Share

Dua Puluh Enam

Pintu kamar mandi kukunci dari dalam, menjatuhkan tubuh di atas toilet duduk, membekam tangisan dengan tangan.

‘Kapan aku bahagia Tuhan?’ erangku di sela-sela tangis yang membuncah.

'Aku ingin bahagia!' erangku lagi. Tubuhku semakin terkulai di atas toilet. Lemas, tak ada tenaga.

‘Tok …, tok ….’

“Hilya,” suara Mas Aksa terdengar lemah.

Aku belum bisa menjawab dan masih membungkam mulut yang belum berhenti menangis, mengais-ngais dinding untuk menghilangkan rasa sedih.

“Mau pulang untuk istirahat di rumah?” suaranya kembali terdengar.

“Aku masih mau di sini Mas,” jawabku terbata.

“Jangan lama-lama ya, nanti kamu kedinginan. Mas benar-benar menyesal Hilya! Mas tunggu di luar.” Kemudian, suara itu hilang, sepertinya ia sudah pergi.

Aku menangisi diriku sendiri yang tak berdaya, sungguh rapuh dan lemah. Di satu sisi aku memang muak dengan sikap Mas Aksa, tapi di sisi lain aku tidak bisa meninggalkannya, meski tahu ia sedang dalam keadaan sakit mental.

Hampir satu jam aku berada di dalam
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status