Aku merasa seperti hatiku tercabik-cabik saat melihat ibuku yang tak sadarkan diri, sepertinya aku hancur saat menyadari keadaannya.
"Bu, bangun, Bu!" Usapanku penuh ketakutan, berusaha membangunkan ibu yang masih tak bisa meresapi kenyataan di hadapannya. Pak RT, dengan bantuan petugas kepolisian, buru-buru mengangkat ibuku ke kamar, berusaha menolongnya kembali pada kesadarannya. Hatiku merasa tertekan saat menunggu keadaan ibuku. "Bu, tolong bangun Bu, jangan buat aku takut seperti ini. Maafkan atas semua masalah yang sudah Rania timbulkan saat ini," ucapku dengan pelan, dan berharap ibuku mulai mendengar. Setelah beberapa menit yang terasa seperti seabad, mata ibuku mulai terbuka perlahan, seketika itu juga aku memeluk tubuhnya erat-erat. "Bu, apa Ibu sudah sadar?" tanyaku dengan suara yang hampir tercekat oleh tangis. Melihat ibuku sudah mulai tersadar, Pak RT tampak mengambil segelas air putih dan memberikan minuman itu kepada ibuku, ku lihat Ibuku langsung meminumnya hingga tandas. Ibuku perlahan mengedarkan pandangannya ke arah orang-orang yang ada di sekitar kami, tampak wajahnya mulai shock saat melihat petugas kepolisian dan juga Mas Raka di sana. Perlahan Ibuku mulai mencoba untuk bangkit dan berusaha untuk kuat, agar bisa memberikan dukungannya kepada diriku. "Aku baik-baik saja, Ibu tadi hanya shock saja. Sekarang, ibu sudah lebih tenang dan biarkan ibu tau masalah kalian," kata ibuku dengan memegangi tanganku. Aku pun mengusap air mataku, menahan haru, ketika ibuku tampak berusaha tegar di hadapanku. Beberapa saat kemudian, kami pun akhirnya ke ruang tamu dan menjelaskan duduk permasalahan yang terjadi diantara aku dan Mas Raka. Perlahan aku pun menjelaskan apa yang terjadi kepada ibuku. Saat ibu mendengar penuturanku, seketika ibuku shock kala aku mengatakan jika Mas Raka menikahi Kalea, sahabatku sendiri dan saat ini sedang mengandung anak Mas Raka. Aku yang menahan perasaan sakit hatiku, mencoba untuk menahan air mataku agar tidak keluar saat itu. Sebagai orang tua, tentu saja ibuku tidak terima, jika aku dimadu oleh Mas Raka. "Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah ridho, jika kau menikah lagi dengan wanita lain, Raka." Ibuku tampak sedang memprotes Mas Raka dengan menahan tangisannya. Mas Raka tampak gugup saat itu, tapi dia mencoba untuk menyembunyikan itu dari kami. "Maaf Bu, saya sudah menikah dengan Kalea, dan dia sedang mengandung anak Raka. Lagi pula saya dan Rania hanya menikah dibawah tangan saja, sampai saat ini kami belum melakukan pernikahan secara hukum, jadi saya tidak perlu lagi meminta ijin untuk menikah lagi," kaya Mas Raka yang seketika membuat hatiku sangat hancur. "Apa yang kau katakan, Mas?" tanyaku menatap wajah Mas Raka yang saat ini menatap diriku tanpa perasaan bersalah sedikitpun kepadaku. "Itu memang benar Rania. Aku dan kamu dulu hanya menikah dibawah tangan saja, karena saat itu kita masih belum memiliki biaya untuk menikah. Dan saat ini, aku sudah menikah dengan Kalea secara agama dan secara hukum," kata Mas Raka yang seketika membuat hatiku benar-benar hancur. "Tega kamu, Mas! Kucari jalan untuk membantu perekonomian kita, tapi apa yang kamu lakukan? Kamu menikah secara sah dengan dirinya dan kamu malah membiarkan status pernikahan kita hanya dibawah tangan? Padahal selama ini aku yang mengirimkan uang kepadamu, Mas," balasku menahan rasa sesak di dadaku. Mas Raka sempat terdiam ketika aku mengatakan itu kepada dirinya. "Kau