Aku terkejut mendengar ucapan Mas Raka. Di saat aku tengah berusaha memikirkan bagaimana mengganti kerugian dari rumah yang hancur karena keringatku sendiri, Mas Raka justru dengan santai mengajakku ke rumah barunya yang juga dibangun berkat jerih payahku.
"Ini rumah baru Mas Raka? Apakah dia juga membangun ini dari hasil keringatku? Ya Allah, selama ini uang yang aku dapatkan dari keringatku sendiri dia gunakan untuk apa saja? Jika hasil dari keringatku, bukankah seharusnya aku yang tinggal di rumah semewah ini?" gumamku dalam hati. Aku bertanya dengan wajah geram, "Dari mana Mas Raka mendapatkan uang untuk membangun rumah ini?" Mas Raka hanya tersenyum mengejek, tanpa rasa bersalah sedikit pun kepadaku. "Apa aku salah? Apa aku terlalu naif dalam melihat kebaikan orang?" pikirku semakin marah. "Kenapa kamu masih bertanya, Ra? Apa perlu aku mengatakan ini padamu?" tantang Mas Raka sambil menatap wajahku. Saat itu aku merasa seperti mendapatkan tamparan keras, mengingat betapa besar pengorbananku untuk dia. Aku mengepalkan kedua tanganku, mengumpulkan tenaga untuk meredam amarah yang memuncak. Namun, di tengah amarahku, aku sadar bahwa apa yang dikatakan Mas Raka mungkin benar. "Apa aku harus menerima kenyataan ini? Mungkinkah memang inilah balasan yang pantas untukku, karena aku terlalu percaya dengan Mas Raka daripada ibuku sendiri?" diam-diam aku merenung. Dan akhirnya, aku sadar bahwa aku punya pilihan untuk terus menjadi korban atau bangkit demi masa depanku. "Kamu tidak perlu mengatakan apa-apa, Mas. Aku tau kalau kau hanya benalu selama menikah dengan diriku. Aku yakin jika rumah ini juga kiriman uang yang aku berikan kepadamu," kataku dengan menatap geram ke arah Mas Raka. Mas Raka tersenyum mengejekku, ku tatap dia dalam-dalam, sambil ku bangkitkan diriku yang hampir terkoyak karena pengkhianatan yang dia lakukan kepadaku. "Baguslah, sekarang kau ikut aku ke dalam! Aku mau memberikan pekerjaan utama untuk dirimu," kata Mas Raka yang membuatku semakin tercengang di sana. Aku pun segera mengikuti langkah kakinya, setelah dia menarik koper pakaianku dan kini aku sudah berada di depan pintu rumahnya. Saat aku sudah berada diambang pintu rumahnya, seketika aku pun di sambut dengan kemesraan yang mereka umbar di depan mataku. Mas Raka tanpa ragu mencium pipi Kalea di depanku, disambutnya ciuman Mas Raka oleh Kalea dengan sapuan lembut bibirnya di bibir Mas Raka, tanpa sedikit pun melihat ada aku yang sedang melihat perbuatan mereka yang membuatku semakin sakit. Ku tahan amarahku dan ku kuatkan diriku untuk melihat kemesraan suami dan sahabatku di depan mataku. "Mas Raka, dari mana saja? Kenapa kamu malah pergi ditengah kericuhan yang terjadi?" tanya Kalea dengan nada manjanya. "Maaf, Sayang. Aku harus menjemput tersangka yang merusak rumah ibuku, dari pada dia kabur, lebih baik aku jemput ke sini untuk beres-beres rumah ini, sebagai DP yang harus dia bayar untuk mengganti rugi rumah ini," jawab Mas Raka yang semakin membuat aliran darahku seketika mendidih. Kalea menatapku sinis, tampak dia menunjukkan kekuasaannya sebagai istri sah Mas Raka, sementara aku hanya istri tak sah Mas Raka. "Oh bagus deh, Mas. Tolong suruh Rania beres-beres pakaianku di dalam, aku capek, Mas. Apalagi saat ini aku tengah hamil anak kita," ucap Kalea dengan nada manjanya, membuatku ingin muntah. Mas Raka tersenyum menatap wajahnya, lalu kemudian dia mengarahkan attensinya ke arah wajahku