"Mas, ini pakaian dalam siapa?”
Alma bertanya pada sang suami sembari mengangkat sebuah benda berbentuk segitiga dengan warna merah menyala. Wajahnya mengernyit, antara sibuk berpikir dan sedikit jijik. Benda itu ia temukan di dalam mobil suaminya, di bawah kursi ketika ia bersih-bersih. Alma jelas akan mengenali jika benda itu adalah miliknya, tapi ia tidak ingat ia punya pakaian dalam seseksi ini. Apalagi, ini seperti bekas pakai dan sudah kotor. Sementara itu, Arhan terdiam mengamati pakaian dalam tersebut selama beberapa saat. Bibir pria itu sedikit terbuka dan matanya melebar, seperti tengah terperangah. “Mas?” panggil Alma. Kini nadanya terdengar lebih mendesak. “Kamu tahu?” “Itu–” “Pagi, semuanya!” Ucapan Arhan terputus oleh sapaan adik Alma, Nadine, yang tiba-tiba muncul. Gadis berusia 22 tahun itu tampak ceria seperti biasa. “Hari ini aku dapat jadwal–eh, ada apa, Kak?” Bola mata Nadine tampak membesar saat melihat pakaian dalam yang ada di tangan Alma. Wajahnya yang polos terlihat terkejut. Alma hanya melirik adiknya sekilas, sebelum tatapannya kembali ke sang suami. “Mas Arhan,” ucap Alma lagi. Nada suaranya terdengar tegas. “Jawab aku. Pakaian dalam siapa ini?” Sang suami yang tidak kunjung menjawab pertanyaannya membuat kecurigaan Alma makin tumbuh. Sudah beberapa waktu belakangan ini, sikap sang suami pada Alma terasa berbeda. Dingin dan jarang mengobrol dengannya. Pria itu bahkan kerap kali menginap di rumah sakit dengan alasan jaga malam dan kalaupun tidak sedang giliran jaga, Arhan seringnya keluar rumah dengan alasan bertemu dengan teman atau kolega, atau alasan lainnya. Tentunya Alma memahami hal tersebut. Mungkin suaminya stres karena jadwal rumah sakit yang padat. Namun, pagi ini, Alma menemukan pakaian dalam asing di mobil sang suami. Istri mana yang tidak curiga? “Mas,” panggil wanita berhijab tersebut.. “Alma, kenapa kamu seperti menuduhku yang tidak-tidak?” Akhirnya Arhan berucap. “Kamu menghindar, Mas?” “Siapa yang menghindar!?” Suara Arhan terdengar lebih keras. “Aku tanya dulu sama kamu. Memangnya aku pernah melakukan apa sampai-sampai kamu menuduhku seperti ini?” “Mas, aku tidak–” “Itu punyaku, Kak!” Alma menoleh pada Nadine saat adiknya mengatakan hal tersebut. “Punya kamu?” tanya Alma, memastikan. Wajah Nadine sudah merah. Gadis itu menunduk, menghindari tatapan Alma, tampaknya sedang menahan malu. “I-iya, Kak,” ucap Nadine pelan. Suaranya terdengar gemetar. Gadis itu kemudian berjalan mendekati Alma dan meraih pakaian dalam merah itu lalu memasukkannya secara asal ke balik baju. “Jangan begitu, Kak. Malu dilihat Mas Arhan.” Alma mengernyit. “Kenapa pakaian dalam kamu bisa jatuh di mobil?” tanyanya. “Kamu tidak pakai dalaman?” “Aku sering bawa baju ganti, Kak. Kalau-kalau tidak sempat pulang,” jelas Nadine, masih dengan wajah tertunduk. “Kemarin kan juga aku seperti biasa menumpang mobil Mas Arhan. Mungkin terjatuh, Kak.” Hening sejenak. “Lain kali jangan berpikiran macam-macam, Alma.” Arhan kemudian berkomentar. “Aku sudah lelah di rumah sakit. Di rumah justru dituduh begini.” Alma menoleh menghadap suaminya. “Mas, aku–” “Kak, jangan bertengkar dengan Mas Arhan. Ini salahku. Maafkan aku, Kak.” Nadine menggenggam tangan Alma, menghentikan ucapan kakaknya tersebut. “Aku yang ceroboh. Kalian jadi berdebat pagi-pagi begini. Bagaimana kalau didengar tetangga ….” “Sudahlah, Nadine. Kakakmu yang salah,” cetus Arhan lagi. Wajahnya kini terlihat masam. “Kamu tidak perlu minta maaf.” Alma terdiam sejenak mendengar itu. “Maaf, Mas” ucapnya