ini bagiamana, Raka. Istrimu banting tulang di negri orang, tapi kenapa kamu malah melakukan perbuatan Zina dengan wanita lain? Kau tidak punya perasaan, Raka. Selama ini,apa yang tidak diberikan oleh anakku kepadamu?" sahut ibuku dengan nada berapi-api. Tampak Mas Raka hanya tertunduk saja, saat kami sedang memojokkan dirinya. Sementara orang-orang yang berada di dalam sana, tampak menyimak apa yang kami katakan dan tidak mau mencampuri urusan rumah tangga kami. Sementara itu, Mas Raka yang saat itu tampak menatap kesal kepadaku dan ibuku, ketika kami berdua sedang menghardik dirinya, seketika langsung membentak kami dan mengalihkan pembicaraan ke topik semula. "Aku ke sini bukan untuk membahas itu! Aku ke sini untuk membahas rumah ibuku! Aku tidak mau tau, kau harus mengganti rugi atas kerusakan yang kau timbulkan akibat ulahmu sendiri!" seru Mas Raka dengan menaikkan dua oktav nada bicaranya. "Tapi aku yang membangun rumah itu, Mas. Ibumu hanya memiliki tanah saja dan tidak memiliki hak bangunan rumah itu. Aku yang membangun rumah itu dan aku juga berhak menghancurkan apa yang sudah aku bangun dari jerih payahku," protesku dengan nada semakin marah kepadanya. "Apa kau bilang? Ibuku hanya memiliki tanah saja? Ini bukti surat tanah dan bangunan milik ibuku!" Mas Raka melemparkan copyan surat sertifikat rumah ke arahku, membuatku seketika langsung terkejut saat melihat itu. "A-apa? Kau sudah mengurus surat tanah dan bangunan atas nama ibumu? Kau sungguh licik, Mas!" tanganku bergetar saat membaca sertifikat rumah itu dari Mas Raka. Sungguh, aku tidak menyangka jika Mas Raka bisa melakukan ini kepadaku, padahal sudah jelas-jelas aku yang membangun rumah itu dari hasil jerih payahku. "Kau sudah lihat sendiri, bukan? Itu adalah rumah milik ibuku, sebaiknya kau tanda tangan surat pernyataan ini atau aku akan menuntut dirimu secara hukum," ancam Mas Raka seketika membuat jantungku seperti terkena serangan jantung. Aku benar-benar sangat bingung saat itu, uangku sudah habis aku kirimkan kepada Mas Raka, hingga menyisakan sedikit saja. Tidak mungkin jika saat ini aku gunakan untuk menyicil ganti rugi yang diminta oleh Mas Raka. "Tapi Mas ...," ucapanku terpotong oleh salah satu petugas kepolisian. "Sebaiknya Ibu mengganti rugi saja dan memilih jalan kekeluargaan. Mungkin jika Ibu belum memiliki untuk membayar ganti rugi itu sekarang, Ibu bisa mencicil ganti rugi itu sedikit demi sedikit," sahut salah satu petugas kepolisian itu memberikan saran kepada diriku. Seketika air mataku mulai jatuh, merasakan sakit luar biasa, ketika aku dihadapkan cobaan yang bertubi-tubi setelah aku kembali dari negri orang. Ibu tampak memelukku dan mencoba untuk menenangkan diriku. Sementara itu, Mas Raka pun memberikan keringanan untuk mencicil ganti rugi itu kepadaku sampai beberapa kali tempo pembayaran. Saat ia meminta aku membayar ganti rugi itu sebesar sepuluh juta di awal, aku pun menolak dan memintanya untuk memberikan aku waktu. Namun, Mas Raka menolak dan memintaku untuk ikut dengannya, membayar DP itu dengan tenagaku untuk mengurus rumah yang ditinggalinya bersama dengan Kalea. Seketika aku pun terkejut dengan apa yang diminta olehnya. "Apa? Kau ingin menjadikan aku sebagai pelayan di rumahmu?" tanyaku menatap tak percaya. "Aku tidak mengatakan itu, tapi jika kau tidak mau memberikan aku uang ganti rugi di awal, maka pilihanmu hanya itu," kata Mas Raka membuatku merasakan sakit hati yang luar biasa. Mendengar