Aku memisahkan diri dan tidur dikamar tamu, memikirkan setiap detail perkataan Mas Aksa, kenapa dia bisa melakukannya dengan begitu lancar tanpa merasa bersalah ataupun risih, dengan gamblang membalas perbuatan dan melawan semua kata-kataku, padahal apa yang kutulis hanya menggertak saja agar ia tidak terlalu perhitungan.
Apa mungkin dia benar-benar memiliki suatu penyakit? aku harus mencari tahu, sepertinya aku menikahi lelaki yang tidak biasa, caranya menghemat keuangan kami begitu aneh. Namun, selain pelit, bawel dan bermulut pedas, Mas Aksa belum pernah menyakitiku secara fisik, setidaknya masih ada kebaikannya yang harus aku ingat.‘Tok …, tok …, tok ….’Suara pintu kamarku diketuk pelan dari luar.Siapa yang mengetuknya malam-malam begini, sedangkan kami hanya tinggal berdua?Aku membukanya dan kulihat Mas Aksa sudah berdiri sembari memeluk bantal di dada.“Ada apa?” tanyaku heran.Tanpa menjawab Mas Aksa nyeloyor masuk dan tidur di kasur. Menelungkap tubuhnya seperti ikan sapu.“Ini jadwalnya kan?” ucapnya terdengar samar.‘Jadwal?’ aku mengerutkan alis, apa yang dimaksud Mas Aksa adalah jadwal ronda kami tiap seminggu sekali? ah iya, ini malam Jumat.‘Apakah dia sudah gila? cercaannya masih jelas terdengar di telinga, dan sekarang dia memintanya tanpa rasa malu?’“Aku sedang tidak mau Mas, keluarlah!” tolakku kasar.“Kepalaku sudah sakit Hilya, apalagi ulahmu dari kemarin membuatku pusing,” ucapnya.Aku berpikir sejenak, mungkinkah karena sudah lama tidak dilayani Mas Aksa jadi lebih kejam? biasanya dia akan sangat ramah setelah melakukannya, mungkin bisa aku gunakan waktu itu untuk menggali pikirannya.Tapi ah, kelakukannya sudah sangat keterlaluan!“Kamu sudah menyakitiku Mas,” jelasku lagi masih memegangi daun pintu.“Kamu lebih menyakitiku dengan pulang diantar mantanmu itu, bukankah kamu masih mencintainya?” balasnya.“Itu semua karena kamu juga Mas, kamu memperlakukanku seperti musuh, menelantarkanku dengan tega!” jawabku dengan nada tinggi.“Aku hanya membantu mempermudah janji yang telah kamu ucapkan Hilya!” jelasnya lagi.Ini aku yang b*d*h apa Mas Aksa yang terlewat b*d*h dan tidak memahami sifat perempuan? aku berkata seperti itu hanya untuk meluapkan emosi dari kekesalanku saja.“Tidak!” lantangku. Tapi Mas Aksa bangun dan menarik jemariku.“Kalau kamu tidak menikmatinya aku akan membayarmu dua ratus ribu seperti dalam tarif mu,” ujarnya lagi.Dua ratus ribu sih lumayan, akhirnya dia terjerat juga dengan persyaratanku.“Pegang janjimu Mas!” ucapku sedikit mengerucutkan bibir.“Kapan aku tidak pernah memegang janjiku? janjimu saja kubantu untuk diwujudkan,” ujarnya lagi. Benar-benar pria yang aneh.Kami memulainya tanpa kata, hanya napas yang berburu saling bersahutan, aku mencoba menahannya agar tidak terbuai. Tapi, ah sial! selain medit, bawel, dan berkata kasar, dia pun pandai membiusku di atas ranjang. Dan kami pun mengakhirinya dengan kepuasaan.“Aku tidak harus membayarmu kan?” bisiknya masih dengan suara terengah-engah.Berbohong pun tak bisa kulakukan, dari suara tadi jelas suaraku yang paling heboh.“Hm!” jawabku kesal.Beberapa detik kemudian, suara dengkuran halus terdengar dari mulutnya, et dah! aku belum sempat bertanya apa-apa.“Mas!”“Hm!” ah, rupanya dia masih sedikit sadar.“Apakah kamu punya penyakit?” tanyaku cepat sebelum dia lepas ke alam akhirat, eh!Aku menunggu dengan sabar, menunggu mulutnya bergetar perlahan, nampaknya dia akan menjawab. Namun, setelah lama kutunggu bibirnya malah mengeluarkan dengkuran yang keras.