Dara membersihkan diri setelah seharian penuh beraktivitas. Tadi ... selepas keluar dari kantor, Dara langsung menuju restoran, janjian dengan calon mertuanya itu. Dan, setelah perut kenyang merekapun berbelanja. Puas cuci mata dan membeli barang sesuai keinginan mereka pun pulang, terlebih pas pulang disambut dengan kejadian yang bikin dirinya sakit hati plus sakit kepala.Dia tertuduk di bawah siraman shower air hangat. Tampak begitu rapuh dan bimbang. Tak dipungkiri air matanya luruh membasahi pipi mulusnya. Hal terburuk terbayang sudah di matanya.Seusai mandi, Dara mencoba menghubungi Santi via telepon. Namun, tiga kali melakukan panggilan. Hatinya benar-benar tidak tenang. Entah berapa kali bolak-balik di samping ranjang, sudah seperti setrikaan."Ini kenapa Tante Santi malah nggak menggubris panggilan telepon aku?""Mustahil jika dia sudah lelap jam segini."Satu jam pun berlalu, kini Dara tengah berbaring di ranjang. Namun, matanya enggan berkompromi melewati malam yang beranja
"Saya tahu kalau Anda itu mantan suaminya Mbak Ratna. Dan, saya pastikan juga kalau mas juga tahu hubungan yang terjalin antara penanam saham tertinggi dengan direktur atau biasa kamu panggil Bapak Arjuna," ucap Dara penuh penekanan setiap kata yang terucap. Menggali informasi dari beberapa orang penyewanya sangat membuahkan hasil. Termasuk dirinya tahu, apa yang membuat Bram berpisah dari Ratna. Dan, ingin kembali lagi, Namun, kali ini dia tidak ingin membahas yang bukan untung bagi dirinya. Bram menggangguk seraya berujar, "Ya ... saya juga nggak heran jika Anda sudah tahu info garis besarnya. Jadi ... dimana letak menguntungkan bagi saya, secara bekingan saya alias mantan istri saya lebih kaya dari lelaki yang menjadi calon Anda itu," balas Bram dengan angkuhnya. Dara mencebik, "Anda tampak sombong sekali, tapi saya juga nggak mempermasalahkan soal itu. Yang penting bagi saya, Anda bisa membuat mantan istri Anda itu tidak berhubungan lagi dengan Mas Arjuna. Bisa 'kan? Saat Bram
"Saya pamit!" Bram bangkit dari duduknya karena menurutnya Dara terlalu lama menimbang untuk mengambil keputusan. Dan, Bram tidak suka hal itu. "Oke ... oke ... saya deal." "Daritadi kek. Saya terima modalnya paling lama pukul delapan malam. Kita ketemu di sini lagi. Jangan sampai bermain dengan saya jika sudah menentukan kesepakatan," ancam Bram yang akhirnya meninggalkan restoran. Selepas menemui Dar,a, Bram langsung bertolak ke rumah sakit. Tadi, dalam perjalanan menuju kafe, tempat janjian dengan Dara. Bram mendapat kabar dari Wati jika Laura masuk rumah sakit. Itupun karena Wati membaca pesan dari Luara. "Sorry, Lau. Aku semalam kecopetan pas mau pulang, ini lukanya berdarah lagi," ucap Bram beralasan. Sandiwaranya semakin lengkap dengan perban di luka kecelakaan, tetesan betadin yang banya cukup memperkuat skenarionya. "Iya, Mas. Nggak apa.. Kamu datang aja aku udah seneng. Minta nomor hape kamu biar aku gampang hubunginnya, lewat mama lama." Tanpa protes Bram pun memberika