kemudian, mengakui kesalahannya. Apalagi sampai suaminya tersinggung begitu. Lalu, ia menoleh pada sang adik dan dan menepuk bahu Nadine disertai senyum. “Tidak apa-apa. Ayo sarapan bersama.” Wanita itu mengusir jauh-jauh prasangka dalam hatinya. Mungkin perubahan sang suami hanya karena tekanan dari pekerjaannya sebagai seorang dokter, serta kesibukannya di rumah sakit saja. Bukan berarti Arhan sengaja bersikap dingin padanya. Mungkin Alma bersikap berlebihan. Meski begitu, entah kenapa Alma tidak bisa menepiskan perasaan tidak nyaman dalam hatinya. “Kak, apakah Kakak curiga Mas Arhan selingkuh?” Alma mengernyit. Ia terkejut dengan pertanyaan sang adik saat mereka sedang mencuci piring bersama usai sarapan. “Kenapa kamu tanya begitu?” “Soalnya tadi Kakak langsung menuduh Mas Arhan. Padahal itu pakaian dalam punyaku,” balas Nadine lirih. Ia menunduk memandangi bak cuci piring, tampak bersalah. “Jangan begitu, Kak. Mas Arhan pria baik-baik.” Alma kemudian mendengar Nadine menghela napas pelan sebelum melanjutkan, “Mas Arhan sudah bantu aku buat dapat kerja di rumah sakit, Kak. Aku merasa tidak enak sudah menempatkan Mas Arhan di posisi ini, karena kecerobohanku.” “Maaf, Nad. Sepertinya aku sedang banyak pikiran,” sahut Alma. “Mas Arhan belakangan jadi dingin.” “Karena itu Kakak berpikir Mas Arhan ada main-main di luar?” tanya Nadine. “Aduh, Kak. Belakangan pasien Mas Arhan di rumah sakit itu membludak. Dokter spesialis yang jadi rekan Mas Arhan sedang cuti, jadi pasiennya dialihkan ke Mas Arhan.” “Mungkin itu yang membuat Mas Arhan jadi pendiam. Bukan karena Mas Arhan selingkuh.” Nadine mengakhiri ucapannya. “Kakak ini. Kenapa jadi curigaan sekali?” Sementara itu, Alma terdiam. Mendengar ucapan Nadine, dia jadi merasa bersalah pada suaminya. “Terima kasih, Nadine.” Alma berucap pada adiknya kemudian. “Nanti Kakak akan minta maaf lagi pada kakak iparmu.” Nadine tampak puas mendengarnya. "Pokoknya Kakak nggak usah berpikir macam-macam tentang Mas Arhan. Meski memang gosip dan skandal rumah sakit itu panas-panas, Mas Arhan nggak ada main dengan wanita lain." Nadine bicara penuh keyakinan. Wajahnya yang ceria membuat Alma sedikit lebih lega. "Nadine, kamu bareng Mas lagi hari ini?" tanya Arhan saat melangkah menuju mobilnya. “Cepat, nanti kita terlambat.” "Oh, iya, Mas! Aku dinas pagi hari ini." Nadine meraih tasnya, lalu bergegas menyusul Arhan setelah berbisik pada Nadine, “Tenang, Kak. Kak Alma bisa titipkan Mas Arhan padaku. Kujamin dia tidak macam-macam di belakang, Kakak!” Alma hanya tersenyum menatap kepergian suami dan adiknya tersebut. “Berangkat bareng lagi, Mbak Alma?” Alma menoleh saat seorang wanita paruh baya menghampirinya. Sosok itu merupakan tetangga sebelah rumah Alma, Bu Retno namanya. “Eh, iya, Bu. Kan tempat kerjanya sama,” jawab Alma sambil tersenyum. “Jadi sekalian. Lumayan, irit ongkos juga.” “Hm … iya sih. Tapi begini, Mbak. Saya mau kasih saran saja. Lebih baik jangan terlalu sering membiarkan adik Mbak Alma itu berdua bareng suami.” Alma mengernyit, merasa heran. “Memang kenapa, Bu?” “Memangnya Mbak Alma tidak khawatir semisal mereka selingkuh berdua?” (Bersambung)"Memangnya Mbak Alma tidak khawatir semisal mereka selingkuh berdua?”Alma tampak terkejut kali ini mendengar ucapan Bu Retno. Dan tampaknya Bu Retno juga menyadari hal tersebut karena wanita paruh baya itu buru-buru meminta maaf.