Malam ini Arin tidur dengan rasa yang gelisah. Dia takut nanti Omanya Kaisar berbicara hal buruk mengenai keluarganya di depan Ibunya. Jika di depannya mungkin dia masih terima. Namun, jika Ibunya sampai sedih dan kepikiran ia sungguh tidak akan tega melihatnya. Arin bernjak menemui Ibunya ke kamar dengan perlahan menggunakan tongkat untuk sampai ke sana karena kakinya belum terlalu sembuh.“Bu,” panggil Arin dari luar kamar Narsih.“Rin. Masuk saja, nggak Ibu kunci,” sahut Narsih dari dalam.Arin memutar gagang pintu dan tersenyum saat mendapati Ibunya menyingkap selimutnya hendak mendekat.“Ibu di sana saja, Arin ada perlu sebentar sama Ibu.”Arin duduk di samping Narsih dan menyandarkan kepalanya di pundak sang ibu. “Kenapa?” tanya Narsih.“Bu, Arin bingung.”“Apa yang kamu bingungkan? Bukankah pernikahan kalian sebentar lagi? Sudah beristikharh bukan? Jodoh sudah Allah tuliskan untukmu, lalu apalagi yang kamu pikirkan?” taya Narsih dengan mengusap rambut panjang Arin.“Bukan itu,
Bel berbunyi, Narsih dan Arin sling berpandangan kaget.“Baru juga bilang, biar Ibu yang buka. Kamu ganti baju dulu sana.” Arin mengangguk dan melangkah dengan pelan menuju kamarnya.Narsih membuka pintu dan tampak wajah Oma yang tak senang datang ke rumah Arin. “Lho, Nak Kaisar datang. Silahkan masuk,” ajak Narsih.“Assalamualaikum,” salam Kaisar terlebih dahulu dibarengi salam dari Kenzi dan Irma serta Om Prass.“Waalaikumsalam, silahkan duduk, Bu, Mbak, Pak, saya buatkan minum dulu,” ucap Narsih hangat. Setelah Narsih mempersilakan duduk, dia ke kamar Arin untuk melihatnya sudah siap atau belum.“Rin, Oma sudah datang. Ibu mau buat minum dulu. Kamu sudah selesai ganti bajunya?” tanya Narsih. “Iya, Bu. Ini Arin keluar.”Arin keluar dengan perlahan mencoba berjalan tanpa alat penyangga. Ia tak ingin terlihat sakit di depan Oma Wira.“Oma, Om, Mbak,” sapa Arin kemudian mengulurkan tangan untuk bersalaman pada Oma Wira. Namun, sepertinya pertemuan pertama ini tidak dalam suasana yang
*Happy Reading"Irma terserah Mas Kaisar saja. Namun, Irma juga keberatan jika harus dinikahkan secara paksa bahkan Mas Kaisar sendiri tidak mencintai Irma. Karena sesuatu yang dipaksakan itu tidak baik," jawab Irma membuat Oma Wira kecewa."Dia hanya akan menurut, sesuai dengan keinginan Oma. Jadi keputusannya tidaklah penting! Oma ke sini hanya ingin menegaskan, batalkan pernikahan ini atau Kaisar jangan pernah lagi menginjakkan kaki ke kediaman Oma," teriak Oma menunjuk Irma."Maaf, Bu, jika saya sedikit menyela pembicaraan. Bukan begini caranya bermusyawarah, alangkah baiknya kita sebagai orang tua tanyakan kepada anak-anak apa yang mereka inginkan. Jika dirasa itu buruk kita wajib menasehatinya. Namun, jika mereka tidak berkenan bukan berarti kita bisa berperilaku sewenang-wenang. Kita harus paham bahwa umur kita sudah tidak lagi muda dan pasti akan sangat membutuhkan mereka untuk merawat kita di hari tua dan menjadi harapan kita. Jika kita sedari awal sudah menyakiti, tak menutu
"Iya, Bu. Ayah ini anak ke dua yang menikah dengan Ibu Kaisar yang statusnya juga janda. Jadi, Oma agak sensi mengenai ini. Sekali lagi, Kaisar minta maaf. Kaisar akan mengurus semuanya agar bisa berjalan dengan baik.""Iya, semoga ucapan ommamu tadi tidak menjadi kenyataan," ucap Narsih sendu."Nauzubillah, Bu namanya takdir 'kan hanya Allah yang tahu. Kita berdua hanya berusaha melakukan perintahNya. Menyangkut nasib Arin dan Mas Kaisar kedepannya hanya Allah yang menentukan," timpal Arin."Iya, kita berdua akan bersama-sama dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Berjuang dalam suka dan duka, saling menguatkan jika salah satunya sedang terluka. Bukan begitu, Rin?""Ehm! Udah bucinan nya disimpan saja buat besok. Hari ini kita harus ke Purwokerto. Kita harus membicarakan kejadian hari ini pada Kanjeng Mami. Terkait Oma, Kanjeng Mami pasti tahu cara mengatasinya," imbuh Kenzi."Ya, alangkah baiknya Mas Kaisar telepon dulu sama Mami. Siapa tahu Oma pulang dahulu ke Purwokerto, atau Oma
