Mata Mas Aksa masih melotot tajam padaku, ia menunggu penjelasan atas kesalahan bicara yang kulakukan tadi.
"Baiklah," ucapku pasrah, "aku menemukan uang di saku celana coklat satu juta, tadinya aku mau menunggu Mas sampai lupa, tapi ternyata ibu menelpon meminta bantuan, dan diminta untuk dikirimkan pada Mbak Ratna,” ucapku lemas. Aku ini b*d*h atau kurang pintar sih, lemot amat otaknya! Geramku pada diri sendiri.“Ilham kan pengusaha sukses, kakakmu juga bekerja, kenapa Ibu meminta uangmu untuk diberikan padanya?” Matanya melotot tak percaya dengan pengakuanku.“Aku tidak tahu Mas, ibu yang meminta, makanya aku menurutinya," belaku.“Harusnya kamu tanya benar-benar, lagian itu uangku, kamu sudah berani mengambilnya tanpa seijin pemiliknya!”“Minta ijin pun percuma, Mas tidak akan memberikannya.”“Ya, jelas tidak! mereka itu orang berpunya, dibantu pun tidak akan berterima kasih.” Rahang Mas Aksa mengeras, “terus bagaimana tanggung jawabmu?” tanyanya lagi.“Mas minta ganti uangnya?” tanyaku ragu.“Tentu saja, itu uangku, kamu mengambilnya tanpa ijin.”“Bukannya itu pun uangku Mas?” Masih kucoba untuk membela diri agar mas kawinku selamat.“Kapan aku memberikannya?” Mas Aksa malah balik bertanya.“Bukannya uang yang dihasilkan suami yang telah beristri itu adalah milik bersama?” belaku lagi dengan sedikit penekanan.“Aku sudah memenuhi tanggung jawabku padamu, menafkahi lahir bathin, menempatkanmu di rumah yang nyaman, membelikan pakaian satu tahun sekali, dan setiap apa yang kumakan kamu pun memakannya. Nafkah bathin pun tidak pernah telat kuberi,” ucapnya. Pede sekali Mas Aksa mengucapkan itu semua, ia benar-benar tidak tahu di mana letak kesalahannya sendiri?Ah, sungguh percuma berdepat dengannya, dia tidak akan mau kalah, yang ada ujung-ujungnya dia mengataiku istri durhaka, mulut Mas Aksa sudah seperti petasan hajatan, sudah kubilang melawannya hanya akan membuatku lebih sengsara.Aku berjalan meninggalkannya, mencari kotak perhiasan yang kudapat satu tahun lalu, mengambil gelang yang ada di dalamnya, saking sayangnya aku pada benda ini, sampai dipakai pun jarang karena takut cepat kusam.“Jual saja ini, sisa uangnya kembalikan lagi padaku. Aku janji tidak akan meminta uangmu lagi! Bukan! Aku memang tidak pernah meminta uangmu selama ini. Aku berjanji tidak akan menggantungkan hidupku lagi padamu!" ucapku menahan mata yang mulai berkaca-kaca karena luapan emosi. Sebenarnya terbuat dari apa hatinya, kenapa dia begitu kikir dan perhitungan?Mas Aksa hanya diam memandangi gelang emas yang kuletakan di tangannya.Aku membuka pintu dan kulihat Ulfa sudah bersiap dengan tas nya, “Aku akan pulang, maaf karena harus menyaksikan semua kehebohan ini,” ucapnya lirih, lalu memberiku secarik kertas, ia memperagakan tangannya di telinga. Ya, aku tahu maksudnya agar menghubungi dia. Aku sedikit mengangguk dan melambaikan tangan.Aku pergi ke dapur dan memasak makanan yang dibeli Mas Aksa tadi pagi, menyiapkannya di meja dan berniat untuk membersihkan diri terlebih dahulu.Saat keluar dari kamar mandi kudengar Mas Aksa sepertinya sudah mulai makan, ‘Dingin sekali hidupnya,’ gelengku tak paham dengan arah pemikirannya.Setelah berpakaian sederhana namun rapi, kulihat Mas Aksa sedang mengselonjorkan kaki di kursi. Aku meliriknya selintas, ternyata marahnya tidak seseram yang sudah kupikirkan. Apakah dia sudah dapat ilham karena ketulusanku sampai mengorbankan mas kawin demi mengganti uangnya?'Syukurlah kalau ada kemajuan untuk berubah,' gumamku dalam hati, sembari berjalan ke meja makan. Tapi, pikiranku itu tiba-tiba terbakar hangus saat aku membuka tudung saji penutup makanan, semua makanan habis tak bersisa. Apa mungkin di makan kucing lagi tempe sama ayam yang barusan kumasak? aku celingukan mencari kemana kira-kira kucing itu membawa jatah makanku pergi, kali saja ada sisanya, ‘Aku bisa ko makan bekas kucing,’ piluku dalam hati.Setelah mencari keberbagai sudut tidak menemukan kucing itu, aku memutuskan untuk bertanya pada Mas Aksa, mungkin saja ia melihat kemana kucing itu pergi sebelum semuanya habis.