Bab 4. Keputusan Alma

"Mereka benar-benar melakukannya."

Alma masih berdiri mematung di lobi hotel, tubuhnya menegang, napasnya tercekat. Tatapannya terpaku pada dua sosok yang baru saja selesai check-in dan menghilang di balik lift. Arhan dan Nadine, suami yang telah ia percayai sepenuh hati, dan adik yang ia rawat sejak kecil.

Felix, yang berdiri di sebelahnya, juga tampak terkejut. Rahangnya mengeras, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Ia tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka lihat.

"Alma ..." Suara Felix pelan, hampir seperti bisikan.

Namun, Alma tidak merespons. Matanya masih menatap lurus ke arah lift yang telah tertutup. Arhan dan Nadine tidak menyadari kehadirannya di hotel ini.

Felix mengalihkan pandangannya ke Alma, menatap wanita itu dengan ekspresi campur aduk. Antara cemas dan iba.

"Alma, kamu baik-baik saja?" Felix mencoba menyentuh lengannya, tetapi Alma tetap diam.

Kemudian, tanpa sepatah kata, Alma berbalik dan melangkah keluar dari hotel. Langkahnya cepat dan tegas, rasanya ingin segera meninggalkan tempat itu sebelum amarah dan rasa sakitnya meledak.

Felix pun langsung menyusulnya.

Begitu sampai di luar hotel, Alma berhenti di dekat taman kecil yang ada di sisi bangunan. Tangannya masih mengepal di samping tubuhnya yang bergetar hebat.

Felix berdiri di depannya, menatapnya dengan penuh simpati.

"Alma, aku ..." Felix menghela napas, berusaha mencari kata-kata yang tepat. "Aku nggak nyangka."

Alma menutup matanya beberapa saat, berusaha menahan tangis yang mulai menggenang. Namun, usahanya sia-sia. Setetes air mata akhirnya jatuh dari sudut matanya.

"Selama ini aku percaya sama mereka, Felix," suaranya bergetar. "Aku pikir aku terlalu curiga. Aku pikir aku yang salah karena merasa ada sesuatu yang janggal. Tapi nyatanya ..., aku benar."

Felix menatapnya dengan tajam. "Dan kamu nggak boleh diam aja setelah tahu ini, Alma."

Alma menatap Felix, matanya memerah karena emosi yang bercampur aduk." Oh, itu jelas. Tentu saja aku tidak akan tinggal diam, Felix."

"Jadi, apa rencanamu sekarang?" Felix menatap Alma dengan serius.

Alma tersenyum getir. "Sepertinya aku akan menerima tawaranmu tadi. Aku akan kembali ke rumah sakit."

"Bagus! Itu keputusan yang sangat tepat, Al. Kamu akan menjadi dokter anak terbaik di sana." Felix tersenyum senang.

"Satu lagi, Felix.'

"Apa."

"Tolong tetap rahasiakan identitasku yang sebenarnya pada siapapun di rumah sakit itu." Alma bicara penuh penekanan.

"Kenapa? Bukankah sebagai pemilik saham terbesar, kamu bisa melakukan apapun? Termasuk memecat Arhan dan Nadine." Netra Felix menyipit.

Alma menggelleng. "Tidak! Mereka jangan tau dulu. Biarkan semua berjalan apa adanya."

"Baiklah, jika itu maumu. Aku akan merahasiakannya. Jadi, kapan kamu mau mulai praktek? Besok, lusa?"

"Secepatnya, Felix," tegas Alma.

"Baiklah. Aku akan urus semuanya ."

Alma tersenyum tipis. "Terima kasih, Felix."

Felix menatapnya lekat. "Aku akan selalu ada di pihak kamu, Alma."

Alma menghela napas panjang, lalu mengalihkan pandangannya ke hotel yang kini terasa seperti tempat paling menjijikkan di matanya.

Ia mengepalkan tangannya.

"Baiklah, Mas Arhan, Nadine. Kalian pikir aku akan diam saja? Kalian pikir aku akan terus jadi istri yang bodoh? Kita lihat siapa yang akan hancur nantinya," tekad Alma dalam hati.

"Ayo, aku antar pulang!" Suara Felix membuat Alma menoleh. Lalu ia mengangguk setuju. Mungkin ada bebarapa hal yang akan mereka bicarakan mengenai keputusannya tadi. Ia harus segera mempersiapkan diri untuk kembali terjun ke dunia medis.

"Sekarang kamu sudah lebih baik, kan?" Felix menatap Alma sesaat sebelum ia mulai mengemudi.

Alma mengangguk meski sebenarnya hatinya remuk.

Andai saja tadi tidak ada Felix, mungkin saja dia tidak akan sanggup untuk pulang. Entah seperti apa hatinya nanti ketika bertemu dua pengkhianat itu di rumah.

Malam itu, Alma tidak bisa tidur. Ia tidak peduli Nadine dan Arhan belum pulang.

Ia duduk di meja kerja di kamarnya, menatap layar laptopnya yang menampilkan dokumen kontrak kerja dari rumah sakit. Felix bergerak sangat cepat, hanya dalam waktu beberapa jam, ia sudah mengirimkan dokumen resmi untuk Alma tanda tangani.

Tangannya terhenti di atas touchpad laptop.

Ia tahu begitu ia menandatangani ini, semuanya akan berubah.

Ia akan kembali ke dunia medis. Ia akan kembali ke rumah sakit.

Dan ia akan berhadapan langsung dengan Arhan dan Nadine.

Sebuah senyum tipis terukir di wajahnya.

Kalian pikir aku akan terus jadi wanita yang bisa diinjak begitu saja? Tidak lagi.

Alma menghela napas panjang, lalu tanpa ragu, ia mengklik tombol dan ... selesai. Ia telah menandatangani kontrak resmi.

Ia kembali terjun ke dunia medis. Permintaan sang ayah sebelum meninggal.

"Mas Arhan, Nadine, permainan baru dimulai." Alma tersenyum miring sambil menatap layar laptop. Hingga beberapa detik kemudian terdengar suara mobil memasuki halaman.

"Hmm, mereka baru pulang. Kira-kira apa tanggapan mereka nanti saat bertemu denganku di rumah sakit?"

(bersambung)