Saking belum siapnya menghadapi Arjuna, Santi mulai beralasan. "Ar, kita ngobrolnya besok pagi saja. Badan mama tiba-tiba nggak enak.""Bener-bener nggak enak badan jangan sampai nyesel ya, Mi.""Ar …, kasar sekali kamu ngomong ke mami. Kamu bener-bener sudah dibutakan oleh si Janda itu. Sampai-sampai nyumpahin mami," protes Santi tidak terima."Terus menurut mami, muka aku ditaruh dimana? Seenak hati mami menuduh Ratna yang bukan-bukan. Mami tahu siapa Ratna itu?" Kini Arjuna bangkit dari duduknya. Mata nyalangnya mengisyaratkan jika dirinya benar-benar murka saat ini."Dia janda 'kan? Punya anak satu, sama juga cuma karyawan toko. Kebetulan aja posisinya lebih tinggi dari karyawan yang lainnya. Ya 'kan?" sahut Santi dengan percaya dirinya."Ada lagi, Mi?""Itu sih baru yang mami tahu.""Dan kamu, Dara. Ada lagi fitnah murahan yang kamu infokan ke mami?""Lho, Mas. Kok jadi aku. Aku nggak tahu apa-apa," elak Dara polos seolah dirinya tidak ada sangkut-pautnya dengan yang terjadi.Dar
Dara membersihkan diri setelah seharian penuh beraktivitas. Tadi ... selepas keluar dari kantor, Dara langsung menuju restoran, janjian dengan calon mertuanya itu. Dan, setelah perut kenyang merekapun berbelanja. Puas cuci mata dan membeli barang sesuai keinginan mereka pun pulang, terlebih pas pulang disambut dengan kejadian yang bikin dirinya sakit hati plus sakit kepala.Dia tertuduk di bawah siraman shower air hangat. Tampak begitu rapuh dan bimbang. Tak dipungkiri air matanya luruh membasahi pipi mulusnya. Hal terburuk terbayang sudah di matanya.Seusai mandi, Dara mencoba menghubungi Santi via telepon. Namun, tiga kali melakukan panggilan. Hatinya benar-benar tidak tenang. Entah berapa kali bolak-balik di samping ranjang, sudah seperti setrikaan."Ini kenapa Tante Santi malah nggak menggubris panggilan telepon aku?""Mustahil jika dia sudah lelap jam segini."Satu jam pun berlalu, kini Dara tengah berbaring di ranjang. Namun, matanya enggan berkompromi melewati malam yang beranja
"Saya tahu kalau Anda itu mantan suaminya Mbak Ratna. Dan, saya pastikan juga kalau mas juga tahu hubungan yang terjalin antara penanam saham tertinggi dengan direktur atau biasa kamu panggil Bapak Arjuna," ucap Dara penuh penekanan setiap kata yang terucap. Menggali informasi dari beberapa orang penyewanya sangat membuahkan hasil. Termasuk dirinya tahu, apa yang membuat Bram berpisah dari Ratna. Dan, ingin kembali lagi, Namun, kali ini dia tidak ingin membahas yang bukan untung bagi dirinya. Bram menggangguk seraya berujar, "Ya ... saya juga nggak heran jika Anda sudah tahu info garis besarnya. Jadi ... dimana letak menguntungkan bagi saya, secara bekingan saya alias mantan istri saya lebih kaya dari lelaki yang menjadi calon Anda itu," balas Bram dengan angkuhnya. Dara mencebik, "Anda tampak sombong sekali, tapi saya juga nggak mempermasalahkan soal itu. Yang penting bagi saya, Anda bisa membuat mantan istri Anda itu tidak berhubungan lagi dengan Mas Arjuna. Bisa 'kan? Saat Bram
"Saya pamit!" Bram bangkit dari duduknya karena menurutnya Dara terlalu lama menimbang untuk mengambil keputusan. Dan, Bram tidak suka hal itu. "Oke ... oke ... saya deal." "Daritadi kek. Saya terima modalnya paling lama pukul delapan malam. Kita ketemu di sini lagi. Jangan sampai bermain dengan saya jika sudah menentukan kesepakatan," ancam Bram yang akhirnya meninggalkan restoran. Selepas menemui Dar,a, Bram langsung bertolak ke rumah sakit. Tadi, dalam perjalanan menuju kafe, tempat janjian dengan Dara. Bram mendapat kabar dari Wati jika Laura masuk rumah sakit. Itupun karena Wati membaca pesan dari Luara. "Sorry, Lau. Aku semalam kecopetan pas mau pulang, ini lukanya berdarah lagi," ucap Bram beralasan. Sandiwaranya semakin lengkap dengan perban di luka kecelakaan, tetesan betadin yang banya cukup memperkuat skenarionya. "Iya, Mas. Nggak apa.. Kamu datang aja aku udah seneng. Minta nomor hape kamu biar aku gampang hubunginnya, lewat mama lama." Tanpa protes Bram pun memberika
