Tidak ada pembicaraan berarti saat menunggu pesanan datang. Ratna lebih sibuk memainkan ponselnya."Hmm ... Nana jadi penasaran papa pesen apa. Kalau salah lagi gimana, Pa?" tanya Devina meragu."Nggak bakalan, Na. Kali ini Papa yakin benar."Tak lama kemudian, sang pelayan pun datang membawa stroller meja berisikan makanan dan minuman.Dan ... mata Ratna juga Devina terbelalak sempurna melihat makanan yang disuguhkan. Detik kemudian, Ratna dan Devina pun saling melempar pandangan.Ratna mengedipkan kedua matanya pada Devina seraya mengelus punggung anaknya itu."Mbak, saya pesan sushi yang tersedia di sini ya!" pinta Ratna pada pelayan yang hendak bertolak ke belakang.Tanpa terasa mata Devina yang tadinya berbinar memancarkan kebahagiaan berubah berembun menahan tangis."Kenapa Devina, Rat? Aku salah, ya?" tanya Bram menatap Devina dan Ratna bergantian."Menurut kamu?""Astaga ... Papa baru ingat kalau Devina suka makan sushi. Maafkan papa, ya, Na. Papa beneran lupa." Bram bangkit da
Ratna bergeming sejenak mendengar ucapan Meisha."Perusahaan Farmasi?" tanya Ratna keheranan."Iya, Bu. Ada Katanya Perusahaan Farmasi Didara.""Kerjasama dalam bentuk apa?""Ibu bisa ke kantor? Kebetulan tadi orangnya ngasih proposal sama juga ninggalin kartu nama," jelas Meisha singkat."Nanti saya kabari lagi bisa atau tidaknya," sahut Ratna.Sambungan telepon pun terputus saat keduanya saling mengucapkan salam."Na … Kalau kita ke toko gimana? Nana mau?" tanya Ratna yang tak ingin mengambil keputusan sendiri."Boleh, Ma. Nana mau," sahut Devina tanpa nada keberatan.Ratna pun kembali menelepon Meisha mengabarkan jika dirinya akan datang ke toko.Kurang lebih setengah jam perjalanan, akhirnya Ratna sampai juga di toko. Sesampainya di sana, Meisha langsung memberikan proposal dan kartu nama."Oke, saya pelajari dulu di dalam."Sebelum menuju ruangan, Ratna pun mengambil beberapa bakery dan minuman untuk cemilan Devina di ruangan.Di ruangan, Ratna tampak dengan seksama membawa setia
Pagi-pagi sekali Bram sudah bertandang ke rumah Ratna. Kebetulan juga, Ratna dan Devina menyiram tanaman di pagi Minggu. Rutinitas yang biasa mereka lakukan.Suara mobil yang berhenti di depan rumahnya, membuat Ratna dan Devina melempar pandangan."Ngapain juga kamu ke sini, Mas! Mau bikin Devina sedih lagi? Atau … mau pamer?" gumam Ratna saat Bram melangkah menuju pagar rumahnya.Bram melambaikan tangan pada Devina yang menghentikan aktivitasnya."Hai, Na," sapa Bram berusaha ramah. Salah satu tangannya membawa parcel buah yang ukurannya tak terlalu besar."Nana yang buka atau mama?" tanya Ratna memberi pilihan."Biar Nana aja, Ma."Devina membukakan pagar untuk papanya."Hai, Rat. Sorry perkara kemarin. Aku … aku ….""Nggak perlu dibahas. Nggak penting soalnya.""Oh … Oke. Aku nggak bakalan maksa kamu juga.""Kamu Duduk di luar aja! Sama kamu nggak boleh lama di sini!" ucap Ratna wanti-wanti. Berkata apa adanya lebih baik ketimbang berpura-pura segan demi lelaki macam Bram."Iya, ng
"Iya, benar. Ada apa, ya? Kenapa Anda yang menghubungi saya?" tanya yang bersangkutan keheranan."Mmm … itu yang mau saya jelasin ke bapak. Boleh kita atur jadwal pertemuannya, Pak?" Bram berusaha menepis keheranan klien Arjuna itu."Anda kirim dulu biodata ke saya. Benar atau tidaknya apa yang Anda sampaikan. Soalnya saya tidak mau buang energi bertemu dengan orang sembarangan. Apalagi kalau Anda berniat mengelabui saya," sahutnya Bapak Willyanto."Baik, Pak. Nggak masalah, Saya paham maksud bapak," balas Bram sungkan.Meski sedikit emosi mendengar penuturan Bapak Willyanto, Bram tetap berusaha mengendalikan emosinya. Bram tidak ingin perjuangannya mencari informasi Bapak Willyanto berakhir sia-sia begitu saja.Setelah Bapak Willyanto mematikan sambungan telepon sepihak, Bram langsung mengirim kartu namanya pada Bapak Willyanto.Namun, belum beruntungnya, Bapak Willyanto tidak langsung membuka pesan yang dikirim Bram. Setelah memutuskan sambungan telepon dari Bram, Bapak Willyanto pu