Santi tak bisa lagi menahan Dara yang sudah buru-buru masuk ke dalam taksi online yang dia pesan. Begitupun Pak Kobir yang berdiri di dekat mobil yang sudah siap ingin mengantar Santi pergi.Dia duduk di sofa seraya mengambil ponselnya dari dalam tas branded yang dibelikan Dara. Niatnya menghubungi Arjuna, malah tak ada digubris sama sekali."Kenapa nggak kamu angkat sih, Ar!" gerutu Santi seraya memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas.Dia bangkit dari duduknya dan keluar dari rumah. Melihat Santi keluar dari rumah, Pak Kobir buru-buru membuka pintu mobilnya."Silakan, Nyonya!" "Kita ke kantor Arjuna sekarang!" titah Santi tanpa tambahan kalimat lain. Santi memutuskan untuk pergi ke kantor Arjuna karena teleponnya sama sekali tak diangkat anaknya itu. Dalam perjalanan menuju kantor Arjuna, Santi diam seribu bahasa. Biasanya mengajak Pak Kobir mengobrol hal-hal yang umum saja. Pak Kobir yang membaca situasi sedang tidak baik-baik saja pun ikut membungkam.Sesampainya di kantor Sant
Di toko … beberapa orang karayawan sudah bersiap membagikan snack box bakery di beberapa tempat yang ditunjuk Arjuna. Biar menghemat waktu, Ratna mengoperasikan dua mobil box miliknya.Ratna melepas di pelataran parkir dan saat ingin masuk ke dalam toko tiba-tiba mobil berhenti di parkiran tokonya. Ratna sempat menoleh, akan tetapi melihat mobil itu sangat dia kenal."Rat … Ratna …!" seru Arjuna buru-buru keluar dari mobil.Ratna tak menggubris sama sekali. Dia tetap masuk dan langsung menuju ruangannya."Rat … buka pintunya. Kita perlu bicara!" ucap Arjuna di depan pintu ruangan. Pintu tersebut sengaja dikunci Ratna dari dalam."Ratna … aku minta maaf karena mami sudah bersikap kasar sama kamu. Dan, aku sudah nggak jujur dari awal. Namun, aku sejak awal sudah menolak perjodohan itu. Dan, sama sekali tidak mengharapkan perjodohan itu menjadi nyata.""Ratna, sikap aku selama ini ke kamu itu murni. Tanpa rekayasa … Please, Rat. Kasih aku kesempatan untuk menjelaskan.""Aku menyesal tela
Bram mengetuk pintu dengan kencangnya membuat Wati yang tengah asyik menonton televisi merasa terganggu."Iya … iya, sabar. Bisa nggak kalau kamu itu nggak bikin mama kesal," umpat Wati seraya berjalan ke pintu utama.Kret!!!"Apa sih kamu, Bram. Berisik banget," cecar Wati setelah membuka pintu setengah.Bukannya menjawab, Bram malah mendorong pintu membuat Wati ikut terdorong juga."Astaga … ini anak. Kamu jangan kurang ajar ya, Bram."Bram duduk di sofa tamu, seraya memerintahkan pada mamanya agar menutup pintu."Tutup aja pintunya, Ma. Aku mau kasih liat sesuatu ke mama," sahut Bram dengan mata berbinar."Kamu bisa nggak, tenang dikit. Biar orang nggak emosi," sahut Wati kesal tapi tetap saja menutup pintu. Kemudian dia duduk bersebrangan dengan Bram."Tas apa itu?" tanya Wati heran."Ini tas harta karun.""Hah? Serius?"Bram mulai membuka kuncinya dan …"Tuh liat, Ma," ucapnya. Mata Wati terbelalak sempurna menatap uang merah yang tersusun rapi."Bram ini uang semua? Kamu dapat
Di apartemen pukul sembilan malam, Laura mematut diri di depan cermin. Wajahnya sudah dihiasi make up minimalis, baju kebaya putih tulang dipadupadakan dengan songket berwarna merah maroon benang emas, menandakan dirinya sudah siap menikah secara siri dengan Bram. Sehari sebelumnya dia baru diperbolehkan pulang, serta langsung meminta Bram untuk membelikan mobil yang terbilang tidak terlalnu mewah. Mobil keluaran Tiyito Ayaya putih menjadi pilihannya. Ting ... Tung ... Ting ... Tung ... Terdengar bunyi kamarnya dan Laura langsung bergegas membukakan pintu. "Silakan masuk, Pak!" suruhnya pada tiga orang lelaki separuh baya yang mengenakan celana dasa hitam dan baju batik. Ketiga orang masuk dan duduk di sofa setelah disuruh Laura. "Duduk dulu, Pak. Calon suami saya masih di jalan." "Baik, Bu." Sementara menunggu Bram, Laura pun menjamu wali dan saksi itu makanan dan minuman yang sudah dia persiapkan. "Bram, kamu yakin menikahi dia lagi?" tanya Wati saat mereka dalam perjalanan m
