"Apa yang kalian semua lakukan di sini? Pernikahan? Kalian berdua menikah? Mas Raka itu suamiku, Kalea. Kau sahabatku. Kenapa kalian tega melakukan ini kepadaku?"
"Sah." Satu kata itu terdengar memekik telinga ketika diriku sudah berada diambang pintu rumahku di saat kepulanganku dari perantauan. Aku mendekat ke arah pasangan pengantin yang masih dengan tenang duduk di depan penghulu, tanpa menyadari kehadiran diriku yang sejak tadi menatap mereka. Tubuhku seketika lemas, saat melihat pasangan pengantin yang baru mengucapkan ijab qobul itu ternyata suami dan sahabat karibku sendiri. "Mas Raka ...." Suaraku tercekat ditenggoroka, ketika aku melihat suami dan sahabatku memakai baju pengantin warna putih. Wajah Mas Raka seketika terkejut melihat kehadiranku yang tiba-tiba ada di sana, di hari pernikahannya dengan Kalea. "Rania, kamu sudah pulang?" Lelaki itu tampak sedang meraih tanganku, lalu aku pun menepiskan tangannya dengan kasar. "Pertanyaanmu tidak penting, Mas. Sekarang jelaskan kepadaku! Apa maksud semua ini?" Aku bertanya dengan tatapan penuh amarah. Wajah Mas Raka seketika tampak gugup, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. "Aku sudah menikah dengan Mas Raka, Ran," sahut Kalea sembari merangkul lengan Mas Raka. Deg Seketika jantungku langsung mencelos ketika mendengar apa yang dikatakan oleh Kalea. "Apa? Menikah? Apa maksudmu? Mas Raka itu suamiku, kenapa kau merebutnya dariku?" Aku berucap dengan bibir mulai bergetar menatap nanar. "Tidakkah kau melihat saat ini aku dan Mas Raka sudah memakai kebaya pengantin? Apa kau tuli mendengar pak penghulu menyatakan kata sah saat ijab qobul tadi?" Kalea menyahuti ucapanku dengan wajah menatap penuh kemenangan. Sekilas attensiku terpaku pada tangan Kalea yang saat ini dengan mesra melingkar di lengan suamiku. "Lepaskan tanganmu dari suamiku! Dasar kau teman tak tau diri! Pelakor!" olok ku sembari kutepiskan tangan Kalea dari lengan suamiku. Kini attensiku beralih ke arah wajah suamiku yang sejak tadi hanya terdiam dan tak menjelaskan apapun kepada diriku. "Mas Raka, sekarang tataplah mataku! Jelaskan apa maksud semua ini, Mas? Kau menikah dengan sahabatku sendiri, disaat aku jauh darimu?" tanyaku dengan menahan rasa perih dalam dadaku. Lelaki itu tampak diam membeku, mencoba untuk tak menjawab pertanyaan dariku. Aku menggelengkan kepalaku, sambil menahan tangisan yang tak dapat aku tahan lagi sejak tadi. "KENAPA KAU DIAM SAJA MAS? KATAKAN, KEPADAKU, APA MAKSUD SEMUA INI?" Aku bertanya dengan menaikkan dua oktav nada bicaraku. "Maafkan aku Rania, aku terpaksa menikahi Kalea, karena saat ini dia tengah mengandung anakku." Bagai disambar petir, tubuhku seketika terasa lumpuh. Derai air mata tak tertahan lagi keluar dari pelupuk mataku. Tatapanku mulai kabur dan aku merasakan ini seperti sebuah mimpi buruk. "A-apa kau bilang, Mas? Kau menghamili wanita ini? Tega kau Mas, dia itu sahabatku." Aku mulai meluapkan amarahku dengan memukul dadaku sendiri yang terasa sesak. Mas Raka hanya terdiam membeku, wajahnya tak lagi bisa menjelaskan kepada diriku tentang pernikahan yang sudah terjadi dengan sahabatku karena sebuah dosa yang dia lakukan bersama dengan sahabatku disaat diriku pergi merantau