Aku terkejut saat mendengar ucapan Mbak Rima di depan Pak Attala. Rasanya seolah-olah aku ditampar cukup keras. Bagaimana mungkin Mbak Rima bisa mengatakan hal seperti itu di hadapan Pak Attala? Aku pun mencoba untuk membela diriku yang telah difitnah oleh Mbak Rima."Apa maksud Mbak Rima? Ini pasti salah! Bukankah tadi Mbak Rima yang bilang kalau Pak Attala lebih suka minum kopi manis?" elakku dengan nada marah, seakan merasa tersudut oleh ucapan Mbak Rima.Mbak Rima menatapku dengan sorotan mata yang begitu tajam, seolah ingin menegaskan bahwa dia tidak pernah mengatakan hal tersebut kepadaku. Aku merasa kebingungan semakin menjadi, bagaimana bisa kesalahpahaman ini terjadi? Apa yang sebenarnya Mbak Rima maksudkan? Sementara itu, Pak Attala hanya menyaksikan perselisihan kami dengan tenang. Ia tampak seperti menilai kami dari ekspresi wajah yang tersirat di wajah kami berdua. Adakah maksud tertentu di balik pandangan Pak Attala yang begitu mendalam? Atau ia hanya ingin melihat se
Melihat story Mas Raka di media sosial yang tiba-tiba viral, seketika membuat hatiku seperti disambar petir.Pikiran-pikiran buruk mulai menghampiri dan air mata menggenang di pelupuk mataku.Aku bertanya dalam hati, "Mengapa ini harus terjadi padaku?" Aku merasakan kemarahan bercampur sedih sementara tanganku bergetar seketika memegangi ponsel milik Mbak Rima.Mbak Rima, yang seperti sengaja mendekatiku, menatapku dengan raut wajah penuh kepuasan seolah merasakan kebahagiaan dari kesedihan yang tengah kualami.Fitnah dari Mas Raka bagai racun yang merayap, mempengaruhi pikiranku dan perasaanku.Namun, aku tidak ingin Mbak Rima semakin berbahagia melihat penderitaanku, secepatnya aku menghapus air mata yang belum sempat jatuh dan kembali membungkam emosiku.Aku menarik nafas dalam-dalam sambil berkata pada diriku sendiri, "Aku harus tetap kuat. Aku tidak boleh terpengaruh dengan fitnah ini. Ini bukan diriku yang sebenarnya."Dengan tekad yang bulat, aku segera melanjutkan pekerjaanku
Aku terharu saat mendengar Pak Attala akan membantuku untuk membalas perbuatan Mas Raka saat itu. Namun, aku belum tau dengan cara apa Pak Attala akan membantuku."Bapak akan membantu saya?" tanyaku dengan menatap wajah Pak Attala.Pak Attala lalu tersenyum ke arahku dan seketika membuat jantungku berdegup dengan kencangnya."Tentu saja aku mau membantumu, asal kau juga mau membantuku," balas Pak Attala sambil menatap wajahku. Aku merasa ada sesuatu yang berbeda dari tatapannya kali ini, membuatku tidak bisa memahami maksudnya. "Maksud Bapak?" tanyaku dengan rasa ingin tahu yang bercampur rasa was-was. Pak Attala tersenyum tipis, lalu memutar kursi yang kupakai hingga menghadap ke arahnya. Dia pun menarik kursi yang ada di belakangnya dan duduk di sana. Suasana semakin terasa tidak nyaman dan aku pun mulai gugup dibuatnya."Ini bukan karena aku memanfaatkan situasi, tapi saat ini aku memang sedang mencari seorang istri," jelas Pak Attala yang semakin membuatku terkejut dan bingung.