‘Yasalam! tidur sajalah! sepertinya aku harus ikut di mandiin di curug penganten, biar nggak telalu lemot,’ tepuk jidat sendiri.__________Saat terbangun kulihat Mas Aksa sudah tidak ada di tempat tidur, cepat sekali ia bangun padahal ini masih jam 04 subuh.Mataku menyapu rumah kami, melihat kemana ia pergi setelah bangun sepagi ini, biasanya bangunya jam 05.00 atau 05.30 itu pun setelah di paksa bangun untuk shalat.Terdengar suara dentingan piring dari arah dapur, kulihat Mas Aksa menyuci piring.Astagfirullah, bagaimana mungkin dia sungguh-sungguh dengan ucapannya, mesin cuci pun sedang berputar, lantai sudah terasa kesat, tandanya sudah di pel. Kalau dia melakukan ini semua itu berarti aku harus mulai membayar sewa rumah, air dan listrik?Aku kelimpungan, dan duduk di meja makan, menuangkan air ke dalam gelas.Mas Aksa menoleh sebentar dan berkata, “Oh ya air minum, aku belum mengatakannya, kamu pun harus membayar tiap melakukan isi ulang.”‘Bhuk!’Air yang kuminum sontak tersembur kembali.Ini benar-benar gila! aku melangkah gontai dan mengambil handuk, “Satu lagi, sabunmu beli sendiri, agar tidak memakai apa yang aku beli!” teriaknya nyaring ketika kaki hendak melangkah ke kamar mandi.“Bagaimana aku bisa bertahan dengan kehidupan tidak masuk akal seperti ini?”Aku berjongkok, menatap gemiricik air yang menetes cepat dari keran.“Kamu mau menitip makanan apa mau beli sendiri?” tanyanya ketika aku masih bersandar lemah di dinding ruangan shalat, lengkap dengan mukena yang belum ingin kulepas. Rasanya ingin kuadakukan keadaan tidak masuk akal ini pada Tuhan, tapi dari mana aku harus memulainya? dari kesalahanku menyembunyikan uang satu juta itu, lalu memberikannya tanpa seiijin suami? atau dari jauh-jauh hari saat aku merasa di dzolimi olehnya, padahal akulah yang kurang bersyukur dan maruk. Seingatku uang yang ditemukan sebelum-sebelumnya bisa membuatku jajan setiap hari, dan hatiku terasa nyaman-nyaman saja saat menuruti semua keinginannya.Namun hari ini, di saat aku mencoba melawannya, petaka malah datang bertubi-tubi.Lelaki itu masih berdiri di sana, menunggu jawabanku.“Bagaimana?” tanyanya lagi melebarkan mata.“Aku akan beli sendiri,” jawabku lemas.Mas Aksa sudah kembali dengan kantong hitamnya seperti biasa, ia menggelar makannya di atas meja, tanpa menawariku yang masih telungkup di atas sajadah.“Aku akan berangkat,” tiba-tiba suaranya membangunkanku. Aku beranjak mendekatinya dan mengantar ia keluar.“Nanti sore aku akan memasak sendiri, biarkan saja bahan-bahan itu di sana,” ucapnya sembari menyodorkan tangan.Aku menghela napas, seperti tubuh tanpa ruh, aku mengambil tangan itu dan menciumnya.“Aku akan bekerja,” pintaku ragu.Dia menatap raut wajahku, menelaah kantung mata yang sembab, “Tentu saja kamu harus bekerja, karena aku tidak mau kamu telat membayar semuanya setiap bulan, tapi cari pekerjaan yang baik dan tidak membuatku khawatir,” ujarnya seraya berbalik, “satu lagi, jangan pulang lebih dari jam 04.00 sore,” tambahnya. Lalu, ia masuk ke dalam mobil.Aku melongo denga ucapannya, tak ada lagi kata yang pantas dilontarkan dalam situasi seperti ini selain, ‘Kami keluarga yang aneh dan langka.’**Tarik napas...ayoooo, kita bisa jaga emosi🤣Kaki berjalan gontai masuk ke dalam rumah, serasa mimpi, dalam beberapa hari kehidupanku jungkir balik, sekarang aku harus membayar sewa untuk rumahku sendiri, tidak lagi melayani suami, dan akan lebih banyak menghabiskan banyak hari di luar, apakah kehidupan seperti ini sudah tepat?Ah entahlah! yang harus aku pikirkan sekarang adalah di mana aku harus bekerja dan mendapatkan uang, dalam sebulan aku harus memiliki uang minimal dua juta tiga ratus, apakah itu sudah seperti hidup ngontrak sendiri, dan kumpul kebo sama suami?