jauh. "Kenapa kau diam, Mas? Apa kekuranganku hingga kau setega ini kepadaku? Kau berkhianat di belakangku dengan sahabatku sendiri?" Mulutku tercekat ketika aku mengatakan itu kepada Mas Raka. Tak terima Mas Raka terus aku sudutkan, dengan cepat Kalea membela Mas Raka yang kini menjadi suaminya. "Cukup Rania, kau jangan pernah menyudutkan suamiku lagi, semua ini terjadi begitu saja, kau juga harus tau kebutuhan biologis suamimu yang tak pernah bisa kau penuhi selama ini," sela Kalea dengan menatapku nyalang. Seketika wajahku menatap marah Kalea, ketika aku mendengar perkataan dirinya yang seolah menyudutkan diriku yang tak bisa memenuhi kebutuhan biologis suamiku, dikarenakan terpisah oleh jarak jauh. "Apa kau bilang? Kau pikir aku tidak bisa memenuhi kebutuhan biologis suamiku? Tidakkah kau tau, selama ini aku yang membanting tulang untuk keluarga ini, aku bekerja di perantauan hanya demi memenuhi kebutuhan ekonomi kami saat ini. Lantas, bagaimana aku bisa memenuhi kebutuhan biologis suamiku di saat aku jauh? Katakan kepadaku! Bagaimana aku harus memenuhi kebutuhan biologisnya di saat keadaan ekonomi kami saat itu terpuruk. JAWAB!" Sentakku menyorot tajam pandanganku ke arah Kalea dan Mas Raka. Keduanya langsung terdiam dan tak sanggup berkata-kata lagi. Nampak wajah Kalea sudah mulai gugup ketika aku skakmat perkataannya. "Inilah caramu membalas pertemanan kita sejak dulu? Tidak ingatkah dirimu ketika kamu jatuh, akulah yang saat itu menolong dirimu? Lantas inikah caramu membalas semua yang aku lakukan kepadamu? Kau merebut suamiku di saat aku sedang merantau untuk memperbaiki ekonomi kami?" Seketika aku pun mulai meluapkan amarahku kepada Kalea. Keduanya tampak terdiam dan tak mengatakan apapun ketika aku mulai menghardik mereka berdua. "Rania, maafkan aku. Kau juga harus mengerti tentang kondisiku saat itu, aku lelaki normal dan hanya Kalea yang saat itu mengerti kondisiku dan kebutuhanku," ungkap Mas Raka tanpa merasa bersalah sedikitpun kepadaku. Seketika aliran darahku langsung mendidih mendengar perkataan suamiku kala itu. Wajah kerinduanku akan suamiku kian memudar tertutupi amarahku yang siap meletus bagaikan gunung merapi. "Apa kau bilang? Kau ingin aku mengerti tentang kondisimu? Sementara aku yang membanting tulang untuk kebutuhanmu?" balasku tak kalah sengitnya. Aku menarik nafasku dengan panjang, ketika aku hendak meneruskan perkataanku yang terpotong, tercekat ditenggorokanku menahan rasa sakit hatiku. "Lalu uang yang aku kirimkan kepadamu saat ini, kau gunakan untuk apa? Kau pernah bilang jika rumah itu untuk membangun sebuah rumah masa depan kita, apakah rumah yang kau maksud adalah rumah ini? Rumah yang aku bangun di atas keringatku dan kau gunakan untuk membangun masa depan dengan sahabatku yang tak tau malu ini?" sungutku dengan menghardik mereka. Keduanya tak menjawab dan seolah tertampar oleh perkataanku. Pertengkaran kami yang memanas, membuat semua para tamu yang hadir tampak memperhatikan kami yang ada di dalam. Tak lama kemudian, ibu mertuaku datang menemui kami dan menyela ucapan kami. "Maaf Rania, pernikahan ini sudah terjadi, kau jangan terus-terusan menghardik Kalea dan Raka, saat ini dia sedang mengandung cucuku," pungkas Ibu