"Belum ada tanggapan soal jadwal sih, Mbak. Cuma karena ini memang penting, makanya saya datang ke sini tanpa membuat janji terlebih dahulu. Saya mohon, Mbak. Atau nggak, bisa disambung nggak ke Bapak Willyantonya, siapa tahu beliau berkenan bertemu.""Maaf, Pak. Bukannya tidak mau, tapi saya mengikuti apa yang sudah menjadi kesepakatan.""Mbak, please. Saya mohon dengan sangat. Kalau bukan urusan penting, saya juga nggak mendesak seperti ini," sahut Bram yang masih bersikeras.Melihat gelagat Bram yang sudah dipantau sejak tadi, satpam yang memberi izin pada Bram untuk masuk area kantor pun berjalan menghampiri lelaki berkulit sawo matang itu."Ada yang bisa dibantu, Pak?"Bram pun menjelaskan maksud kedatangannya untuk bertemu Bapak Willyanto, serta sang resepsionis juga sudah menjelaskan kenapa Bram tidak bisa menemui direkturnya itu."Tapi nggak masalah, Pak. Saya bisa atur janji sekarang saja kalau begitu. Saya ikutin kapan Bapak Willyanto bisa bertemu," sahut Bram akhirnya memil
Menghilangkan rasa salah tingkahnya, Galang pun menyeruput minuman teh dingin yang ada di meja. Untung saja Ratna tidak begitu fokus pada gerak-gerik Galang."Bukan siapa-siapa saya, Bu. Cuma orang biasa, sehari-hari cuma ngonten, Bu.""Oh ya? Keren dong berarti, di upload dimana kontennya?" tanya Ratna seolah penasaran, karena dengan begitu dirinya pun bisa membuktikan penuturan Galang. Dalam urusan bisnis yang kejam tentu tidak bisa dengan mudahnya percaya."Di aplikasi toktok, Bu.""Hmm … begitu, bagus banget lho seorang content creator berani berinvestasi.""Ah, nggak juga, Bu. Saya hanya ingin muterin uang siapa tahu dikasih rezeki lebih.""Hmm … kalau gitu harapannya, saya nggak menjamin juga bakalan sukses nantinya di cabang baru. Jangan sampai, ekspektasi bapak tinggi tapi nyatanya realita malah berbanding terbalik.""Kalau itu saya paham, Bu. Jadi gimana, Bu? Ini ada tanda hitam di atas putihnya. Kalau ibu berminat, bisa kabari saya.Ratna pun mengambil sebuah berkas dari tan
"Nah, ada satu lagi calon target yang bakal aku jadikan buat menyingkirkan Arjuna." Senyum sinis balas dendam pun terlukis di gurat wajah Bram."Aku harus bergegas, sebelum semuanya terlambat," gumamnya.Di tengah kondisi itu, ponsel Bram yang tergeletak di samping keyboard komputernya, berdering nyaring. Bram langsung menoleh dan sedikit heran melihat nomor yang tertera di layar ponselnya itu."Halo.""Halo, benar ini dengan Bapak Bramantyo?""Ya … saya sendiri. Ini siapa?" tanya Bram tegas."Oh saya resepsionis yang Anda jumpai tadi, Pak."Senyum Bram mengembang sempurna. "Ya Mbak, kenapa? Apa Bapak Willyantonya sudah tentukan jadwal?" tanya Bram antusias."Benar, Pak. Direktur kami sudah menentukan jadwalnya dan bapak disuruh datang ke sini besok pukul sepuluh pagi. Bisa, Pak?""Oh tentu saya bisa, Mbak. Bertemunya di kantor? Atau beliau menentukan tempat di luar kantor?""Kata Bapak Willyanto di kantor, Pak.""Siap, Mbak. Tepat jam sepuluh saya sudah berada di sana," balas Bram.T
"Hai, Mas …," sapa Laura manja.Bram yang tengah fokus menatap layar monitor, tersentak kaget."Kamu!" Bram langsung bangkit dari duduknya. Matanya menatap Laura dengan tajam.Saking marahnya, Bram langsung mendorong tubuh istri sirinya itu."Apaan sih, Mas? Aku ini istri kamu, kenapa kamu marah?"Laura mengira, kedatangannya sedikit memberi kehangatan dengan hubungannya yang retak perkara kejadian di mall weekend kemarin."Kamu masih nanya kenapa aku marah? Otakmu itu bisa mikir nggak?" bentak Bram seraya menoyor kepala Laura. Akan tetapi, ditepis Laura dengan cepat."Jangan kasar kamu! Ini bisa dikatakan KDRT," jawabnya lantang."Persetan apa yang kamu katakan. Keluar nggak! Keluar!"Suara Bram yang menggelegar membuat Laura ketakutan dan akhirnya keluar dari ruang kerja suaminya itu. Dia berlari dengan berlinangan air mata.Shintia yang tadinya mendengar pertengkaran mereka pun berpura-pura fokus pada layar monitor komputernya.Bram berdiri di ambang pintu dengan tatapan yang masih
