Baru pulang satgas dan mau melamar kekasihku, aku malah melihat tenda biru terpasang di depan rumahnya. Ternyata dia...Part 3Mereka sampai di rumah Vina berkat pertunjuk arah dari ibunya Vina. Yudha mengikuti saja ibunya Vina menunjukkan jalurnya. Rumah keluarga Vina sangat sederhana. Halamannya kecil, rumahnya pun kecil. Namun meski begitu, penampilan rumah ini tampak bersih dan rapi kalau dilihat dari luar. “Ayo Nak Yudha, masuk dulu. Maaf ya, rumah Ibu kecil, kayak gubuk aja.”Yudha mengangguk. “Terima kasih.”Yudha dipersilakan duduk di ruang tamu. Di sana hanya tersedia kursi dan meja kayu yang sudah tua. Perkakas yang ada hanya sederhana. Ibunya Vina ke belakang untuk membuatkan teh, sementara Vina disuruh menemani Yudha di ruang tamu.Vina merengut sambil menyilangkan kedua lengannya sejak tadi. “Apa-apaan sih ini? Aku nggak kenal sama kamu ya Om, kok bisa-bisanya ngaku-ngaku kita selingkuh? Aku nggak serendah itu kali sampai mau jadi selingkuhan. Ih!”Yudha terkekeh. “Oh in
Vina menghela napas panjang. Ia tidak punya pilihan lain. Saat ini, kesehatan bapaknya sangat penting. Kalau harus menunggu biaya sendiri, rasanya malah tidak mungkin bapaknya bisa dirawat intensif di rumah sakit. Vina dan ibunya hanyalah penjual kue basah yang dititipkan ke warung-warung. Mau minta tolong kepada keluarga Wulan juga percuma. Mau ngemis-ngemis sampai Nobita nikah sama Shizuka juga enggak bakalan dikasih. Walaupun keluarga Wulan terbilang berkecukupan, tapi pelitnya nau'dzubillah. Bukan uang yang akan diterima, justru kata-kata penghakiman dan hinaan yang bikin kenyang. Sungguh, minta tolong pada keluarga itu bikin Vina trauma batin. “Ya udah aku mau, tapi bawa sekarang juga Bapakku ke rumah sakit untuk berobat.”Yudha mengangguk. “Nggak masalah.”Vina sedikit terkejut dengan respon itu. Ia kira, Yudha akan membuat alasan akan membawa bapaknya berobat di hari lain, ternyata malah langsung menyetujuinya dengan mudah. Yudha dan Vina keluar dari kamar bapaknya untuk bert
Keesokan harinya, seperti yang dijanjikan, Yudha akan menjemput Vina di rumahnya. Sebelumnya Vina sudah meminta izin kepada orang tuanya bahwa hari ini dia akan pergi bersama Yudha ke suatu tempat. Ibu Vina masih di rumah sakit menemani sang suami yang akhirnya mendapatkan perawatan intensif. Mereka mengizinkan Vina pergi tanpa banyak bertanya karena Yudha juga sudah membantu.Vina menatap pantulan dirinya di cermin. Sejak sejam yang lalu Vina sibuk mengobrak-abrik isi lemarinya untuk mencari pakaian yang pantas untuk menemui orang tua Yudha. Semua pakaiannya sederhana, tidak ada yang bagus-bagus amat sebenarnya. Namun, Vina ingat bahwa konsep pakaian sopan adalah yang penting rapi dan tidak berlebihan. Dan akhirnya, Vina menemukan setelan yang tepat.“Apa pakaian ini cocok ya? Tapi, kayaknya emang nggak jelek-jelek banget deh,” ucap Vina sembari berkaca merapikan atasannya. “Yaudah pakai ini aja. Warnanya nggak kusam dan masih licin habis disetrika kemarin. Lumayan lah.”Karena bera