“Maaf, Mbak. Saya tidak ada niat apa-apa. Saya tahu Nadine itu adik Mbak Alma dan mereka berdua adalah saudara ipar,” ujar Bu Retno. “Tapi mereka bersama nyaris setiap hari. Pulang pergi bareng terus. Saya cuma mengingatkan saja, karena laki-laki kalau perempuan kalau terlalu sering bersama, pasti ada aja godaannya.”Deg!Ucapan Bu Retno menguatkan rasa gelisah dalam hati Alma. Namun, wanita itu berusaha mengusir bayangan-bayangan tidak mengenakkan apalagi setelah mendengar kata-kata Nadine beberapa saat yang lalu.Ia tidak boleh mencurigai suami dan adiknya seperti ini.“Bu, saya sudah ikut mengasuh Nadine sejak kecil. Ibu kami juga berpesan untuk terus menjaga Nadine sebelum beliau meninggal,” kata Alma. Suaranya terdengar lembut, tapi mengandung ketegasan
"Alma? Serius ini kamu?"Suara bariton itu akhirnya menyapa Alma lebih dulu. Pria tinggi tegap dengan jas dokter itu mendekat."Felix?" Alma mengerjap, terkejut melihat sosok itu setelah sekian lama. Wajahnya masih sama seperti yang ia ingat, hanya saja kini lebih dewasa dan lebih berwibawa.Felix tersenyum lebar. "Gila! Aku hampir nggak percaya ini kamu! Udah berapa tahun kita nggak ketemu?"Alma tersenyum kecil. "Cukup lama, ya. Sejak aku menikah, kita jarang ketemu lagi."Felix tertawa kecil. "Iya, bener. Terakhir kita ngobrol itu pas kamu baru lulus spesialis, terus tiba-tiba menghilang dari dunia kedokteran. Aku pikir kamu kabur ke luar negeri!"Alma terkekeh pelan. "Nggak, aku cuma memilih fokus sama rumah tangga."Felix mengangkat alisnya. "Bagaimana kabarmu kini? Kamu baik-baik aja, kan?"Alma mengangguk, meski dalam hati ia tahu jawabannya tidak sesederhana itu."Kamu ada waktu nggak? Aku lagi break makan siang. Aku traktir," ujar Felix tiba-tiba.Alma ragu, ia berpikir sej
"Mereka benar-benar melakukannya." Alma masih berdiri mematung di lobi hotel, tubuhnya menegang, napasnya tercekat. Tatapannya terpaku pada dua sosok yang baru saja selesai check-in dan menghilang di balik lift. Arhan dan Nadine, suami yang telah ia percayai sepenuh hati, dan adik yang ia rawat sejak kecil. Felix, yang berdiri di sebelahnya, juga tampak terkejut. Rahangnya mengeras, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Ia tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka lihat. "Alma ..." Suara Felix pelan, hampir seperti bisikan. Namun, Alma tidak merespons. Matanya masih menatap lurus ke arah lift yang telah tertutup. Arhan dan Nadine tidak menyadari kehadirannya di hotel ini. Felix mengalihkan pandangannya ke Alma, menatap wanita itu dengan ekspresi campur aduk. Antara cemas dan iba. "Alma, kamu baik-baik saja?" Felix mencoba menyentuh lengannya, tetapi Alma tetap diam. Kemudian, tanpa sepatah kata, Alma berbalik dan melangkah keluar dari hotel. Langkahnya cepat dan tegas
"Sudah larut malam, kalian baru pulang?" Alma duduk santai di sofa ruang tam. u, kedua kakinya disilangkan, secangkir teh masih mengepul di tangannya. Ia tersenyum saat melihat pintu utama terbuka perlahan.Arhan dan Nadine langsung berhenti di ambang pintu. Mata mereka membesar. Mereka tidak menyangka Alma masih terjaga.Biasanya, di jam selarut ini, Alma sudah terlelap di kamar. "K-Kak Alma, belum tidur?" Suaranya sedikit bergetar, namun wajahnya seperti memaksakan diri untuk tersenyum.Arhan yang berdiri di sebelahnya tampak lebih tenang, meskipun tangannya refleks mencengkeran tali ransel yang masih menggantung di punggungnya.Alma tersenyum, mengangkat cangkirnya sedikit. "Aku nggak bisa tidur. Jadi, aku putuskan untuk duduk di sini. Lagian ... aku penasaran, kenapa kalian bisa pulang selarut ini? Bukannya kalian dinas pagi, ya? Arhan dan Nadine saling bertukar pandang. Nadine dengan cepat merapikan rambutnya yang sedikit berantakan, sementara Arhan berdeham sebelum menja
