Yudha melihat gelagat aneh Vina. Keningnya seketika mengernyit heran. “Kenapa kamu?” tanya Yudha.Vina langsung menggeleng. Sayangnya, wajah Vina sudah pucat pasi. Seolah ia baru saja melihat sesosok hantu menyeramkan. Yudha sebenarnya heran, tetapi ia mengabaikannya. Lagipula, Vina memang suka bertingkah agak nyeleneh—setidaknya itu menurut pengamatan Yudha selama mengenal Vina selama beberapa hari terakhir. Ketika Yudha dan Vina mau masuk ke rumah, Vina langsung menahan lengan Yudha, membuat langkah mereka seketika terhenti. “Kenapa lagi?” tanya Yudha.“Om, gimana kalau kita pura-pura pacaran aja, jangan bilang mau nikah gitu. Soalnya, hm… anu, Om nggak mungkin serius mau menikah sama aku, ‘kan?”“Kenapa tiba-tiba berubah pikiran gitu?” tanya Yudha.“Bukan gitu maksudnya. Tapi... anu… hm…” Ah sial, Vina jadi bingung sendiri bagaimana membuat-buat alasannya. “Apa sih? Kamu jadi bertingkah aneh, Vina.”Vina menggeleng. “Bukan. Maksud aku, biar Om pikirin lagi gitu lho. Yang pentin
Reyhan tertawa geli mendengar Vina kaget dan latah seperti itu. “Sayang, kamu itu ya kebiasaan banget kalau kaget jadi latah.”Sementara Reyhan menikmati kelatahan Vina dan menganggapnya sebagai sesuatu yang lucu dan menggemaskan, yang bersangkutan alias Vina sendiri justru sedang ketar-ketir luar biasa. Bisa-bisanya ia secara kebetulan bertemu Reyhan di sini, dan yang lebih parah, sekarang Vina sedang bersama Yudha. Untung saja Reyhan memergokinya di sini ketika Yudha sedang ke toilet, kalau sampai pacarnya ini memergoki dirinya bersama Yudha, bisa jadi perang dunia ketiga nanti. “Ngapain kamu di sini?” tanya Vina. Reyhan justru terkekeh. “Harusnya aku dong yang nanya kenapa kamu di sini, Sayang?”Vina menggaruk pipinya sendiri. Kalau sedang panik, mulutnya memang suka asal bunyi. “Mmm… lagi jadi manekin.”Sial, Vina benar-benar gugup luar biasa. Tadinya ia mau menjawab lain, tetapi malah yang keluar dari mulutnya jawaban ngaco dan konyol seperti itu.Jelas saja jawaban Vina langsu
Reyhan berusaha mengejar mereka, tetapi karena hari itu Mall dalam keadaan ramai, jadi, Reyhan kehilangan jejak mereka. Belum lagi ponselnya yang tiba-tiba berdering. Mau tak mau, Reyhan mengangkat ponselnya dulu karena takut itu telpon penting. Di sisi lain, setelah keluar dari mall, Vina baru berani mengangkat wajahnya lagi. Yudha dan Vina masuk ke dalam mobil. “Selonjorkan kakimu,” pinta Yudha.Vina mengangguk. Ia meluruskan kakinya, kemudian Yudha mencari-cari kotak P3K di dalam mobil untuk mengambil salep pereda nyeri di sana. Yudha mengoleskan salep itu pelan-pelan, tetapi karena memang memar di kaki Vina masih baru, sentuhan pelan pun membuatnya terganggu.“Ah! Ah… a-ah… aduh!” Vina mengerang kesakitan sambil menggeliat. Yudha geleng-geleng kepala. “Jangan banyak bergerak, di sini sempit.”“P-Pelan dong, Om. Ah…”Gara-gara teriakan ambigu Vina, tiba-tiba ada yang mengetuk kaca mobil Yudha. Saat itu juga, Yudha menurunkan kaca mobilnya separuh dan bertemu pandang dengan satp
Yudha seketika mengernyit mendengar jawaban Vina. “Cowokmu? Ngapain dia di sini?”“Sebenarnya tadi kami ketemu pas di mall, Om. Mungkin dia kira aku udah pulang makanya nyusulin ke rumah,” jelas Vina. Yudha mengusap wajahnya. “Kamu ini belum putus sama dia, ya?”Vina menggeleng. “Belumlah, Om. Masa iya tiba-tiba putus gitu aja. Lagian aku masih cinta sama dia, Om.”Yudha sedikit berjengit kaget mendengar jawaban Vina. Cinta, katanya? Entah mengapa Yudha ingin tertawa mendengar pengakuan itu. Apa sih yang diketahui gadis 18 tahun ini soal cinta? Paling-paling hanya sekadar cinta monyet belaka. “Jadi itu alasan kamu minta supaya kita pura-pura pacaran aja dan nggak perlu nikah beneran? Karena cowok kamu?”Vina mengangguk. “Iya, Om.”Yudha geleng-geleng kepala. “Kamu bikin keadaan tambah rumit aja.”Vina merengut. “Ih, siapa juga yang bikin keadaan tambah rumit? Kan dari awal aku udah bilang kalau memang udah ada cowok. Om sih minta aku pura-pura jadi calon istri segala.”“Kamu sendiri
