Share

Sembilan Belas

Penulis: lasminuryani92
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Situasi semakin canggung, aku merasa begitu tidak nyaman berada di tengah-tengan mereka semua, banyak hal yang menjadi kekhawatiran. Namun, berbeda dengan Mas Aksa, ia nampak masih menikmati suasana canggung ini. Tangannya perlahan mengambil makanan yang sudah terhidang, menikmatinya sembari melemparkan senyuman, menanggapi beberapa pembicaraan.

“Nak Aziel sekarang kerja di mana?” tanya Ibu dengan mata berbinar, ia menyapa dengan suara yang paling lembut yang pernah kudengar. Begitulah Ibu, nada suaranya saja bisa dibeli dengan uang.

“Saya bekerja di perusahaan kecil yang bergerak dalam bidang pemotretan,” jawab Aziel sembari melirik ke arahku.

“Wah, benarkan?” saat ini suara Mbak Ratna terdengar antusias, dunia itu pasti sangat menyenangkan untuknya. Kami memang saudara dengan spesies berbeda, jangankan dari sifat, dari penampilan pun kami jauh berbeda, seperti air dan minyak yang tidak bisa disatukan. Mbak Ratna dengan rambut terurai dan dress selutut yang terlihat feminim, sedangk
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Kaya sih, tapi Pelit!   Dua Puluh

    Hari ini serasa mimpi buruk yang masih berlansung, belum cukup dengan kekagetanku melihat Mas Ilham keluar dari villa itu, sesaat setelahnya keluar seorang perempuan dewasa yang dibalut dengan pakaian mewah dan tas branded di tangan, nampaknya ia sedang melakukan panggilan dengan seseorang. Tubuhnya berhenti tidak jauh dari tempat kami terduduk.[Sayang, aku sudah kirim uangnya ya.][Jangan lama-lama liburannnya, aku akan merindukanmu.][Thank’s untuk hari ini.]Dadaku terus bergemuruh mendengar setiap kata yang diucapkannya, mungkinkah Mas Ilham menjual dirinya pada perempuan itu? untuk apa? usahanya selama ini bagus, kalau hanya untuk menghidupi dua orang saja harusnya cukup, karena Mbak Ratna pun masih belum diberi keturunan meski sudah memasuki usia pernikahannya yang ke tiga tahun.“Hilya,” ucap Mas Aksa mengelusik, membuyarkan lamunanku.“Iya Mas, udah baikan?” tanyaku sembari mendongakkan wajah.Mas Aksa menatapku lekat, lalu tersenyum.‘Hah’ hatiku langsung mencelos, senyum it

  • Kaya sih, tapi Pelit!   Dua Puluh Satu

    Sepanjang perjalanan, senyum hangat Mas Aksa seakan menguap entah kemana. Sekarang ia sudah kembali seperti gunung batu es di tengah-tengah gurun, tak ada satu pun kata yang keluar dari mulutnya, atau hanya sekedar menegur, menawari makan, minum atau yang lainnya. Kami sudah melakukan perjalanan hampir dua jam, langit sudah nampak gelap memasuki waktu Magrib. Perutku yang hanya diisi mie cup siang tadi sudah keroncongan kembali, entah aku yang begitu mudah lapar, atau ia pun merasakannya. Tapi, jika dilihat betapa santainya ia dalam perjalanan ini, aku ragu kalau Mas Aksa merasakan kegundahan yang sama.Mas Aksa berhenti di sebuah Masjid yang cukup besar dan bergegas turun agar bisa melakukan shalat Magrib berjamaah. Sedangkan aku yang kebetulan sedang datang bulan, hanya menunggunya di dalam mobil.Ponsel yang berada di dalam tas sejak di Villa tadi, terus berbunyi nyaring. Kulihat ada panggilan dari Ibu. Merasa ia hanya akan melampiaskan kemarahannya karena kejadian tadi sore, aku