“Mas kamu lihat kucing nggak?” tanyaku menahan kesal.“Tidak,” jawabnya ketus.“Laukku di makan kucing kayanya, Mas,” ucapku lagi.“Aku yang menghabiskannya,” tukasnya, tak mengalihkan mata dari depan tv.“Ko bisa Mas, itukan jatahku?” tanyaku dengan penuh kekesalan.“Bukannya kamu sudah berjanji tidak akan meminta uang dan menggantungkan hidupmu lagi padaku?” jawabnya santai.Astagfirullahal’adzim!“Aku benar-benar b*d*h!” kukutuk saja diriku sendiri.Bagaimana aku lupa sama sifatnya yang seperti ini. Berapa lama dia akan menelangsarakanku?“Mana gelangku?” sungutku lagi.“Di atas nakas,” jawabnya.“Bisa mati aku, kalau makan saja tidak kamu sisakan Mas!” cercaku dengan kantung mata yang memanas.“Anggap saja sebagai hukumanmu karena mengambil uang tanpa seiijinku,” sungutnya.“Aku kan sudah berniat menggantinya Mas!” pungkasku.“Kalau kamu tidak keceplosan, sudah pasti kamu tidak akan mengakuinya 'kan?” Lelaki itu selalu merasa benar.Sudahlah! aku lelah terus berdebat. Kuambil langkah emosi ke kamar, mengambil gelang di atas nakas dan pergi keluar. Dimana aku bisa menemukan toko emas sesore ini? Tes! tes! tes! air mataku berjatuhan.Kaki ini melangkah bebas, pasar cukup jauh dari sini, hanya di tempat itu banyak pertokoan, Mas Aksa pernah satu kali membawaku ke toko pakaiannya yang terletak di tengah-tengah pertokoan dan pasar. Sedangkan, aku tidak punya uang untuk membayar ongkos angkutan kota.Aku pergi dengan hati yang hancur, rasanya sangat sakit diperlakukan seperti ini, apalagi kondisi lapar membuat emosiku meletup-letup, mengumpat namanya di sepanjang jalan.Langit sore terlihat sangat gelap, sepertinya akan turun hujan, kulihat dari kejauhan kilatan petir menembus awan gelap, disusul suara guntur yang masih terdengar pelan, sepertinya benar-benar akan turun hujan.Tes!tes!tes!Benar saja hujan turun, aku tidak bisa menunggu untuk berteduh, toko bisa saja tutup kalau aku kemalaman. Aku masih berjalan lebih cepat mumpung hujan masih kecil, tapi ternyata air yang turun semakin sering, dan hujan semakin besar.Tiiid!Aku sampai menepi karena kaget dengan suara klakson mobil yang sepertinya tepat di belakangku. Mobil itu berhenti dan menurunkan sedikit kacanya.“Hilya, masuklah!”Seorang lelaki menengok dari kursi pengemudi, ‘Aziel?’Aku mematung dan bingung, antara menerima penawarannya dan tidak, Aziel keluar membawa payung dan memintaku agar masuk terlebih dahulu. Meski ragu, aku pun ikut masuk, ‘Hanya sampai pasar saja, mungkin tidak apa-apa?’ tanyaku dalam hati yang masih merasakan desiran cinta saat melihat wajahnya. Lelaki yang ditolak ibu karena tidak memiliki pekerjaan tetap. Kenapa sekarang sudah punya mobil?Bersambung ....Aku memeras ujung kerudung yang berat karena air hujan, tubuh sedikit terasa dingin, apalagi di dalam mobil menggunakan AC.“Maaf ya, kamu jadi kedinginan, kalau AC nya dimatikan kacanya berkabut,” ucap Aziel ragu.Aku menggeleng, tentu tidak elok kalau aku yang hanya menumpang ini banyak maunya, “Tidak apa-apa, aku baik-baik saja,” jawabku lirih. Padahal kaki terasa begitu dingin.