Eni yang tak lain adalah mertuaku. Seketika aku pun menatap marah, mertua yang sudah aku anggap sebagai ibu sendiri, tampaknya merestui hubungan terlarang mereka. "Apa yang Ibu katakan? Aku menghardik mereka? Di mana letak kesalahanku saat ini? Anakmu yang pengangguran itu membuatku harus membanting tulang mencari nafkah untuk membantu ekonomi keluarga ini. Apakah ini balasannya atas pengorbananku selama ini, Bu? Katakan, Bu!" Aku meluapkan semua emosiku yang sudah mulai meledak saat semuanya mulai memojokkan diriku. Ibu mertuaku tampak marah menatapku, dia tidak terima dengan ucapanku, ia pun seketika melayangkan tangannya ke arah pipi ku dengan keras. Plaaak! Satu tamparan kini mulai mendarat padaku dan memberikan rasa panas di sana. "Berhentilah untuk menghina anakkku! Rania," ucap Bu Eni dengan nada marah. Aku memegangi pipiku dengan menahan rasa sakit akibat tamparannya. "Anakmu memang pecundang, Bu!" olokku menatap geram. Mendengar itu, Mas Raka mulai mengarahkan tangannya ke arah wajahku, dengan cepat aku pun menahan tangannya. "Jangan pernah kau layangkan tanganmu ke wajahku, Mas!" Sergahku dengan menatap marah dan menepiskan tangan Raka dengan kasar. Keadaan mulai memanas hingga Ibu mertuaku menghentikan pertikaian kami. "Rania, sudahi saja pertikaian kalian, semuanya tidak ada gunanya jika kamu terus-menerus menghina anakku Raka, pernikahan ini sudah terjadi," lerai ibu Eni. "Tapi aku tidak terima dengan pernikahan suamiku! Suruh dia bercerai dengan Kalea!" tuntutku kelada ibu mertuaku. Semuanya tampak tersentak dengan permintaanku saat ini. "Apa kau sudah gila? Dia sedang mengandung anakku, Rania!" sahut Mas Raka dengan nada marah. "Tapi aku tidak terima dia menjadi maduku!" tolakku dengan keras. "Terserah dirimu. Kau harus terima pernikahan ini dan menghormati dia sebagai madumu!" tegas Mas Raka mengatakan itu kepadaku. "Apa kau bilang? Menghormati wanita yang sudah merebut suamiku dariku? Tidak akan, Mas! Sekarang kau pilih aku atau dia yang menjadi istrimu, Mas?" Tak terima, aku pun memberikan sebuah pilihan kepada suamiku. "Maaf Rania, terpaksa harus aku katakan. Aku lebih memilih Kalea dari pada dirimu, jadi berhentilah membuat pilihan kepadaku, terima Kalea sebagai madumu, atau kau akan kehilangan diriku," ancam Mas Raka menatap penuh intimidasi. Seketika tubuhku merosot ke bawah ketika mendengar perkataan suamiku.Aku terdiam, lidahku mulai kelu, seakan tak mampu mengeluarkan kata apapun saat mendengar pertanyaan suamiku yang lebih memilih wanita itu dari pada aku.Perasaan marah dan kecewa sudah menyatu dalam benakku.Dalam hatiku, pertanyaan-pertanyaan pun mulai meluncur, kenapa suamiku bisa setega ini kepada diriku, menikahi Kalea yang tak lain adalah sahabatku, begitu pun sebaliknya, saat ini banyak pertanyaan dalam pikiranku tentang Kalea, mengapa dia bisa setega ini merebut suamiku, setelah aku menolong dirinya dari keterpurukan saat diceraikan oleh suaminya."Kenapa kamu lakukan ini kepadaku, Mas? Apa salahku? Bukankah aku selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk keluarga kita?"tanyaku, menatap nanar wajah suamiku.Selama lima tahun, aku rela bekerja keras hingga berada di luar negeri, semuanya demi membangun kehidupan kami berdua lebih baik.Akan tetapi, saat aku memutuskan untuk kembali ke rumahnya dan kembali ke pelukan suaminya, yang ada hanyalah sahabatku yang kini berubah sta