Yudha melihat gelagat aneh Vina. Keningnya seketika mengernyit heran. “Kenapa kamu?” tanya Yudha.Vina langsung menggeleng. Sayangnya, wajah Vina sudah pucat pasi. Seolah ia baru saja melihat sesosok hantu menyeramkan. Yudha sebenarnya heran, tetapi ia mengabaikannya. Lagipula, Vina memang suka bertingkah agak nyeleneh—setidaknya itu menurut pengamatan Yudha selama mengenal Vina selama beberapa hari terakhir. Ketika Yudha dan Vina mau masuk ke rumah, Vina langsung menahan lengan Yudha, membuat langkah mereka seketika terhenti. “Kenapa lagi?” tanya Yudha.“Om, gimana kalau kita pura-pura pacaran aja, jangan bilang mau nikah gitu. Soalnya, hm… anu, Om nggak mungkin serius mau menikah sama aku, ‘kan?”“Kenapa tiba-tiba berubah pikiran gitu?” tanya Yudha.“Bukan gitu maksudnya. Tapi... anu… hm…” Ah sial, Vina jadi bingung sendiri bagaimana membuat-buat alasannya. “Apa sih? Kamu jadi bertingkah aneh, Vina.”Vina menggeleng. “Bukan. Maksud aku, biar Om pikirin lagi gitu lho. Yang pentin
Reyhan tertawa geli mendengar Vina kaget dan latah seperti itu. “Sayang, kamu itu ya kebiasaan banget kalau kaget jadi latah.”Sementara Reyhan menikmati kelatahan Vina dan menganggapnya sebagai sesuatu yang lucu dan menggemaskan, yang bersangkutan alias Vina sendiri justru sedang ketar-ketir luar biasa. Bisa-bisanya ia secara kebetulan bertemu Reyhan di sini, dan yang lebih parah, sekarang Vina sedang bersama Yudha. Untung saja Reyhan memergokinya di sini ketika Yudha sedang ke toilet, kalau sampai pacarnya ini memergoki dirinya bersama Yudha, bisa jadi perang dunia ketiga nanti. “Ngapain kamu di sini?” tanya Vina. Reyhan justru terkekeh. “Harusnya aku dong yang nanya kenapa kamu di sini, Sayang?”Vina menggaruk pipinya sendiri. Kalau sedang panik, mulutnya memang suka asal bunyi. “Mmm… lagi jadi manekin.”Sial, Vina benar-benar gugup luar biasa. Tadinya ia mau menjawab lain, tetapi malah yang keluar dari mulutnya jawaban ngaco dan konyol seperti itu.Jelas saja jawaban Vina langsu
Reyhan berusaha mengejar mereka, tetapi karena hari itu Mall dalam keadaan ramai, jadi, Reyhan kehilangan jejak mereka. Belum lagi ponselnya yang tiba-tiba berdering. Mau tak mau, Reyhan mengangkat ponselnya dulu karena takut itu telpon penting. Di sisi lain, setelah keluar dari mall, Vina baru berani mengangkat wajahnya lagi. Yudha dan Vina masuk ke dalam mobil. “Selonjorkan kakimu,” pinta Yudha.Vina mengangguk. Ia meluruskan kakinya, kemudian Yudha mencari-cari kotak P3K di dalam mobil untuk mengambil salep pereda nyeri di sana. Yudha mengoleskan salep itu pelan-pelan, tetapi karena memang memar di kaki Vina masih baru, sentuhan pelan pun membuatnya terganggu.“Ah! Ah… a-ah… aduh!” Vina mengerang kesakitan sambil menggeliat. Yudha geleng-geleng kepala. “Jangan banyak bergerak, di sini sempit.”“P-Pelan dong, Om. Ah…”Gara-gara teriakan ambigu Vina, tiba-tiba ada yang mengetuk kaca mobil Yudha. Saat itu juga, Yudha menurunkan kaca mobilnya separuh dan bertemu pandang dengan satp
Yudha seketika mengernyit mendengar jawaban Vina. “Cowokmu? Ngapain dia di sini?”“Sebenarnya tadi kami ketemu pas di mall, Om. Mungkin dia kira aku udah pulang makanya nyusulin ke rumah,” jelas Vina. Yudha mengusap wajahnya. “Kamu ini belum putus sama dia, ya?”Vina menggeleng. “Belumlah, Om. Masa iya tiba-tiba putus gitu aja. Lagian aku masih cinta sama dia, Om.”Yudha sedikit berjengit kaget mendengar jawaban Vina. Cinta, katanya? Entah mengapa Yudha ingin tertawa mendengar pengakuan itu. Apa sih yang diketahui gadis 18 tahun ini soal cinta? Paling-paling hanya sekadar cinta monyet belaka. “Jadi itu alasan kamu minta supaya kita pura-pura pacaran aja dan nggak perlu nikah beneran? Karena cowok kamu?”Vina mengangguk. “Iya, Om.”Yudha geleng-geleng kepala. “Kamu bikin keadaan tambah rumit aja.”Vina merengut. “Ih, siapa juga yang bikin keadaan tambah rumit? Kan dari awal aku udah bilang kalau memang udah ada cowok. Om sih minta aku pura-pura jadi calon istri segala.”“Kamu sendiri