“Kamu mau kemana hujan-hujan begini, Hil?” tanyanya lagi, tanpa menoleh. Hujan semakin deras, Aziel harus lebih berhati-hati dalam mengemudi.“Mau ke pasar,” jawabku singkat.“Suamimu?” tanyanya lagi ragu.“Hm! ada,” jawabku sedikit risih dengan pertanyaan itu.Aziel hanya terlihat mengangguk pelan, matanya masih fokus pada jalanan, ia tidak memperpanjang percakapan kami tentang Mas Aksa. Hanya fokus pada jalan di depan sampai mobil akhirnya sampai di pasar, tapi deretan toko sudah banyak yang tutup, mungkin karena turun hujan, hingga mereka tutup lebih awal.“Kamu mau turun di mana?” tanyanya Aziel sembar
Aku memisahkan diri dan tidur dikamar tamu, memikirkan setiap detail perkataan Mas Aksa, kenapa dia bisa melakukannya dengan begitu lancar tanpa merasa bersalah ataupun risih, dengan gamblang membalas perbuatan dan melawan semua kata-kataku, padahal apa yang kutulis hanya menggertak saja agar ia tidak terlalu perhitungan.Apa mungkin dia benar-benar memiliki suatu penyakit? aku harus mencari tahu, sepertinya aku menikahi lelaki yang tidak biasa, caranya menghemat keuangan kami begitu aneh. Namun, selain pelit, bawel dan bermulut pedas, Mas Aksa belum pernah menyakitiku secara fisik, setidaknya masih ada kebaikannya yang harus aku ingat.‘Tok …, tok …, tok ….’Suara pintu kamarku diketuk pelan dari luar.Siapa yang mengetuknya malam-malam begini, sedangkan kami hanya tinggal berdua?Aku membukanya dan kulihat Mas Aksa sudah berdiri sembari memeluk bantal di dada.“Ada apa?” tanyaku heran.Tanpa menjawab Mas Aksa nyeloyor masuk dan tidur di kasur. Menelungkap tubuhnya seperti ikan sapu
Kaki berjalan gontai masuk ke dalam rumah, serasa mimpi, dalam beberapa hari kehidupanku jungkir balik, sekarang aku harus membayar sewa untuk rumahku sendiri, tidak lagi melayani suami, dan akan lebih banyak menghabiskan banyak hari di luar, apakah kehidupan seperti ini sudah tepat?Ah entahlah! yang harus aku pikirkan sekarang adalah di mana aku harus bekerja dan mendapatkan uang, dalam sebulan aku harus memiliki uang minimal dua juta tiga ratus, apakah itu sudah seperti hidup ngontrak sendiri, dan kumpul kebo sama suami?“His! sepertinya otakku sudah oleng dan mulai gila!” kelakarku, menggerutu pada diri sendiri.Aku mengambil kartu nama yang diberikan Ulfa kemarin, ia baru saja mendapatkan pekerjaan baru, mungkin aku bisa ikut meski jadi tukang bantu-bantu, tidak apalah, yang penting bisa makan tiap hari untuk menyambung hidup.Selagi menunggu panggilan tersambung aku berjalan ke warnas untuk membeli sarapan.“Tumben Mbak, biasanya Mas Aksa yang membeli?” tanya si pemilik warnas k
Dadaku bergemuruh, keinginan untuk memiliki banyak uang dan menunjukkan eksistensi diri pada mereka yang katanya keluarga terus meluap-luap hingga pikiran jernihku terlindas oleh gejolaknya. Hati terus memacu dan berkata lantang kalau aku bisa melakukannya, lagi pula bukannya hidupku sudah kacau, aku tidak punya siapapun yang peduli, tidak akan ada yang tahu apalagi bersimpati dengan apa yang aku lakukan sekarang.“Sudah siap Mbak?” tanya Ulfa yang sudah berdiri di sampingku.Tanganku mengepal dengan bergetar, bayangan tawa mereka ketika sedang mengejekku terus terngiang, belum lagi sikap Mas Aksa yang menambah hidupku menjadi tidak ada artinya.“Hm!” jawabku yakin.“Di depan Bos, Mbak Hilya harus tunjukkan sisi cantik diri Mbak ya?” ucap Ulfa lagi sembari tersenyum nakal.Kami berjalan menuju koridor, sepanjang jalan jemari kakiku terasa bergetar dan dingin, antara menapak dan tidak. Tubuh Ulfa berhenti di sebuah ruangan di lantai tiga, hanya ada satu ruangan di lantai ini dan terli
