahu Mira.Sontak Mira terperanjat, namun sebisa mungkin wanita itu berusaha menutupi keterkejutannya.“Jangan bercanda kamu, bocah tengil,” ucap Bima sambil mendongakkan dagunya.“Aku sedang tidak bercanda,” Aryo menukas tajam. “Aku ini pacar barunya Mira,” Aryo kembali menegaskan.Bima berdecak, melempar senyum mengejek ke arah Mira dan Aryo. “Astaga, Mira. Katakan padaku kalau semua ini hanya lelucon kan? Enggak mungkin kamu menjalin hubungan dengan bocah ingusan seperti dia.”Mira seakan terjebak di tengah situasi yang tidak mengenakan ini. Dia terlihat kebingungan dan pipinya nampak merona merah dengan pengakuan Aryo itu. Dada wanita itu terus berdebar keras, apalagi Aryo menggenggam tangannya semakin erat.“Dia…dia memang pacar baruku, Bima,” suara yang keluar dari bibir Mira terdengar begitu ser

  • Kebangkitan Istri yang Dikhianati   43 - Kecemburuan Bima (2)

    Dua bulan berlalu. Perkuliahan yang dijalani Mira memang terasa berat namun menyenangkan. Berinteraksi dengan anak-anak muda zaman sekarang ternyata memberi Mira semangat baru.Terutama kedekatannya dengan Aryo.Tidak bisa dipungkiri, hubungan mereka semakin dekat, apalagi Mira sedang membantu Aryo menyebar kuesioner skripsinya. Terkadang Aryo juga membantu Mira menyelesaikan beberapa paper kuliahnya.Kini mereka berjalan di selasar gedung, menuju parkiran. “Mir, gimana kalau akhir pekan ini kita jalan-jalan?” ucap Aryo.Kening Mira langsung mengernyit. “Jalan-jalan?”“Iya, sekalian refreshing. Kurasa aku butuh udara segar dan melupakan sejenak skripsiku. Gimana kalau kita nonton? Ada film bagus lho.”“Sorry, tapi akhir pekan adalah waktuku bersama Kiran.”Aryo manggut-manggut sambil menyembunyikan ekspresi kecewanya. “Ah, gimana kalau kita ajak Kiran juga?”Mira tertawa pelan. “Kiran masih kecil. Dia belum bisa diajak nonton bioskop. Yang ada nanti malah merepotkan.”“Yah…kita jalan

  • Kebangkitan Istri yang Dikhianati   42 - Kecemburuan Bima

    “Aku sudah bercerai,” tandas Mira saat dirinya dan Aryo berada di kantin kampus.“Apa?” Aryo hampir saja tersedak minuman soda yang baru dia seruput.“Yah, aku ini seorang janda,” Mira mengedikkan bahunya sambil menyingkirkan mangkuk bakso yang sudah kosong itu. Lantas, dia meneliti buku-buku yang baru saja dipinjamnya di perpus.“Aku salut,” sela Aryo begitu melihat Mira membereskan buku-bukunya. “Kamu masih ingin melanjutkan pendidikanmu walaupun sudah enggak muda lagi. Kurasa itu semangat yang harus anak-anak muda punya saat ini.”Mira menyunggingkan senyum tipis. “Yah, karena hanya dengan pendidikan aku bisa mandiri, sekaligus jadi contoh untuk anakku satu-satunya.”“Anakmu lucu. Berapa umurnya? Namanya Kiran kan?”“Tahun ini dia menginjak usia lima tahun.”Aryo manggut-manggut. “Berarti kamu menikah di pertengahan umur dua puluhan ya?”“Aku menikah muda. Yah, pokoknya ceritanya panjang-lah,” Mira menepiskan tangannya. Dia tidak ingin mengumbar permasalahan hidupnya pada pria bron