  • Kaya sih, tapi Pelit!   Dua Puluh Dua

    Angin malam menusuk sangat dingin, jarang sekali aku berada di luar tengah malam seperti ini, tidak ada tanda-tanda Mas Aksa sudah membaca pesanku, di panggil pun tidak diangkatnya. Siapa yang sangat dikhawatirkannya hingga ia lupa pada istrinya sendiri?Aku menarik kaki untuk lebih dekat dengan dada, menelukupkan tubuh menutupinya, berharap jika saling dekat seperti ini mengurangi rasa dingin. Kendaraan sudah semakin jarang yang lewat, pedar cahaya lampu jalan dari kejauhan yang masih bisa membantu melihat sekitar, aku terduduk menyedihkan di dinding tembok pembatas, sudah mirip orang jalanan atau mungkin orang gila.Aku masih menatap ponsel, berharap ada orang lain yang bisa kuhubungi, tapi siapa? selain Mas Aksa, tidak ada lagi orang yang bisa kumintai tolong. Bukankah aku sudah seperti hidup sebatang kara sekarang?Bibir dan tubuhku terus bergetar, mata semakin berat untuk terbuka, sepi yang kurasa malam ini membuat rasa mengantuk begitu kuat menjalar. Namun, meski rasa itu begit

  • Kaya sih, tapi Pelit!   Dua Puluh Tiga

    Aksa~“Hilya! kamu di mana?” teriakku memekikan pagi. Aku sudah memutari seluruh rumah tapi ia tidak ada. Apa mungkin Hilya tidak pulang semalaman? kemana? mungkinkah dia pergi dan meninggalkanku?“Hilya! bagaimana mungkin kamu bisa pergi dari rumah? apa yang akan kamu lakukan di luar sana? itu akan sangat bahaya untukmu yang lugu, polos, dan sedikit b*d*h!” gumamku khawatir, seraya mengeluarkan ponsel dari dalam tas.Mataku terbelalak saat menyadari pesan dari Hilya, ini sudah pagi dan aku baru membacanya, berkali-kali panggilannya pun tidak terjawab, aku terbiasa memakai mode silent karena tidak ingin terganggu, tapi membaca ini membuatku menyesal.Bergegas aku kembali mengunci pintu dan melajukan kemudi ke tempat di mana semalam menurunkan Hilya. Aku yang b*d*h karena berpikir dia bisa melakukannya, ternyata Hilya seperti anak kecil yang tidak tahu jalan pulang.Trotoar masih lenggang, tidak satu pun orang yang terlihat berkeliaran, aku mengemudi perlahan, mungkin saja ia ada di se

  • Kaya sih, tapi Pelit!   Dua Puluh Empat

    Wajah Mas Aksa semakin dekat, matanya yang melebar kini berubah membulat, sudah mirip telur mata sapi. Aih perut jadi laper!“Tunggu sebentar di sini ya Mas!” ucapku melengos, malas meladeninya. Emosi Mas Aksa masih saja meletup-letup kaya anak gadis yang baru datang bulan.Aku segera keluar dan melihat sekeliling.“Hilya!” teriak Mas Aksa yang kesal dengan tingkahku yang mengacuhkannya. Lama-lama aku mulai terbiasa dengan teriakan dan sikapnya yang menjengkelkan itu.“Samping TPS?” gumamku pelan, mendekat ke gerbang tempat pembuangan sampah. Di sampingnya memang terlihat beberapa rumah kumuh yang terbuat dari kayu seadanya dengan tembok yang nampak rusak. Tangisan bayi tiba-tiba terdengar nyaring, seolah ingin menyambut kedatanganku.Mataku celingukan mengintipnya dari jendela yang retak, terlihat seorang Ibu separuh baya mencoba menenangkan anak bayinya dalam gendongan. Aku yakin, ini rumahnya.Aku mengetuk pintu pelan. Cepat, terdengar suara langkah kaki mendekat.“Putri, kamu dari