Aku terpaku dalam pikiranku, antara menolak dan menerima tawaran dari Pak Attala membuatku sulit untuk memutuskan, apalagi kami baru saja bertemu dan tidak mungkin jika kami harus menikah dalam waktu singkat.Lama aku berpikir, membuat Pak Attala seketika membuyarkan lamunanku."Apa yang kau pikirkan lagi, Ran? Bukankah lebih baik kita ta'aruf dan kau menerima lamaran ku? Aku akan mengatasi masalah ya g kamu hadapi dengan mantan suamimu," ujar Pak Attala dengan tatapan tajam dan penuh intimidasi ke arahku. Aku merasa terpojok dan bingung, tak tahu harus menjawab apa. Benarkah dia bisa mengatasi masalahku dengan mantan suami? Namun, bagaimana jika aku tidak sepenuhnya bisa menerima hatinya? Tiba-tiba, bunyi teleponku berdering membuyarkan lamunanku. KringKringKring. Segera, aku mengangkat telepon tersebut. "Hallo, assalamualaikum, Bu," sapaku saat menyadari bahwa itu ibuku yang menelepon. "Rania, kenapa bisa seperti ini?" Ibuku terisak saat mengatakan itu padaku. Aku merasa sepe
Keesokan harinya, seperti biasa aku bekerja dan menyiapkan kopi untuk Pak Attala. Di tempat kerjaku, aku baru berkenalan dengan beberapa rekan kerja di kantor tersebut, dan sepertinya mereka tidak menyukai kehadiranku, terutama setelah berita viral tentangku yang dibuat oleh Mas Raka di media sosialnya. "Kenapa mereka menilai ku seperti ini? Apakah mereka tidak mau tahu alasannya dulu?" gumamku dalam hati. Mereka menatapku sinis, seolah aku yang bersalah, dan banyak di antara mereka yang menggunjing di belakangku. Aku merasa tidak adil dan sedih karena perasaan dikucilkan oleh mereka. Namun, di tengah kegelapan ini, ada satu orang yang bersikap baik kepadaku, yaitu Mas Dani. Dia adalah OB, sama seperti diriku. Kemarin kami bertemu secara tidak sengaja di mini kitchen, dan saat itu kami mulai mengobrol dan saling berkenalan."Kamu jangan terlalu memikirkan apa yang mereka bicarakan, Rania. Mereka hanya melihat dari penampilan luar, yang penting kamu tidak melakukan apa yang mereka
Mereka semua terkejut, termasuk diriku yang sama terkejutnya saat mendengar ucapan Pak Attala. Tak pernah terlintas di benakku, Pak Attala akan mengumumkan hal seperti itu di depan para karyawannya yang saat itu kebetulan berada di pintu lift sedang menunggu lift terbuka. "Apa? Calon istri?" gumam mereka serempak dengan pandangan tak percaya. Aku sangat gugup, jantungku berdebar cepat. Mereka semua menatapku dengan tatapan yang berbeda dari sebelumnya. Pikiranku kembali memutar situasi seandainya, apakah mereka sekarang membenarkan bahwa tujuanku ke kota ini hanyalah untuk mencari seorang pria tajir yang bisa kumanfaatkan? Aku segera berbicara, meralat ucapan yang sudah terlontar dari mulut Pak Attala. Aku tak ingin karyawan-karyawan itu beranggapan buruk tentang diriku. "Maaf, saya perlu mengklarifikasi bahwa saya belum menjadi calon istri Pak Attala. Memang benar, beliau mengajak saya untuk ta'aruf. Namun, saya dan keluarga saya belum memutuskan apakah akan menerima atau tidak