yang saat ini menatap geram ke arahku. "Kamu dengar apa tidak? Cepat bawa kopermu ke kamar belakang!" titah Mas Raka dengan mendorong koper pakaianku ke arahku. Seketika aku mengepalkan kedua tanganku, ku tahan emosiku, ketika Mas Raka memerintahkan itu kepadaku. Segera ku langkahkan kakiku masuk ke dalam rumah itu, mengikuti langkah kaki Mas Raka yang saat ini sedang berjalan ke arah kamar belakang. Beberapa menit kemudian, kami pun sudah sampai di sana. Mas Raka menunjukkan kamarku yang jauh dari kata layak, hanya ada tikar dan juga lemari susun tiga di sana. Tak ada kipas angin, dan hanya jendela yang bisa dibuka sebagai fentilasi udara masuk di sana. "Ini kamar kamu!" kata Mas Raka dengan menunjuk ke arah kamar sempit itu kepadaku. "Ya Allah, Mas. Tega sekali kamu memberikan kamar sekecil ini kepadaku?" protesku dengan nada marah. "Hei! Kau ini dikasih tempat berteduh, masih saja protes, beruntung kami kasih kamar ini untuk dirimu, Rania," sahut Kalea dengan nada marah saat mengatakan itu kepadaku. "Diam kau, Kalea! Apa kau tidak malu? Sudah berani merebut suamiku, dan kalian menempati rumah ini dari hasil jerih payahku? Allah tidak tidur, semua ini akan aku ambil lagi dari tangan kalian!" seru ku dengan menatap marah wajahnya. Kalea danas Raka tampak sangat kesal saat mendengar ucapanku. Tampak mereka tidak terima dengan ucapanku. "Apa maksudmu? Kau pikir kau ini siapa, Ra? Meskipun uang ini memang sebagian hasil keringatmu, tapi sisanya adalah uang Mas Raka sendiri," sungut Kalea, tak terima dengan apa yang aku katakan. "Benarkah? Uang dari mana, Mas Raka? Selama ini dia hanya pengangguran yang menumpang hidup dari keringatku saat aku masih bekerja menjadi marketing di luar negeri," sungutku dengan nada kesal. "Kau jangan meremehkan Mas Raka, dia juga sudah memiliki pekerjaan yang mapan," sungut Kalea dengan menatap sombong ke arahku. Aku hanya tertawa sumbang, semapan apa Mas Raka mendapatkan posisi jabatan di tempat kerjanya. "Ohya? Aku ingin tau, posisi jabatan Mas Raka saat ini apa? Sudah berapa lama dia bekerja di perusahaan itu?" cibirku menatap wajah Kalea yang saat ini semakin gugup menatap diriku. "Hentikan untuk mencemooh diriku!" seru Mas Raka yang tak terima dengan ucapanku. "Kenapa, Mas? Apa kau malu mengatakan jika posisimu saat ini hanya menjadi staf biasa?" balasku dengan menatap mencemooh ke arah wajahnya. Tampak ku lihat tatapan marah Mas Raka kepadaku, tak selang beberapa detik kemudian, ku lihat tangannya dengan cepat mengudara dan mendaratkan tepat di pipiku. Plaak! Aku merasakan betapa panasnya pipiku saat ini. Ku pegang pipiku dengan telapak tanganku. Mas Raka menatap tajam ke arahku, sambil mengepalkan tangannya, marah kepadaku. "Kau menamparku, Mas?" tanyaku dengan menatap wajah Mas Raka penuh kemarahan. "Iya, aku menamparmu! Kamu memang pantas untuk mendapatkan semua itu! Berhentilah mencemooh diriku, dan menganggap dirimu lebih baik dariku, Rania! Asal kau tau, jika itu terlalu bod*h untukku, Rania. Dan kau lihat sendiri bukan? Aku lebih pintar darimu," cemooh Mas Raka menatap wajahku. "Apa kau bilang? Kau lebih pintar dariku, Mas? Bahkan kau tidak akan sanggup berdiri sendiri dia atas kakimu sendiri," balasku lalu segera masuk ke dalam kamarku dan ku kunci pintu kamarku. Seketika Mas Raka tampak geram dan meneriaki dirimu dari kamar. "Dasar kau wanita tak tau diuntung! Beruntung aku tidak menikah secara sah denganmu, hingga aku bisa menguras habis jerih payahmu!" teriak Mas Raka dari arah luar. Seketika hatiku sakit saat mendengar ucapan mas Raka saat mengatakan itu kepadaku. 