Santi tak bisa lagi menahan Dara yang sudah buru-buru masuk ke dalam taksi online yang dia pesan. Begitupun Pak Kobir yang berdiri di dekat mobil yang sudah siap ingin mengantar Santi pergi.Dia duduk di sofa seraya mengambil ponselnya dari dalam tas branded yang dibelikan Dara. Niatnya menghubungi Arjuna, malah tak ada digubris sama sekali."Kenapa nggak kamu angkat sih, Ar!" gerutu Santi seraya memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas.Dia bangkit dari duduknya dan keluar dari rumah. Melihat Santi keluar dari rumah, Pak Kobir buru-buru membuka pintu mobilnya."Silakan, Nyonya!" "Kita ke kantor Arjuna sekarang!" titah Santi tanpa tambahan kalimat lain. Santi memutuskan untuk pergi ke kantor Arjuna karena teleponnya sama sekali tak diangkat anaknya itu. Dalam perjalanan menuju kantor Arjuna, Santi diam seribu bahasa. Biasanya mengajak Pak Kobir mengobrol hal-hal yang umum saja. Pak Kobir yang membaca situasi sedang tidak baik-baik saja pun ikut membungkam.Sesampainya di kantor Sant
Di toko … beberapa orang karayawan sudah bersiap membagikan snack box bakery di beberapa tempat yang ditunjuk Arjuna. Biar menghemat waktu, Ratna mengoperasikan dua mobil box miliknya.Ratna melepas di pelataran parkir dan saat ingin masuk ke dalam toko tiba-tiba mobil berhenti di parkiran tokonya. Ratna sempat menoleh, akan tetapi melihat mobil itu sangat dia kenal."Rat … Ratna …!" seru Arjuna buru-buru keluar dari mobil.Ratna tak menggubris sama sekali. Dia tetap masuk dan langsung menuju ruangannya."Rat … buka pintunya. Kita perlu bicara!" ucap Arjuna di depan pintu ruangan. Pintu tersebut sengaja dikunci Ratna dari dalam."Ratna … aku minta maaf karena mami sudah bersikap kasar sama kamu. Dan, aku sudah nggak jujur dari awal. Namun, aku sejak awal sudah menolak perjodohan itu. Dan, sama sekali tidak mengharapkan perjodohan itu menjadi nyata.""Ratna, sikap aku selama ini ke kamu itu murni. Tanpa rekayasa … Please, Rat. Kasih aku kesempatan untuk menjelaskan.""Aku menyesal tela
Bram mengetuk pintu dengan kencangnya membuat Wati yang tengah asyik menonton televisi merasa terganggu."Iya … iya, sabar. Bisa nggak kalau kamu itu nggak bikin mama kesal," umpat Wati seraya berjalan ke pintu utama.Kret!!!"Apa sih kamu, Bram. Berisik banget," cecar Wati setelah membuka pintu setengah.Bukannya menjawab, Bram malah mendorong pintu membuat Wati ikut terdorong juga."Astaga … ini anak. Kamu jangan kurang ajar ya, Bram."Bram duduk di sofa tamu, seraya memerintahkan pada mamanya agar menutup pintu."Tutup aja pintunya, Ma. Aku mau kasih liat sesuatu ke mama," sahut Bram dengan mata berbinar."Kamu bisa nggak, tenang dikit. Biar orang nggak emosi," sahut Wati kesal tapi tetap saja menutup pintu. Kemudian dia duduk bersebrangan dengan Bram."Tas apa itu?" tanya Wati heran."Ini tas harta karun.""Hah? Serius?"Bram mulai membuka kuncinya dan …"Tuh liat, Ma," ucapnya. Mata Wati terbelalak sempurna menatap uang merah yang tersusun rapi."Bram ini uang semua? Kamu dapat
Di apartemen pukul sembilan malam, Laura mematut diri di depan cermin. Wajahnya sudah dihiasi make up minimalis, baju kebaya putih tulang dipadupadakan dengan songket berwarna merah maroon benang emas, menandakan dirinya sudah siap menikah secara siri dengan Bram. Sehari sebelumnya dia baru diperbolehkan pulang, serta langsung meminta Bram untuk membelikan mobil yang terbilang tidak terlalnu mewah. Mobil keluaran Tiyito Ayaya putih menjadi pilihannya. Ting ... Tung ... Ting ... Tung ... Terdengar bunyi kamarnya dan Laura langsung bergegas membukakan pintu. "Silakan masuk, Pak!" suruhnya pada tiga orang lelaki separuh baya yang mengenakan celana dasa hitam dan baju batik. Ketiga orang masuk dan duduk di sofa setelah disuruh Laura. "Duduk dulu, Pak. Calon suami saya masih di jalan." "Baik, Bu." Sementara menunggu Bram, Laura pun menjamu wali dan saksi itu makanan dan minuman yang sudah dia persiapkan. "Bram, kamu yakin menikahi dia lagi?" tanya Wati saat mereka dalam perjalanan m