  • Kaya sih, tapi Pelit!   Dua Puluh Lima

    Lelaki yang terbaring di ruangan itu menarik perhatianku, seseorang dengan sedikit empati seperti Mas Aksa tidak mungkin sangat peduli pada orang lain, kecuali ia adalah keluarga dan orang terdekatnya.Aku mulai penasaran dan meneliti setiap lekuk wajahnya dari kejauhan, bulu yang tumbuh tidak teratur membuatnya sulit untuk dikenali, tapi kalau dlihat dari bentuk alis dan matanya, mirip seperi seperti milik Mas Aksa.‘Apa mungkin dia ayah Mas Aksa? Ah! mana mungkin! Ibu bilang ayah sudah pergi jauh.’‘Sudah pergi jauh bukan berarti meninggal kan?’ hatiku terus saja berbicara sendiri, menerka-nerka sebenarnya siapa lelaki yang ada di hadapanku saat ini hingga Mas Aksa begitu peduli. 'Aku harus coba tanyakan pada Ulfa?' gumamku dalam hati. Segera merogoh kantong celana, eh! bukannya ponselku tidak ada. Aku nepuk jidat. Lalu, kembali duduk di bangku, menghadap langsung pada ruangan tersebut. Tidak pernah sekali pun aku dalam keadaan beruntung, selalu berakhir mati kutu dan tidak bisa

  • Kaya sih, tapi Pelit!   Dua Puluh Enam

    Pintu kamar mandi kukunci dari dalam, menjatuhkan tubuh di atas toilet duduk, membekam tangisan dengan tangan. ‘Kapan aku bahagia Tuhan?’ erangku di sela-sela tangis yang membuncah.'Aku ingin bahagia!' erangku lagi. Tubuhku semakin terkulai di atas toilet. Lemas, tak ada tenaga.‘Tok …, tok ….’“Hilya,” suara Mas Aksa terdengar lemah.Aku belum bisa menjawab dan masih membungkam mulut yang belum berhenti menangis, mengais-ngais dinding untuk menghilangkan rasa sedih.“Mau pulang untuk istirahat di rumah?” suaranya kembali terdengar.“Aku masih mau di sini Mas,” jawabku terbata.“Jangan lama-lama ya, nanti kamu kedinginan. Mas benar-benar menyesal Hilya! Mas tunggu di luar.” Kemudian, suara itu hilang, sepertinya ia sudah pergi.Aku menangisi diriku sendiri yang tak berdaya, sungguh rapuh dan lemah. Di satu sisi aku memang muak dengan sikap Mas Aksa, tapi di sisi lain aku tidak bisa meninggalkannya, meski tahu ia sedang dalam keadaan sakit mental.Hampir satu jam aku berada di dalam

  • Kaya sih, tapi Pelit!   Dua Puluh Tujuh

    Sikap Mas Aksa masih belum berubah meski kami sudah sampai di rumah, tak ada sedikit pun senyum, kata, atau amarah yang tergambar di wajahnya. Dia seperti orang yang kehilangan kesadaran pada dirinya sendiri. Aku tidak mengerti, kenapa efek dari terapi hipnosis itu masih belum hilang?Mas Aksa terduduk di sisi ranjang. Wajahnya pucat dan sayu, tatapan mata hampa, memandang ke ruang kosong. Melihatnya seperti ini membuatku begitu khawatir, ‘Apa mungkin saat ini Mas Aksa terjebak dalam masa lalunya karena pengaruh hipnosis, dan ia tidak bisa kembali?’ Mataku langsung melotot mengingat hal itu, bagaimana kalau ternyata ia benar-benar tidak bisa kembali dan terjebak dalam ingatan itu?Apa aku harus menghubungi Mas Rian lagi? tapi rasanya sungguh tidak nyaman, tatapan mata dan gelagatnya sedikit aneh hari ini. Aku akan menunggu perubahan Mas Aksa sebentar lagi.“Mas,” tanyaku sembari duduk di sampingnya, menepuk pundaknya pelan.Ia menoleh sesaat, lalu kembali memandang ruang kosong di had