"Aziel?” panggilku lirih.Mata itu menatapku sendu, mengedip lambat tampak menahan sesuatu. ‘Tidak! jangan menangis karena melihat kemalanganku,' keluhku dalam hati.‘Aku tidak ingin kamu pun menganggapku lemah seperti yang lain,’ sorot mataku terus berbicara padanya, 'aku tidak ingin dikasihani menjadi perempuan yang lemah. terutama olehmu. Dari dulu hanya kamu yang selalu membuatku bangga menjadi diriku sendiri, tolong jangan menangis.’Mata itu masih menatapku, menyapu pandangannya pada sekeliling.“Sudah kukatakan jangan menggunakan sepatu berhak tinggi,” bibir Aziel bergetar seraya berjongkok di hadapanku. Aku tahu ia sedang menahan hatinya agar tidak mengasihaniku.“Aku tidak apa-apa, kaki hanya tergilir saja, jadi aku tidak bisa bangun,” jelasku.Aziel melihat tumitku yang berdarah, memegangnya pelan, “Ini dalam Hilya,” desisnya lagi.“Aku bantu kamu bangun, kita ke dokter,” pintanya.Aku menggeleng saat mencoba berdiri, tangan mengaleng pada lehernya, “Antar aku pulang saja,”
Kutatap lekat wajah itu, apa yang salah dengannya? selama setahun pernikahan kami sekali pun tidak pernah Mas Aksa bercerita tentang kehidupannya. Dia sibuk di toko pakaiannya dan aku sibuk dengan rebahan serta kepoin urusan orang.Selama setahun ini kehidupan kami baik-baik saja meski Mas Aksa sangat perhitungan, ia jarang marah kalau aku tidak membuat masalah, dan kalau diingat-ingat semua penderitaan ini aku juga yang buat dan memulai sendiri.Jemari Mas Aksa bergerak pelan, aku segera memejamkan mata, belum siap untuk berbicara dengannya. Entah kenapa hati tetap berkata kalau semua ini karena ulahnya, aku tidak akan senekad itu kalau dia tidak terlalu perhitungan. Aku tidak akan semenderita ini dan diasingkan dari keluarga kalau Mas Aksa bisa sedikit lebih loyal, dan kenapa dia memperlakukanku seperti musuh? padahal seberapa besar pun kesalahanku, aku masih istrinya.Terasa gerakan tubuhnya sedang bergeser, tangannya meraba kening dan leher, mungkin ia sedang mengecek suhu tubuhku
Aksa~“Assalamualaikum,” salamku ketika membuka pintu. Sebenarnya sedikit khawatir saat aku menguncinya dari luar. Tapi, dari pada dia kabur lagi, sebaiknya aku memang tega.Tidak ada jawaban yang kudengar dari Hilya, di mana perempuan itu, mana mungkin tidak ada di rumah, tidak ada celah untuk keluar dari rumah ini.Kulihat pecahan kaca yang berserakan di lantai sudah tidak ada. Baguslah! sepertinya dia sudah lebih baik.“Hilya,” panggilku lagi. Namun, masih tidak ada sahutan darinya, kemana perempuan itu? selalu membuatku kesal. Mungkinkah dia bersembunyi karena masih marah? ah, sudahlah! biarkan saja!Aku memasukkan tas kecil dalam brankas, tepat di belakang lemari pakaian, Hilya tidak pernah tahu kalau aku punya tempat penyimpanan di belakang sini. Kulihat gawai Hilya terus menyala, aku meraihnya dan membawanya keluar, lalu menutup brankas dan kembali menguncinya.Ratusan chat dari group keluarga, apa yang sedang mereka bahas sehingga chat begitu penuh? Perlahan aku membaca satu p