'Kamu memang menang untuk saat ini, Mas. Tapi aku akan membalas semua itu sebentar lagi,' gumamku dalam hati .Saat aku berada di dalam kamarku cukup lama, Mas Raka tampak menggedor pintu kamarku yang sedari tadi aku kunci pintunya. "Rania! Cepat kamu buka pintunya! Jangan banyak bertingkah di sini! Cepat keluar atau aku akan dobrak pintu kamarmu!" seru Mas Raka dengan menaikkan dua oktav nada bicaranya. Rasanya telingaku mau pecah saat itu, hingga akhirnya aku pun membuka pintu kamarku. "Ada apa Mas?" sungutku dengan menatap kesal wajah Mas Raka. "Apa aku tadi membawamu ke sini untuk menyuruhmu tidur saja? Banyak perkejaan yang harus kau bereskan! Setelah itu, kamu masaklah sesuatu untuk Kalea. Sebentar lagi dia waktunya makan," titah Mas Raka yang membuatku seketika langsung menggelengkan kepalaku. "Manja sekali istrimu itu? Apa dia tidak bisa masak sesuatu untuk dirinya sendiri?" sahutku dengan menatap kesal ke arahnya. "Apa kamu tidak lihat? Saat ini dia sedang hamil?" sahut Mas Raka dengan menatap marah kepadaku. "Aku lihat banyak wanita hamil tapi bisa melakukan aktivitas sehari-ha
Hampir satu bulan lamanya aku berada di sana, dan aku pun sudah tak tahan lagi melihat kemesraan mereka yang sengaja mereka umbar di hadapanku, aku pun memutuskan untuk mengakhiri biduk rumah tanggaku.Saat itu Mas Raka tidak mau melepaskan aku, karena DP belum sepenuhnya tuntas aku berikan.Tak tahan dengan semua itu, aku pun terpaksa memberikan kalung emasku seberat 10 gram sebagai pembayaran sisa DP dan juga uang cicilan ganti rugi rumah yang sudah aku hancurkan.Saat aku hendak berpamitan, aku meminta sesuatu kepada Mas Raka dan saat itu juga permintaanku telah dikabulkan oleh Mas Raka.Lega, kecewa dan sekaligus sangat sedih tentunya. Namun, dengan perceraian ini, aku akan bebas dari ikatan yang akan menghantuiku dan membuatku semakin tidak ikhlas menerima pernikahan mereka.Aku akhirnya keluar dari rumah itu dengan status janda.Perdih rasanya saat aku harus mengakhiri pernikahan ini dengan laki-laki yang aku cintai sepenuh hati. Namun, takdir membawa kami pada perceraian yang t
Setelah memperoleh restu dari ibuku, aku segera mengambil keputusan untuk melamar pekerjaan di Perusahaan PT. Bintang Gemilang Abadi.Dalam waktu singkat, lamaran kerja yang kukirimkan melalui email mendapatkan balasan.Mereka menantikanku untuk datang mengikuti wawancara pekan depan. Betapa bersyukurnya hatiku saat itu, seolah Allah telah mengabulkan doa yang terpanjat di bibirku.Seketika itu juga aku pun segera memberitahukan kepadaku ibuku dan, aku pun berkemas dan mempersiapkan semua keperluanku untuk pergi merantau."Bu, Rania dapat panggilan wawancara minggu depan," ucapku seraya menunjukkan email tersebut kepada ibuku.Raut wajah bahagia terpancar dari ibuku. Namun, ada kepedihan yang tersembunyi di belakang senyumnya.Aku tahu apa yang ibuku rasakan saat ini, tentu karena hatinya belum sepenuhnya rela untuk melepaskan aku merantau jauh darinya.Mencoba mencari tahu perasaan ibu, aku bertanya padanya, "Ibu, kenapa wajahmu sedih? Bukankah Ibu seharusnya bahagia karena Rania bis
