"Iya, benar. Ada apa, ya? Kenapa Anda yang menghubungi saya?" tanya yang bersangkutan keheranan."Mmm … itu yang mau saya jelasin ke bapak. Boleh kita atur jadwal pertemuannya, Pak?" Bram berusaha menepis keheranan klien Arjuna itu."Anda kirim dulu biodata ke saya. Benar atau tidaknya apa yang Anda sampaikan. Soalnya saya tidak mau buang energi bertemu dengan orang sembarangan. Apalagi kalau Anda berniat mengelabui saya," sahutnya Bapak Willyanto."Baik, Pak. Nggak masalah, Saya paham maksud bapak," balas Bram sungkan.Meski sedikit emosi mendengar penuturan Bapak Willyanto, Bram tetap berusaha mengendalikan emosinya. Bram tidak ingin perjuangannya mencari informasi Bapak Willyanto berakhir sia-sia begitu saja.Setelah Bapak Willyanto mematikan sambungan telepon sepihak, Bram langsung mengirim kartu namanya pada Bapak Willyanto.Namun, belum beruntungnya, Bapak Willyanto tidak langsung membuka pesan yang dikirim Bram. Setelah memutuskan sambungan telepon dari Bram, Bapak Willyanto pu
"Belum ada tanggapan soal jadwal sih, Mbak. Cuma karena ini memang penting, makanya saya datang ke sini tanpa membuat janji terlebih dahulu. Saya mohon, Mbak. Atau nggak, bisa disambung nggak ke Bapak Willyantonya, siapa tahu beliau berkenan bertemu.""Maaf, Pak. Bukannya tidak mau, tapi saya mengikuti apa yang sudah menjadi kesepakatan.""Mbak, please. Saya mohon dengan sangat. Kalau bukan urusan penting, saya juga nggak mendesak seperti ini," sahut Bram yang masih bersikeras.Melihat gelagat Bram yang sudah dipantau sejak tadi, satpam yang memberi izin pada Bram untuk masuk area kantor pun berjalan menghampiri lelaki berkulit sawo matang itu."Ada yang bisa dibantu, Pak?"Bram pun menjelaskan maksud kedatangannya untuk bertemu Bapak Willyanto, serta sang resepsionis juga sudah menjelaskan kenapa Bram tidak bisa menemui direkturnya itu."Tapi nggak masalah, Pak. Saya bisa atur janji sekarang saja kalau begitu. Saya ikutin kapan Bapak Willyanto bisa bertemu," sahut Bram akhirnya memil
Menghilangkan rasa salah tingkahnya, Galang pun menyeruput minuman teh dingin yang ada di meja. Untung saja Ratna tidak begitu fokus pada gerak-gerik Galang."Bukan siapa-siapa saya, Bu. Cuma orang biasa, sehari-hari cuma ngonten, Bu.""Oh ya? Keren dong berarti, di upload dimana kontennya?" tanya Ratna seolah penasaran, karena dengan begitu dirinya pun bisa membuktikan penuturan Galang. Dalam urusan bisnis yang kejam tentu tidak bisa dengan mudahnya percaya."Di aplikasi toktok, Bu.""Hmm … begitu, bagus banget lho seorang content creator berani berinvestasi.""Ah, nggak juga, Bu. Saya hanya ingin muterin uang siapa tahu dikasih rezeki lebih.""Hmm … kalau gitu harapannya, saya nggak menjamin juga bakalan sukses nantinya di cabang baru. Jangan sampai, ekspektasi bapak tinggi tapi nyatanya realita malah berbanding terbalik.""Kalau itu saya paham, Bu. Jadi gimana, Bu? Ini ada tanda hitam di atas putihnya. Kalau ibu berminat, bisa kabari saya.Ratna pun mengambil sebuah berkas dari tan
