Ratna bergegas menuruni anak tangga, "Ra, kamu WA aja yang punya nomer ini. Tanyain, per-box itu isinya mau berapa? Sekalian sama minumannya atau gimana? Terus juga kalau tetap mau 500 box kudu bayar DP 70% sama juga bisa siapnya cuma 3-4 harian baru ready. Bilang gitu, ya!" titahnya saat Rara sudah sampai di lantai satu.Ratna akhirnya mengambil keputusan akan mengambil pesanan Arjuna. Apa yang dikatakan Arjuna dalam pesan singkat itu memang benar adanya. Ratna tidak mencampuradukkan masalah pribadi dan bisnis."Oh, oke. Baik, Bu." Rara tampak bernafas lega."Satu lagi, kasih diskon aja 5% dari total.""Hmm … harganya nggak berubah 'kan, Bu?""Oh, nggak. Nanti kamu pastiin dulu semuanya ke yang bersangkutan, nanti konfirmasi ke saya rincian fixnya. Gitu aja!" Setelah mengkonfirmasikan pada Rara, Ratna langsung menuju lantai tiga, tempat khusus baking. "Erik, saya ingin memberi tahu, kita dapat orderan bakery sebanyak 500 box, coba kamu cek, bahan-bahan apa saja yang kurang, karena k
"Mmm … Nek," sapa Devina takut-takut."Ma, Nana ke kamar ya. Mau lanjutin bikin tugas," ucap Devina menjauh."Mau nenek temenin?" Tawaran Wati malah membuat Devina semakin ketakutan."Nggak, Nek. Makasih."Sementara Devina berlari ke dalam, Ratna mempersilakan mantan mertua dan mantan suaminya itu duduk."Devina kenapa, Rat? Kok kayak gitu ekspresinya?" tanya Bram penasaran."Aku bikin kan minum dulu, nanti aku jelasin."Ratna pun bertolak ke belakang."Ma … Mama apain Devina? Kok dia begitu? Kayak orang takut liat mama." Tak sabar menunggu penjelasan dari Ratna, Bram pun bertanya langsung pada mamanya."Kok kamu malah nanya begitu? Mana mama tahu. Mama nggak ada apain dia. Ketemu aja jarang, itupun ketemu terakhir pas jemput mereka, yang si jalang itu di rumah sakit.""Mama nggak bohong kan sama aku?" tanya Bram penuh penekanan."Terserah kalau kamu nggak percaya. Kalau mama apa-apain Devina, mana mungkin mama ikut ke sini. Ni akibat kepalamu terbentur jadinya pikiran tu negatif aja.
"Sial banget hidupku sejak Bram bercerai. Di cela musuh, mengalah demi si Jalang, sekarang direndahkan si Ratna. Entah kenapa si Devina sok ketakutan pula ketemu sama aku. Banyak manusia lebay di dunia ini!" umpat Wati kesal. Memang hidupnya suram dan terjal semenjak palu sidang perceraian Bram terketuk."Kenapa juga harus ketemu dia di rumah sakit. Dan, orang yang nyebarin video kecelakaan Bram juga nggak ada otaknya. Gini nih kalau ketahuan musuh. Bikin rugi," umpat Wati dalam hati.Saking emosinya bersarang di dada, dia sampai tidak sadar sudah mencabuti bulu-bulu bantal sofanya yang sudah berserakan.Tengah mengisi waktu menonton televisi, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu."Tuh … Itu pasti Bram. Pulang juga kan? Sok-sok an pergi kerja padahal belum sembuh betul."Meski kesal, detik kemudian Wati tetap saja berjalan ke pintu utama dia beranggapan anak semata wayangnya itu lupa membawa kunci rumah."Pulang juga …," ucapan Wati terhenti kala menatap orang yang berdiri di depan
Bram mengetuk pintu ruangan Arjuna, setelah mendapat telepon VoIP dari atasannya itu, dan diminta untuk segera menemui Arjuna.Bram terpaksa meninggalkan ruangan kerjanya, padahal belum lepas sesak napasnya, setelah mamanya memberi tahu surat panggilan dari kantor polisi."Silakan masuk!" titah Arjuna dari dalam setelah Bram mengetuk pintu ruang kerjanya."Permisi, Pak.""Silakan duduk!" titah Arjuna dengan mengudarakan tangannya ke kursi yang ada di seberang meja kerjanya.Bram pun menduduki kursi di depan meja kerja Arjuna."Kalau kamu belum pulih betul, lebih baik istirahat saja di rumah, Bram. Kamu 'kan sudah diberi waktu istirahat satu minggu sama HRD," usul Arjuna saat menatap wajah Bram yang kurang fresh. Perang batin antara keduanya, membuat basa-basi antara mereka tak diperlukan lagi."Ck! Mentang-mentang hidup Kau adem ayem. Bilang aja kalau Kau bahagia di atas penderitaan saya," geram Bram membatin.Namun, pandangan Arjuna malah tidak sesuai sisi pandangan Bram. Dirinya meng