'Lihat, tubuh meringkuk itu!’ geram sekali aku melihatnya, wajahku memasang mode siap mencabik. Bukankah sekarang dia sedang sakit? akan mudah untuk menerkam dan mengunyah otak batunya.Aku berjalan perlahan tapi penuh penekanan, bunyi dentungan langkah kaki yang menyentuh lantai seakan suara genderang di hati korban, aku sudah seperti pembunuh yang sedang mengintai korbannya.“Hah!” teriakku di atas kepalanya dengan mulut menganga, siap menelan otak beku Mas Aksa.“Hilya,” ucapnya lembut, sama sekali tidak terganggu dengan suara kerasku.Ada apa dengan dia sekarang? kenapa Mas Aksa berubah menjadi lembut.“Kemarilah,” ucapnya lagi, sembari meraih tangan dan menarik tubuhku, memeluknya erat.'Ya ampun, pelukannya begitu hangat.'Mas Aksa sudah berhenti meracau, ia nampak tidur dengan tenang, tangannya masih menelukup di atas dadaku. Aku mengelusik, tangannya masih memeluk dan sulit dilepaskan. Netraku melihat ketenangan dan aura yang baru dari wajahnya saat ini, mungkinkah sekarang ak
Aku mengerucutkan bibir, menatap kesal pada Mas Aksa. Kenapa juga Ibu dan Ulfa hanya tersenyum mesem seperti itu, dan tidak membelaku?"Baiklah kalau begitu, aku tidak akan keluar dari Rumah Sakit ini!" kelakarku sembari membelakangi mereka."Kenapa?" tanya Mas Aksa polos."Orang bodoh pun pasti melakukan hal yang sama Mas! di rumah nggak dikasih makan di sini makan tiga kali sehari. Pasti pilih tinggal di sinilah.""Itu kalau Mas masih bayar biaya pengobatannya, kalau enggak kamu pasti disuruh keluar dari sini."Bola mataku berputar, benar juga, kalau sudah tidak dibayar boro-boro makan, tinggal pun pasti tidak diperbolehkan."Kalau begitu kenapa Mas tidak membiarkan aku mati saja kemarin!" sungutku."Kalau kamu mati, lalu siapa yang akan menjadi Ibu dari anak-anakku?"Aku mengerutkan dahi, "Anak?" "Heum!""Tanggal berapa sekarang Mas?" Tiba-tiba aku mengingat sesuatu yang terlupakan."Sebelas.""Apa?" Aku langsung terbangun."Ada apa Hilya, kamu masih sakit," tegur Mas Aksa langsun
Aksa~“Hilya kamu kenapa?” Hatiku syok melihatnya terkulai."Hilya, bangunlah! jangan buat Mas Khawatir!" pekikku sembari terus berlari menuju mobil. Cukup lama aku berlari karena mobil di sembunyikan jauh dari lokasi.Hilya tak menjawab, wajahnya terlihat pucat pasi, saat sorot lampu jalan memperlihatkan lekuk wajahnya.Aku segera membuka kunci mobil, mendudukannya di kursi. Sebelum menutup pintu, mata terbelalak, darah memenuhi pakaian.Mataku melotot, hatiku tersentak, dari mana darah ini? perlahan aku menyibakkan baju, tidak ada luka di sana. Lalu, aku melihat wajah Hilya yang semakin pucat.'Mungkinkah?' Aku tak kuasa menahan gejolak hati yang tiba-tiba berderu lebih cepat. Debaran jantung pun berpacu lebih keras.Aku meraba tubuh Hilya, bagian mana dari tubuhnya yang terluka? Mata melihat darah menetes cepat dari lengannya, seketika tubuhku mundur dengan sendirinya. Bayangan wajah Mbak Ayu berkelebat mengembalikan kenangan buruk itu."Tidak! Aku tidak bisa!" Kaki terus mundur me
“Kalian sudah akrab rupanya?” kelakarnya, sembari mendongakkan wajah.Wajahnya yang ditutupi topi, terlihat jelas sekarang.Lelaki itu? bagaimana mungkin ia begitu tega melakukan hal seperti ini pada Ibunya sendiri?“Apa kamu sudah tidak waras Mas?” tanyaku dengan tatapan heran.“Hm! apakah kamu berpikir aku yang sakit sekarang, dan bukan perempuan di sampingmu itu?” Mas Rian malah balik bertanya. “Seorang anak yang waras tidak akan memperlakukan Ibunya sendiri seperti ini Mas!” tegasku.“Hahahaha,” ia tertawa nyaring. Lalu, melangkah cepat ke ruangan wanita itu. Mas Rian mendongakkan dagu Ibunya dan menyanggahnya dengan tangan.“Apakah wanita seperti ini yang kamu sebut Ibu?” ucapnya tanpa melepaskan tatapan dari dua bola mata Ibunya yang ia tengakkan.“Apa kesalahannya hingga kamu berani seperti Itu pada Ibu mu sendiri Mas?” Aku mendekati pagar besi, hendak menolongnya dengan mencoba meraih tubuh itu. Tapi, karena jaraknya cukup jauh, aku bahkan tidak bisa memegangnya secuil pun.