Bukannya menghampiri seperti biasa, Laura malah lari dan bersembunyi di tempat lain yang sekiranya tidak diketahui oleh Ratna."Mba Ratna nggak boleh tahu kalau aku membuntuti Mas Bram. Bisa-bisa dia putar arah. Soalnya foto nikah kemarin pas dikirim ke dia cuma di baca doang," gumam Laura dalam hati seraya berlari kecil ke toko kosmetik terpisah tiga toko."Ma … Nana nggak sabar ngasih kado ini buat papa," ucap Devina. Di kedua tangannya tampak membawa bingkisan berbentuk kubus dibungkus dengan kertas kado dipercantik dengan pita berwarna biru, warna kesukaan Bram."Cuma hitungan menit lagi kok, Na."Kemudian, mereka berdua membelok ke resto yang sudah diberi tahu Bram.Tampak Ratna dan Devina masuk ke dalam resto. Bram spontan berdiri dan melambaikan tangan, tak lupa senyumnya merekah sempurna. Waktu yang paling dia nanti menikmati waktu yang berkualitas dengan Devina, lebih tepatnya dengan Ratna."Hai, Cantik," sapa Bram seraya mengembangkan kedua tangannya untuk berpelukan dengan
Di pusara yang berhiaskan rumput jepang Lidya menangis sejadi-jadinya. Hari ini tepat satu bukan kepergian Santoso dan hari pertama Lidya diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Kondisi yang sangat parah membuat dirinya sering drop."Pi, aku menyesal. Sangat menyesal. Andai waktu itu aku mendengar kata Kak Sonia, pasti semua ini nggak akan kayak gini.""Pi, kenapa harus pergi dengan cara gini? Kenapa papi perginya nggak bawa aku sekalian aja?"Air mata Lidya mengalir deras tanpa jeda. Mata dan hidungnya merah. Suaranya pun terdengar parau. Dari jarak satu meter Sonia hanya diam membisu seraya menatap sendu adik bungsunya yang meratapi kepergian lelaki tercintanya."Sudah, Lid. Papi sudah tenang di sana. Nggak sakit lagi." Sonia akhirnya menghampiri tubuh ringkih adiknya yang memeluk pusara Santoso.Lidya yang tak sesehat dulu jelas membuat Sonia khawatir. Apalagi bagian kepalanya yang bocor akibat jatuh dari tangga sebulan yang lalu itu."Lepasin aku, Kak. Aku mau disini nemenin papi."
Rumah kediaman Santoso yang biasanya lengang, kini ramai didatangi oleh para pelayat. Pagi hari, jenazah Santoso dibawa pulang, karena atas keinginan Shanti otopsi diberhentikan, mengingat Shanti tak ingin jenazah suaminya itu melewati lima waktu sholat. Shanti tak ingin jenazah suaminya itu masih merasakan siksa dunia.Sanak saudara, klien, dan rekan kerja Santoso dulu turut hadir memberi doa sebelum Santoso dikebumikan. Dalam keramaian para pelayat yang datang, belum tampak batang hidung Ratna dan Devina. Mereka baru pagi ini terbang ke Jogja setelah semalam diberitahu oleh Arjuna.Pukul sebelas siang, Ratna dan Devina sampai juga di rumah duka. Shanti memeluk tubuh Ratna dengan erat."Maaf jika aku membawa sial, Mi. Kalau aku tidak ada mungkin papi masih ada," sesal Ratna seraya berbisik pada Shanti."Ini takdir Yang Maha Kuasa. Kamu bukan pembawa sial. Melalui kamu, Allah menyadarkan mami dari maruknya harta dan tahta."Tapi, Mi ….""Sudah, Ratna. Kamu tidak perlu terus-terusan me