"Aku ingin tahu sudah sejauh mana mereka membohongiku selama ini." Siang itu, Alma memutuskan untuk berkunjung ke rumah sakit tempat Arhan dan Nadine bekerja. Ia tidak memberi tahu siapa pun, hanya mengikuti nalurinya yang mengatakan bahwa ada sesuatu yang harus ia cari tahu. Begitu masuk ke dalam gedung rumah sakit, aroma antiseptik yang khas langsung menyambutnya. Suasana yang telah lama menyatu dalam dirinya. Namun terpaksa ia tinggalkan demi menuruti permintaan suami dan mertuanya. Baru beberapa langkah melewati lorong rumah sakit, seorang pria tua dengan jas putih mendekatinya. "Alma?" Suara itu seketika membuat Alma tersenyum lebar. Ia menoleh pada sosok yang ternyata adalah Profesor Mahendra, guru besar yang dulu begitu ia hormati saat masih kuliah. "Profesor," Alma sedikit membungkuk sebagai tanda hormat. "Astaga, sudah berapa lama kita tidak bertemu?" Profesor Mahendra menatap Alma dengan sorot mata berbinar penuh kenangan. "Kamu masih secantik dan secerdas dulu
"Aku ingin tahu sudah sejauh mana mereka membohongiku selama ini." Siang itu, Alma memutuskan untuk berkunjung ke rumah sakit tempat Arhan dan Nadine bekerja. Ia tidak memberi tahu siapa pun, hanya mengikuti nalurinya yang mengatakan bahwa ada sesuatu yang harus ia cari tahu. Begitu masuk ke dalam gedung rumah sakit, aroma antiseptik yang khas langsung menyambutnya. Suasana yang telah lama menyatu dalam dirinya. Namun terpaksa ia tinggalkan demi menuruti permintaan suami dan mertuanya. Baru beberapa langkah melewati lorong rumah sakit, seorang pria tua dengan jas putih mendekatinya. "Alma?" Suara itu seketika membuat Alma tersenyum lebar. Ia menoleh pada sosok yang ternyata adalah Profesor Mahendra, guru besar yang dulu begitu ia hormati saat masih kuliah. "Profesor," Alma sedikit membungkuk sebagai tanda hormat. "Astaga, sudah berapa lama kita tidak bertemu?" Profesor Mahendra menatap Alma dengan sorot mata berbinar penuh kenangan. "Kamu masih secantik dan secerdas dulu
"Sudah larut malam, kalian baru pulang?" Alma duduk santai di sofa ruang tam. u, kedua kakinya disilangkan, secangkir teh masih mengepul di tangannya. Ia tersenyum saat melihat pintu utama terbuka perlahan.Arhan dan Nadine langsung berhenti di ambang pintu. Mata mereka membesar. Mereka tidak menyangka Alma masih terjaga.Biasanya, di jam selarut ini, Alma sudah terlelap di kamar. "K-Kak Alma, belum tidur?" Suaranya sedikit bergetar, namun wajahnya seperti memaksakan diri untuk tersenyum.Arhan yang berdiri di sebelahnya tampak lebih tenang, meskipun tangannya refleks mencengkeran tali ransel yang masih menggantung di punggungnya.Alma tersenyum, mengangkat cangkirnya sedikit. "Aku nggak bisa tidur. Jadi, aku putuskan untuk duduk di sini. Lagian ... aku penasaran, kenapa kalian bisa pulang selarut ini? Bukannya kalian dinas pagi, ya? Arhan dan Nadine saling bertukar pandang. Nadine dengan cepat merapikan rambutnya yang sedikit berantakan, sementara Arhan berdeham sebelum menja