*Happy Reading"Oma tidak ke sini, Kai. Mungkin langsung pulang." Pesan yang dikirim Kanjeng Mami membuat Kaisar segera bertandang ke Purwokerto. Dengan kecepatan yang tinggi, tentunya karena Kenzi yang mengemudi. Bocah yang satu itu, mantan pembalap abal-abal pada jamannya."Jangan terlalu cepat, Ken. Kakak belum nikah," ucap Kaisar kesal."Biar cepet sampai!" sahut Kenzi dengan senyum termanisnya."Cepet sampai kuburan? Sini Kakak yang bawa mobilnya. Tepikan! Ngawur kamu," omel Kaisar."Iya, ini Kenzi pelankan." Kenzi menurunkan kecepatan mobilnya beberapa angka dan Kaisar mulai lega."Untung Omaklampir nggak balik lagi ke keraton Kanjeng Mami ya, Kak," celetuk Kenzi."Yang sopan panggil Oma, Ken.""Hehehe, habis nyebelin banget tuh Oma. Udah tua tapi masih suka jahat sama anak dan cucu sendiri, kenapa nggak manut aja gitu. Lagian kan kita anak baik, nggak mungkin juga durhaka sama orang tua," ujar Kenzi."Oma dari dulu memang keras dan otoriter. Tapi bagaimanapun, beliau orangnya b
"Sabar, Mam. Orang Tua memang kadang butuh kasih sayang lebih. Dulu kan Mami yang selalu bersama Oma, selalu di samping Oma, saat di Bogor, saat di Jakarta, Mami selalu bersama Oma. Mungkin Oma merasa kehilangan kita. Untungnya Arin dan ibunya memaklumi perkataan Oma," lirih Kaisar."Mami tak tahu jika semuanya akan seperti ini. Mami kira setelah sekian lama, Oma berubah baik pada kita. Nyatanya, masa lalu Mami membuat Oma selalu terganggu dan mengungkitnya. Di sana juga, Kai?""Ya begitu. Semua yang dulu-dulu dikatakan, hingga masalah keluarga hampir saja diutarakan. Beruntung Kai memotong pembicaraan itu agar tak berbuntut panjang. Apa sebaiknya kita ke Jakarta?" tanya Kaisar."Tidak usah. Hari H sebentar lagi, banyak yang harus dipersiapkan. Kita lihat nanti, jika keluarga ayahmu tak ada yang datang, selepas kamu menikah kita ke Jakarta sama-sama. Kita bisa jelaskan pada keluarga besar ayahmu dan sekalian minta maaf.""Mi, Kenzi nggak ikut ya? Malas!" celetuk Kenzi sambil memakan
Persiapan pernikahan sudah hampir 50 persen. Dari acara fitting baju hingga foto prewedding juga sukses dilakukan tanpa hambatan. Arin yang seharusnya khawatir akan kondisi setelah ini, justru terlihat lebih santai dan tak ambil pusing perihal masalah waktu itu.“Kenapa masalah undangan ini nggak kamu minta WO juga yang mengurus, Rin?” tanya Indah.“Mas Kaisar sengaja untuk hal ini, membuat desain sendiri. Nanti Meli sama karyawan yang lain urus percetakan undangan dan souvenirnya. Kita hanya sumbang ide, mereka yang merampungkannya.”“Kamu santai banget, Rin, setelah kejadian dengan kelurga ayah mertuamu itu?” tanya Indah saat sedang menulis daftar nama yang hendak dimasukan daftar kartu undangan.“Ya, aku harus gimana? Panik? Takut? Nggak harus gitu juga lah. Kalau aku ikut panik dan khawatir, yang nguatin Mas Kaisar siapa? Berpikir realistis saja, restu Ibunya sudah dikantongi. Perihal keluarga besar, pelan-pelan kami bisa selesaikan. Asal Mas Kaisar tetap seirama dan sepemikiran d
Suasana kekeluargaan yang tercipta sungguh sangat harmonis. Banyak candaan dan juga celotehan anak-anak dan juga para orangtua. “Assalamualaikum,” salam Kaisar yang baru datang sore ini.“Waalaikumsalam,” jawab semuanya kompak dari dalam.“Wah, ramai sekali di sini. Kebetulan Kai bawa banyak makanan dari kedai teman Kenzi yang baru buka. Bu, Ndah, ini mohon diterima.” Narsih menerima makanan yang dibawa Kaisar dan memberikannya pada Indah.“Makasih ya, Nak Kaisar. Dari tadi Bulik memang ingin makan, hanya saja sibuk ngobrol jadi lupa. Ada Nak Kaisar, langsung mengalihkan dunia kehebohan kami. Makasih Ayang, sudah diingetin makan,” celetuk Bulik Dina membuat semuanya menyorakinya. Bukan keluarga Arin namanya, jika hal yang sepele juga bisa menjadi bahan tertawaan.“Nak Kai duduk dulu, biar Ibu panggilkan Arin. Tadi dia di kamar, habis nulis nama tamu yang hendak diundang sama Indah,” ucap Narsih.“Ya, Bu.”Narsih segera masuk ke kamar Arin dan melihat anaknya itu sedang pulas tertidu