Santi tak bisa lagi menahan Dara yang sudah buru-buru masuk ke dalam taksi online yang dia pesan. Begitupun Pak Kobir yang berdiri di dekat mobil yang sudah siap ingin mengantar Santi pergi.Dia duduk di sofa seraya mengambil ponselnya dari dalam tas branded yang dibelikan Dara. Niatnya menghubungi Arjuna, malah tak ada digubris sama sekali."Kenapa nggak kamu angkat sih, Ar!" gerutu Santi seraya memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas.Dia bangkit dari duduknya dan keluar dari rumah. Melihat Santi keluar dari rumah, Pak Kobir buru-buru membuka pintu mobilnya."Silakan, Nyonya!" "Kita ke kantor Arjuna sekarang!" titah Santi tanpa tambahan kalimat lain. Santi memutuskan untuk pergi ke kantor Arjuna karena teleponnya sama sekali tak diangkat anaknya itu. Dalam perjalanan menuju kantor Arjuna, Santi diam seribu bahasa. Biasanya mengajak Pak Kobir mengobrol hal-hal yang umum saja. Pak Kobir yang membaca situasi sedang tidak baik-baik saja pun ikut membungkam.Sesampainya di kantor Sant
Di toko … beberapa orang karayawan sudah bersiap membagikan snack box bakery di beberapa tempat yang ditunjuk Arjuna. Biar menghemat waktu, Ratna mengoperasikan dua mobil box miliknya.Ratna melepas di pelataran parkir dan saat ingin masuk ke dalam toko tiba-tiba mobil berhenti di parkiran tokonya. Ratna sempat menoleh, akan tetapi melihat mobil itu sangat dia kenal."Rat … Ratna …!" seru Arjuna buru-buru keluar dari mobil.Ratna tak menggubris sama sekali. Dia tetap masuk dan langsung menuju ruangannya."Rat … buka pintunya. Kita perlu bicara!" ucap Arjuna di depan pintu ruangan. Pintu tersebut sengaja dikunci Ratna dari dalam."Ratna … aku minta maaf karena mami sudah bersikap kasar sama kamu. Dan, aku sudah nggak jujur dari awal. Namun, aku sejak awal sudah menolak perjodohan itu. Dan, sama sekali tidak mengharapkan perjodohan itu menjadi nyata.""Ratna, sikap aku selama ini ke kamu itu murni. Tanpa rekayasa … Please, Rat. Kasih aku kesempatan untuk menjelaskan.""Aku menyesal tela
Bram mengetuk pintu dengan kencangnya membuat Wati yang tengah asyik menonton televisi merasa terganggu."Iya … iya, sabar. Bisa nggak kalau kamu itu nggak bikin mama kesal," umpat Wati seraya berjalan ke pintu utama.Kret!!!"Apa sih kamu, Bram. Berisik banget," cecar Wati setelah membuka pintu setengah.Bukannya menjawab, Bram malah mendorong pintu membuat Wati ikut terdorong juga."Astaga … ini anak. Kamu jangan kurang ajar ya, Bram."Bram duduk di sofa tamu, seraya memerintahkan pada mamanya agar menutup pintu."Tutup aja pintunya, Ma. Aku mau kasih liat sesuatu ke mama," sahut Bram dengan mata berbinar."Kamu bisa nggak, tenang dikit. Biar orang nggak emosi," sahut Wati kesal tapi tetap saja menutup pintu. Kemudian dia duduk bersebrangan dengan Bram."Tas apa itu?" tanya Wati heran."Ini tas harta karun.""Hah? Serius?"Bram mulai membuka kuncinya dan …"Tuh liat, Ma," ucapnya. Mata Wati terbelalak sempurna menatap uang merah yang tersusun rapi."Bram ini uang semua? Kamu dapat
Di apartemen pukul sembilan malam, Laura mematut diri di depan cermin. Wajahnya sudah dihiasi make up minimalis, baju kebaya putih tulang dipadupadakan dengan songket berwarna merah maroon benang emas, menandakan dirinya sudah siap menikah secara siri dengan Bram. Sehari sebelumnya dia baru diperbolehkan pulang, serta langsung meminta Bram untuk membelikan mobil yang terbilang tidak terlalnu mewah. Mobil keluaran Tiyito Ayaya putih menjadi pilihannya. Ting ... Tung ... Ting ... Tung ... Terdengar bunyi kamarnya dan Laura langsung bergegas membukakan pintu. "Silakan masuk, Pak!" suruhnya pada tiga orang lelaki separuh baya yang mengenakan celana dasa hitam dan baju batik. Ketiga orang masuk dan duduk di sofa setelah disuruh Laura. "Duduk dulu, Pak. Calon suami saya masih di jalan." "Baik, Bu." Sementara menunggu Bram, Laura pun menjamu wali dan saksi itu makanan dan minuman yang sudah dia persiapkan. "Bram, kamu yakin menikahi dia lagi?" tanya Wati saat mereka dalam perjalanan m