Santoso mengalihkan pandangannya ke arah Lidya yang tertunduk takut."Benar apa yang dikatakan mami kamu, Lidya?" tanya Santoso dengan lantang.Hening tanpa jawaban. Tak dijawab langsung membuat emosi Santoso membuncah."Lidya, jawab papi!" teriak Santoso. Emosi yang tak terkontrol membuat Santoso drop seketika. Tangan kanannya memegang dada."Aaauuu …," pekiknya bersamaan dengan jatuhnya tubuh berbobot cukup besar itu ke lantai. Arjuna yang tidak begitu memperhatikan Santoso kalah cepat menyambut tubuh papinya itu."Mas!" pekik Shanti."Papi …," teriak Lidya histeris.Arjuna memapah tubuh Santoso dan merebahkannya di sofa.Napas Santoso tersengal-sengal menahan sesak."Ngapain kamu bengong, Lidya. Cepat telepon dokter!" desak Shanti yang panik."Sini aku telpon, mana nomor hape dokternya," ucap Arjuna."Aku nggak hapal, Mas." Lidya berlari menuju lantai dua untuk mengambil ponselnya yang ada di kamar.Namun, saat dirinya berhasil mengambil ponsel dan menuruni anak tangga kurang hati-
"Mami dan Mas Arjuna pasti nggak tahu 'kan kalau papi sakit parah.""Jantung 'kan?""Bukan," bantah Lidya."Lalu apa, Lid. Kamu daritadi setengah-setengah aja ngomongnya. Bikin makin panik," sungut Shanti yang sudah mulai kesal."Papi, sakit kanker paru-paru kata dokter, Mi."Shanti dan Arjuna saling menoleh heran."Kamu jangan asal ngomong ya? Mana mungkin papi kena kanker," protes Shanti. Menurut Shanti, suaminya itu tampak seperti biasanya. Tak ada tanda jika suaminya memginap penyakit yang berbahaya itu."Sudah, sekarang kamu balik ke Jogja, biar aku temui papi besok. Dan, cukup bersikap lancang sama Ratna. Dia itu hanya korban dan kamu tidak punya hak mencampuri semua ini."Lidya bangkit dari duduknya, lalu berdiri berhadapan dengan Arjuna."Tanpa Mas suruh pun aku akan pulang. Tak sudi tinggal disini dengan orang seperti mas dan mami. Egois!"Lidya menyentak dengan kasar saat membuka pintu dan menghempaskannya dengan keras saat menutupnya kembali."Biarkan saja, Ar. Lidya meman
Lidya tersentak kaget ketika melihat sosok yang sempat dia cari sebelumnya tiba-tiba datang tanpa kode."Ngapain kamu kesini? Nggak ada sopan santunnya sama sekali!" serang Arjuna yang terlihat begitu marah pada adik bungsunya itu.Mendengar suara Arjuna berada di luar rumah, Ratna pun bergegas ke sumber suara."Mas, kamu kok bisa tahu Lidya disini?" tanya Ratna penasaran."Nggak usah sok nanya, dasar perempuan bermuka dua," geram Lidya melihat Ratna tiba-tiba nimbrung. Dipikiran Lidya, Ratna lah yang menghubungi Arjuna. Dan, sekarang malah seorang bertanya."Jaga mulut kamu, Lid. Sembarangan aja kalau bicara!" sergah Arjuna. "Aku minta maaf atas sikap Lidya sama kamu, Rat. Nanti malam aku ke sini lagi.""Kamu ikut aku sekarang!" Arjuna menarik kasar tangan Lidya untuk masuk ke dalam mobil.Selama ini Arjuna tidak pernah berkata kasar ataupun bersikap kasar pada saudara perempuannya itu. Namun, tingkah Lidya yang kelewatan batas, tak ada toleransi lagi.Ratna melepas kepergian Arjuna
Lidya sedang berdiri di sebuah rumah yang baru saja dikunjungi Arjuna dan Shanti."Permisi!" seru Lidya di depan pagar.Mendengar suara tersebut, Ratna pun bergegas ke pintu utama. Dirinya sempat mengernyitkan dahi saat berhenti di ambang pintu utama."Itu siapa? Kok asing wajahnya," gumam Ratna."Permisi, Mbak," sapa Lidya lagi seraya mengulas senyum palsu.Ratna pun melanjutkan langkah menuju pagar."Ya, Mbak. Ada yang bisa dibantu?" tanya Ratna, sama tidak membukakan gembok pagar rumahnya untuk jaga-jaga.Wajah Lidya yang tadinya menampakkan kehangatan palsu, sekarang berubah drastis tepat saat Ratna berdiri di depannya yang hanya terbatas dengan pagar."Saya Lidya, adiknya Mas Arjuna. Saya ingin mengobrol dengan Anda!" ucapnya dengan lantang. Sorot matanya pun ikut menatap Ratna dengan tajam."Oh, boleh. Silakan masuk!" titah Ratna yang setelahnya membuka gembok.Lidya mengikut langkah Ratna saat masuk ke dalam rumah. Tak ada rasa takut apalagi kesal karena melihat wajah Lidya yan