Setelah menyaksikan rumah itu telah hancur luluh lantak di atas tanah, aku tersenyum puas di dalam hati."Akhirnya, balas dendamku terlunasi, dengan cara ini, aku sudah meminta hak atas rumah yang aku bangun dari keringatku," gumamku pelan.Tampak mereka mulai mengumpati dan mengusirku. Aku tak peduli, karena yang penting bagi ku adalah kebahagiaan ibuku. Dengan langkah tegap, aku meninggalkan tempat itu menuju ke rumah ibuku yang berada di kota lain, tak jauh dari rumah ibu mertuaku.Sementara itu, Ibu mertuaku tampak pingsan saat melihat rumah yang ku bangun sudah luluh lantak karena buldozer yang menghancurkannya.Sebuah penyesalan terbersit di benakku. Namun terlalu larut untuk merasa bersalah, ketika melihat Mas Raka akan menempati rumah itu bersama dengan istri barunya yang tak lain adalah sahabatku sendiri.Saat aku hendak pergi meninggalkan tempat tersebut, tampak Mas Raka menghalangi langkahku, menatapku dengan marah dan mulai menuntut diriku."Kau harus ganti rugi! Ini adala
Aku merasa seperti hatiku tercabik-cabik saat melihat ibuku yang tak sadarkan diri, sepertinya aku hancur saat menyadari keadaannya."Bu, bangun, Bu!" Usapanku penuh ketakutan, berusaha membangunkan ibu yang masih tak bisa meresapi kenyataan di hadapannya.Pak RT, dengan bantuan petugas kepolisian, buru-buru mengangkat ibuku ke kamar, berusaha menolongnya kembali pada kesadarannya. Hatiku merasa tertekan saat menunggu keadaan ibuku."Bu, tolong bangun Bu, jangan buat aku takut seperti ini. Maafkan atas semua masalah yang sudah Rania timbulkan saat ini," ucapku dengan pelan, dan berharap ibuku mulai mendengar.Setelah beberapa menit yang terasa seperti seabad, mata ibuku mulai terbuka perlahan, seketika itu juga aku memeluk tubuhnya erat-erat."Bu, apa Ibu sudah sadar?" tanyaku dengan suara yang hampir tercekat oleh tangis.Melihat ibuku sudah mulai tersadar, Pak RT tampak mengambil segelas air putih dan memberikan minuman itu kepada ibuku, ku lihat Ibuku langsung meminumnya hingga ta
Aku terpaksa menerima keputusan ini, karena aku tidak ingin merepotkan ibuku untuk menanggung kerusakan rumah yang aku timbulkan saat ini.Apalagi Mas Raka tengah menuntut banyak kepadaku saat ini, aku pun tidak mau merepotkan ibuku dengan masalah yang sudah aku timbulkan saat ini.Ku tatap Ibuku yang saat ini tampak sangat prihatin dengan apa yang terjadi kepada diriku saat ini.'Maafkan Rania Ibu, ini adalah keputusan yang terbaik. Aku tidak ingin menyusahkan ibu,' gumamku dalam hati. Tak ingin ibuku akan kepikiran dengan masalah yang aku hadapi ini, aku pun setuju untuk ikut dengan Mas Raka pulang ke rumah dan sementara harus mengganti DP kerusakan rumah itu dengan tenagaku. Sementara, ibuku tidak setuju dengan keputusanku saat ini.Saat aku hendak melangkahkan kakiku pergi bersama dengan Mas Raka, tiba-tiba aku mendengar suara parau dari belakang, seketika ku hentikan langkah kakiku dan aku menoleh ke belakang, aku terkejut saat ibu berlari mengejar diriku dan langsung memeluk tu