Pandangan teduh Pak Attala begitu intens menghujamku, membuat hatiku berdebar kencang dan tak bisa menahan rasa malu serta canggung.'Kenapa dia memandangi aku seperti ini?' gumamku dalam hati, kemudian dengan segera mengalihkan pandanganku ke arah lain.Kebetulan di sampingku terdapat sebuah kemeja berwarna biru muda yang warnanya sama dengan gaun panjang yang tengah kupakai.Seolah ingin mengalihkan pembicaraan, aku berkata, "Kemeja ini cocok untuk Bapak."Aku segera memberikan kemeja tersebut yang masih tertempel pada hanger ke Pak Attala.Senyum Pak Attala muncul lembut di bibirnya, seakan dia ingin menyampaikan sesuatu padaku."Seleramu bagus, Ran. Kenapa aku tidak kepikiran untuk memilih kemeja yang senada dengan baju yang kamu pakai? Terima kasih, karena sudah memilihkan kemeja ini untukku, tunggu di sini, aku mau ganti kemejaku," ucap Pak Attala lalu menyerahkan paper bag miliknya padaku.Aku merasa terkejut dan sekaligus terheran-heran, mengingat saat itu aku sama sekali tida
Aku terkejut saat mendengar apa yang dikatakan oleh mama Pak Attala saat ini, seolah-olah jantungku mau copot setelah mendengar pernyataan itu."Iya, Ran. Maaf, jika ini membuat dirimu terkejut, tapi sebenarnya kami ingin membuat sebuah kejutan untuk dirimu," sahut Pak Attala dengan nada santainya.Aku hanya mematung dan tak tau lagi apa yang harus aku jawab. Sungguh, aku belum siap jika keluarga Pak Attala datang ke rumahku untuk bertemu dengan ibuku.Bukan hanya itu saja, aku takut akan gunjingan dari tetangga yang akan membenarkan fitnahan dari Mas Raka kepadaku."Tapi Pak, apakah ini tidak terlalu mendadak? Ibu juga belum tau soal ini, aku takut kedatangan Bapak dan keluarga, malah akan menjadi gunjingan para tetangga, mengingat saya yang masih belum selesai masa Iddah." Aku mencoba untuk menjelaskan ini kepada mereka, agar tidak salah paham dengan penolakanku."Kami mengerti maksudmu dan apa yang saat ini sedang kamu risaukan, kedatangan kami bukan untuk melamar, hanya silaturrah
Setelah pemakaman ibuku, aku hanya duduk di dekat pusaranya, memandangi gundukan tanah yang masih basah. Airmataku tak tertahankan jatuh mengalir deras dari pelupuk mataku. "Mama... kenapa harus sekarang mama meninggalkan Raka sendirian? Raka masih butuh mama," bisik hatiku, tenggelam dalam kepedihan. Aku meratapi semua kenangan yang kulewati bersama ibuku, mengingat betapa besar pengorbanannya untukku.Meskipun ibuku memiliki sifat jahat. Namun, kasih sayang dan perhatian yang dia berikan kepadaku tidak lekang oleh waktu."Kenapa mama meninggalkan aku saat aku seperti ini?" tanyaku pada pusara mamaku yang masih basah, mencari jawaban yang tidak akan pernah kudapat. Seiring berjalannya waktu, aku tetap enggan beranjak dari sisi pusara ibuku. Hingga akhirnya, Attala datang menghampiriku, menepuk pundakku pelan. "Bersedih boleh, Raka, tapi jangan kamu sampai meratapi kematian ibumu di tanah yang masih basah," ucapnya, mencoba membawaku kembali ke kenyataan. Merasa sakit yang tidak
Suasana menjadi semakin haru saat aku melihat ibuku meneteskan air mata, tanda penyesalan yang begitu dalam. Saat aku mendengar ucapan ibuku yang seolah sedang memberikan sebuah pesan terakhir untuk semua orang, seketika membuat tubuhku merinding.Entah mengapa aku merasa sesuatu yang tak enak di sana.Tak lama kemudian, ibuku kembali berkata pada Kalea, "Ibu minta maaf atas apa yang sudah ibu lakukan kepadamu, Kalea. Ibu telah menyakiti dirimu dan membuatmu menerima fitnah yang sengaja ibu buat bersama Andini demi memisahkan kalian berdua." Isak tangis ibuku semakin keras, seiring dengan penyesalan yang saat ini dia rasakan.Hatiku terenyuh, teriris oleh kesedihan yang kini harus ibu rasakan. Tapi apa boleh buat, semua ini akibat perbuatan ibuku sendiri di masa lalu.Namun, aku mencoba memahami apa yang sebenarnya ibu rasakan saat ini. Ibuku melanjutkan, "Ibu tahu bahwa kesalahan yang sudah ibu lakukan tidak pantas untuk mendapatkan maaf. Namun, saat ini ibu sudah menerima hukuman a
