Share

Bab 3 Kelicikan Mas Raka

Setelah menyaksikan rumah itu telah hancur luluh lantak di atas tanah, aku tersenyum puas di dalam hati.

"Akhirnya, balas dendamku terlunasi, dengan cara ini, aku sudah meminta hak atas rumah yang aku bangun dari keringatku," gumamku pelan.

Tampak mereka mulai mengumpati dan mengusirku. Aku tak peduli, karena yang penting bagi ku adalah kebahagiaan ibuku. Dengan langkah tegap, aku meninggalkan tempat itu menuju ke rumah ibuku yang berada di kota lain, tak jauh dari rumah ibu mertuaku.

Sementara itu, Ibu mertuaku tampak pingsan saat melihat rumah yang ku bangun sudah luluh lantak karena buldozer yang menghancurkannya.

Sebuah penyesalan terbersit di benakku. Namun terlalu larut untuk merasa bersalah, ketika melihat Mas Raka akan menempati rumah itu bersama dengan istri barunya yang tak lain adalah sahabatku sendiri.

Saat aku hendak pergi meninggalkan tempat tersebut, tampak Mas Raka menghalangi langkahku, menatapku dengan marah dan mulai menuntut diriku.

"Kau harus ganti rugi! Ini adalah rumah ibuku! Kau sudah menghancurkan rumah ibuku!" seru Mas Raka dengan mencengkram erat pergelangan tanganku.

Kerutan di dahi memuncak dan tanganku bergetar. Pikiran berkecamuk, apakah tindakanku yang menghancurkan rumah ini benar-benar sudah sepadan dengan apa yang mereka lakukan terhadap diriku yang telah dikhianati? Hanya satu kata yang terucap di dalam hati, "Ini adalah pembalasanku atas apa yang sudah kalian lakukan kepadaku, aku tidak akan pernah rela kalian menempati rumah yang aku bangun dari jerih payahku selama ini."

Merasa tak terima dengan apa yang dikatakan oleh Mas Raka, aku pun membalas ucapan Mas Raka dengan nada marah.

"Apa kau bilang? Rumah ibumu? Tanah ini memang tanah ibumu, Mas. Tapi, yang membangun rumah ini adalah uang hasil keringatku. Aku hanya mengambil apa yang sudah menjadi hakku," balasku sengit dengan menatap nyalang wajah Mas Raka yang saat ini terlihat sangat marah kepadaku.

"Jaga ucapanmu! Kau tidak berhak atas bangunan ini. Semua ini sudah atas nama ibuku semua. Asal kau tau Rania, aku juga ikut membangun rumah ini," kata Mas Raka dengan nada marah.

"Apa Mas? Kau ikut membangun rumah ini? Uang dari mana kamu, Mas? Selama dengan diriku, kau menjadi pengangguran, hingga kau memintaku untuk melamar si luar negri. Beruntung aku memiliki skill yang cukup baik, hingga aku bisa bekerja di perusahaan ternama dan mampu mengirimkan uang yang cukup banyak untuk kamu, Mas," cibirku mencoba untuk mengingatkan Mas Raka kembali.

Mas Raka menatap wajahku seolah tak terima dengan apa yang aku katakan. Ia mengepalkan kedua tangannya dan ku lihat kedua rahangnya tampak mengeras, seolah sedang menahan amarah kepadaku.

Dengan tangan yang masih tertahan, ku lihat Mas Raka kini sudah mulai mengangkat tangannya ke arah wajahku, seketika aku pun memberikan pipiku ke arah tangannya.

"Tampar Mas! Tampar aku!" kataku dengan menahan tubuhku yang saat ini sedang bergetar hebat menahan rasa amarah dan perasaan takutkan saat tangan Mas Raka masih tertahan di atas.

Mas Raka menatapku yamg saat ini sudah tak bisa menahan buliran bening yang kini sudah jatuh di pipiku.

"Kalau aku tidak punya hati, sudah aku aku arahkan tangan ini ke wajahmu. Asal kamu tau, Tania, aku sudah berkerja di sebuah perusahaan dan aku tidak memerlukan uang darimu lagi!" balas Mas Raka dengan menatap sinis ke arahku.

"Jika begitu, balikkan seluruh uang yang aku transfer setiap bulan kepadamu, Mas," balasku mulai mengepalkan kedua tanganku dengan erat.

"Apa kau bilang? Mengembalikan uang yang kau transfer? Apa kau sudah tidak waras Rania? Kau lihat rumah itu? Kau pikir kau bisa mengembalikan rumah yang kau hancurkan itu kepadaku saat ini? Anggap saja uang yang kau kirimkan itu adalah sebagai cicilan ganti rugi uang ini, kau juga harus tetap membayar ganti rugi atas rumah ibuku yang kau hancurkan, Rania!" balas Mas Raka dengan menatap wajahku penuh kemarahan.