Bab terbaru

  • Kaya sih, tapi Pelit!   Tiga puluh Lima

    Aku mengerucutkan bibir, menatap kesal pada Mas Aksa. Kenapa juga Ibu dan Ulfa hanya tersenyum mesem seperti itu, dan tidak membelaku?"Baiklah kalau begitu, aku tidak akan keluar dari Rumah Sakit ini!" kelakarku sembari membelakangi mereka."Kenapa?" tanya Mas Aksa polos."Orang bodoh pun pasti melakukan hal yang sama Mas! di rumah nggak dikasih makan di sini makan tiga kali sehari. Pasti pilih tinggal di sinilah.""Itu kalau Mas masih bayar biaya pengobatannya, kalau enggak kamu pasti disuruh keluar dari sini."Bola mataku berputar, benar juga, kalau sudah tidak dibayar boro-boro makan, tinggal pun pasti tidak diperbolehkan."Kalau begitu kenapa Mas tidak membiarkan aku mati saja kemarin!" sungutku."Kalau kamu mati, lalu siapa yang akan menjadi Ibu dari anak-anakku?"Aku mengerutkan dahi, "Anak?" "Heum!""Tanggal berapa sekarang Mas?" Tiba-tiba aku mengingat sesuatu yang terlupakan."Sebelas.""Apa?" Aku langsung terbangun."Ada apa Hilya, kamu masih sakit," tegur Mas Aksa langsun

  • Kaya sih, tapi Pelit!   Tiga Puluh Empat

    Aksa~“Hilya kamu kenapa?” Hatiku syok melihatnya terkulai."Hilya, bangunlah! jangan buat Mas Khawatir!" pekikku sembari terus berlari menuju mobil. Cukup lama aku berlari karena mobil di sembunyikan jauh dari lokasi.Hilya tak menjawab, wajahnya terlihat pucat pasi, saat sorot lampu jalan memperlihatkan lekuk wajahnya.Aku segera membuka kunci mobil, mendudukannya di kursi. Sebelum menutup pintu, mata terbelalak, darah memenuhi pakaian.Mataku melotot, hatiku tersentak, dari mana darah ini? perlahan aku menyibakkan baju, tidak ada luka di sana. Lalu, aku melihat wajah Hilya yang semakin pucat.'Mungkinkah?' Aku tak kuasa menahan gejolak hati yang tiba-tiba berderu lebih cepat. Debaran jantung pun berpacu lebih keras.Aku meraba tubuh Hilya, bagian mana dari tubuhnya yang terluka? Mata melihat darah menetes cepat dari lengannya, seketika tubuhku mundur dengan sendirinya. Bayangan wajah Mbak Ayu berkelebat mengembalikan kenangan buruk itu."Tidak! Aku tidak bisa!" Kaki terus mundur me

  • Kaya sih, tapi Pelit!   Tiga Puluh Tiga

    “Kalian sudah akrab rupanya?” kelakarnya, sembari mendongakkan wajah.Wajahnya yang ditutupi topi, terlihat jelas sekarang.Lelaki itu? bagaimana mungkin ia begitu tega melakukan hal seperti ini pada Ibunya sendiri?“Apa kamu sudah tidak waras Mas?” tanyaku dengan tatapan heran.“Hm! apakah kamu berpikir aku yang sakit sekarang, dan bukan perempuan di sampingmu itu?” Mas Rian malah balik bertanya. “Seorang anak yang waras tidak akan memperlakukan Ibunya sendiri seperti ini Mas!” tegasku.“Hahahaha,” ia tertawa nyaring. Lalu, melangkah cepat ke ruangan wanita itu. Mas Rian mendongakkan dagu Ibunya dan menyanggahnya dengan tangan.“Apakah wanita seperti ini yang kamu sebut Ibu?” ucapnya tanpa melepaskan tatapan dari dua bola mata Ibunya yang ia tengakkan.“Apa kesalahannya hingga kamu berani seperti Itu pada Ibu mu sendiri Mas?” Aku mendekati pagar besi, hendak menolongnya dengan mencoba meraih tubuh itu. Tapi, karena jaraknya cukup jauh, aku bahkan tidak bisa memegangnya secuil pun.