“His! sepertinya otakku sudah oleng dan mulai gila!” kelakarku, menggerutu pada diri sendiri.Aku mengambil kartu nama yang diberikan Ulfa kemarin, ia baru saja mendapatkan pekerjaan baru, mungkin aku bisa ikut meski jadi tukang bantu-bantu, tidak apalah, yang penting bisa makan tiap hari untuk menyambung hidup.Selagi menunggu panggilan tersambung aku berjalan ke warnas untuk membeli sarapan.“Tumben Mbak, biasanya Mas Aksa yang membeli?” tanya si pemilik warnas k
Dadaku bergemuruh, keinginan untuk memiliki banyak uang dan menunjukkan eksistensi diri pada mereka yang katanya keluarga terus meluap-luap hingga pikiran jernihku terlindas oleh gejolaknya. Hati terus memacu dan berkata lantang kalau aku bisa melakukannya, lagi pula bukannya hidupku sudah kacau, aku tidak punya siapapun yang peduli, tidak akan ada yang tahu apalagi bersimpati dengan apa yang aku lakukan sekarang.“Sudah siap Mbak?” tanya Ulfa yang sudah berdiri di sampingku.Tanganku mengepal dengan bergetar, bayangan tawa mereka ketika sedang mengejekku terus terngiang, belum lagi sikap Mas Aksa yang menambah hidupku menjadi tidak ada artinya.“Hm!” jawabku yakin.“Di depan Bos, Mbak Hilya harus tunjukkan sisi cantik diri Mbak ya?” ucap Ulfa lagi sembari tersenyum nakal.Kami berjalan menuju koridor, sepanjang jalan jemari kakiku terasa bergetar dan dingin, antara menapak dan tidak. Tubuh Ulfa berhenti di sebuah ruangan di lantai tiga, hanya ada satu ruangan di lantai ini dan terli
"Aziel?” panggilku lirih.Mata itu menatapku sendu, mengedip lambat tampak menahan sesuatu. ‘Tidak! jangan menangis karena melihat kemalanganku,' keluhku dalam hati.‘Aku tidak ingin kamu pun menganggapku lemah seperti yang lain,’ sorot mataku terus berbicara padanya, 'aku tidak ingin dikasihani menjadi perempuan yang lemah. terutama olehmu. Dari dulu hanya kamu yang selalu membuatku bangga menjadi diriku sendiri, tolong jangan menangis.’Mata itu masih menatapku, menyapu pandangannya pada sekeliling.“Sudah kukatakan jangan menggunakan sepatu berhak tinggi,” bibir Aziel bergetar seraya berjongkok di hadapanku. Aku tahu ia sedang menahan hatinya agar tidak mengasihaniku.“Aku tidak apa-apa, kaki hanya tergilir saja, jadi aku tidak bisa bangun,” jelasku.Aziel melihat tumitku yang berdarah, memegangnya pelan, “Ini dalam Hilya,” desisnya lagi.“Aku bantu kamu bangun, kita ke dokter,” pintanya.Aku menggeleng saat mencoba berdiri, tangan mengaleng pada lehernya, “Antar aku pulang saja,”
Kutatap lekat wajah itu, apa yang salah dengannya? selama setahun pernikahan kami sekali pun tidak pernah Mas Aksa bercerita tentang kehidupannya. Dia sibuk di toko pakaiannya dan aku sibuk dengan rebahan serta kepoin urusan orang.Selama setahun ini kehidupan kami baik-baik saja meski Mas Aksa sangat perhitungan, ia jarang marah kalau aku tidak membuat masalah, dan kalau diingat-ingat semua penderitaan ini aku juga yang buat dan memulai sendiri.Jemari Mas Aksa bergerak pelan, aku segera memejamkan mata, belum siap untuk berbicara dengannya. Entah kenapa hati tetap berkata kalau semua ini karena ulahnya, aku tidak akan senekad itu kalau dia tidak terlalu perhitungan. Aku tidak akan semenderita ini dan diasingkan dari keluarga kalau Mas Aksa bisa sedikit lebih loyal, dan kenapa dia memperlakukanku seperti musuh? padahal seberapa besar pun kesalahanku, aku masih istrinya.Terasa gerakan tubuhnya sedang bergeser, tangannya meraba kening dan leher, mungkin ia sedang mengecek suhu tubuhku