Aku terkejut mendengar ucapan Mas Raka. Di saat aku tengah berusaha memikirkan bagaimana mengganti kerugian dari rumah yang hancur karena keringatku sendiri, Mas Raka justru dengan santai mengajakku ke rumah barunya yang juga dibangun berkat jerih payahku."Ini rumah baru Mas Raka? Apakah dia juga membangun ini dari hasil keringatku? Ya Allah, selama ini uang yang aku dapatkan dari keringatku sendiri dia gunakan untuk apa saja? Jika hasil dari keringatku, bukankah seharusnya aku yang tinggal di rumah semewah ini?" gumamku dalam hati.Aku bertanya dengan wajah geram, "Dari mana Mas Raka mendapatkan uang untuk membangun rumah ini?" Mas Raka hanya tersenyum mengejek, tanpa rasa bersalah sedikit pun kepadaku."Apa aku salah? Apa aku terlalu naif dalam melihat kebaikan orang?" pikirku semakin marah. "Kenapa kamu masih bertanya, Ra? Apa perlu aku mengatakan ini padamu?" tantang Mas Raka sambil menatap wajahku.Saat itu aku merasa seperti mendapatkan tamparan keras, mengingat betapa besar p
Saat aku berada di dalam kamarku cukup lama, Mas Raka tampak menggedor pintu kamarku yang sedari tadi aku kunci pintunya. "Rania! Cepat kamu buka pintunya! Jangan banyak bertingkah di sini! Cepat keluar atau aku akan dobrak pintu kamarmu!" seru Mas Raka dengan menaikkan dua oktav nada bicaranya. Rasanya telingaku mau pecah saat itu, hingga akhirnya aku pun membuka pintu kamarku. "Ada apa Mas?" sungutku dengan menatap kesal wajah Mas Raka. "Apa aku tadi membawamu ke sini untuk menyuruhmu tidur saja? Banyak perkejaan yang harus kau bereskan! Setelah itu, kamu masaklah sesuatu untuk Kalea. Sebentar lagi dia waktunya makan," titah Mas Raka yang membuatku seketika langsung menggelengkan kepalaku. "Manja sekali istrimu itu? Apa dia tidak bisa masak sesuatu untuk dirinya sendiri?" sahutku dengan menatap kesal ke arahnya. "Apa kamu tidak lihat? Saat ini dia sedang hamil?" sahut Mas Raka dengan menatap marah kepadaku. "Aku lihat banyak wanita hamil tapi bisa melakukan aktivitas sehari-ha
Hampir satu bulan lamanya aku berada di sana, dan aku pun sudah tak tahan lagi melihat kemesraan mereka yang sengaja mereka umbar di hadapanku, aku pun memutuskan untuk mengakhiri biduk rumah tanggaku.Saat itu Mas Raka tidak mau melepaskan aku, karena DP belum sepenuhnya tuntas aku berikan.Tak tahan dengan semua itu, aku pun terpaksa memberikan kalung emasku seberat 10 gram sebagai pembayaran sisa DP dan juga uang cicilan ganti rugi rumah yang sudah aku hancurkan.Saat aku hendak berpamitan, aku meminta sesuatu kepada Mas Raka dan saat itu juga permintaanku telah dikabulkan oleh Mas Raka.Lega, kecewa dan sekaligus sangat sedih tentunya. Namun, dengan perceraian ini, aku akan bebas dari ikatan yang akan menghantuiku dan membuatku semakin tidak ikhlas menerima pernikahan mereka.Aku akhirnya keluar dari rumah itu dengan status janda.Perdih rasanya saat aku harus mengakhiri pernikahan ini dengan laki-laki yang aku cintai sepenuh hati. Namun, takdir membawa kami pada perceraian yang t