Bram menarik napas dalam-dalam, dirinya cukup shock karena Bapak Willyanto. Sikap Bapak Willyanto yang tegas tanpa banyak sapaan basa-basi hampir membuat Bram kehilangan kata-kata yang sudah dirancang di hari sebelumnya. Kemudian, dia berdehem seraya memperbaiki duduknya serta jas yang dikenakannya."Tujuan saya ke sini untuk memberi tahu bapak sesuatu yang terbilang sensitif ….""Apa? Sensitifnya apa?" desak Willyanto yang memotong pembicaraan Bram."Uang." Ketika Bram menyebut satu kata itu, wajah Bapak Willyanto yang tadinya tegas berubah, keningnya tampak mengkerut menjadi beberapa lapisan."Maksud Anda, Bapak Arjuna bermain soal uang dengan saya?""Secara langsung memang tidak, Pak. Tapi dia bermain dengan persen dengan kerjasama Anda. Tentunya, berakhir dengan pundi-pundi uang yang dia dapatkan.""Anda punya bukti sampai berani berbicara seperti ini pada Saya? Atau sedang berada dalam urusan pribadi akhirnya melibatkan Saya?" tanya Bapak Willyanto dengan lantang.Kembali, Bram t
Ratna benar-benar kaget setelah melihat sosok yang berdiri dekat mobil yang pernah dia tumpang itu.Lelaki itu berjalan mendekat ke Ratna."Kemana?" tanya Arjuna. Dia tidak heran jika Arjuna akan melontarkan pertanyaan itu."Bukan urusan kamu," sahut Ratna sekenanya.Yang biasanya makin meladeni dengan bahasa yang santun, kali ini tidak. Sikap Santi yang terbilang sangat merendahkan harga diri Ratna ber-impact pada sikap Ratna pada Arjuna."Hati-hati, dia bukan lelaki baik-baik," ucap Arjuna yang semakin membuat Ratna terkejut.Deg!!!Namun, dirinya tak ingin terlihat lain ataupun terasa spesial, meski batin Ratna bertanya-tanya, kenapa Arjuna bisa tahu kalau dirinya ingin bertemu seorang laki-laki?"Nggak butuh petuah."Ratna pun kemudian masuk ke dalam mobil. Mengacuhkan Arjuna yang masih berdiri terpaku. Dalam perjalanan menuju hotel, Ratna berusaha menepis pikiran-pikiran tentang Arjuna."Jangan bilang kalau kamu memata-matai aku demi berharap dapat maaf, Mas!"***Setelah kurang
"Tapi, ibu bener mau bayar saya sepuluh kali lipat dari bayaran, Mbak Laura?" tanya Galang tampak hati-hati. Dia masih merasa Ratna berbohong.Saat ingin menjawab pertanyaan Galang, tiba-tiba ponsel Ratna berdering. Ada panggilan masuk dari nomor yang belum tersimpan dalam daftar kontaknya. Ratna pun mengangkatnya, berpikiran yang nelpon bisa jadi calon pelanggannya."Halo," jawab Ratna ketika telepon tersambung."Rat, kamu harus hati-hati," pesan Arjuna di seberang sana."Aku tahu," sahut Ratna kemudian memutuskan sambungan teleponnya. Telepon terputus, Ratna pun kembali menaruh ponselnya ke dalam tas yang tergeletak di atas meja."Bagaimana tadi? Kalau Anda ragu ya nggak masalah bagi saya. Saya bisa tuntas sendiri.""Oh … tidak … tidak, Bu. Saya percaya.""Oke, lakukan apa yang diperintah sama dia ke Anda. Bisa?" tanya Ratna lantang menatap tajam pada Galang."Bisa, Bu. Bisa, akan saya lakukan sekarang. Kita tidak usah ke apartemen dia. Biar saya suruh saja Mbak Laura-nya ke sini."
Lelaki tua berambut keriting nan lebat yang hanya memakai celana pendek sebatas paha itu semringah mendekati Laura. Berbeda hal dengan Laura yang sangat terkejut dan ketakutan seraya berjalan mundur."Siapa, Kau?" teriaknya. "Pergi?""Duh … aduh … jangan marah-marah neng. Katanya mau menikmati hari dengan Akang," goda lelaki tua itu.Laura terus saja berjalan mundur hingga akhirnya mentok dengan jendela."Pergi kamu!" usirnya. Namun, lelaki tua itu malah semakin menjadi-jadi.Laura yang ingin membuka gorden pun tak berhasil karena si tua bangka menghalanginya.Bobot tubuh Laura yang kecil tak sebanding dengan si tua bangka yang kelebihan berat badan. Tak mampu menahan dirinya saat dilempar ke peraduan."Jangan dibuka dong jendelanya. Cukup saya saja melihat bagian dalam yang montok itu," ucapnya seraya mendekat.Laura yang terbaring karena terhempas ke ranjang, buru-buru bangun. Namun, sayangnya lagi, dia kalah cepat dari lelaki tua bangka. Dirinya melompat hingga sekarang berada di a