Aksa~“Assalamualaikum,” salamku ketika membuka pintu. Sebenarnya sedikit khawatir saat aku menguncinya dari luar. Tapi, dari pada dia kabur lagi, sebaiknya aku memang tega.Tidak ada jawaban yang kudengar dari Hilya, di mana perempuan itu, mana mungkin tidak ada di rumah, tidak ada celah untuk keluar dari rumah ini.Kulihat pecahan kaca yang berserakan di lantai sudah tidak ada. Baguslah! sepertinya dia sudah lebih baik.“Hilya,” panggilku lagi. Namun, masih tidak ada sahutan darinya, kemana perempuan itu? selalu membuatku kesal. Mungkinkah dia bersembunyi karena masih marah? ah, sudahlah! biarkan saja!Aku memasukkan tas kecil dalam brankas, tepat di belakang lemari pakaian, Hilya tidak pernah tahu kalau aku punya tempat penyimpanan di belakang sini. Kulihat gawai Hilya terus menyala, aku meraihnya dan membawanya keluar, lalu menutup brankas dan kembali menguncinya.Ratusan chat dari group keluarga, apa yang sedang mereka bahas sehingga chat begitu penuh? Perlahan aku membaca satu p
'Lihat, tubuh meringkuk itu!’ geram sekali aku melihatnya, wajahku memasang mode siap mencabik. Bukankah sekarang dia sedang sakit? akan mudah untuk menerkam dan mengunyah otak batunya.Aku berjalan perlahan tapi penuh penekanan, bunyi dentungan langkah kaki yang menyentuh lantai seakan suara genderang di hati korban, aku sudah seperti pembunuh yang sedang mengintai korbannya.“Hah!” teriakku di atas kepalanya dengan mulut menganga, siap menelan otak beku Mas Aksa.“Hilya,” ucapnya lembut, sama sekali tidak terganggu dengan suara kerasku.Ada apa dengan dia sekarang? kenapa Mas Aksa berubah menjadi lembut.“Kemarilah,” ucapnya lagi, sembari meraih tangan dan menarik tubuhku, memeluknya erat.'Ya ampun, pelukannya begitu hangat.'Mas Aksa sudah berhenti meracau, ia nampak tidur dengan tenang, tangannya masih menelukup di atas dadaku. Aku mengelusik, tangannya masih memeluk dan sulit dilepaskan. Netraku melihat ketenangan dan aura yang baru dari wajahnya saat ini, mungkinkah sekarang ak
Mas Aksa menarik pintu kamar dan menutupnya, aku bersembunyi di balik dinding, ia berjalan menuju pintu keluar. Aku menengoknya sebentar, tangannya berhenti saat ia hendak menekan gagang pintu. Seketika aku langsung menarik kembali kepalaku untuk berdiri tegak di balik dinding. Mungkinkah dia tahu kalau aku mengintipnya? kalau benar, aku bisa dikurungnya lagi. Berharap-harap cemas, aku terus membaca mantra supaya tidak terlihat. “Hilya, Mas berangkat,” ucapnya.Hah, syukurlah! ternyata dia hanya mengatakan itu. Aku diam dan tidak menjawab, tentu saja, kalau bersuara sudah pasti ketahuan. Hati sudah tidak sabar ingin melihat apa yang ada di belakang lemari pakaian itu. Aku berjalan perlahan ke pintu, memastikan mobil Mas Aksa sudah tidak ada di garasi. ‘Saatanya beraksi!’ pekikku girang.Meski masih kesusahan melangkah tapi sudah bisa ditapakkan, bengkaknya pun sudah mengempis, jadi aku bisa berjalan lebih cepat, tidak semenderita kemarin yang mirip suster ngesot, mengeret kaki keman