  • Kebangkitan Istri yang Dikhianati   41 - Pertemuan

    Bima menelan ludahnya dalam-dalam. Mati-matian dia berusaha menahan keterkejutannya, menangkap sosok mantan istrinya yang begitu berbeda. Mira menatap Bima dan Vania secara bergantian. “Aku…aku baik-baik saja…” balas Bima dengan tergagap. “Sudah lama kamu enggak menjenguk Kiran,” sindir Mira lagi. “Oh, itu…itu karena aku sibuk menyambut kedatangan anak pertama kami,” ucap Bima. Dia masih terpana dengan wajah Mira yang kembali cantik seperti dulu. “Ya, kami sudah menikah,” Vania dengan bangga menunjukkan cincin berlian yang melingkar di jari manisnya. “Well, selamat. Semoga kalian bahagia,” Mira menyunggingkan senyum kecut sambil berlalu. “Mira, tunggu!” Sela Bima cepat. Sontak kening Vania mengernyit tidak suka. “Apa?” Mira memutar tubuhnya, kembali menatap wajah mantan suaminya itu. “Kurasa…minggu depan aku mau menjenguk Kiran.” “Lho, minggu depan kita harus ke dokter!” Pekik Vania kesal, menyenggol lengan Bima. “Bisa diatur, Sayang,” tukas Bima pada istrinya yang cemburu

  • Kebangkitan Istri yang Dikhianati   40 - Hidup Baru Mira

    Peluh keringat membasahi sekujur tubuh Mira. Langkahnya nampak tertatih, namun sekuat tenaga perempuan itu terus memaksa dirinya untuk bergerak, mengikuti lajur treadmill yang kini dalam mode menanjak.“Ayo, Mir. Kamu bisa!” Bella menyemangati sahabatnya itu. “Lima menit lagi selesai.”“Ya, aku pasti bisa,” gumam Mira dengan napas tersengal–walaupun sebenarnya dia ingin pingsan.“Cukup,” suara pelatih pribadi Mira itu terdengar dari balik punggungnya. “Sekarang kamu bisa istirahat dua menit, lalu kita lanjut latihan angkat beban.”“Coach, saya rasa latihannya cukup sampai di sini saja,” balas Mira. Dadanya naik turun karena kekurangan oksigen. Sementara Bella menjulurkan botol minum ke arah Mira. Jujur, Bella takut kalau tiba-tiba Mira pingsan.“Hey, itu baru pemanasan,” balas pelatih berbadan kekar itu. “Ta-tapi saya enggak kuat, Coach. Rasanya saya pengin pingsan,” Mira terbata sambil mengusap keringat di dahinya. Dia tidak menyangka latihan perdananya ini terasa seperti latihan mi

  • Kebangkitan Istri yang Dikhianati   39 - Kecurigaan Rika

    Pagi itu, langit biru nampak membentang dengan cerah di atas sana. Udara yang masih segar membuat Bima jadi sedikit rileks.Mobil yang dilajukannya membelah jalan yang tidak terlalu padat. Di samping Bima, terlihat Rika yang sedang membenarkan riasannya berkali-kali. Sementara Lela duduk di jok belakang. Sesekali wanita setengah baya itu membenarkan posisi sanggulnya. Di samping Lela, menumpuk barang-barang seserahan yang akan diberikan ke Vania.“Aduh, Mas Bima! Yang bener dong nyetirnya,” keluh Rika saat polesan lipstiknya jadi berantakan begitu Bima tidak sengaja menghantam polisi tidur begitu saja.“Lagian kenapa dari tadi kamu dandan melulu sih?” Komentar Bima sambil memperhatikan jalan.“Aku kan harus tampil menawan di depan calon besan kita, Mas. Apalagi Mbak Vania datang dari keluarga terpandang. Jadi, aku enggak boleh tampil malu-maluin,” balas Rika masih menatap kaca kecil yang dibawanya.“Apa kamu sebelumnya sudah pernah ketemu dengan keluarganya Vania?” Tanya Lela penasar