“Aku kabur, Mas Yudha,” ulang Wulan.“Kabur gimana maksudnya?” tanya Yudha. Ia bingung mengapa Wulan tiba-tiba memberi kabar seperti ini kepadanya. Terlebih, bukankah apapun urusan Wulan sekarang bukan urusan Yudha lagi? mereka sudah putus waktu itu.“Ya kabur dari rumah Mas,” kata Wulan.“Iya, kenapa kabur dari rumah? Bukannya hari ini kamu menikah?”Terdengar helaan napas panjang dari seberang panggilan. “Aku nggak bisa jelasin di telepon, Mas. Bisa enggak kalau kita ketemuan di luar aja?”Yudha memijat sekat hidungnya. “Saya nggak bisa. Saya ada piket hari ini.”“Tolonglah Mas, sebentar aja.” Suara Wulan terdengar semakin memelas ketika memohon. Ia seperti sudah sangat putus asa untuk ingin bertemu dengan Yudha. “Nggak bisa, Wulan. Maaf, saya harus piket.”“Mas Yudha beneran nggak mau ketemu sama aku? Sebentar pun nggak mau?” Yudha mengernyit. Nada suara Wulan terdengar agak aneh. “Kan saya udah bilang, saya nggak bisa ketemu karena mau piket. Kamu kenapa sih?”“Oke, nggak papa
Yudha terbangun di rumah sakit dengan kondisi kepala pening luar biasa. Ia panik, sebab terakhir kali yang diingatnya, ia sedang kebingungan bagaimana mengatasi kondisinya yang panas luar biasa akibat dijebak oleh Wulan. Orang terakhir yang bersama dengannya adalah Vina. Yudha membelalak. Benar, Vina. “Vina…” gumam Yudha.Ketika menoleh, bukan Vina yang ia lihat, melainkan wajah garang papanya yang melotot ganas kepadanya. Kalingga berdiri di samping ranjang rumah sakit Yudha, kedua lengannya menyilang di depan dada, dan rahangnya mengeras luar biasa. Tak hanya itu, sorot mata papanya begitu tajam sampai Yudha sendiri tanpa sadar menelan ludahnya.“Pa…pa…” gumam Yudha. Ia bingung mengapa papanya ada di sini, dan lebih bingung lagi karena melihat ekspresi marah pria itu.Yudha segera bangkit dari posisi berbaring dan beralih duduk sambil menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang.“Papa kenapa di sini? memangnya ada ap—” ucapan Yudha terhenti. Di ruangan itu, Vina duduk di sofa bers
“Aku kabur, Mas Yudha,” ulang Wulan.“Kabur gimana maksudnya?” tanya Yudha. Ia bingung mengapa Wulan tiba-tiba memberi kabar seperti ini kepadanya. Terlebih, bukankah apapun urusan Wulan sekarang bukan urusan Yudha lagi? mereka sudah putus waktu itu.“Ya kabur dari rumah Mas,” kata Wulan.“Iya, kenapa kabur dari rumah? Bukannya hari ini kamu menikah?”Terdengar helaan napas panjang dari seberang panggilan. “Aku nggak bisa jelasin di telepon, Mas. Bisa enggak kalau kita ketemuan di luar aja?”Yudha memijat sekat hidungnya. “Saya nggak bisa. Saya ada piket hari ini.”“Tolonglah Mas, sebentar aja.” Suara Wulan terdengar semakin memelas ketika memohon. Ia seperti sudah sangat putus asa untuk ingin bertemu dengan Yudha. “Nggak bisa, Wulan. Maaf, saya harus piket.”“Mas Yudha beneran nggak mau ketemu sama aku? Sebentar pun nggak mau?” Yudha mengernyit. Nada suara Wulan terdengar agak aneh. “Kan saya udah bilang, saya nggak bisa ketemu karena mau piket. Kamu kenapa sih?”“Oke, nggak papa