Tubuhku bergetar saat mendengar caci makian dari Mas Raka saat itu, sungguh aku tidak menyangka dia akan menelepon diriku dan hanya untuk mencaci maki diriku.Tubuhku benar-benar bergetar saat mendengar caci makian dari mulut Mas Raka."Apa maksudmu, Mas? Kenapa Mas Raka tiba-tiba mencaci makiku seperti itu? Apa Mas Raka menelpon diriku hanya untuk mencaci mamkiku saja?" tanyaku dengan kutahan emosiku yang hampir siap meledak saat itu."Kau memang pantas untuk dicaci-maki. Apakah ini adalah alasanmu untuk meminta cerai dariku? Dasar gatel kamu Ra, baru juga minta cerai, sekarang kamu mencari pria lain," olok Mas Raka yang seketika membuat hatiku mulai meradang."Apa yang kau katakan Mas? Kau jangan fitnah, Mas! Aku ke kota ini untuk mencari pekerjaan dan membayar uang ganti rugi kepadamu. Sebaiknya Mas Raka urusi saja istrimu itu, kau tidak berhak atas diriku lagi, Mas! Jadi, jangan pernah kau memfitnah diriku lagi!" pungkasku lalu segera ku tutup teleponku.Hancur hatiku mendengar el
Aku benar-benar sangat terkejut saat melihat sosok lelaki yang aku temui di Bus beberapa jam yang lalu adalah bos di mana saat ini aku sedang melakukan interview.Jantungku berdegub dengan kencangnya saat Mas Attala akan memulai interviewnya kepada diriku."Duduklah, Rania! Kau jangan tegang seperti itu," kata Mas Attala saat sepintas dia melihat wajahku yang tampak sangat gugup saat itu.Aku pun menganggukkan kepalaku dan mulai duduk di atas kursiku.Kulihat Mas Attala tampak sibuk membuka laptopnya dan melihat Curriculum Vitae yang aku email saat itu."Rania Salsabila, rupanya kau cukup berpengalaman bekerja di luar negeri," puji Mas Attala sambil melirik wajahku.Aku hanya tersenyum tipis, merasa sedikit bangga akan pencapaian yang sudah kulewati. Tidak terasa, obrolan kami berlanjut, dan Mas Attala mulai menanyakan tentang banyak hal yang berhubungan dengan kantor tempatku bekerja sebelumnya.Sejenak, aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengingat segala pengalaman dan kisah yan
Mengawali pagi hari di tempat kerja yang baru, aku sengaja bangun lebih awal dan berangkat ke kantor dengan penuh semangat.Meskipun saat ini aku hanya diterima sebagai OB untuk bosku, tapi aku tetap bersemangat untuk memberikan yang terbaik."Sudah waktunya aku membuktikan diri, dan kali ini aku akan menunjukan kepada Pak Attala bagaimana aku bisa bekerja dengan baik dan menerima tantangannya kali ini," gumamku sembari mempersiapkan keperluan hari ini. Mungkin saat ini Mas Attala sedang menguji ketahanan dan kemampuanku, tapi aku yakin suatu hari nanti aku bisa meraih impianku dan mendapatkan posisi yang lebih baik di tempat ini.Aku berharap Mas Attala akan melihat usaha dan kerja keras yang aku tunjukkan nanti."Ini bukan akhir dari perjuanganku, ini adalah awal yang baru," bisikku semangat di dalam hati.Dengan langkah pasti, aku segera berangkat ke kantor agar tidak terlambat di hari pertama bekerja. Aku ingin menunjukkan bahwa aku serius dan berdedikasi pada pekerjaan ini, wala
Aku terkejut saat mendengar ucapan Mbak Rima di depan Pak Attala. Rasanya seolah-olah aku ditampar cukup keras. Bagaimana mungkin Mbak Rima bisa mengatakan hal seperti itu di hadapan Pak Attala? Aku pun mencoba untuk membela diriku yang telah difitnah oleh Mbak Rima."Apa maksud Mbak Rima? Ini pasti salah! Bukankah tadi Mbak Rima yang bilang kalau Pak Attala lebih suka minum kopi manis?" elakku dengan nada marah, seakan merasa tersudut oleh ucapan Mbak Rima.Mbak Rima menatapku dengan sorotan mata yang begitu tajam, seolah ingin menegaskan bahwa dia tidak pernah mengatakan hal tersebut kepadaku. Aku merasa kebingungan semakin menjadi, bagaimana bisa kesalahpahaman ini terjadi? Apa yang sebenarnya Mbak Rima maksudkan? Sementara itu, Pak Attala hanya menyaksikan perselisihan kami dengan tenang. Ia tampak seperti menilai kami dari ekspresi wajah yang tersirat di wajah kami berdua. Adakah maksud tertentu di balik pandangan Pak Attala yang begitu mendalam? Atau ia hanya ingin melihat se