Tangan Mas Aksa meramang ke hadapanku, aku sudah pasrah dan hilang kata-kata, nampaknya ia akan mencekikku sekarang.‘Kak …, kak …, kak ….’ suara burung yang saling bersahutan seolah terdengar seperti gelak tawa setan, menertawakan kebodohanku yang akan mati sia-sia.“Ampun Mas, Hilya janji nggak akan buat Mas Aksa kesel lagi, Hilya mau jadi istri penurut saja,” ucapku terisak, memejamkan mata.Cukup lama tidak kudengar suara atau gerakkan apapun dari Mas Aksa, hanya semilir angin yang semakin dingin berhembus meremangkan bulu kuduk.“Singkirkan tanganmu dari sana,” setelah aku pasrah dengan nasib, suara Mas Aksa terdengar melembut. Saat membuka mata dia masih menatapku, dan matanya memberi kode agar aku bergeser.“Apa?” tanyaku ragu.“Kamu pindah! aku mau bersihan makan Mbak Ayu,” ujarnya.Mbak Ayu?Aku sedikit melirik, melihat tanganku yang berada di tengah-tengah sebuah makam besar. Saat kubaca namanya di papan nisan 'Ayudia Pratiwi.'Mas Aksa maju lebih depan, sedang aku bergeser
Aku mengerucutkan bibir, menatap kesal pada Mas Aksa. Kenapa juga Ibu dan Ulfa hanya tersenyum mesem seperti itu, dan tidak membelaku?"Baiklah kalau begitu, aku tidak akan keluar dari Rumah Sakit ini!" kelakarku sembari membelakangi mereka."Kenapa?" tanya Mas Aksa polos."Orang bodoh pun pasti melakukan hal yang sama Mas! di rumah nggak dikasih makan di sini makan tiga kali sehari. Pasti pilih tinggal di sinilah.""Itu kalau Mas masih bayar biaya pengobatannya, kalau enggak kamu pasti disuruh keluar dari sini."Bola mataku berputar, benar juga, kalau sudah tidak dibayar boro-boro makan, tinggal pun pasti tidak diperbolehkan."Kalau begitu kenapa Mas tidak membiarkan aku mati saja kemarin!" sungutku."Kalau kamu mati, lalu siapa yang akan menjadi Ibu dari anak-anakku?"Aku mengerutkan dahi, "Anak?" "Heum!""Tanggal berapa sekarang Mas?" Tiba-tiba aku mengingat sesuatu yang terlupakan."Sebelas.""Apa?" Aku langsung terbangun."Ada apa Hilya, kamu masih sakit," tegur Mas Aksa langsun
Aksa~“Hilya kamu kenapa?” Hatiku syok melihatnya terkulai."Hilya, bangunlah! jangan buat Mas Khawatir!" pekikku sembari terus berlari menuju mobil. Cukup lama aku berlari karena mobil di sembunyikan jauh dari lokasi.Hilya tak menjawab, wajahnya terlihat pucat pasi, saat sorot lampu jalan memperlihatkan lekuk wajahnya.Aku segera membuka kunci mobil, mendudukannya di kursi. Sebelum menutup pintu, mata terbelalak, darah memenuhi pakaian.Mataku melotot, hatiku tersentak, dari mana darah ini? perlahan aku menyibakkan baju, tidak ada luka di sana. Lalu, aku melihat wajah Hilya yang semakin pucat.'Mungkinkah?' Aku tak kuasa menahan gejolak hati yang tiba-tiba berderu lebih cepat. Debaran jantung pun berpacu lebih keras.Aku meraba tubuh Hilya, bagian mana dari tubuhnya yang terluka? Mata melihat darah menetes cepat dari lengannya, seketika tubuhku mundur dengan sendirinya. Bayangan wajah Mbak Ayu berkelebat mengembalikan kenangan buruk itu."Tidak! Aku tidak bisa!" Kaki terus mundur me
“Kalian sudah akrab rupanya?” kelakarnya, sembari mendongakkan wajah.Wajahnya yang ditutupi topi, terlihat jelas sekarang.Lelaki itu? bagaimana mungkin ia begitu tega melakukan hal seperti ini pada Ibunya sendiri?“Apa kamu sudah tidak waras Mas?” tanyaku dengan tatapan heran.“Hm! apakah kamu berpikir aku yang sakit sekarang, dan bukan perempuan di sampingmu itu?” Mas Rian malah balik bertanya. “Seorang anak yang waras tidak akan memperlakukan Ibunya sendiri seperti ini Mas!” tegasku.“Hahahaha,” ia tertawa nyaring. Lalu, melangkah cepat ke ruangan wanita itu. Mas Rian mendongakkan dagu Ibunya dan menyanggahnya dengan tangan.“Apakah wanita seperti ini yang kamu sebut Ibu?” ucapnya tanpa melepaskan tatapan dari dua bola mata Ibunya yang ia tengakkan.“Apa kesalahannya hingga kamu berani seperti Itu pada Ibu mu sendiri Mas?” Aku mendekati pagar besi, hendak menolongnya dengan mencoba meraih tubuh itu. Tapi, karena jaraknya cukup jauh, aku bahkan tidak bisa memegangnya secuil pun.