itu, seketika ibuku langsung marah dan hendak memberikan tabungan hajinya kepadaku untuk aku gunakan membayar ganti rugi. Namun, aku pun langsung menolaknya dan menerima tawaran Mas Raka. "Baiklah, aku terima tawaranmu, Mas. Aku akan menerima tawaranmu, sambil aku mencari cara untuk melunasi ganti rugi kepada ibumu," balasku sambil ku kepalkan erat tanganku.Aku terpaksa menerima keputusan ini, karena aku tidak ingin merepotkan ibuku untuk menanggung kerusakan rumah yang aku timbulkan saat ini.Apalagi Mas Raka tengah menuntut banyak kepadaku saat ini, aku pun tidak mau merepotkan ibuku dengan masalah yang sudah aku timbulkan saat ini.Ku tatap Ibuku yang saat ini tampak sangat prihatin dengan apa yang terjadi kepada diriku saat ini.'Maafkan Rania Ibu, ini adalah keputusan yang terbaik. Aku tidak ingin menyusahkan ibu,' gumamku dalam hati. Tak ingin ibuku akan kepikiran dengan masalah yang aku hadapi ini, aku pun setuju untuk ikut dengan Mas Raka pulang ke rumah dan sementara harus mengganti DP kerusakan rumah itu dengan tenagaku. Sementara, ibuku tidak setuju dengan keputusanku saat ini.Saat aku hendak melangkahkan kakiku pergi bersama dengan Mas Raka, tiba-tiba aku mendengar suara parau dari belakang, seketika ku hentikan langkah kakiku dan aku menoleh ke belakang, aku terkejut saat ibu berlari mengejar diriku dan langsung memeluk tu
Aku terkejut mendengar ucapan Mas Raka. Di saat aku tengah berusaha memikirkan bagaimana mengganti kerugian dari rumah yang hancur karena keringatku sendiri, Mas Raka justru dengan santai mengajakku ke rumah barunya yang juga dibangun berkat jerih payahku."Ini rumah baru Mas Raka? Apakah dia juga membangun ini dari hasil keringatku? Ya Allah, selama ini uang yang aku dapatkan dari keringatku sendiri dia gunakan untuk apa saja? Jika hasil dari keringatku, bukankah seharusnya aku yang tinggal di rumah semewah ini?" gumamku dalam hati.Aku bertanya dengan wajah geram, "Dari mana Mas Raka mendapatkan uang untuk membangun rumah ini?" Mas Raka hanya tersenyum mengejek, tanpa rasa bersalah sedikit pun kepadaku."Apa aku salah? Apa aku terlalu naif dalam melihat kebaikan orang?" pikirku semakin marah. "Kenapa kamu masih bertanya, Ra? Apa perlu aku mengatakan ini padamu?" tantang Mas Raka sambil menatap wajahku.Saat itu aku merasa seperti mendapatkan tamparan keras, mengingat betapa besar p
Saat aku berada di dalam kamarku cukup lama, Mas Raka tampak menggedor pintu kamarku yang sedari tadi aku kunci pintunya. "Rania! Cepat kamu buka pintunya! Jangan banyak bertingkah di sini! Cepat keluar atau aku akan dobrak pintu kamarmu!" seru Mas Raka dengan menaikkan dua oktav nada bicaranya. Rasanya telingaku mau pecah saat itu, hingga akhirnya aku pun membuka pintu kamarku. "Ada apa Mas?" sungutku dengan menatap kesal wajah Mas Raka. "Apa aku tadi membawamu ke sini untuk menyuruhmu tidur saja? Banyak perkejaan yang harus kau bereskan! Setelah itu, kamu masaklah sesuatu untuk Kalea. Sebentar lagi dia waktunya makan," titah Mas Raka yang membuatku seketika langsung menggelengkan kepalaku. "Manja sekali istrimu itu? Apa dia tidak bisa masak sesuatu untuk dirinya sendiri?" sahutku dengan menatap kesal ke arahnya. "Apa kamu tidak lihat? Saat ini dia sedang hamil?" sahut Mas Raka dengan menatap marah kepadaku. "Aku lihat banyak wanita hamil tapi bisa melakukan aktivitas sehari-ha