Setelah memperoleh restu dari ibuku, aku segera mengambil keputusan untuk melamar pekerjaan di Perusahaan PT. Bintang Gemilang Abadi.Dalam waktu singkat, lamaran kerja yang kukirimkan melalui email mendapatkan balasan.Mereka menantikanku untuk datang mengikuti wawancara pekan depan. Betapa bersyukurnya hatiku saat itu, seolah Allah telah mengabulkan doa yang terpanjat di bibirku.Seketika itu juga aku pun segera memberitahukan kepadaku ibuku dan, aku pun berkemas dan mempersiapkan semua keperluanku untuk pergi merantau."Bu, Rania dapat panggilan wawancara minggu depan," ucapku seraya menunjukkan email tersebut kepada ibuku.Raut wajah bahagia terpancar dari ibuku. Namun, ada kepedihan yang tersembunyi di belakang senyumnya.Aku tahu apa yang ibuku rasakan saat ini, tentu karena hatinya belum sepenuhnya rela untuk melepaskan aku merantau jauh darinya.Mencoba mencari tahu perasaan ibu, aku bertanya padanya, "Ibu, kenapa wajahmu sedih? Bukankah Ibu seharusnya bahagia karena Rania bis
Setelah pemakaman ibuku, aku hanya duduk di dekat pusaranya, memandangi gundukan tanah yang masih basah. Airmataku tak tertahankan jatuh mengalir deras dari pelupuk mataku. "Mama... kenapa harus sekarang mama meninggalkan Raka sendirian? Raka masih butuh mama," bisik hatiku, tenggelam dalam kepedihan. Aku meratapi semua kenangan yang kulewati bersama ibuku, mengingat betapa besar pengorbanannya untukku.Meskipun ibuku memiliki sifat jahat. Namun, kasih sayang dan perhatian yang dia berikan kepadaku tidak lekang oleh waktu."Kenapa mama meninggalkan aku saat aku seperti ini?" tanyaku pada pusara mamaku yang masih basah, mencari jawaban yang tidak akan pernah kudapat. Seiring berjalannya waktu, aku tetap enggan beranjak dari sisi pusara ibuku. Hingga akhirnya, Attala datang menghampiriku, menepuk pundakku pelan. "Bersedih boleh, Raka, tapi jangan kamu sampai meratapi kematian ibumu di tanah yang masih basah," ucapnya, mencoba membawaku kembali ke kenyataan. Merasa sakit yang tidak
Suasana menjadi semakin haru saat aku melihat ibuku meneteskan air mata, tanda penyesalan yang begitu dalam. Saat aku mendengar ucapan ibuku yang seolah sedang memberikan sebuah pesan terakhir untuk semua orang, seketika membuat tubuhku merinding.Entah mengapa aku merasa sesuatu yang tak enak di sana.Tak lama kemudian, ibuku kembali berkata pada Kalea, "Ibu minta maaf atas apa yang sudah ibu lakukan kepadamu, Kalea. Ibu telah menyakiti dirimu dan membuatmu menerima fitnah yang sengaja ibu buat bersama Andini demi memisahkan kalian berdua." Isak tangis ibuku semakin keras, seiring dengan penyesalan yang saat ini dia rasakan.Hatiku terenyuh, teriris oleh kesedihan yang kini harus ibu rasakan. Tapi apa boleh buat, semua ini akibat perbuatan ibuku sendiri di masa lalu.Namun, aku mencoba memahami apa yang sebenarnya ibu rasakan saat ini. Ibuku melanjutkan, "Ibu tahu bahwa kesalahan yang sudah ibu lakukan tidak pantas untuk mendapatkan maaf. Namun, saat ini ibu sudah menerima hukuman a
Aku terkejut saat mendengar apa yang diucapkan oleh mamaku, seolah apa yang dikatakannya itu adalah sebuah pesan terakhir untuk diriku. "Mama, jangan bicara aneh-aneh. Mama pasti akan sembuh setelah ini," ucapku, mencoba menguatkan mamaku yang tampak lemah.Mama menatapku dengan sorot mata yang berkaca-kaca, dan tangisan tak mampu lagi ditahannya. Ia bahkan meminta maaf kepadaku, membuat hatiku sangat terharu dan sedih. Aku pun larut dalam suasana kesedihan ketika mamaku mengatakan itu dengan penuh penyesalan."Maafkan Mama, Raka. Mama sudah membuat keluargamu hancur, dan kini kamu telah kehilangan semuanya. Mungkin ini balasan yang seharusnya Mama terima," ujar mamaku dengan isak tangis yang membuatku seketika larut dalam tangisan."Tidak, Ma. Jangan bicara begitu lagi. Raka juga bersalah dalam hal ini, semuanya karena Raka yang terlalu egois dan terlalu mengejar dunia hingga Raka menjadi orang tampak," ungkapku, tak mampu menahan air mata. Aku mencium punggung ibuku, mencoba untu