Melihat story Mas Raka di media sosial yang tiba-tiba viral, seketika membuat hatiku seperti disambar petir.Pikiran-pikiran buruk mulai menghampiri dan air mata menggenang di pelupuk mataku.Aku bertanya dalam hati, "Mengapa ini harus terjadi padaku?" Aku merasakan kemarahan bercampur sedih sementara tanganku bergetar seketika memegangi ponsel milik Mbak Rima.Mbak Rima, yang seperti sengaja mendekatiku, menatapku dengan raut wajah penuh kepuasan seolah merasakan kebahagiaan dari kesedihan yang tengah kualami.Fitnah dari Mas Raka bagai racun yang merayap, mempengaruhi pikiranku dan perasaanku.Namun, aku tidak ingin Mbak Rima semakin berbahagia melihat penderitaanku, secepatnya aku menghapus air mata yang belum sempat jatuh dan kembali membungkam emosiku.Aku menarik nafas dalam-dalam sambil berkata pada diriku sendiri, "Aku harus tetap kuat. Aku tidak boleh terpengaruh dengan fitnah ini. Ini bukan diriku yang sebenarnya."Dengan tekad yang bulat, aku segera melanjutkan pekerjaanku
Setelah pemakaman ibuku, aku hanya duduk di dekat pusaranya, memandangi gundukan tanah yang masih basah. Airmataku tak tertahankan jatuh mengalir deras dari pelupuk mataku. "Mama... kenapa harus sekarang mama meninggalkan Raka sendirian? Raka masih butuh mama," bisik hatiku, tenggelam dalam kepedihan. Aku meratapi semua kenangan yang kulewati bersama ibuku, mengingat betapa besar pengorbanannya untukku.Meskipun ibuku memiliki sifat jahat. Namun, kasih sayang dan perhatian yang dia berikan kepadaku tidak lekang oleh waktu."Kenapa mama meninggalkan aku saat aku seperti ini?" tanyaku pada pusara mamaku yang masih basah, mencari jawaban yang tidak akan pernah kudapat. Seiring berjalannya waktu, aku tetap enggan beranjak dari sisi pusara ibuku. Hingga akhirnya, Attala datang menghampiriku, menepuk pundakku pelan. "Bersedih boleh, Raka, tapi jangan kamu sampai meratapi kematian ibumu di tanah yang masih basah," ucapnya, mencoba membawaku kembali ke kenyataan. Merasa sakit yang tidak
Suasana menjadi semakin haru saat aku melihat ibuku meneteskan air mata, tanda penyesalan yang begitu dalam. Saat aku mendengar ucapan ibuku yang seolah sedang memberikan sebuah pesan terakhir untuk semua orang, seketika membuat tubuhku merinding.Entah mengapa aku merasa sesuatu yang tak enak di sana.Tak lama kemudian, ibuku kembali berkata pada Kalea, "Ibu minta maaf atas apa yang sudah ibu lakukan kepadamu, Kalea. Ibu telah menyakiti dirimu dan membuatmu menerima fitnah yang sengaja ibu buat bersama Andini demi memisahkan kalian berdua." Isak tangis ibuku semakin keras, seiring dengan penyesalan yang saat ini dia rasakan.Hatiku terenyuh, teriris oleh kesedihan yang kini harus ibu rasakan. Tapi apa boleh buat, semua ini akibat perbuatan ibuku sendiri di masa lalu.Namun, aku mencoba memahami apa yang sebenarnya ibu rasakan saat ini. Ibuku melanjutkan, "Ibu tahu bahwa kesalahan yang sudah ibu lakukan tidak pantas untuk mendapatkan maaf. Namun, saat ini ibu sudah menerima hukuman a