Jam merangkak naik, matahari sudah mulai terasa hangat saat menembus kaca. pagi ini setelah Ibu mengetahui pekerjaan Ulfa, ia masuk ke kamar anak bungsunya dan kulihat mereka tergugu menangis. Saling memaafkan adalah jalan satu-satunya untuk merangkai kehidupan yang baru. Ibu sudah kembali bersemangat melanjutkan pekerjaanya di dapur membuat makanan untuk acara pengajian nanti malam bersama warga yang datang. Hanya membuat makanan rumahan yang bisa dibawa pulang warga sebagai sedekah untuk Ayah yang sudah berpulang.Bahan-bahan yang telah di beli Mas Aksa tadi pagi mulai kami olah menjadi beberapa makanan tradisional. Ulfa pun sudah ikut bergabung dan berbaur, meski situasi masih nampak canggung, lamat-lamat mencair juga.“Biar Ulfa yang menggunting daun pisang itu Bu,” pinta Ulfa mengambil alih pekerjaan Ibu. Wanita separuh baya itu memberikan gunting ke tangan Ulfa dan beralih pada pekerjaan lain. Sepertinya ia hendak memasak daging ayam untuk makan kami pagi ini.Mas Aksa tidak
Pikiranku tidak bisa lepas dari sosok seseorang yang berdiri dan melihat kami dari kejauhan, aku mencium sebuah ancaman, ketidak nyamanan dari pandangan itu. Sedangkan Mas Aksa, Ibu dan Ulfa tidak mengetahui hal ini. Jika kuceritakan sekarang, semuanya akan bertambah buruk, suasana hati mereka bisa saja semakin sedih dan kalut.‘Semoga ini hanya perasaanku saja,’ batinku, membuang napas untuk menghilangkan rasa gugup.Mas Aksa mengemudi mobil pelan, Ibu dan Ulfa saling merangkul di belakang, sedangkan aku merasakan kegelisahan dari hal yang lain. Bagaimanapun aku mencoba untuk tenang, kemarahan Mas Rian di dalam perpustakaan itu tidak bisa diabaikan.“Dia?” teriakku refleks menunjuk seseorang dibalik semak-semak.“Siapa?” tanya Mas Aksa. Ibu dan Ulfa pun ikut menengok.“Bukan siapa-siapa, aku salah orang,” jawabku cepat.Jelas itu adalah lelaki yang kulihat tadi di pemakaman, ternyata ia masih di sekitar sini dan belum pergi, siapa yang dia tunggu?Jalan kepemakaman ini sempit dan sed
Kami sampai di sebuah bangunan dua lantai dengan bentuk luar nampak seperti sebuah Klinik, dari alamat yang kutemukan inilah tempat salah satu Psikiater yang mendapat nilai baik di aplikasi, tempatnya pun tidak terlalu jauh dari rumah.“Mas turun, Yuk,” ajakku padanya. Ia hanya menatap sendu, polos layaknya anak kecil.Aku menuntunnya memasuki meja resepsionis, mengisi data dan menunggu jadwal berkonsultasi.Mas Aksa meringkuk, memegangi perutnya di atas bangku.“Kenapa Mas?” Matanya mengiba mendengar pertanyaanku.“Mas lapar ya?” Ia hanya mengangguk lemah.“Sebentar ya, Hilya beli dulu. Mas jangan kemana-mana," pesanku sebelum pergi.Bergegas aku mencari kantin di sekitar sini, membeli roti, beberapa cemilan dan air minum. Saat kembali ke dalam, bangku sudah kosong, Mas Aksa tidak terlihat ada di sekitar sana.“Kemana dia?” aku mulai panik, berlari mencari ke semua ruangan yang kemungkinan dimasuki.“Mbak lihat seorang pria berkaos putih tidak?" tanyaku pada seseorang yang tidak jauh