Yudha seketika mengernyit mendengar jawaban Vina. “Cowokmu? Ngapain dia di sini?”“Sebenarnya tadi kami ketemu pas di mall, Om. Mungkin dia kira aku udah pulang makanya nyusulin ke rumah,” jelas Vina. Yudha mengusap wajahnya. “Kamu ini belum putus sama dia, ya?”Vina menggeleng. “Belumlah, Om. Masa iya tiba-tiba putus gitu aja. Lagian aku masih cinta sama dia, Om.”Yudha sedikit berjengit kaget mendengar jawaban Vina. Cinta, katanya? Entah mengapa Yudha ingin tertawa mendengar pengakuan itu. Apa sih yang diketahui gadis 18 tahun ini soal cinta? Paling-paling hanya sekadar cinta monyet belaka. “Jadi itu alasan kamu minta supaya kita pura-pura pacaran aja dan nggak perlu nikah beneran? Karena cowok kamu?”Vina mengangguk. “Iya, Om.”Yudha geleng-geleng kepala. “Kamu bikin keadaan tambah rumit aja.”Vina merengut. “Ih, siapa juga yang bikin keadaan tambah rumit? Kan dari awal aku udah bilang kalau memang udah ada cowok. Om sih minta aku pura-pura jadi calon istri segala.”“Kamu sendiri
Reyhan berusaha mengejar mereka, tetapi karena hari itu Mall dalam keadaan ramai, jadi, Reyhan kehilangan jejak mereka. Belum lagi ponselnya yang tiba-tiba berdering. Mau tak mau, Reyhan mengangkat ponselnya dulu karena takut itu telpon penting. Di sisi lain, setelah keluar dari mall, Vina baru berani mengangkat wajahnya lagi. Yudha dan Vina masuk ke dalam mobil. “Selonjorkan kakimu,” pinta Yudha.Vina mengangguk. Ia meluruskan kakinya, kemudian Yudha mencari-cari kotak P3K di dalam mobil untuk mengambil salep pereda nyeri di sana. Yudha mengoleskan salep itu pelan-pelan, tetapi karena memang memar di kaki Vina masih baru, sentuhan pelan pun membuatnya terganggu.“Ah! Ah… a-ah… aduh!” Vina mengerang kesakitan sambil menggeliat. Yudha geleng-geleng kepala. “Jangan banyak bergerak, di sini sempit.”“P-Pelan dong, Om. Ah…”Gara-gara teriakan ambigu Vina, tiba-tiba ada yang mengetuk kaca mobil Yudha. Saat itu juga, Yudha menurunkan kaca mobilnya separuh dan bertemu pandang dengan satp
Reyhan tertawa geli mendengar Vina kaget dan latah seperti itu. “Sayang, kamu itu ya kebiasaan banget kalau kaget jadi latah.”Sementara Reyhan menikmati kelatahan Vina dan menganggapnya sebagai sesuatu yang lucu dan menggemaskan, yang bersangkutan alias Vina sendiri justru sedang ketar-ketir luar biasa. Bisa-bisanya ia secara kebetulan bertemu Reyhan di sini, dan yang lebih parah, sekarang Vina sedang bersama Yudha. Untung saja Reyhan memergokinya di sini ketika Yudha sedang ke toilet, kalau sampai pacarnya ini memergoki dirinya bersama Yudha, bisa jadi perang dunia ketiga nanti. “Ngapain kamu di sini?” tanya Vina. Reyhan justru terkekeh. “Harusnya aku dong yang nanya kenapa kamu di sini, Sayang?”Vina menggaruk pipinya sendiri. Kalau sedang panik, mulutnya memang suka asal bunyi. “Mmm… lagi jadi manekin.”Sial, Vina benar-benar gugup luar biasa. Tadinya ia mau menjawab lain, tetapi malah yang keluar dari mulutnya jawaban ngaco dan konyol seperti itu.Jelas saja jawaban Vina langsu
Yudha melihat gelagat aneh Vina. Keningnya seketika mengernyit heran. “Kenapa kamu?” tanya Yudha.Vina langsung menggeleng. Sayangnya, wajah Vina sudah pucat pasi. Seolah ia baru saja melihat sesosok hantu menyeramkan. Yudha sebenarnya heran, tetapi ia mengabaikannya. Lagipula, Vina memang suka bertingkah agak nyeleneh—setidaknya itu menurut pengamatan Yudha selama mengenal Vina selama beberapa hari terakhir. Ketika Yudha dan Vina mau masuk ke rumah, Vina langsung menahan lengan Yudha, membuat langkah mereka seketika terhenti. “Kenapa lagi?” tanya Yudha.“Om, gimana kalau kita pura-pura pacaran aja, jangan bilang mau nikah gitu. Soalnya, hm… anu, Om nggak mungkin serius mau menikah sama aku, ‘kan?”“Kenapa tiba-tiba berubah pikiran gitu?” tanya Yudha.“Bukan gitu maksudnya. Tapi... anu… hm…” Ah sial, Vina jadi bingung sendiri bagaimana membuat-buat alasannya. “Apa sih? Kamu jadi bertingkah aneh, Vina.”Vina menggeleng. “Bukan. Maksud aku, biar Om pikirin lagi gitu lho. Yang pentin