"Belum ada tanggapan soal jadwal sih, Mbak. Cuma karena ini memang penting, makanya saya datang ke sini tanpa membuat janji terlebih dahulu. Saya mohon, Mbak. Atau nggak, bisa disambung nggak ke Bapak Willyantonya, siapa tahu beliau berkenan bertemu.""Maaf, Pak. Bukannya tidak mau, tapi saya mengikuti apa yang sudah menjadi kesepakatan.""Mbak, please. Saya mohon dengan sangat. Kalau bukan urusan penting, saya juga nggak mendesak seperti ini," sahut Bram yang masih bersikeras.Melihat gelagat Bram yang sudah dipantau sejak tadi, satpam yang memberi izin pada Bram untuk masuk area kantor pun berjalan menghampiri lelaki berkulit sawo matang itu."Ada yang bisa dibantu, Pak?"Bram pun menjelaskan maksud kedatangannya untuk bertemu Bapak Willyanto, serta sang resepsionis juga sudah menjelaskan kenapa Bram tidak bisa menemui direkturnya itu."Tapi nggak masalah, Pak. Saya bisa atur janji sekarang saja kalau begitu. Saya ikutin kapan Bapak Willyanto bisa bertemu," sahut Bram akhirnya memil
Menghilangkan rasa salah tingkahnya, Galang pun menyeruput minuman teh dingin yang ada di meja. Untung saja Ratna tidak begitu fokus pada gerak-gerik Galang."Bukan siapa-siapa saya, Bu. Cuma orang biasa, sehari-hari cuma ngonten, Bu.""Oh ya? Keren dong berarti, di upload dimana kontennya?" tanya Ratna seolah penasaran, karena dengan begitu dirinya pun bisa membuktikan penuturan Galang. Dalam urusan bisnis yang kejam tentu tidak bisa dengan mudahnya percaya."Di aplikasi toktok, Bu.""Hmm … begitu, bagus banget lho seorang content creator berani berinvestasi.""Ah, nggak juga, Bu. Saya hanya ingin muterin uang siapa tahu dikasih rezeki lebih.""Hmm … kalau gitu harapannya, saya nggak menjamin juga bakalan sukses nantinya di cabang baru. Jangan sampai, ekspektasi bapak tinggi tapi nyatanya realita malah berbanding terbalik.""Kalau itu saya paham, Bu. Jadi gimana, Bu? Ini ada tanda hitam di atas putihnya. Kalau ibu berminat, bisa kabari saya.Ratna pun mengambil sebuah berkas dari tan
"Nah, ada satu lagi calon target yang bakal aku jadikan buat menyingkirkan Arjuna." Senyum sinis balas dendam pun terlukis di gurat wajah Bram."Aku harus bergegas, sebelum semuanya terlambat," gumamnya.Di tengah kondisi itu, ponsel Bram yang tergeletak di samping keyboard komputernya, berdering nyaring. Bram langsung menoleh dan sedikit heran melihat nomor yang tertera di layar ponselnya itu."Halo.""Halo, benar ini dengan Bapak Bramantyo?""Ya … saya sendiri. Ini siapa?" tanya Bram tegas."Oh saya resepsionis yang Anda jumpai tadi, Pak."Senyum Bram mengembang sempurna. "Ya Mbak, kenapa? Apa Bapak Willyantonya sudah tentukan jadwal?" tanya Bram antusias."Benar, Pak. Direktur kami sudah menentukan jadwalnya dan bapak disuruh datang ke sini besok pukul sepuluh pagi. Bisa, Pak?""Oh tentu saya bisa, Mbak. Bertemunya di kantor? Atau beliau menentukan tempat di luar kantor?""Kata Bapak Willyanto di kantor, Pak.""Siap, Mbak. Tepat jam sepuluh saya sudah berada di sana," balas Bram.T
"Hai, Mas …," sapa Laura manja.Bram yang tengah fokus menatap layar monitor, tersentak kaget."Kamu!" Bram langsung bangkit dari duduknya. Matanya menatap Laura dengan tajam.Saking marahnya, Bram langsung mendorong tubuh istri sirinya itu."Apaan sih, Mas? Aku ini istri kamu, kenapa kamu marah?"Laura mengira, kedatangannya sedikit memberi kehangatan dengan hubungannya yang retak perkara kejadian di mall weekend kemarin."Kamu masih nanya kenapa aku marah? Otakmu itu bisa mikir nggak?" bentak Bram seraya menoyor kepala Laura. Akan tetapi, ditepis Laura dengan cepat."Jangan kasar kamu! Ini bisa dikatakan KDRT," jawabnya lantang."Persetan apa yang kamu katakan. Keluar nggak! Keluar!"Suara Bram yang menggelegar membuat Laura ketakutan dan akhirnya keluar dari ruang kerja suaminya itu. Dia berlari dengan berlinangan air mata.Shintia yang tadinya mendengar pertengkaran mereka pun berpura-pura fokus pada layar monitor komputernya.Bram berdiri di ambang pintu dengan tatapan yang masih