Aku terkejut saat mendengar apa yang diucapkan oleh mamaku, seolah apa yang dikatakannya itu adalah sebuah pesan terakhir untuk diriku. "Mama, jangan bicara aneh-aneh. Mama pasti akan sembuh setelah ini," ucapku, mencoba menguatkan mamaku yang tampak lemah.Mama menatapku dengan sorot mata yang berkaca-kaca, dan tangisan tak mampu lagi ditahannya. Ia bahkan meminta maaf kepadaku, membuat hatiku sangat terharu dan sedih. Aku pun larut dalam suasana kesedihan ketika mamaku mengatakan itu dengan penuh penyesalan."Maafkan Mama, Raka. Mama sudah membuat keluargamu hancur, dan kini kamu telah kehilangan semuanya. Mungkin ini balasan yang seharusnya Mama terima," ujar mamaku dengan isak tangis yang membuatku seketika larut dalam tangisan."Tidak, Ma. Jangan bicara begitu lagi. Raka juga bersalah dalam hal ini, semuanya karena Raka yang terlalu egois dan terlalu mengejar dunia hingga Raka menjadi orang tampak," ungkapku, tak mampu menahan air mata. Aku mencium punggung ibuku, mencoba untu
Aku terdiam sejenak, mencerna apa yang Arif katakan kepadaku. Saat ini, ekonomi benar-benar menurun drastis dan tawaran Arif terasa sangat aku butuhkan saat-saat seperti ini."Apakah dia mau membantuku? Tapi, bagaimana kalau Rania menolak membantu?" gumamku penuh kekhawatiran.Arif tampak tahu apa yang ada di benakku, dia tahu jika saat ini aku ragu akan Rania dan Attala mau membantuku.Dia tahu apa yang sebenarnya terjadi antara diriku, Kalea dan Rania di masa lalu."Aku sedikit ragu jika dia akan membantuku setelah apa yang aku lakukan di masa lalu. Kesalahan yang aku lakukan benar-benar sangat fatal, hingga aku membuat dirinya benar-benar kubuat sangat menderita. Entah mengapa aku tidak yakin jika dia mau membantu diriku saat ini," ungkapku penuh penyesalan.Arif menatap simpati kepadaku, dia berusaha untuk meyakinkan diriku saat ini, meskipun aku masih ragu jika Rania dan Attala mau memberikan bantuannya kepadaku."Jangan berpikiran buruk soal Rania dan Pak Attala. Mereka orang
Aku merasa terkejut sekaligus bingung saat mendengar tawaran yang diberikan Arif. Sebenarnya, dalam diriku ingin menolak tawaran tersebut. Namun, situasi yang sedang aku alami saat ini membuatku merasa tidak punya pilihan lain. "Benarkah ini satu-satunya jalan untuk keluar dari kondisi ini? Aku harus menerima tawaran Arif untuk bekerja menjadi sopir kantor Attala, suami Rania? Apa yang mereka pikirkan setelah tahu aku mau melamar bekerja di sana? Apakah mereka akan mentertawakan nasibku?" batinku sedih sekaligus bingung menentukan pilihanku. Tapi aku berpikir kembali, sudah seminggu ini aku lelah menjadi tukang parkir yang harus selalu bersaing dengan preman-preman untuk mendapatkan lahan. "Jika aku tidak menerima tawaran ini, aku akan menjadi tukang parkir dengan penghasilan tak menentu dan aku akan mengecewakan ibuku," pikirku lagi penuh kebimbangan.Akhirnya, dengan perasaan berat, aku menerima tawaran Arif. "Baiklah, aku mau, kapan aku bisa bekerja?" tanyaku dengan tatapan ma
Aku merasa bingung saat melihat ibuku yang tampak sangat gugup ketika aku memintanya untuk meminta maaf kepada Kalea. "Mama belum siap, Raka. Mama takut jika dia tidak akan memaafkan Mama," ujar mamaku sambil menatap wajahku bingung.Aku pun berusaha untuk mengerti perasaan ibuku, tapi aku tak bisa menahan rasa ingin tahu, apa yang sebenarnya membuatnya begitu takut. "Apa yang membuat Mama takut? Apakah ini karena dia merasa bersalah dengan apa yang dia lakukan?" gumamku dalam hati. Mungkin aku memang harus memberikan waktu untuk ibuku meminta maaf kepada Kalea. Akhirnya, setelah kami berbicara cukup lama, aku putuskan untuk mencari kos yang murah di dekat sini. Namun, sayangnya kos yang ada di depan rumahku harganya cukup mahal. Seolah tak ada pilihan lain, aku terpaksa mencari kos di dekat rumah yang sekarang sudah kujual kepada Arif. Saat kami tiba di depan tempat kos tersebut, beberapa tetangga yang mengenal kami tampak terkejut melihat kami di sana.Mereka sepertinya sedang