Aku terkejut saat mendengar apa yang diucapkan oleh mamaku, seolah apa yang dikatakannya itu adalah sebuah pesan terakhir untuk diriku. "Mama, jangan bicara aneh-aneh. Mama pasti akan sembuh setelah ini," ucapku, mencoba menguatkan mamaku yang tampak lemah.Mama menatapku dengan sorot mata yang berkaca-kaca, dan tangisan tak mampu lagi ditahannya. Ia bahkan meminta maaf kepadaku, membuat hatiku sangat terharu dan sedih. Aku pun larut dalam suasana kesedihan ketika mamaku mengatakan itu dengan penuh penyesalan."Maafkan Mama, Raka. Mama sudah membuat keluargamu hancur, dan kini kamu telah kehilangan semuanya. Mungkin ini balasan yang seharusnya Mama terima," ujar mamaku dengan isak tangis yang membuatku seketika larut dalam tangisan."Tidak, Ma. Jangan bicara begitu lagi. Raka juga bersalah dalam hal ini, semuanya karena Raka yang terlalu egois dan terlalu mengejar dunia hingga Raka menjadi orang tampak," ungkapku, tak mampu menahan air mata. Aku mencium punggung ibuku, mencoba untu
Aku terdiam sejenak, mencerna apa yang Arif katakan kepadaku. Saat ini, ekonomi benar-benar menurun drastis dan tawaran Arif terasa sangat aku butuhkan saat-saat seperti ini."Apakah dia mau membantuku? Tapi, bagaimana kalau Rania menolak membantu?" gumamku penuh kekhawatiran.Arif tampak tahu apa yang ada di benakku, dia tahu jika saat ini aku ragu akan Rania dan Attala mau membantuku.Dia tahu apa yang sebenarnya terjadi antara diriku, Kalea dan Rania di masa lalu."Aku sedikit ragu jika dia akan membantuku setelah apa yang aku lakukan di masa lalu. Kesalahan yang aku lakukan benar-benar sangat fatal, hingga aku membuat dirinya benar-benar kubuat sangat menderita. Entah mengapa aku tidak yakin jika dia mau membantu diriku saat ini," ungkapku penuh penyesalan.Arif menatap simpati kepadaku, dia berusaha untuk meyakinkan diriku saat ini, meskipun aku masih ragu jika Rania dan Attala mau memberikan bantuannya kepadaku."Jangan berpikiran buruk soal Rania dan Pak Attala. Mereka orang
Aku merasa terkejut sekaligus bingung saat mendengar tawaran yang diberikan Arif. Sebenarnya, dalam diriku ingin menolak tawaran tersebut. Namun, situasi yang sedang aku alami saat ini membuatku merasa tidak punya pilihan lain. "Benarkah ini satu-satunya jalan untuk keluar dari kondisi ini? Aku harus menerima tawaran Arif untuk bekerja menjadi sopir kantor Attala, suami Rania? Apa yang mereka pikirkan setelah tahu aku mau melamar bekerja di sana? Apakah mereka akan mentertawakan nasibku?" batinku sedih sekaligus bingung menentukan pilihanku. Tapi aku berpikir kembali, sudah seminggu ini aku lelah menjadi tukang parkir yang harus selalu bersaing dengan preman-preman untuk mendapatkan lahan. "Jika aku tidak menerima tawaran ini, aku akan menjadi tukang parkir dengan penghasilan tak menentu dan aku akan mengecewakan ibuku," pikirku lagi penuh kebimbangan.Akhirnya, dengan perasaan berat, aku menerima tawaran Arif. "Baiklah, aku mau, kapan aku bisa bekerja?" tanyaku dengan tatapan ma