Hampir satu bulan lamanya aku berada di sana, dan aku pun sudah tak tahan lagi melihat kemesraan mereka yang sengaja mereka umbar di hadapanku, aku pun memutuskan untuk mengakhiri biduk rumah tanggaku.Saat itu Mas Raka tidak mau melepaskan aku, karena DP belum sepenuhnya tuntas aku berikan.Tak tahan dengan semua itu, aku pun terpaksa memberikan kalung emasku seberat 10 gram sebagai pembayaran sisa DP dan juga uang cicilan ganti rugi rumah yang sudah aku hancurkan.Saat aku hendak berpamitan, aku meminta sesuatu kepada Mas Raka dan saat itu juga permintaanku telah dikabulkan oleh Mas Raka.Lega, kecewa dan sekaligus sangat sedih tentunya. Namun, dengan perceraian ini, aku akan bebas dari ikatan yang akan menghantuiku dan membuatku semakin tidak ikhlas menerima pernikahan mereka.Aku akhirnya keluar dari rumah itu dengan status janda.Perdih rasanya saat aku harus mengakhiri pernikahan ini dengan laki-laki yang aku cintai sepenuh hati. Namun, takdir membawa kami pada perceraian yang t
Setelah memperoleh restu dari ibuku, aku segera mengambil keputusan untuk melamar pekerjaan di Perusahaan PT. Bintang Gemilang Abadi.Dalam waktu singkat, lamaran kerja yang kukirimkan melalui email mendapatkan balasan.Mereka menantikanku untuk datang mengikuti wawancara pekan depan. Betapa bersyukurnya hatiku saat itu, seolah Allah telah mengabulkan doa yang terpanjat di bibirku.Seketika itu juga aku pun segera memberitahukan kepadaku ibuku dan, aku pun berkemas dan mempersiapkan semua keperluanku untuk pergi merantau."Bu, Rania dapat panggilan wawancara minggu depan," ucapku seraya menunjukkan email tersebut kepada ibuku.Raut wajah bahagia terpancar dari ibuku. Namun, ada kepedihan yang tersembunyi di belakang senyumnya.Aku tahu apa yang ibuku rasakan saat ini, tentu karena hatinya belum sepenuhnya rela untuk melepaskan aku merantau jauh darinya.Mencoba mencari tahu perasaan ibu, aku bertanya padanya, "Ibu, kenapa wajahmu sedih? Bukankah Ibu seharusnya bahagia karena Rania bis
Tubuhku bergetar saat mendengar caci makian dari Mas Raka saat itu, sungguh aku tidak menyangka dia akan menelepon diriku dan hanya untuk mencaci maki diriku.Tubuhku benar-benar bergetar saat mendengar caci makian dari mulut Mas Raka."Apa maksudmu, Mas? Kenapa Mas Raka tiba-tiba mencaci makiku seperti itu? Apa Mas Raka menelpon diriku hanya untuk mencaci mamkiku saja?" tanyaku dengan kutahan emosiku yang hampir siap meledak saat itu."Kau memang pantas untuk dicaci-maki. Apakah ini adalah alasanmu untuk meminta cerai dariku? Dasar gatel kamu Ra, baru juga minta cerai, sekarang kamu mencari pria lain," olok Mas Raka yang seketika membuat hatiku mulai meradang."Apa yang kau katakan Mas? Kau jangan fitnah, Mas! Aku ke kota ini untuk mencari pekerjaan dan membayar uang ganti rugi kepadamu. Sebaiknya Mas Raka urusi saja istrimu itu, kau tidak berhak atas diriku lagi, Mas! Jadi, jangan pernah kau memfitnah diriku lagi!" pungkasku lalu segera ku tutup teleponku.Hancur hatiku mendengar el
Aku benar-benar sangat terkejut saat melihat sosok lelaki yang aku temui di Bus beberapa jam yang lalu adalah bos di mana saat ini aku sedang melakukan interview.Jantungku berdegub dengan kencangnya saat Mas Attala akan memulai interviewnya kepada diriku."Duduklah, Rania! Kau jangan tegang seperti itu," kata Mas Attala saat sepintas dia melihat wajahku yang tampak sangat gugup saat itu.Aku pun menganggukkan kepalaku dan mulai duduk di atas kursiku.Kulihat Mas Attala tampak sibuk membuka laptopnya dan melihat Curriculum Vitae yang aku email saat itu."Rania Salsabila, rupanya kau cukup berpengalaman bekerja di luar negeri," puji Mas Attala sambil melirik wajahku.Aku hanya tersenyum tipis, merasa sedikit bangga akan pencapaian yang sudah kulewati. Tidak terasa, obrolan kami berlanjut, dan Mas Attala mulai menanyakan tentang banyak hal yang berhubungan dengan kantor tempatku bekerja sebelumnya.Sejenak, aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengingat segala pengalaman dan kisah yan