Aku terdiam sejenak, mencerna apa yang Arif katakan kepadaku. Saat ini, ekonomi benar-benar menurun drastis dan tawaran Arif terasa sangat aku butuhkan saat-saat seperti ini."Apakah dia mau membantuku? Tapi, bagaimana kalau Rania menolak membantu?" gumamku penuh kekhawatiran.Arif tampak tahu apa yang ada di benakku, dia tahu jika saat ini aku ragu akan Rania dan Attala mau membantuku.Dia tahu apa yang sebenarnya terjadi antara diriku, Kalea dan Rania di masa lalu."Aku sedikit ragu jika dia akan membantuku setelah apa yang aku lakukan di masa lalu. Kesalahan yang aku lakukan benar-benar sangat fatal, hingga aku membuat dirinya benar-benar kubuat sangat menderita. Entah mengapa aku tidak yakin jika dia mau membantu diriku saat ini," ungkapku penuh penyesalan.Arif menatap simpati kepadaku, dia berusaha untuk meyakinkan diriku saat ini, meskipun aku masih ragu jika Rania dan Attala mau memberikan bantuannya kepadaku."Jangan berpikiran buruk soal Rania dan Pak Attala. Mereka orang
Aku merasa terkejut sekaligus bingung saat mendengar tawaran yang diberikan Arif. Sebenarnya, dalam diriku ingin menolak tawaran tersebut. Namun, situasi yang sedang aku alami saat ini membuatku merasa tidak punya pilihan lain. "Benarkah ini satu-satunya jalan untuk keluar dari kondisi ini? Aku harus menerima tawaran Arif untuk bekerja menjadi sopir kantor Attala, suami Rania? Apa yang mereka pikirkan setelah tahu aku mau melamar bekerja di sana? Apakah mereka akan mentertawakan nasibku?" batinku sedih sekaligus bingung menentukan pilihanku. Tapi aku berpikir kembali, sudah seminggu ini aku lelah menjadi tukang parkir yang harus selalu bersaing dengan preman-preman untuk mendapatkan lahan. "Jika aku tidak menerima tawaran ini, aku akan menjadi tukang parkir dengan penghasilan tak menentu dan aku akan mengecewakan ibuku," pikirku lagi penuh kebimbangan.Akhirnya, dengan perasaan berat, aku menerima tawaran Arif. "Baiklah, aku mau, kapan aku bisa bekerja?" tanyaku dengan tatapan ma
Aku merasa bingung saat melihat ibuku yang tampak sangat gugup ketika aku memintanya untuk meminta maaf kepada Kalea. "Mama belum siap, Raka. Mama takut jika dia tidak akan memaafkan Mama," ujar mamaku sambil menatap wajahku bingung.Aku pun berusaha untuk mengerti perasaan ibuku, tapi aku tak bisa menahan rasa ingin tahu, apa yang sebenarnya membuatnya begitu takut. "Apa yang membuat Mama takut? Apakah ini karena dia merasa bersalah dengan apa yang dia lakukan?" gumamku dalam hati. Mungkin aku memang harus memberikan waktu untuk ibuku meminta maaf kepada Kalea. Akhirnya, setelah kami berbicara cukup lama, aku putuskan untuk mencari kos yang murah di dekat sini. Namun, sayangnya kos yang ada di depan rumahku harganya cukup mahal. Seolah tak ada pilihan lain, aku terpaksa mencari kos di dekat rumah yang sekarang sudah kujual kepada Arif. Saat kami tiba di depan tempat kos tersebut, beberapa tetangga yang mengenal kami tampak terkejut melihat kami di sana.Mereka sepertinya sedang