  • Kebangkitan Istri yang Dikhianati   38 - Kabar Baik

    Pintu rumah kontrakan kedua orangtua Mira membuka perlahan. Dengan wajah yang tertunduk, Mira memasuki ruangan.Suswanto dan Arianti, yang sedang menonton televisi, langsung menyadari ekspresi anak mereka yang diliputi kesedihan.Mira menghela napas panjang setelah menghempaskan tubuhnya di atas sofa. PHK yang mendadak serta ajakan mesum dari mantan atasannya itu membuat kepalanya pusing.“Ada masalah apa, Mir?” Tanya Arianti, menatap lekat wajah putrinya itu.Mira menggeleng pelan. Dia tidak tega memberi tahu mereka soal dirinya yang baru saja di PHK.“Jangan bohong,” sela Suswanto cepat. “Papa tahu dari raut wajahmu, Mir. Ceritakan pada kami apa yang terjadi.”Mira menghela napas panjang. “Se-sebenarnya…aku baru saja dipecat dari Bahagia Mart.”Suswanto dan Arianti pun saling bertukar pandang.“Aku…enggak punya pekerjaan lagi…” Mira berujar dengan putus asa.“Sudahlah, Mir. Kamu tidak perlu bekerja sekarang,” tukas Suswanto lagi.“Tapi Pa, aku butuh biaya untuk kehidupan Kiran. Uang

  • Kebangkitan Istri yang Dikhianati   37 - Di PHK

    Siang itu, Mira bersedekap. Bibirnya nampak mengerucut kesal dari balik meja kasir. Sementara itu, Lilis berdiri di sampingnya dengan raut wajah yang dipenuhi rasa bersalah.“Aku enggak nyangka, kamu tega padaku, Lis,” Mira bersungut. “Kamu tahu? Aku hampir saja dilecehkan sama om-om setengah baya!”“Sst! Jangan keras-keras, Mir,” desis Lilis. Lehernya menjulur ke sekitar, takut ada pelanggan yang mendengar. Lantas, Lilis menatap teman kerjanya itu lekat-lekat. “Maafkan aku, Mir. Aku pikir kamu enggak keberatan kerja seperti itu.”Mira masih saja marah. Perempuan itu memalingkan pandangannya ke luar sana.“Sebenarnya, kamu bisa nolak kok kalau enggak mau diajak tidur bareng,” lanjut Lilis.Mira mendengus keras. “Tapi om-om brengsek itu memaksaku, Lis! Dia bahkan menjambak rambutku!”“Tenang, Mir. Tenang. Toh, akhirnya kamu selamat juga kan?” Balas Lilis.Mira menghela napas panjang. “Aku enggak mau kerja begituan lagi. Bilang sama bosmu itu kalau aku keluar.”“Yah, terserah kamu deh,”

  • Kebangkitan Istri yang Dikhianati   36 - Jadi LC

    Mira menatap pantulan dirinya di cermin yang lusuh itu. Gincu merah darah memoles bibirnya yang tebal, sementara rambutnya yang biasanya diikat itu kini nampak bergelombang.Tangan Mira menarik ujung gaun hitamnya yang mengkilap. Jujur, dia begitu risih karena gaun ini sangat ketat. Apalagi potongannya yang rendah membuat dadanya menyembul dengan jelas.“Udah, Mir. Santai aja,” Lilis muncul dari balik punggung Mira.Penampilannya begitu seksi malam ini. Lilis mengenakan rok mini dan tanktop berwarna pink serta riasan yang tidak kalah menor dari Mira.“Tapi, aku enggak biasa pakai baju kayak gini,” keluh Mira.“Ih, udah deh, jangan narik-narik ujung gaun itu nanti malah melar,” Lilis menepis tangan Mira yang sedari tadi menarik ujung gaunnya yang di atas lutut itu. “Lihat, kamu sangat seksi malam ini! Pasti banyak pelanggan yang mau ditemani sama kamu, Mir!”“Aku enggak pe-de, Lis. Gimana kalau aku pulang saja?” Raut wajah Mira nampak cemas.“Eh, jangan! Dicoba dulu aja, Mir. Ingat, an

DMCA.com Protection Status