Mengawali pagi hari di tempat kerja yang baru, aku sengaja bangun lebih awal dan berangkat ke kantor dengan penuh semangat.Meskipun saat ini aku hanya diterima sebagai OB untuk bosku, tapi aku tetap bersemangat untuk memberikan yang terbaik."Sudah waktunya aku membuktikan diri, dan kali ini aku akan menunjukan kepada Pak Attala bagaimana aku bisa bekerja dengan baik dan menerima tantangannya kali ini," gumamku sembari mempersiapkan keperluan hari ini. Mungkin saat ini Mas Attala sedang menguji ketahanan dan kemampuanku, tapi aku yakin suatu hari nanti aku bisa meraih impianku dan mendapatkan posisi yang lebih baik di tempat ini.Aku berharap Mas Attala akan melihat usaha dan kerja keras yang aku tunjukkan nanti."Ini bukan akhir dari perjuanganku, ini adalah awal yang baru," bisikku semangat di dalam hati.Dengan langkah pasti, aku segera berangkat ke kantor agar tidak terlambat di hari pertama bekerja. Aku ingin menunjukkan bahwa aku serius dan berdedikasi pada pekerjaan ini, wala
Setelah pemakaman ibuku, aku hanya duduk di dekat pusaranya, memandangi gundukan tanah yang masih basah. Airmataku tak tertahankan jatuh mengalir deras dari pelupuk mataku. "Mama... kenapa harus sekarang mama meninggalkan Raka sendirian? Raka masih butuh mama," bisik hatiku, tenggelam dalam kepedihan. Aku meratapi semua kenangan yang kulewati bersama ibuku, mengingat betapa besar pengorbanannya untukku.Meskipun ibuku memiliki sifat jahat. Namun, kasih sayang dan perhatian yang dia berikan kepadaku tidak lekang oleh waktu."Kenapa mama meninggalkan aku saat aku seperti ini?" tanyaku pada pusara mamaku yang masih basah, mencari jawaban yang tidak akan pernah kudapat. Seiring berjalannya waktu, aku tetap enggan beranjak dari sisi pusara ibuku. Hingga akhirnya, Attala datang menghampiriku, menepuk pundakku pelan. "Bersedih boleh, Raka, tapi jangan kamu sampai meratapi kematian ibumu di tanah yang masih basah," ucapnya, mencoba membawaku kembali ke kenyataan. Merasa sakit yang tidak
Suasana menjadi semakin haru saat aku melihat ibuku meneteskan air mata, tanda penyesalan yang begitu dalam. Saat aku mendengar ucapan ibuku yang seolah sedang memberikan sebuah pesan terakhir untuk semua orang, seketika membuat tubuhku merinding.Entah mengapa aku merasa sesuatu yang tak enak di sana.Tak lama kemudian, ibuku kembali berkata pada Kalea, "Ibu minta maaf atas apa yang sudah ibu lakukan kepadamu, Kalea. Ibu telah menyakiti dirimu dan membuatmu menerima fitnah yang sengaja ibu buat bersama Andini demi memisahkan kalian berdua." Isak tangis ibuku semakin keras, seiring dengan penyesalan yang saat ini dia rasakan.Hatiku terenyuh, teriris oleh kesedihan yang kini harus ibu rasakan. Tapi apa boleh buat, semua ini akibat perbuatan ibuku sendiri di masa lalu.Namun, aku mencoba memahami apa yang sebenarnya ibu rasakan saat ini. Ibuku melanjutkan, "Ibu tahu bahwa kesalahan yang sudah ibu lakukan tidak pantas untuk mendapatkan maaf. Namun, saat ini ibu sudah menerima hukuman a