Aku mencoba menenangkan perasaanku ketika melihat ibuku sudah mulai gugup dan terlihat dia sedang menyembunyikan sesuatu. Mungkinkah saat ini ibuku mulai cemas saat Nadia mengatakan itu kepada ibuku?Apakah ibuku saat ini mulai merasa bersalah dengan apa yang dia lakukan kepada Nadia? Aku benar-benar sangat malu dan menyesal ketika tahu ibuku sendiri yang tega melakukan itu kepada Nadia.Demi memisahkan diriku dengan Nadia, dia rela berbuat fitnah dan membuatku percaya dengan apa yang dia katakan.Nadia tampak menatap penuh amarah, ketika dia baru saja mengatakan sesuatu yang membuat ibuku menjadi sangat gugup. Hatiku semakin percaya jika selama ini ibu yang berperan dalam penderitaan Nadia.Apakah benar ibuku telah membuat Nadia merasa seolah-olah kehilangan rahimnya karena bekerja sama dengan Andien waktu itu?Ketika kesadaran itu menerjang benakku, rasa menyesal pun menyusul, membuatku ingin segera meminta maaf kepada Nadia. "Nadia," kataku dengan suara serak,"Sebenarnya aku i
Aku, Raka, saat itu mendengar sekilas tentang Arif yang sedang menelpon seseorang. Entah mengapa, perasaan aneh muncul di benakku, seolah yang dia telpon adalah Attala, suami Rania.Aku ingin sekali mengonfirmasi perasaan ini, ingin menanyakan kepada Arif siapa sebenarnya yang sedang dia telpon. Namun, aku ragu. Aku takut jika nanti Arif tersinggung dan membuat diriku kehilangan kesempatan untuk bekerja di perusahaan tempat Arif bekerja saat ini. Apakah benar yang dia telpon adalah suami Rania? Ataukah ini hanya perasaanku saja? Arif mulai berpamitan kepadaku. "Maaf Raka, aku harus kembali ke tempat kerja, bosku sedang menelpon," ujarnya. Aku tersenyum tipis, menahan rasa penasaran yang mengusik hatiku.Tak lama kemudian Arif pergi meninggalkanku. Aku terdiam, melihat punggung Arif yang semakin menjauh. Entah apa yang harus kulakukan, mungkinkah aku salah? Aku tersentak dari lamunan, sejenak melupakan perasaan cemas yang tadi menggangguku. Kemudian aku kembali untuk menyusul ibuku,
Aku, Raka, terperangah saat mendengar pengakuan yang Arif sampaikan kepadaku. Betapa tidak, kebenaran mengenai rahim Kalea yang sebenarnya tidak diangkat membuatku terpukul dan sulit untuk mempercayainya.Ternyata selama ini, ibuku telah berbohong kepadaku. Bagaimana mungkin aku bisa begitu percaya dengan ucapan ibuku yang, waktu itu, bersekongkol dengan seorang dokter yang menggantikan dokter Ridwan di rumah sakit itu. Aku merasa frustrasi dan hampir tak bisa menerima kenyataan saat Arif mengungkapkan semua itu kepadaku. "Mengapa Mama begitu tega melakukan ini padaku dan Kalea? Apakah ini memang rencananya sejak awal?" gumamku dalam hati, merasa tertipu oleh orang yang seharusnya paling aku percayai. Arif menceritakan secara detail kejadian saat itu, tak ada yang dia sembunyikan ketika dia mengungkapkan semuanya. Di dalam hati, aku merasa semakin hancur mendengar kebenaran ini. "Bagaimana aku bisa memaafkan Mama setelah kejadian ini? Apakah Kalea akan mampu melupakan semuanya d