Keesokan harinya, seperti yang dijanjikan, Yudha akan menjemput Vina di rumahnya. Sebelumnya Vina sudah meminta izin kepada orang tuanya bahwa hari ini dia akan pergi bersama Yudha ke suatu tempat. Ibu Vina masih di rumah sakit menemani sang suami yang akhirnya mendapatkan perawatan intensif. Mereka mengizinkan Vina pergi tanpa banyak bertanya karena Yudha juga sudah membantu.Vina menatap pantulan dirinya di cermin. Sejak sejam yang lalu Vina sibuk mengobrak-abrik isi lemarinya untuk mencari pakaian yang pantas untuk menemui orang tua Yudha. Semua pakaiannya sederhana, tidak ada yang bagus-bagus amat sebenarnya. Namun, Vina ingat bahwa konsep pakaian sopan adalah yang penting rapi dan tidak berlebihan. Dan akhirnya, Vina menemukan setelan yang tepat.“Apa pakaian ini cocok ya? Tapi, kayaknya emang nggak jelek-jelek banget deh,” ucap Vina sembari berkaca merapikan atasannya. “Yaudah pakai ini aja. Warnanya nggak kusam dan masih licin habis disetrika kemarin. Lumayan lah.”Karena bera
Vina menghela napas panjang. Ia tidak punya pilihan lain. Saat ini, kesehatan bapaknya sangat penting. Kalau harus menunggu biaya sendiri, rasanya malah tidak mungkin bapaknya bisa dirawat intensif di rumah sakit. Vina dan ibunya hanyalah penjual kue basah yang dititipkan ke warung-warung. Mau minta tolong kepada keluarga Wulan juga percuma. Mau ngemis-ngemis sampai Nobita nikah sama Shizuka juga enggak bakalan dikasih. Walaupun keluarga Wulan terbilang berkecukupan, tapi pelitnya nau'dzubillah. Bukan uang yang akan diterima, justru kata-kata penghakiman dan hinaan yang bikin kenyang. Sungguh, minta tolong pada keluarga itu bikin Vina trauma batin. “Ya udah aku mau, tapi bawa sekarang juga Bapakku ke rumah sakit untuk berobat.”Yudha mengangguk. “Nggak masalah.”Vina sedikit terkejut dengan respon itu. Ia kira, Yudha akan membuat alasan akan membawa bapaknya berobat di hari lain, ternyata malah langsung menyetujuinya dengan mudah. Yudha dan Vina keluar dari kamar bapaknya untuk bert
Baru pulang satgas dan mau melamar kekasihku, aku malah melihat tenda biru terpasang di depan rumahnya. Ternyata dia...Part 3Mereka sampai di rumah Vina berkat pertunjuk arah dari ibunya Vina. Yudha mengikuti saja ibunya Vina menunjukkan jalurnya. Rumah keluarga Vina sangat sederhana. Halamannya kecil, rumahnya pun kecil. Namun meski begitu, penampilan rumah ini tampak bersih dan rapi kalau dilihat dari luar. “Ayo Nak Yudha, masuk dulu. Maaf ya, rumah Ibu kecil, kayak gubuk aja.”Yudha mengangguk. “Terima kasih.”Yudha dipersilakan duduk di ruang tamu. Di sana hanya tersedia kursi dan meja kayu yang sudah tua. Perkakas yang ada hanya sederhana. Ibunya Vina ke belakang untuk membuatkan teh, sementara Vina disuruh menemani Yudha di ruang tamu.Vina merengut sambil menyilangkan kedua lengannya sejak tadi. “Apa-apaan sih ini? Aku nggak kenal sama kamu ya Om, kok bisa-bisanya ngaku-ngaku kita selingkuh? Aku nggak serendah itu kali sampai mau jadi selingkuhan. Ih!”Yudha terkekeh. “Oh in