Aku terkejut saat mendengar apa yang diucapkan oleh mamaku, seolah apa yang dikatakannya itu adalah sebuah pesan terakhir untuk diriku. "Mama, jangan bicara aneh-aneh. Mama pasti akan sembuh setelah ini," ucapku, mencoba menguatkan mamaku yang tampak lemah.Mama menatapku dengan sorot mata yang berkaca-kaca, dan tangisan tak mampu lagi ditahannya. Ia bahkan meminta maaf kepadaku, membuat hatiku sangat terharu dan sedih. Aku pun larut dalam suasana kesedihan ketika mamaku mengatakan itu dengan penuh penyesalan."Maafkan Mama, Raka. Mama sudah membuat keluargamu hancur, dan kini kamu telah kehilangan semuanya. Mungkin ini balasan yang seharusnya Mama terima," ujar mamaku dengan isak tangis yang membuatku seketika larut dalam tangisan."Tidak, Ma. Jangan bicara begitu lagi. Raka juga bersalah dalam hal ini, semuanya karena Raka yang terlalu egois dan terlalu mengejar dunia hingga Raka menjadi orang tampak," ungkapku, tak mampu menahan air mata. Aku mencium punggung ibuku, mencoba untu
Aku terdiam sejenak, mencerna apa yang Arif katakan kepadaku. Saat ini, ekonomi benar-benar menurun drastis dan tawaran Arif terasa sangat aku butuhkan saat-saat seperti ini."Apakah dia mau membantuku? Tapi, bagaimana kalau Rania menolak membantu?" gumamku penuh kekhawatiran.Arif tampak tahu apa yang ada di benakku, dia tahu jika saat ini aku ragu akan Rania dan Attala mau membantuku.Dia tahu apa yang sebenarnya terjadi antara diriku, Kalea dan Rania di masa lalu."Aku sedikit ragu jika dia akan membantuku setelah apa yang aku lakukan di masa lalu. Kesalahan yang aku lakukan benar-benar sangat fatal, hingga aku membuat dirinya benar-benar kubuat sangat menderita. Entah mengapa aku tidak yakin jika dia mau membantu diriku saat ini," ungkapku penuh penyesalan.Arif menatap simpati kepadaku, dia berusaha untuk meyakinkan diriku saat ini, meskipun aku masih ragu jika Rania dan Attala mau memberikan bantuannya kepadaku."Jangan berpikiran buruk soal Rania dan Pak Attala. Mereka orang
Aku merasa terkejut sekaligus bingung saat mendengar tawaran yang diberikan Arif. Sebenarnya, dalam diriku ingin menolak tawaran tersebut. Namun, situasi yang sedang aku alami saat ini membuatku merasa tidak punya pilihan lain. "Benarkah ini satu-satunya jalan untuk keluar dari kondisi ini? Aku harus menerima tawaran Arif untuk bekerja menjadi sopir kantor Attala, suami Rania? Apa yang mereka pikirkan setelah tahu aku mau melamar bekerja di sana? Apakah mereka akan mentertawakan nasibku?" batinku sedih sekaligus bingung menentukan pilihanku. Tapi aku berpikir kembali, sudah seminggu ini aku lelah menjadi tukang parkir yang harus selalu bersaing dengan preman-preman untuk mendapatkan lahan. "Jika aku tidak menerima tawaran ini, aku akan menjadi tukang parkir dengan penghasilan tak menentu dan aku akan mengecewakan ibuku," pikirku lagi penuh kebimbangan.Akhirnya, dengan perasaan berat, aku menerima tawaran Arif. "Baiklah, aku mau, kapan aku bisa bekerja?" tanyaku dengan tatapan ma
Aku merasa bingung saat melihat ibuku yang tampak sangat gugup ketika aku memintanya untuk meminta maaf kepada Kalea. "Mama belum siap, Raka. Mama takut jika dia tidak akan memaafkan Mama," ujar mamaku sambil menatap wajahku bingung.Aku pun berusaha untuk mengerti perasaan ibuku, tapi aku tak bisa menahan rasa ingin tahu, apa yang sebenarnya membuatnya begitu takut. "Apa yang membuat Mama takut? Apakah ini karena dia merasa bersalah dengan apa yang dia lakukan?" gumamku dalam hati. Mungkin aku memang harus memberikan waktu untuk ibuku meminta maaf kepada Kalea. Akhirnya, setelah kami berbicara cukup lama, aku putuskan untuk mencari kos yang murah di dekat sini. Namun, sayangnya kos yang ada di depan rumahku harganya cukup mahal. Seolah tak ada pilihan lain, aku terpaksa mencari kos di dekat rumah yang sekarang sudah kujual kepada Arif. Saat kami tiba di depan tempat kos tersebut, beberapa tetangga yang mengenal kami tampak terkejut melihat kami di sana.Mereka sepertinya sedang