Jam merangkak naik, matahari sudah mulai terasa hangat saat menembus kaca. pagi ini setelah Ibu mengetahui pekerjaan Ulfa, ia masuk ke kamar anak bungsunya dan kulihat mereka tergugu menangis. Saling memaafkan adalah jalan satu-satunya untuk merangkai kehidupan yang baru. Ibu sudah kembali bersemangat melanjutkan pekerjaanya di dapur membuat makanan untuk acara pengajian nanti malam bersama warga yang datang. Hanya membuat makanan rumahan yang bisa dibawa pulang warga sebagai sedekah untuk Ayah yang sudah berpulang.Bahan-bahan yang telah di beli Mas Aksa tadi pagi mulai kami olah menjadi beberapa makanan tradisional. Ulfa pun sudah ikut bergabung dan berbaur, meski situasi masih nampak canggung, lamat-lamat mencair juga.“Biar Ulfa yang menggunting daun pisang itu Bu,” pinta Ulfa mengambil alih pekerjaan Ibu. Wanita separuh baya itu memberikan gunting ke tangan Ulfa dan beralih pada pekerjaan lain. Sepertinya ia hendak memasak daging ayam untuk makan kami pagi ini.Mas Aksa tidak
Pikiranku tidak bisa lepas dari sosok seseorang yang berdiri dan melihat kami dari kejauhan, aku mencium sebuah ancaman, ketidak nyamanan dari pandangan itu. Sedangkan Mas Aksa, Ibu dan Ulfa tidak mengetahui hal ini. Jika kuceritakan sekarang, semuanya akan bertambah buruk, suasana hati mereka bisa saja semakin sedih dan kalut.‘Semoga ini hanya perasaanku saja,’ batinku, membuang napas untuk menghilangkan rasa gugup.Mas Aksa mengemudi mobil pelan, Ibu dan Ulfa saling merangkul di belakang, sedangkan aku merasakan kegelisahan dari hal yang lain. Bagaimanapun aku mencoba untuk tenang, kemarahan Mas Rian di dalam perpustakaan itu tidak bisa diabaikan.“Dia?” teriakku refleks menunjuk seseorang dibalik semak-semak.“Siapa?” tanya Mas Aksa. Ibu dan Ulfa pun ikut menengok.“Bukan siapa-siapa, aku salah orang,” jawabku cepat.Jelas itu adalah lelaki yang kulihat tadi di pemakaman, ternyata ia masih di sekitar sini dan belum pergi, siapa yang dia tunggu?Jalan kepemakaman ini sempit dan sed
Kami sampai di sebuah bangunan dua lantai dengan bentuk luar nampak seperti sebuah Klinik, dari alamat yang kutemukan inilah tempat salah satu Psikiater yang mendapat nilai baik di aplikasi, tempatnya pun tidak terlalu jauh dari rumah.“Mas turun, Yuk,” ajakku padanya. Ia hanya menatap sendu, polos layaknya anak kecil.Aku menuntunnya memasuki meja resepsionis, mengisi data dan menunggu jadwal berkonsultasi.Mas Aksa meringkuk, memegangi perutnya di atas bangku.“Kenapa Mas?” Matanya mengiba mendengar pertanyaanku.“Mas lapar ya?” Ia hanya mengangguk lemah.“Sebentar ya, Hilya beli dulu. Mas jangan kemana-mana," pesanku sebelum pergi.Bergegas aku mencari kantin di sekitar sini, membeli roti, beberapa cemilan dan air minum. Saat kembali ke dalam, bangku sudah kosong, Mas Aksa tidak terlihat ada di sekitar sana.“Kemana dia?” aku mulai panik, berlari mencari ke semua ruangan yang kemungkinan dimasuki.“Mbak lihat seorang pria berkaos putih tidak?" tanyaku pada seseorang yang tidak jauh