"Aku tidak akan pernah mau mengganti rugi atas rumah yang aku bangun dari peluhku, Mas. Aku berhak untuk menghancurkan rumah ini, sebaiknya Mas Raka jangan pernah bermimpi!" balasku lalu bergegas pergi meninggalkan tempat tersebut.

Aku pun segera melanjutkan perjalananku menuju ke rumah ibuku dengan menggunakan bus, dengan mata yang sudah mulai sembab, aku pun mencari cara untuk menyembunyikan apa yang terjadi dengan diriku saat ini kepada ibuku saat aku akan tiba nanti.

Dua jam perjalanan, aku pun akhirnya sampai di rumah ibuku.

Ku tahan tangisanku agar tidak keluar dari pelupuk mataku. Ketika aku sudah berdiri di depan pintu rumahku, aku pun mengetuk pintu dan mengucapkan salamku.

"Assalamualaikum, Ibu, ini Rania," salamku sambil ku teriak memanggil ibuku.

Beberapa saat kemudian, ku dengar suara pintu rumah itu pun terbuka.

Ceklek

Ku lihat wajah Ibuku yang saat ini menatap wajahku tak percaya jika aku sudah pulang ke kampung halamanku.

"Waalaikumsalam ..., ya Allah, apakah ini kamu, Nak?" Ibuku menyambut diriku dengan pelukan hangat dan ciuman di keningku.

Aku pun tak bisa mengendalikan perasaan haru ku, air mata yang sejak tadi ku simpan, akhirnya keluar begitu saja membasahi pipiku.

"Iya Bu, ini aku Rania," balasku dengan menganggukkan kepalaku.

Ibuku tampak sangat senang dan terus memeluk diriku, air matanya tak henti keluar dari pelupuk matanya saat melihatku kini sudah berada di depan matanya.

Ibuku lalu menyuruhku masuk ke dalam rumah dan di sana Ibu bertanya banyak hal tentang diriku, pekerjaanku dan kini pertanyaan yang tak bisa aku jawab adalah, saat ibuku bertanya tentang Mas Raka.

"Bagaimana kabar Raka? Lama dia tidak silaturrahmi ke sini, dulu saat kamu pertama kali pergi, Raka selalu silaturahmi ke sini dan memberikan sebagian uang yang kau kirimkan kepadanya. Namun, setelah tujuh bulan kau berada di sana, dia tidak pernah menampakkan batang hidungnya ke sini lagi," ucap ibuku yang membuatku sangat marah.

"Jadi selama ini, Mas Raka hanya memberikan uang kepada ibuku selama tujuh bulan saja? Keterlaluan kamu, Mas. Padahal aku sudah berpesan kepadamu, jika sebagian uang itu untuk ibuku. Awas kamu Mas, aku akan meminta kembali uang ibuku," gumamku dalam hati.

Saat aku hendak mengatakan sesuatu kepada ibuku, tiba-tiba terdengar suara ketukan dari pintu dan membuat percakapan kami pun terhenti.

Saat itulah ibuku membuka pintu dan terkejut saat melihat Mas Raka bersama dengan beberapa orang polisi dan juga pak RT datang ke rumah kami.

"Maaf Bu, kami dari pihak kepolisian, atas laporan dari Pak Raka, putri Ibu yang bernama Rania telah melakukan tindakan tidak menyenangkan dan juga pengrusakan yang dilakukannya di rumah Ibu Eni, ibu Bapak Raka. Maka dari itu kami ke sini mau menyelesaikan permasalahan ini secara kekeluargaan terlebih dahulu dengan putri Ibu dengan jalan mengganti rugi atas kerusakan yang dilakukan oleh putri ibu terhadap rumah Bu Eni," jelas petugas itu yang seketika membuat diriku sangat terkejut.

"Apa? Saya melakukan pengrusakan rumah mertua saya? Itu tidak benar Pak. Yang ada saya merusak bangunan rumah yang saya bangun di atas keringat saya sendiri, Pak. Bangunan rumah itu saya yang bangun dan saya berhak atas rumah itu!" sahutku dengan nada tegas.

Ibuku yang tak tau duduk permasalahannya seperti apa, tampak shock dan terkejut dengan kejadian ini.

"Ada apa ini? Apa yang kalian bicarakan? Rumah siapa yang kau rusak? Tolong jelaskan kepadaku!" seru ibuku dengan tubuh mulai bergetar.

"Rumah kami, Bu. Aku merusak bangunan yang aku bangun dari jerih payahku dan aku tidak akan membiarkan Mas Raka menempati rumah itu bersama Kalea, sahabatku yang sudah mengambil Mas Raka dariku, dan sekarang dia menjadi istri muda Mas Raka," sahutku dengan emosi yang tak terkontrol lagi.

"Apa? Raka menikah lagi?" tanya Ibuku langsung tubuhnya seketika merosot ke bawah dan memegangi jantungnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status