"Nah, ada satu lagi calon target yang bakal aku jadikan buat menyingkirkan Arjuna." Senyum sinis balas dendam pun terlukis di gurat wajah Bram."Aku harus bergegas, sebelum semuanya terlambat," gumamnya.Di tengah kondisi itu, ponsel Bram yang tergeletak di samping keyboard komputernya, berdering nyaring. Bram langsung menoleh dan sedikit heran melihat nomor yang tertera di layar ponselnya itu."Halo.""Halo, benar ini dengan Bapak Bramantyo?""Ya … saya sendiri. Ini siapa?" tanya Bram tegas."Oh saya resepsionis yang Anda jumpai tadi, Pak."Senyum Bram mengembang sempurna. "Ya Mbak, kenapa? Apa Bapak Willyantonya sudah tentukan jadwal?" tanya Bram antusias."Benar, Pak. Direktur kami sudah menentukan jadwalnya dan bapak disuruh datang ke sini besok pukul sepuluh pagi. Bisa, Pak?""Oh tentu saya bisa, Mbak. Bertemunya di kantor? Atau beliau menentukan tempat di luar kantor?""Kata Bapak Willyanto di kantor, Pak.""Siap, Mbak. Tepat jam sepuluh saya sudah berada di sana," balas Bram.T
"Hai, Mas …," sapa Laura manja.Bram yang tengah fokus menatap layar monitor, tersentak kaget."Kamu!" Bram langsung bangkit dari duduknya. Matanya menatap Laura dengan tajam.Saking marahnya, Bram langsung mendorong tubuh istri sirinya itu."Apaan sih, Mas? Aku ini istri kamu, kenapa kamu marah?"Laura mengira, kedatangannya sedikit memberi kehangatan dengan hubungannya yang retak perkara kejadian di mall weekend kemarin."Kamu masih nanya kenapa aku marah? Otakmu itu bisa mikir nggak?" bentak Bram seraya menoyor kepala Laura. Akan tetapi, ditepis Laura dengan cepat."Jangan kasar kamu! Ini bisa dikatakan KDRT," jawabnya lantang."Persetan apa yang kamu katakan. Keluar nggak! Keluar!"Suara Bram yang menggelegar membuat Laura ketakutan dan akhirnya keluar dari ruang kerja suaminya itu. Dia berlari dengan berlinangan air mata.Shintia yang tadinya mendengar pertengkaran mereka pun berpura-pura fokus pada layar monitor komputernya.Bram berdiri di ambang pintu dengan tatapan yang masih
Bram menarik napas dalam-dalam, dirinya cukup shock karena Bapak Willyanto. Sikap Bapak Willyanto yang tegas tanpa banyak sapaan basa-basi hampir membuat Bram kehilangan kata-kata yang sudah dirancang di hari sebelumnya. Kemudian, dia berdehem seraya memperbaiki duduknya serta jas yang dikenakannya."Tujuan saya ke sini untuk memberi tahu bapak sesuatu yang terbilang sensitif ….""Apa? Sensitifnya apa?" desak Willyanto yang memotong pembicaraan Bram."Uang." Ketika Bram menyebut satu kata itu, wajah Bapak Willyanto yang tadinya tegas berubah, keningnya tampak mengkerut menjadi beberapa lapisan."Maksud Anda, Bapak Arjuna bermain soal uang dengan saya?""Secara langsung memang tidak, Pak. Tapi dia bermain dengan persen dengan kerjasama Anda. Tentunya, berakhir dengan pundi-pundi uang yang dia dapatkan.""Anda punya bukti sampai berani berbicara seperti ini pada Saya? Atau sedang berada dalam urusan pribadi akhirnya melibatkan Saya?" tanya Bapak Willyanto dengan lantang.Kembali, Bram t
Ratna benar-benar kaget setelah melihat sosok yang berdiri dekat mobil yang pernah dia tumpang itu.Lelaki itu berjalan mendekat ke Ratna."Kemana?" tanya Arjuna. Dia tidak heran jika Arjuna akan melontarkan pertanyaan itu."Bukan urusan kamu," sahut Ratna sekenanya.Yang biasanya makin meladeni dengan bahasa yang santun, kali ini tidak. Sikap Santi yang terbilang sangat merendahkan harga diri Ratna ber-impact pada sikap Ratna pada Arjuna."Hati-hati, dia bukan lelaki baik-baik," ucap Arjuna yang semakin membuat Ratna terkejut.Deg!!!Namun, dirinya tak ingin terlihat lain ataupun terasa spesial, meski batin Ratna bertanya-tanya, kenapa Arjuna bisa tahu kalau dirinya ingin bertemu seorang laki-laki?"Nggak butuh petuah."Ratna pun kemudian masuk ke dalam mobil. Mengacuhkan Arjuna yang masih berdiri terpaku. Dalam perjalanan menuju hotel, Ratna berusaha menepis pikiran-pikiran tentang Arjuna."Jangan bilang kalau kamu memata-matai aku demi berharap dapat maaf, Mas!"***Setelah kurang