"Nggak ada masalah. Sekarang kamu panggil perawatnya untuk minta pulang sekarang!"Dengan hati berbunga-bunga Laura pun memencet tombol darurat yang tak lama kemudian, perawat pun datang."Ya, Bu. Ada yang bisa dibantu.""Hmm … Mbak, saya minta pulang sekarang boleh?""Bukannya tadi dokternya nyuruh besok ya, Bu?""Saya bosan, Mbak. Rawat jalan 'kan bisa" Laura bersikeras."Sebentar, saya coba untuk menghubungi dokternya dulu.""Usahain ya, Mbak!" harap Laura."Kalau soal itu saya nggak bisa bantu banyak, Bu. Tergantung dokternya juga."Perawat itupun segera keluar dari kamar inap Laura untuk menghubungi dokter."Kamu sudah hubungi temen kamu itu?" tanya Bram memulai pembicaraan. Padahal, statusnya sebagai manajer juga tak menutup kemungkinan dirinya bisa mencari lawyer sendiri tanpa melalui Laura yang penuh dengan tekanan itu."Bentar, Mas. Aku coba hubungi lagi.""Iya, sekalian bilang sama dia janjian sore ini atau nggak malam abis Magrib boleh."Laura mengambil ponselnya dari bawah
Arjuna membelah keheningan Magrib dalam perjalanan menuju rumah Ratna. Bukan tanpa alasan, akhirnya dia memutuskan untuk berkunjung ke rumah perempuan yang selalu di hatinya itu karena teleponnya tidak tersambung saat Arjuna menghubungi Ratna. Dan, pesan yang dikirimnya pun cuma centang satu. Bahkan, foto profil Ratna sudah berganti tanpa foto. Arjuna beranggapan dirinya sudah diblokir oleh Ratna. Perasaannya tidak tenang dan jelas dia tidak terima.Namun, ada sosok yang mengganggu pandangan Arjuna saat hampir sampai di dekat rumah Ratna, mata Arjuna terfokus pada sosok lelaki yang turun tepat di depan rumah Arjuna."Itu bukannya, Bram!" gumam Arjuna.**Selepas Ashar, Laura sudah bersiap-siap meninggalkan kamar inap yang ditempatinya beberapa hari belakang."Kok muka kamu gitu, Mas. Kamu nggak seneng ya aku udah keluar dari RS?" tanya Laura yang sudah ready duduk di kursi roda, menunggu di dorong Bram yang tampak gusar di ambang pintu kamar inap."Oh nggak papa, tadi mama nelpon, tapi
"Okee … okee, Rat. Aku pulang, semoga kamu beri aku kesempatan buat jelasin semuanya.""Simpan saja penjelasan kamu itu, Mas!" ucap Ratna tegas.Perempuan manapun tidak akan terima jika diperlakukan buruk oleh orang tua laki-laki. Apalagi menuduh hal yang bukan-bukan, sampai menyematkan dirinya tak punya harga diri. Ingin sekali Ratna berkata kasar, tapi dia memilih untuk mengurungkan.Arjuna tak ada pilihan lain selain pergi dari rumah Ratna."Baik. Aku permisi!" ucapnya detik kemudian Arjuna pun berlalu dari hadapan Ratna.Arjuna memacu cepat langkahnya keluar dari rumah Ratna."Jangan bersedih, Pak. Ini sudah akhir dari segalanya. Dan, jangan berharap lebih," ucap Bram dengan senyuman puas. Arjuna tidak menyahut sama sekali. Dia membungkam hingga masuk ke dalam mobil.Bram pun memacu langkahnya menuju pintu rumah mantan istrinya."Aku boleh masuk?" tanya Bram saat sudah berdiri di ambang pintu."Silakan, Mas. Aku panggil Devina dulu.Devina tampak senang akan kedatangan Bram. Dia b
Saking belum siapnya menghadapi Arjuna, Santi mulai beralasan. "Ar, kita ngobrolnya besok pagi saja. Badan mama tiba-tiba nggak enak.""Bener-bener nggak enak badan jangan sampai nyesel ya, Mi.""Ar …, kasar sekali kamu ngomong ke mami. Kamu bener-bener sudah dibutakan oleh si Janda itu. Sampai-sampai nyumpahin mami," protes Santi tidak terima."Terus menurut mami, muka aku ditaruh dimana? Seenak hati mami menuduh Ratna yang bukan-bukan. Mami tahu siapa Ratna itu?" Kini Arjuna bangkit dari duduknya. Mata nyalangnya mengisyaratkan jika dirinya benar-benar murka saat ini."Dia janda 'kan? Punya anak satu, sama juga cuma karyawan toko. Kebetulan aja posisinya lebih tinggi dari karyawan yang lainnya. Ya 'kan?" sahut Santi dengan percaya dirinya."Ada lagi, Mi?""Itu sih baru yang mami tahu.""Dan kamu, Dara. Ada lagi fitnah murahan yang kamu infokan ke mami?""Lho, Mas. Kok jadi aku. Aku nggak tahu apa-apa," elak Dara polos seolah dirinya tidak ada sangkut-pautnya dengan yang terjadi.Dar