Perempuan di depanku saat ini masih menenggelamkan wajahnya diantara telapak tangan, isak tangis terdengar bergitu menyayat.“Benarkah Anda sangat menyesal telah berselingkuh?” tanyaku. Mungkin semua bisa berakhir lebih baik kalau mereka ingin memperbaiki kesalahan.Perempuan itu menengadah, menyeka air mata dan menatapku. Lalu, menggeleng.“Bukan itu,” jawabnya tercekat.Dahiku mengernyit, kalau bukan hal itu, lalu apa yang menjadi penyesalannya?“Maksud Anda?”“Aku tidak pernah menyesal mencintainya, dia adalah lelaki terbaik yang pernah menyayangiku.” Tangannya kembali menyeka sisa air mata terakhir yang terjatuh.“Seseorang yang berselingkuh dari pasangannya bukan orang baik, bagaimana mungkin Anda menilainya sebagai orang baik?” “Mh!” Mulutnya sedikit mencibir.“Dia adalah seorang suami yang rela mengorbarkan hati dan raga demi memenuhi keserakahan keluarganya yang haus akan kesenangan. Dia tidak sedikit pun melakukan dosa, karena kami menikah. Aku yang memintanya.”Mataku terbe
“Selain itu Bapak …,” ucapan Ibu terjeda. Genangan air mata berjatuhan, “Ia berselingkuh.”Mataku melotot mendengar kalimat terakhir Ibu. Mungkinkah ada rahasia yang masih belum terungkap?“Ayah selingkuh?” bibirku bersuara pelan.Ibu menatap kosong, membiarkan air matanya berjatuhan."Iya, sesekali Ibu membaca chat mesra mereka."“Mungkin Aksa tidak tahu hal ini,” lanjutnya.Rasanya aku tidak percaya mendengar perkataan Ibu. Otakku yang minimalis mencoba menyatukan potongan masalah di masa lalu mereka.‘Ayah di tangkap karena korupsi, menurut Mas Aksa ia melakukan itu untuk memenuhi sifat foya-foya Ibu dan anak-anaknya, sekarang Ayah selingkuh? apa mungkin ia menjual harga dirinya demi uang seperti Mas Ilham?’ apa karena itu Mas Aksa sampai meriang melihat pemandangan di Villa? berarti Mas Aksa tahu kalau ayahnya selingkuh, sehingga ia begitu trauma saat melihat kejadian yang sama?' Aku bermolog dalam hati.'Ya memang seperti itu adanya, sekarang perlahan aku bisa paham dengan posisi
Sikap Mas Aksa masih belum berubah meski kami sudah sampai di rumah, tak ada sedikit pun senyum, kata, atau amarah yang tergambar di wajahnya. Dia seperti orang yang kehilangan kesadaran pada dirinya sendiri. Aku tidak mengerti, kenapa efek dari terapi hipnosis itu masih belum hilang?Mas Aksa terduduk di sisi ranjang. Wajahnya pucat dan sayu, tatapan mata hampa, memandang ke ruang kosong. Melihatnya seperti ini membuatku begitu khawatir, ‘Apa mungkin saat ini Mas Aksa terjebak dalam masa lalunya karena pengaruh hipnosis, dan ia tidak bisa kembali?’ Mataku langsung melotot mengingat hal itu, bagaimana kalau ternyata ia benar-benar tidak bisa kembali dan terjebak dalam ingatan itu?Apa aku harus menghubungi Mas Rian lagi? tapi rasanya sungguh tidak nyaman, tatapan mata dan gelagatnya sedikit aneh hari ini. Aku akan menunggu perubahan Mas Aksa sebentar lagi.“Mas,” tanyaku sembari duduk di sampingnya, menepuk pundaknya pelan.Ia menoleh sesaat, lalu kembali memandang ruang kosong di had