  • Kaya sih, tapi Pelit!   Tiga Puluh Dua

    Jam merangkak naik, matahari sudah mulai terasa hangat saat menembus kaca. pagi ini setelah Ibu mengetahui pekerjaan Ulfa, ia masuk ke kamar anak bungsunya dan kulihat mereka tergugu menangis. Saling memaafkan adalah jalan satu-satunya untuk merangkai kehidupan yang baru. Ibu sudah kembali bersemangat melanjutkan pekerjaanya di dapur membuat makanan untuk acara pengajian nanti malam bersama warga yang datang. Hanya membuat makanan rumahan yang bisa dibawa pulang warga sebagai sedekah untuk Ayah yang sudah berpulang.Bahan-bahan yang telah di beli Mas Aksa tadi pagi mulai kami olah menjadi beberapa makanan tradisional. Ulfa pun sudah ikut bergabung dan berbaur, meski situasi masih nampak canggung, lamat-lamat mencair juga.“Biar Ulfa yang menggunting daun pisang itu Bu,” pinta Ulfa mengambil alih pekerjaan Ibu. Wanita separuh baya itu memberikan gunting ke tangan Ulfa dan beralih pada pekerjaan lain. Sepertinya ia hendak memasak daging ayam untuk makan kami pagi ini.Mas Aksa tidak

  • Kaya sih, tapi Pelit!   Tiga Puluh Satu

    Pikiranku tidak bisa lepas dari sosok seseorang yang berdiri dan melihat kami dari kejauhan, aku mencium sebuah ancaman, ketidak nyamanan dari pandangan itu. Sedangkan Mas Aksa, Ibu dan Ulfa tidak mengetahui hal ini. Jika kuceritakan sekarang, semuanya akan bertambah buruk, suasana hati mereka bisa saja semakin sedih dan kalut.‘Semoga ini hanya perasaanku saja,’ batinku, membuang napas untuk menghilangkan rasa gugup.Mas Aksa mengemudi mobil pelan, Ibu dan Ulfa saling merangkul di belakang, sedangkan aku merasakan kegelisahan dari hal yang lain. Bagaimanapun aku mencoba untuk tenang, kemarahan Mas Rian di dalam perpustakaan itu tidak bisa diabaikan.“Dia?” teriakku refleks menunjuk seseorang dibalik semak-semak.“Siapa?” tanya Mas Aksa. Ibu dan Ulfa pun ikut menengok.“Bukan siapa-siapa, aku salah orang,” jawabku cepat.Jelas itu adalah lelaki yang kulihat tadi di pemakaman, ternyata ia masih di sekitar sini dan belum pergi, siapa yang dia tunggu?Jalan kepemakaman ini sempit dan sed

  • Kaya sih, tapi Pelit!   Tiga Puluh

    Kami sampai di sebuah bangunan dua lantai dengan bentuk luar nampak seperti sebuah Klinik, dari alamat yang kutemukan inilah tempat salah satu Psikiater yang mendapat nilai baik di aplikasi, tempatnya pun tidak terlalu jauh dari rumah.“Mas turun, Yuk,” ajakku padanya. Ia hanya menatap sendu, polos layaknya anak kecil.Aku menuntunnya memasuki meja resepsionis, mengisi data dan menunggu jadwal berkonsultasi.Mas Aksa meringkuk, memegangi perutnya di atas bangku.“Kenapa Mas?” Matanya mengiba mendengar pertanyaanku.“Mas lapar ya?” Ia hanya mengangguk lemah.“Sebentar ya, Hilya beli dulu. Mas jangan kemana-mana," pesanku sebelum pergi.Bergegas aku mencari kantin di sekitar sini, membeli roti, beberapa cemilan dan air minum. Saat kembali ke dalam, bangku sudah kosong, Mas Aksa tidak terlihat ada di sekitar sana.“Kemana dia?” aku mulai panik, berlari mencari ke semua ruangan yang kemungkinan dimasuki.“Mbak lihat seorang pria berkaos putih tidak?" tanyaku pada seseorang yang tidak jauh