"Tapi, ibu bener mau bayar saya sepuluh kali lipat dari bayaran, Mbak Laura?" tanya Galang tampak hati-hati. Dia masih merasa Ratna berbohong.Saat ingin menjawab pertanyaan Galang, tiba-tiba ponsel Ratna berdering. Ada panggilan masuk dari nomor yang belum tersimpan dalam daftar kontaknya. Ratna pun mengangkatnya, berpikiran yang nelpon bisa jadi calon pelanggannya."Halo," jawab Ratna ketika telepon tersambung."Rat, kamu harus hati-hati," pesan Arjuna di seberang sana."Aku tahu," sahut Ratna kemudian memutuskan sambungan teleponnya. Telepon terputus, Ratna pun kembali menaruh ponselnya ke dalam tas yang tergeletak di atas meja."Bagaimana tadi? Kalau Anda ragu ya nggak masalah bagi saya. Saya bisa tuntas sendiri.""Oh … tidak … tidak, Bu. Saya percaya.""Oke, lakukan apa yang diperintah sama dia ke Anda. Bisa?" tanya Ratna lantang menatap tajam pada Galang."Bisa, Bu. Bisa, akan saya lakukan sekarang. Kita tidak usah ke apartemen dia. Biar saya suruh saja Mbak Laura-nya ke sini."
Di pusara yang berhiaskan rumput jepang Lidya menangis sejadi-jadinya. Hari ini tepat satu bukan kepergian Santoso dan hari pertama Lidya diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Kondisi yang sangat parah membuat dirinya sering drop."Pi, aku menyesal. Sangat menyesal. Andai waktu itu aku mendengar kata Kak Sonia, pasti semua ini nggak akan kayak gini.""Pi, kenapa harus pergi dengan cara gini? Kenapa papi perginya nggak bawa aku sekalian aja?"Air mata Lidya mengalir deras tanpa jeda. Mata dan hidungnya merah. Suaranya pun terdengar parau. Dari jarak satu meter Sonia hanya diam membisu seraya menatap sendu adik bungsunya yang meratapi kepergian lelaki tercintanya."Sudah, Lid. Papi sudah tenang di sana. Nggak sakit lagi." Sonia akhirnya menghampiri tubuh ringkih adiknya yang memeluk pusara Santoso.Lidya yang tak sesehat dulu jelas membuat Sonia khawatir. Apalagi bagian kepalanya yang bocor akibat jatuh dari tangga sebulan yang lalu itu."Lepasin aku, Kak. Aku mau disini nemenin papi."
Rumah kediaman Santoso yang biasanya lengang, kini ramai didatangi oleh para pelayat. Pagi hari, jenazah Santoso dibawa pulang, karena atas keinginan Shanti otopsi diberhentikan, mengingat Shanti tak ingin jenazah suaminya itu melewati lima waktu sholat. Shanti tak ingin jenazah suaminya itu masih merasakan siksa dunia.Sanak saudara, klien, dan rekan kerja Santoso dulu turut hadir memberi doa sebelum Santoso dikebumikan. Dalam keramaian para pelayat yang datang, belum tampak batang hidung Ratna dan Devina. Mereka baru pagi ini terbang ke Jogja setelah semalam diberitahu oleh Arjuna.Pukul sebelas siang, Ratna dan Devina sampai juga di rumah duka. Shanti memeluk tubuh Ratna dengan erat."Maaf jika aku membawa sial, Mi. Kalau aku tidak ada mungkin papi masih ada," sesal Ratna seraya berbisik pada Shanti."Ini takdir Yang Maha Kuasa. Kamu bukan pembawa sial. Melalui kamu, Allah menyadarkan mami dari maruknya harta dan tahta."Tapi, Mi ….""Sudah, Ratna. Kamu tidak perlu terus-terusan me