Aku mencoba menenangkan perasaanku ketika melihat ibuku sudah mulai gugup dan terlihat dia sedang menyembunyikan sesuatu. Mungkinkah saat ini ibuku mulai cemas saat Nadia mengatakan itu kepada ibuku?Apakah ibuku saat ini mulai merasa bersalah dengan apa yang dia lakukan kepada Nadia? Aku benar-benar sangat malu dan menyesal ketika tahu ibuku sendiri yang tega melakukan itu kepada Nadia.Demi memisahkan diriku dengan Nadia, dia rela berbuat fitnah dan membuatku percaya dengan apa yang dia katakan.Nadia tampak menatap penuh amarah, ketika dia baru saja mengatakan sesuatu yang membuat ibuku menjadi sangat gugup. Hatiku semakin percaya jika selama ini ibu yang berperan dalam penderitaan Nadia.Apakah benar ibuku telah membuat Nadia merasa seolah-olah kehilangan rahimnya karena bekerja sama dengan Andien waktu itu?Ketika kesadaran itu menerjang benakku, rasa menyesal pun menyusul, membuatku ingin segera meminta maaf kepada Nadia. "Nadia," kataku dengan suara serak,"Sebenarnya aku i
Aku, Raka, saat itu mendengar sekilas tentang Arif yang sedang menelpon seseorang. Entah mengapa, perasaan aneh muncul di benakku, seolah yang dia telpon adalah Attala, suami Rania.Aku ingin sekali mengonfirmasi perasaan ini, ingin menanyakan kepada Arif siapa sebenarnya yang sedang dia telpon. Namun, aku ragu. Aku takut jika nanti Arif tersinggung dan membuat diriku kehilangan kesempatan untuk bekerja di perusahaan tempat Arif bekerja saat ini. Apakah benar yang dia telpon adalah suami Rania? Ataukah ini hanya perasaanku saja? Arif mulai berpamitan kepadaku. "Maaf Raka, aku harus kembali ke tempat kerja, bosku sedang menelpon," ujarnya. Aku tersenyum tipis, menahan rasa penasaran yang mengusik hatiku.Tak lama kemudian Arif pergi meninggalkanku. Aku terdiam, melihat punggung Arif yang semakin menjauh. Entah apa yang harus kulakukan, mungkinkah aku salah? Aku tersentak dari lamunan, sejenak melupakan perasaan cemas yang tadi menggangguku. Kemudian aku kembali untuk menyusul ibuku,
Aku, Raka, terperangah saat mendengar pengakuan yang Arif sampaikan kepadaku. Betapa tidak, kebenaran mengenai rahim Kalea yang sebenarnya tidak diangkat membuatku terpukul dan sulit untuk mempercayainya.Ternyata selama ini, ibuku telah berbohong kepadaku. Bagaimana mungkin aku bisa begitu percaya dengan ucapan ibuku yang, waktu itu, bersekongkol dengan seorang dokter yang menggantikan dokter Ridwan di rumah sakit itu. Aku merasa frustrasi dan hampir tak bisa menerima kenyataan saat Arif mengungkapkan semua itu kepadaku. "Mengapa Mama begitu tega melakukan ini padaku dan Kalea? Apakah ini memang rencananya sejak awal?" gumamku dalam hati, merasa tertipu oleh orang yang seharusnya paling aku percayai. Arif menceritakan secara detail kejadian saat itu, tak ada yang dia sembunyikan ketika dia mengungkapkan semuanya. Di dalam hati, aku merasa semakin hancur mendengar kebenaran ini. "Bagaimana aku bisa memaafkan Mama setelah kejadian ini? Apakah Kalea akan mampu melupakan semuanya d