Gerbang didorong oleh Pak Kobir saat bunyi klakson memberi kode.Pak Kobir tidak langsung memberitahu Arjuna, dirinya beranggapan tak sopan jika sang Tuan belum duduk di dalam rumah. Arjuna dan Pak Sobri melakukan seperti kemarin saat mobil sudah berhenti di depan rumah, hal akan menjadi rutinitas sampai waktu tak ditentukan."Mami langsung istirahat saja ya. Aku ada urusan sebentar," pamit Arjuna setelah membopong tubuh Shanti ke peraduan."Mau kemana, Ar? Bukannya cuti," tanya Shanti heran."Ada perlu sebentar, Mi.""Iya, sebentarnya kemana? Nggak tenang mami nih, Ar. Kata kamu ada polisi yang ngejagain. Tapi kok mami nggak lihat dari kemarin kalau ada yang jaga berpakaian lengkap seperti biasanya.""Yang jaga kita nggak pake seragam, Mi. Sengaja biar nggak ketahuan sama orang-orangnya Mulyadi.""Tapi nggak ada juga yang berdiri di dekat rumah kita.""Mereka berdiri di suatu tempat dengan standby CCTV. Begitu juga tadi di rumah Ratna. Kalau terang-terangan dijaga, mana ada yang bera
Benar saja, esok hari Lidya langsung terbang ke Jakarta, tentu saja berbohong pada Santoso. Alih-alih beralasan ada interview di luar kota. Meskipun Sonia sudah melarang tapi tetap saja Lidya berangkat dengan berbohong pada Santoso."Aku pergi interview dulu ya, Pi. Doakan berhasil," pamit Lidya seraya mencium punggung tangan Santoso."Pasti. Semoga kamu bisa lebih sukses dari Arjuna.""Tentu, Pi. Aku akan bikin papi bangga, nggak kayak Mas Arjuna."Sebelum pamit, Lidya memberi selembar kertas pada asisten rumah tangganya. Disana tertulis apa saja yang akan dilakukan asisten rumah tangganya serta jam minum obat. Tak lupa, Lidya meminta asisten mengabari dirinya jika ada kondisi darurat. Atau jika tidak ada respon, asisten rumah tangga diminta untuk menghubungi Sonia."Pak, ada Mas Arjuna?" tanya Lidya pada security yang bertugas. Lidya sampai di Jakarta pukul dua belas siang."Bapaknya baru saja pergi, Mbak Lid.""Sama mami juga?" Lidya ingin memastikan."Iya, sama nyonya juga.""Kira
Ponsel yang standby di tangannya, tak butuh lama bagi Arjuna membaca pesan yang dikirim oleh kakak kandungnya itu, meskipun dia hanya membaca lewat sekilas pemberitahuan di layar ponselnya."Mereka pikir aku akan gentar dengan ancaman ini. Cukup selama ini aku yang menjadi tameng menyelamatkan hidup keluarga. Namun, nggak berlaku lagi sekarang."Tanpa membuka pesan yang dikirim Sonia, Arjuna malah menghapus pesan yang Sonia serta memblokir nomor ponsel kakaknya itu dari whatsapp. Arjuna lebih memilih fokus pada kondisi Shanti daripada meladeni saudara kandungnya itu. Sebegitu kecewakah Arjuna sampai-sampai tak memberi celah?"Gimana, Kak? Sudah dibaca? Udah tiga jam lho ini." Lidya masih saja penasaran. Mereka tengah menikmati cemilan malam di balkon lantai dua."Belum. Sibuk atau bisa jadi sengaja nggak direspon.""Nggak direspon, berarti dia baca dong?""Tanda birunya nggak ada.""Apa Mas Arjuna menonaktifkan pertanda pesan yang masuk itu sudah dibaca?""Ya … nggak tau lah soal itu.