Perempuan di depanku saat ini masih menenggelamkan wajahnya diantara telapak tangan, isak tangis terdengar bergitu menyayat.“Benarkah Anda sangat menyesal telah berselingkuh?” tanyaku. Mungkin semua bisa berakhir lebih baik kalau mereka ingin memperbaiki kesalahan.Perempuan itu menengadah, menyeka air mata dan menatapku. Lalu, menggeleng.“Bukan itu,” jawabnya tercekat.Dahiku mengernyit, kalau bukan hal itu, lalu apa yang menjadi penyesalannya?“Maksud Anda?”“Aku tidak pernah menyesal mencintainya, dia adalah lelaki terbaik yang pernah menyayangiku.” Tangannya kembali menyeka sisa air mata terakhir yang terjatuh.“Seseorang yang berselingkuh dari pasangannya bukan orang baik, bagaimana mungkin Anda menilainya sebagai orang baik?” “Mh!” Mulutnya sedikit mencibir.“Dia adalah seorang suami yang rela mengorbarkan hati dan raga demi memenuhi keserakahan keluarganya yang haus akan kesenangan. Dia tidak sedikit pun melakukan dosa, karena kami menikah. Aku yang memintanya.”Mataku terbe
“Selain itu Bapak …,” ucapan Ibu terjeda. Genangan air mata berjatuhan, “Ia berselingkuh.”Mataku melotot mendengar kalimat terakhir Ibu. Mungkinkah ada rahasia yang masih belum terungkap?“Ayah selingkuh?” bibirku bersuara pelan.Ibu menatap kosong, membiarkan air matanya berjatuhan."Iya, sesekali Ibu membaca chat mesra mereka."“Mungkin Aksa tidak tahu hal ini,” lanjutnya.Rasanya aku tidak percaya mendengar perkataan Ibu. Otakku yang minimalis mencoba menyatukan potongan masalah di masa lalu mereka.‘Ayah di tangkap karena korupsi, menurut Mas Aksa ia melakukan itu untuk memenuhi sifat foya-foya Ibu dan anak-anaknya, sekarang Ayah selingkuh? apa mungkin ia menjual harga dirinya demi uang seperti Mas Ilham?’ apa karena itu Mas Aksa sampai meriang melihat pemandangan di Villa? berarti Mas Aksa tahu kalau ayahnya selingkuh, sehingga ia begitu trauma saat melihat kejadian yang sama?' Aku bermolog dalam hati.'Ya memang seperti itu adanya, sekarang perlahan aku bisa paham dengan posisi
Sikap Mas Aksa masih belum berubah meski kami sudah sampai di rumah, tak ada sedikit pun senyum, kata, atau amarah yang tergambar di wajahnya. Dia seperti orang yang kehilangan kesadaran pada dirinya sendiri. Aku tidak mengerti, kenapa efek dari terapi hipnosis itu masih belum hilang?Mas Aksa terduduk di sisi ranjang. Wajahnya pucat dan sayu, tatapan mata hampa, memandang ke ruang kosong. Melihatnya seperti ini membuatku begitu khawatir, ‘Apa mungkin saat ini Mas Aksa terjebak dalam masa lalunya karena pengaruh hipnosis, dan ia tidak bisa kembali?’ Mataku langsung melotot mengingat hal itu, bagaimana kalau ternyata ia benar-benar tidak bisa kembali dan terjebak dalam ingatan itu?Apa aku harus menghubungi Mas Rian lagi? tapi rasanya sungguh tidak nyaman, tatapan mata dan gelagatnya sedikit aneh hari ini. Aku akan menunggu perubahan Mas Aksa sebentar lagi.“Mas,” tanyaku sembari duduk di sampingnya, menepuk pundaknya pelan.Ia menoleh sesaat, lalu kembali memandang ruang kosong di had