Aku mencoba menenangkan perasaanku ketika melihat ibuku sudah mulai gugup dan terlihat dia sedang menyembunyikan sesuatu. Mungkinkah saat ini ibuku mulai cemas saat Nadia mengatakan itu kepada ibuku?Apakah ibuku saat ini mulai merasa bersalah dengan apa yang dia lakukan kepada Nadia? Aku benar-benar sangat malu dan menyesal ketika tahu ibuku sendiri yang tega melakukan itu kepada Nadia.Demi memisahkan diriku dengan Nadia, dia rela berbuat fitnah dan membuatku percaya dengan apa yang dia katakan.Nadia tampak menatap penuh amarah, ketika dia baru saja mengatakan sesuatu yang membuat ibuku menjadi sangat gugup. Hatiku semakin percaya jika selama ini ibu yang berperan dalam penderitaan Nadia.Apakah benar ibuku telah membuat Nadia merasa seolah-olah kehilangan rahimnya karena bekerja sama dengan Andien waktu itu?Ketika kesadaran itu menerjang benakku, rasa menyesal pun menyusul, membuatku ingin segera meminta maaf kepada Nadia. "Nadia," kataku dengan suara serak,"Sebenarnya aku i
Aku, Raka, saat itu mendengar sekilas tentang Arif yang sedang menelpon seseorang. Entah mengapa, perasaan aneh muncul di benakku, seolah yang dia telpon adalah Attala, suami Rania.Aku ingin sekali mengonfirmasi perasaan ini, ingin menanyakan kepada Arif siapa sebenarnya yang sedang dia telpon. Namun, aku ragu. Aku takut jika nanti Arif tersinggung dan membuat diriku kehilangan kesempatan untuk bekerja di perusahaan tempat Arif bekerja saat ini. Apakah benar yang dia telpon adalah suami Rania? Ataukah ini hanya perasaanku saja? Arif mulai berpamitan kepadaku. "Maaf Raka, aku harus kembali ke tempat kerja, bosku sedang menelpon," ujarnya. Aku tersenyum tipis, menahan rasa penasaran yang mengusik hatiku.Tak lama kemudian Arif pergi meninggalkanku. Aku terdiam, melihat punggung Arif yang semakin menjauh. Entah apa yang harus kulakukan, mungkinkah aku salah? Aku tersentak dari lamunan, sejenak melupakan perasaan cemas yang tadi menggangguku. Kemudian aku kembali untuk menyusul ibuku,
Aku, Raka, terperangah saat mendengar pengakuan yang Arif sampaikan kepadaku. Betapa tidak, kebenaran mengenai rahim Kalea yang sebenarnya tidak diangkat membuatku terpukul dan sulit untuk mempercayainya.Ternyata selama ini, ibuku telah berbohong kepadaku. Bagaimana mungkin aku bisa begitu percaya dengan ucapan ibuku yang, waktu itu, bersekongkol dengan seorang dokter yang menggantikan dokter Ridwan di rumah sakit itu. Aku merasa frustrasi dan hampir tak bisa menerima kenyataan saat Arif mengungkapkan semua itu kepadaku. "Mengapa Mama begitu tega melakukan ini padaku dan Kalea? Apakah ini memang rencananya sejak awal?" gumamku dalam hati, merasa tertipu oleh orang yang seharusnya paling aku percayai. Arif menceritakan secara detail kejadian saat itu, tak ada yang dia sembunyikan ketika dia mengungkapkan semuanya. Di dalam hati, aku merasa semakin hancur mendengar kebenaran ini. "Bagaimana aku bisa memaafkan Mama setelah kejadian ini? Apakah Kalea akan mampu melupakan semuanya d