  • Kaya sih, tapi Pelit!   Dua Puluh Sembilan

    Perempuan di depanku saat ini masih menenggelamkan wajahnya diantara telapak tangan, isak tangis terdengar bergitu menyayat.“Benarkah Anda sangat menyesal telah berselingkuh?” tanyaku. Mungkin semua bisa berakhir lebih baik kalau mereka ingin memperbaiki kesalahan.Perempuan itu menengadah, menyeka air mata dan menatapku. Lalu, menggeleng.“Bukan itu,” jawabnya tercekat.Dahiku mengernyit, kalau bukan hal itu, lalu apa yang menjadi penyesalannya?“Maksud Anda?”“Aku tidak pernah menyesal mencintainya, dia adalah lelaki terbaik yang pernah menyayangiku.” Tangannya kembali menyeka sisa air mata terakhir yang terjatuh.“Seseorang yang berselingkuh dari pasangannya bukan orang baik, bagaimana mungkin Anda menilainya sebagai orang baik?” “Mh!” Mulutnya sedikit mencibir.“Dia adalah seorang suami yang rela mengorbarkan hati dan raga demi memenuhi keserakahan keluarganya yang haus akan kesenangan. Dia tidak sedikit pun melakukan dosa, karena kami menikah. Aku yang memintanya.”Mataku terbe

  • Kaya sih, tapi Pelit!   Dua Puluh Delapan

    “Selain itu Bapak …,” ucapan Ibu terjeda. Genangan air mata berjatuhan, “Ia berselingkuh.”Mataku melotot mendengar kalimat terakhir Ibu. Mungkinkah ada rahasia yang masih belum terungkap?“Ayah selingkuh?” bibirku bersuara pelan.Ibu menatap kosong, membiarkan air matanya berjatuhan."Iya, sesekali Ibu membaca chat mesra mereka."“Mungkin Aksa tidak tahu hal ini,” lanjutnya.Rasanya aku tidak percaya mendengar perkataan Ibu. Otakku yang minimalis mencoba menyatukan potongan masalah di masa lalu mereka.‘Ayah di tangkap karena korupsi, menurut Mas Aksa ia melakukan itu untuk memenuhi sifat foya-foya Ibu dan anak-anaknya, sekarang Ayah selingkuh? apa mungkin ia menjual harga dirinya demi uang seperti Mas Ilham?’ apa karena itu Mas Aksa sampai meriang melihat pemandangan di Villa? berarti Mas Aksa tahu kalau ayahnya selingkuh, sehingga ia begitu trauma saat melihat kejadian yang sama?' Aku bermolog dalam hati.'Ya memang seperti itu adanya, sekarang perlahan aku bisa paham dengan posisi

  • Kaya sih, tapi Pelit!   Dua Puluh Tujuh

    Sikap Mas Aksa masih belum berubah meski kami sudah sampai di rumah, tak ada sedikit pun senyum, kata, atau amarah yang tergambar di wajahnya. Dia seperti orang yang kehilangan kesadaran pada dirinya sendiri. Aku tidak mengerti, kenapa efek dari terapi hipnosis itu masih belum hilang?Mas Aksa terduduk di sisi ranjang. Wajahnya pucat dan sayu, tatapan mata hampa, memandang ke ruang kosong. Melihatnya seperti ini membuatku begitu khawatir, ‘Apa mungkin saat ini Mas Aksa terjebak dalam masa lalunya karena pengaruh hipnosis, dan ia tidak bisa kembali?’ Mataku langsung melotot mengingat hal itu, bagaimana kalau ternyata ia benar-benar tidak bisa kembali dan terjebak dalam ingatan itu?Apa aku harus menghubungi Mas Rian lagi? tapi rasanya sungguh tidak nyaman, tatapan mata dan gelagatnya sedikit aneh hari ini. Aku akan menunggu perubahan Mas Aksa sebentar lagi.“Mas,” tanyaku sembari duduk di sampingnya, menepuk pundaknya pelan.Ia menoleh sesaat, lalu kembali memandang ruang kosong di had

DMCA.com Protection Status