Santoso mengalihkan pandangannya ke arah Lidya yang tertunduk takut."Benar apa yang dikatakan mami kamu, Lidya?" tanya Santoso dengan lantang.Hening tanpa jawaban. Tak dijawab langsung membuat emosi Santoso membuncah."Lidya, jawab papi!" teriak Santoso. Emosi yang tak terkontrol membuat Santoso drop seketika. Tangan kanannya memegang dada."Aaauuu …," pekiknya bersamaan dengan jatuhnya tubuh berbobot cukup besar itu ke lantai. Arjuna yang tidak begitu memperhatikan Santoso kalah cepat menyambut tubuh papinya itu."Mas!" pekik Shanti."Papi …," teriak Lidya histeris.Arjuna memapah tubuh Santoso dan merebahkannya di sofa.Napas Santoso tersengal-sengal menahan sesak."Ngapain kamu bengong, Lidya. Cepat telepon dokter!" desak Shanti yang panik."Sini aku telpon, mana nomor hape dokternya," ucap Arjuna."Aku nggak hapal, Mas." Lidya berlari menuju lantai dua untuk mengambil ponselnya yang ada di kamar.Namun, saat dirinya berhasil mengambil ponsel dan menuruni anak tangga kurang hati-
"Mami dan Mas Arjuna pasti nggak tahu 'kan kalau papi sakit parah.""Jantung 'kan?""Bukan," bantah Lidya."Lalu apa, Lid. Kamu daritadi setengah-setengah aja ngomongnya. Bikin makin panik," sungut Shanti yang sudah mulai kesal."Papi, sakit kanker paru-paru kata dokter, Mi."Shanti dan Arjuna saling menoleh heran."Kamu jangan asal ngomong ya? Mana mungkin papi kena kanker," protes Shanti. Menurut Shanti, suaminya itu tampak seperti biasanya. Tak ada tanda jika suaminya memginap penyakit yang berbahaya itu."Sudah, sekarang kamu balik ke Jogja, biar aku temui papi besok. Dan, cukup bersikap lancang sama Ratna. Dia itu hanya korban dan kamu tidak punya hak mencampuri semua ini."Lidya bangkit dari duduknya, lalu berdiri berhadapan dengan Arjuna."Tanpa Mas suruh pun aku akan pulang. Tak sudi tinggal disini dengan orang seperti mas dan mami. Egois!"Lidya menyentak dengan kasar saat membuka pintu dan menghempaskannya dengan keras saat menutupnya kembali."Biarkan saja, Ar. Lidya meman
Lidya tersentak kaget ketika melihat sosok yang sempat dia cari sebelumnya tiba-tiba datang tanpa kode."Ngapain kamu kesini? Nggak ada sopan santunnya sama sekali!" serang Arjuna yang terlihat begitu marah pada adik bungsunya itu.Mendengar suara Arjuna berada di luar rumah, Ratna pun bergegas ke sumber suara."Mas, kamu kok bisa tahu Lidya disini?" tanya Ratna penasaran."Nggak usah sok nanya, dasar perempuan bermuka dua," geram Lidya melihat Ratna tiba-tiba nimbrung. Dipikiran Lidya, Ratna lah yang menghubungi Arjuna. Dan, sekarang malah seorang bertanya."Jaga mulut kamu, Lid. Sembarangan aja kalau bicara!" sergah Arjuna. "Aku minta maaf atas sikap Lidya sama kamu, Rat. Nanti malam aku ke sini lagi.""Kamu ikut aku sekarang!" Arjuna menarik kasar tangan Lidya untuk masuk ke dalam mobil.Selama ini Arjuna tidak pernah berkata kasar ataupun bersikap kasar pada saudara perempuannya itu. Namun, tingkah Lidya yang kelewatan batas, tak ada toleransi lagi.Ratna melepas kepergian Arjuna
Lidya sedang berdiri di sebuah rumah yang baru saja dikunjungi Arjuna dan Shanti."Permisi!" seru Lidya di depan pagar.Mendengar suara tersebut, Ratna pun bergegas ke pintu utama. Dirinya sempat mengernyitkan dahi saat berhenti di ambang pintu utama."Itu siapa? Kok asing wajahnya," gumam Ratna."Permisi, Mbak," sapa Lidya lagi seraya mengulas senyum palsu.Ratna pun melanjutkan langkah menuju pagar."Ya, Mbak. Ada yang bisa dibantu?" tanya Ratna, sama tidak membukakan gembok pagar rumahnya untuk jaga-jaga.Wajah Lidya yang tadinya menampakkan kehangatan palsu, sekarang berubah drastis tepat saat Ratna berdiri di depannya yang hanya terbatas dengan pagar."Saya Lidya, adiknya Mas Arjuna. Saya ingin mengobrol dengan Anda!" ucapnya dengan lantang. Sorot matanya pun ikut menatap Ratna dengan tajam."Oh, boleh. Silakan masuk!" titah Ratna yang setelahnya membuka gembok.Lidya mengikut langkah Ratna saat masuk ke dalam rumah. Tak ada rasa takut apalagi kesal karena melihat wajah Lidya yan