Bukannya menghampiri seperti biasa, Laura malah lari dan bersembunyi di tempat lain yang sekiranya tidak diketahui oleh Ratna."Mba Ratna nggak boleh tahu kalau aku membuntuti Mas Bram. Bisa-bisa dia putar arah. Soalnya foto nikah kemarin pas dikirim ke dia cuma di baca doang," gumam Laura dalam hati seraya berlari kecil ke toko kosmetik terpisah tiga toko."Ma … Nana nggak sabar ngasih kado ini buat papa," ucap Devina. Di kedua tangannya tampak membawa bingkisan berbentuk kubus dibungkus dengan kertas kado dipercantik dengan pita berwarna biru, warna kesukaan Bram."Cuma hitungan menit lagi kok, Na."Kemudian, mereka berdua membelok ke resto yang sudah diberi tahu Bram.Tampak Ratna dan Devina masuk ke dalam resto. Bram spontan berdiri dan melambaikan tangan, tak lupa senyumnya merekah sempurna. Waktu yang paling dia nanti menikmati waktu yang berkualitas dengan Devina, lebih tepatnya dengan Ratna."Hai, Cantik," sapa Bram seraya mengembangkan kedua tangannya untuk berpelukan dengan
Tidak ada pembicaraan berarti saat menunggu pesanan datang. Ratna lebih sibuk memainkan ponselnya."Hmm ... Nana jadi penasaran papa pesen apa. Kalau salah lagi gimana, Pa?" tanya Devina meragu."Nggak bakalan, Na. Kali ini Papa yakin benar."Tak lama kemudian, sang pelayan pun datang membawa stroller meja berisikan makanan dan minuman.Dan ... mata Ratna juga Devina terbelalak sempurna melihat makanan yang disuguhkan. Detik kemudian, Ratna dan Devina pun saling melempar pandangan.Ratna mengedipkan kedua matanya pada Devina seraya mengelus punggung anaknya itu."Mbak, saya pesan sushi yang tersedia di sini ya!" pinta Ratna pada pelayan yang hendak bertolak ke belakang.Tanpa terasa mata Devina yang tadinya berbinar memancarkan kebahagiaan berubah berembun menahan tangis."Kenapa Devina, Rat? Aku salah, ya?" tanya Bram menatap Devina dan Ratna bergantian."Menurut kamu?""Astaga ... Papa baru ingat kalau Devina suka makan sushi. Maafkan papa, ya, Na. Papa beneran lupa." Bram bangkit da
Ratna bergeming sejenak mendengar ucapan Meisha."Perusahaan Farmasi?" tanya Ratna keheranan."Iya, Bu. Ada Katanya Perusahaan Farmasi Didara.""Kerjasama dalam bentuk apa?""Ibu bisa ke kantor? Kebetulan tadi orangnya ngasih proposal sama juga ninggalin kartu nama," jelas Meisha singkat."Nanti saya kabari lagi bisa atau tidaknya," sahut Ratna.Sambungan telepon pun terputus saat keduanya saling mengucapkan salam."Na … Kalau kita ke toko gimana? Nana mau?" tanya Ratna yang tak ingin mengambil keputusan sendiri."Boleh, Ma. Nana mau," sahut Devina tanpa nada keberatan.Ratna pun kembali menelepon Meisha mengabarkan jika dirinya akan datang ke toko.Kurang lebih setengah jam perjalanan, akhirnya Ratna sampai juga di toko. Sesampainya di sana, Meisha langsung memberikan proposal dan kartu nama."Oke, saya pelajari dulu di dalam."Sebelum menuju ruangan, Ratna pun mengambil beberapa bakery dan minuman untuk cemilan Devina di ruangan.Di ruangan, Ratna tampak dengan seksama membawa setia
Pagi-pagi sekali Bram sudah bertandang ke rumah Ratna. Kebetulan juga, Ratna dan Devina menyiram tanaman di pagi Minggu. Rutinitas yang biasa mereka lakukan.Suara mobil yang berhenti di depan rumahnya, membuat Ratna dan Devina melempar pandangan."Ngapain juga kamu ke sini, Mas! Mau bikin Devina sedih lagi? Atau … mau pamer?" gumam Ratna saat Bram melangkah menuju pagar rumahnya.Bram melambaikan tangan pada Devina yang menghentikan aktivitasnya."Hai, Na," sapa Bram berusaha ramah. Salah satu tangannya membawa parcel buah yang ukurannya tak terlalu besar."Nana yang buka atau mama?" tanya Ratna memberi pilihan."Biar Nana aja, Ma."Devina membukakan pagar untuk papanya."Hai, Rat. Sorry perkara kemarin. Aku … aku ….""Nggak perlu dibahas. Nggak penting soalnya.""Oh … Oke. Aku nggak bakalan maksa kamu juga.""Kamu Duduk di luar aja! Sama kamu nggak boleh lama di sini!" ucap Ratna wanti-wanti. Berkata apa adanya lebih baik ketimbang berpura-pura segan demi lelaki macam Bram."Iya, ng