"Mereka benar-benar melakukannya." Alma masih berdiri mematung di lobi hotel, tubuhnya menegang, napasnya tercekat. Tatapannya terpaku pada dua sosok yang baru saja selesai check-in dan menghilang di balik lift. Arhan dan Nadine, suami yang telah ia percayai sepenuh hati, dan adik yang ia rawat sejak kecil. Felix, yang berdiri di sebelahnya, juga tampak terkejut. Rahangnya mengeras, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Ia tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka lihat. "Alma ..." Suara Felix pelan, hampir seperti bisikan. Namun, Alma tidak merespons. Matanya masih menatap lurus ke arah lift yang telah tertutup. Arhan dan Nadine tidak menyadari kehadirannya di hotel ini. Felix mengalihkan pandangannya ke Alma, menatap wanita itu dengan ekspresi campur aduk. Antara cemas dan iba. "Alma, kamu baik-baik saja?" Felix mencoba menyentuh lengannya, tetapi Alma tetap diam. Kemudian, tanpa sepatah kata, Alma berbalik dan melangkah keluar dari hotel. Langkahnya cepat dan tegas
"Alma? Serius ini kamu?"Suara bariton itu akhirnya menyapa Alma lebih dulu. Pria tinggi tegap dengan jas dokter itu mendekat."Felix?" Alma mengerjap, terkejut melihat sosok itu setelah sekian lama. Wajahnya masih sama seperti yang ia ingat, hanya saja kini lebih dewasa dan lebih berwibawa.Felix tersenyum lebar. "Gila! Aku hampir nggak percaya ini kamu! Udah berapa tahun kita nggak ketemu?"Alma tersenyum kecil. "Cukup lama, ya. Sejak aku menikah, kita jarang ketemu lagi."Felix tertawa kecil. "Iya, bener. Terakhir kita ngobrol itu pas kamu baru lulus spesialis, terus tiba-tiba menghilang dari dunia kedokteran. Aku pikir kamu kabur ke luar negeri!"Alma terkekeh pelan. "Nggak, aku cuma memilih fokus sama rumah tangga."Felix mengangkat alisnya. "Bagaimana kabarmu kini? Kamu baik-baik aja, kan?"Alma mengangguk, meski dalam hati ia tahu jawabannya tidak sesederhana itu."Kamu ada waktu nggak? Aku lagi break makan siang. Aku traktir," ujar Felix tiba-tiba.Alma ragu, ia berpikir sej
"Memangnya Mbak Alma tidak khawatir semisal mereka selingkuh berdua?”Alma tampak terkejut kali ini mendengar ucapan Bu Retno. Dan tampaknya Bu Retno juga menyadari hal tersebut karena wanita paruh baya itu buru-buru meminta maaf.“Maaf, Mbak. Saya tidak ada niat apa-apa. Saya tahu Nadine itu adik Mbak Alma dan mereka berdua adalah saudara ipar,” ujar Bu Retno. “Tapi mereka bersama nyaris setiap hari. Pulang pergi bareng terus. Saya cuma mengingatkan saja, karena laki-laki kalau perempuan kalau terlalu sering bersama, pasti ada aja godaannya.”Deg!Ucapan Bu Retno menguatkan rasa gelisah dalam hati Alma. Namun, wanita itu berusaha mengusir bayangan-bayangan tidak mengenakkan apalagi setelah mendengar kata-kata Nadine beberapa saat yang lalu.Ia tidak boleh mencurigai suami dan adiknya seperti ini.“Bu, saya sudah ikut mengasuh Nadine sejak kecil. Ibu kami juga berpesan untuk terus menjaga Nadine sebelum beliau meninggal,” kata Alma. Suaranya terdengar lembut, tapi mengandung ketegasan
"Mas, ini pakaian dalam siapa?”Alma bertanya pada sang suami sembari mengangkat sebuah benda berbentuk segitiga dengan warna merah menyala. Wajahnya mengernyit, antara sibuk berpikir dan sedikit jijik.Benda itu ia temukan di dalam mobil suaminya, di bawah kursi ketika ia bersih-bersih. Alma jelas akan mengenali jika benda itu adalah miliknya, tapi ia tidak ingat ia punya pakaian dalam seseksi ini.Apalagi, ini seperti bekas pakai dan sudah kotor.Sementara itu, Arhan terdiam mengamati pakaian dalam tersebut selama beberapa saat. Bibir pria itu sedikit terbuka dan matanya melebar, seperti tengah terperangah.“Mas?” panggil Alma. Kini nadanya terdengar lebih mendesak. “Kamu tahu?”“Itu–”“Pagi, semuanya!” Ucapan Arhan terputus oleh sapaan adik Alma, Nadine, yang tiba-tiba muncul. Gadis berusia 22 tahun itu tampak ceria seperti biasa. “Hari ini aku dapat jadwal–eh, ada apa, Kak?”Bola mata Nadine tampak membesar saat melihat pakaian dalam yang ada di tangan Alma. Wajahnya yang polos te