Gerbang didorong oleh Pak Kobir saat bunyi klakson memberi kode.Pak Kobir tidak langsung memberitahu Arjuna, dirinya beranggapan tak sopan jika sang Tuan belum duduk di dalam rumah. Arjuna dan Pak Sobri melakukan seperti kemarin saat mobil sudah berhenti di depan rumah, hal akan menjadi rutinitas sampai waktu tak ditentukan."Mami langsung istirahat saja ya. Aku ada urusan sebentar," pamit Arjuna setelah membopong tubuh Shanti ke peraduan."Mau kemana, Ar? Bukannya cuti," tanya Shanti heran."Ada perlu sebentar, Mi.""Iya, sebentarnya kemana? Nggak tenang mami nih, Ar. Kata kamu ada polisi yang ngejagain. Tapi kok mami nggak lihat dari kemarin kalau ada yang jaga berpakaian lengkap seperti biasanya.""Yang jaga kita nggak pake seragam, Mi. Sengaja biar nggak ketahuan sama orang-orangnya Mulyadi.""Tapi nggak ada juga yang berdiri di dekat rumah kita.""Mereka berdiri di suatu tempat dengan standby CCTV. Begitu juga tadi di rumah Ratna. Kalau terang-terangan dijaga, mana ada yang bera
Benar saja, esok hari Lidya langsung terbang ke Jakarta, tentu saja berbohong pada Santoso. Alih-alih beralasan ada interview di luar kota. Meskipun Sonia sudah melarang tapi tetap saja Lidya berangkat dengan berbohong pada Santoso."Aku pergi interview dulu ya, Pi. Doakan berhasil," pamit Lidya seraya mencium punggung tangan Santoso."Pasti. Semoga kamu bisa lebih sukses dari Arjuna.""Tentu, Pi. Aku akan bikin papi bangga, nggak kayak Mas Arjuna."Sebelum pamit, Lidya memberi selembar kertas pada asisten rumah tangganya. Disana tertulis apa saja yang akan dilakukan asisten rumah tangganya serta jam minum obat. Tak lupa, Lidya meminta asisten mengabari dirinya jika ada kondisi darurat. Atau jika tidak ada respon, asisten rumah tangga diminta untuk menghubungi Sonia."Pak, ada Mas Arjuna?" tanya Lidya pada security yang bertugas. Lidya sampai di Jakarta pukul dua belas siang."Bapaknya baru saja pergi, Mbak Lid.""Sama mami juga?" Lidya ingin memastikan."Iya, sama nyonya juga.""Kira
Ponsel yang standby di tangannya, tak butuh lama bagi Arjuna membaca pesan yang dikirim oleh kakak kandungnya itu, meskipun dia hanya membaca lewat sekilas pemberitahuan di layar ponselnya."Mereka pikir aku akan gentar dengan ancaman ini. Cukup selama ini aku yang menjadi tameng menyelamatkan hidup keluarga. Namun, nggak berlaku lagi sekarang."Tanpa membuka pesan yang dikirim Sonia, Arjuna malah menghapus pesan yang Sonia serta memblokir nomor ponsel kakaknya itu dari whatsapp. Arjuna lebih memilih fokus pada kondisi Shanti daripada meladeni saudara kandungnya itu. Sebegitu kecewakah Arjuna sampai-sampai tak memberi celah?"Gimana, Kak? Sudah dibaca? Udah tiga jam lho ini." Lidya masih saja penasaran. Mereka tengah menikmati cemilan malam di balkon lantai dua."Belum. Sibuk atau bisa jadi sengaja nggak direspon.""Nggak direspon, berarti dia baca dong?""Tanda birunya nggak ada.""Apa Mas Arjuna menonaktifkan pertanda pesan yang masuk itu sudah dibaca?""Ya … nggak tau lah soal itu.