Aku merasa bingung saat melihat ibuku yang tampak sangat gugup ketika aku memintanya untuk meminta maaf kepada Kalea. "Mama belum siap, Raka. Mama takut jika dia tidak akan memaafkan Mama," ujar mamaku sambil menatap wajahku bingung.Aku pun berusaha untuk mengerti perasaan ibuku, tapi aku tak bisa menahan rasa ingin tahu, apa yang sebenarnya membuatnya begitu takut. "Apa yang membuat Mama takut? Apakah ini karena dia merasa bersalah dengan apa yang dia lakukan?" gumamku dalam hati. Mungkin aku memang harus memberikan waktu untuk ibuku meminta maaf kepada Kalea. Akhirnya, setelah kami berbicara cukup lama, aku putuskan untuk mencari kos yang murah di dekat sini. Namun, sayangnya kos yang ada di depan rumahku harganya cukup mahal. Seolah tak ada pilihan lain, aku terpaksa mencari kos di dekat rumah yang sekarang sudah kujual kepada Arif. Saat kami tiba di depan tempat kos tersebut, beberapa tetangga yang mengenal kami tampak terkejut melihat kami di sana.Mereka sepertinya sedang
Aku mencoba menenangkan perasaanku ketika melihat ibuku sudah mulai gugup dan terlihat dia sedang menyembunyikan sesuatu. Mungkinkah saat ini ibuku mulai cemas saat Nadia mengatakan itu kepada ibuku?Apakah ibuku saat ini mulai merasa bersalah dengan apa yang dia lakukan kepada Nadia? Aku benar-benar sangat malu dan menyesal ketika tahu ibuku sendiri yang tega melakukan itu kepada Nadia.Demi memisahkan diriku dengan Nadia, dia rela berbuat fitnah dan membuatku percaya dengan apa yang dia katakan.Nadia tampak menatap penuh amarah, ketika dia baru saja mengatakan sesuatu yang membuat ibuku menjadi sangat gugup. Hatiku semakin percaya jika selama ini ibu yang berperan dalam penderitaan Nadia.Apakah benar ibuku telah membuat Nadia merasa seolah-olah kehilangan rahimnya karena bekerja sama dengan Andien waktu itu?Ketika kesadaran itu menerjang benakku, rasa menyesal pun menyusul, membuatku ingin segera meminta maaf kepada Nadia. "Nadia," kataku dengan suara serak,"Sebenarnya aku i
Aku, Raka, saat itu mendengar sekilas tentang Arif yang sedang menelpon seseorang. Entah mengapa, perasaan aneh muncul di benakku, seolah yang dia telpon adalah Attala, suami Rania.Aku ingin sekali mengonfirmasi perasaan ini, ingin menanyakan kepada Arif siapa sebenarnya yang sedang dia telpon. Namun, aku ragu. Aku takut jika nanti Arif tersinggung dan membuat diriku kehilangan kesempatan untuk bekerja di perusahaan tempat Arif bekerja saat ini. Apakah benar yang dia telpon adalah suami Rania? Ataukah ini hanya perasaanku saja? Arif mulai berpamitan kepadaku. "Maaf Raka, aku harus kembali ke tempat kerja, bosku sedang menelpon," ujarnya. Aku tersenyum tipis, menahan rasa penasaran yang mengusik hatiku.Tak lama kemudian Arif pergi meninggalkanku. Aku terdiam, melihat punggung Arif yang semakin menjauh. Entah apa yang harus kulakukan, mungkinkah aku salah? Aku tersentak dari lamunan, sejenak melupakan perasaan cemas yang tadi menggangguku. Kemudian aku kembali untuk menyusul ibuku,
Aku, Raka, terperangah saat mendengar pengakuan yang Arif sampaikan kepadaku. Betapa tidak, kebenaran mengenai rahim Kalea yang sebenarnya tidak diangkat membuatku terpukul dan sulit untuk mempercayainya.Ternyata selama ini, ibuku telah berbohong kepadaku. Bagaimana mungkin aku bisa begitu percaya dengan ucapan ibuku yang, waktu itu, bersekongkol dengan seorang dokter yang menggantikan dokter Ridwan di rumah sakit itu. Aku merasa frustrasi dan hampir tak bisa menerima kenyataan saat Arif mengungkapkan semua itu kepadaku. "Mengapa Mama begitu tega melakukan ini padaku dan Kalea? Apakah ini memang rencananya sejak awal?" gumamku dalam hati, merasa tertipu oleh orang yang seharusnya paling aku percayai. Arif menceritakan secara detail kejadian saat itu, tak ada yang dia sembunyikan ketika dia mengungkapkan semuanya. Di dalam hati, aku merasa semakin hancur mendengar kebenaran ini. "Bagaimana aku bisa memaafkan Mama setelah kejadian ini? Apakah Kalea akan mampu melupakan semuanya d