“Aku kabur, Mas Yudha,” ulang Wulan.“Kabur gimana maksudnya?” tanya Yudha. Ia bingung mengapa Wulan tiba-tiba memberi kabar seperti ini kepadanya. Terlebih, bukankah apapun urusan Wulan sekarang bukan urusan Yudha lagi? mereka sudah putus waktu itu.“Ya kabur dari rumah Mas,” kata Wulan.“Iya, kenapa kabur dari rumah? Bukannya hari ini kamu menikah?”Terdengar helaan napas panjang dari seberang panggilan. “Aku nggak bisa jelasin di telepon, Mas. Bisa enggak kalau kita ketemuan di luar aja?”Yudha memijat sekat hidungnya. “Saya nggak bisa. Saya ada piket hari ini.”“Tolonglah Mas, sebentar aja.” Suara Wulan terdengar semakin memelas ketika memohon. Ia seperti sudah sangat putus asa untuk ingin bertemu dengan Yudha. “Nggak bisa, Wulan. Maaf, saya harus piket.”“Mas Yudha beneran nggak mau ketemu sama aku? Sebentar pun nggak mau?” Yudha mengernyit. Nada suara Wulan terdengar agak aneh. “Kan saya udah bilang, saya nggak bisa ketemu karena mau piket. Kamu kenapa sih?”“Oke, nggak papa
Yudha terbangun di rumah sakit dengan kondisi kepala pening luar biasa. Ia panik, sebab terakhir kali yang diingatnya, ia sedang kebingungan bagaimana mengatasi kondisinya yang panas luar biasa akibat dijebak oleh Wulan. Orang terakhir yang bersama dengannya adalah Vina. Yudha membelalak. Benar, Vina. “Vina…” gumam Yudha.Ketika menoleh, bukan Vina yang ia lihat, melainkan wajah garang papanya yang melotot ganas kepadanya. Kalingga berdiri di samping ranjang rumah sakit Yudha, kedua lengannya menyilang di depan dada, dan rahangnya mengeras luar biasa. Tak hanya itu, sorot mata papanya begitu tajam sampai Yudha sendiri tanpa sadar menelan ludahnya.“Pa…pa…” gumam Yudha. Ia bingung mengapa papanya ada di sini, dan lebih bingung lagi karena melihat ekspresi marah pria itu.Yudha segera bangkit dari posisi berbaring dan beralih duduk sambil menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang.“Papa kenapa di sini? memangnya ada ap—” ucapan Yudha terhenti. Di ruangan itu, Vina duduk di sofa bers
Yudha menatap Vina dengan serius. “Jadi kamu maunya apa?” tanya pria itu. Vina mengembuskan napas panjang. “Aku mau urusan kita sampai di sini. Om nggak boleh ngajak aku pura-pura jadi pacar lagi, tapi urusan pengobatan orang tuaku tetap Om yang bayar sampai keluar dari rumah sakit.”Yudha mendengarkan semua permintaan Vina dengan seksama. Ia memejamkan mata sebentar sebelum kemudian merespon, “kamu benci sama saya ya sampai nggak mau urusan sama saya lagi?”Vina menggeleng. “Bukan gitu, aku cuma mau hidup normal semestinya aja.”Yudha menaikkan sebelah alisnya. “Memangnya kalau berurusan dengan saya hidup kamu jadi nggak normal? Iya saya akui kalau saya salah atas kejadian yang sebelumnya, tetapi saya sedang berusaha bertanggung jawab sekarang.”“Ya intinya aku mau balik ke kehidupanku yang biasanya aja, Om,” kata Vina. “Tapi ‘kan saya udah melakukan sesuatu yang buruk ke kamu. Kenapa kamu nggak mau saya tanggung jawab?”Vina terdiam. Ia bukannya tidak menghargai Yudha yang mau ber
Reyhan langsung menoleh menatap Vina. Pandangannya begitu tajam, membuat Vina sampai tidak berani balas menatap matanya. “Oh iya, kalau Nak Reyhan mau ngobrol sama Vina silakan masuk aja, Ibu ke dalam dulu mau nemenin Bapak.” Ibunya Vina pamit kemudian segera ke dalam. Saat ini, hanya ada Reyhan dan Vina saja di depan. Suasana benar-benar canggung di antara mereka berdua. “Vin, apa maksud Ibu kamu itu, hah?” tanya Reyhan.Vina langsung menarik lengan Reyhan dan membawanya agak menjauh dari depan pintu. Hanya melihat dari ekspresi Reyhan saja, Vina tahu kalau pemuda itu murka. Vina hanya tidak mau kalau nanti suara amarah Reyhan terdengar dari dalam rumah.“Jelasin apa maksud Ibu kamu tadi, Vin. Apa-apaan itu? kenapa tiba-tiba kamu punya calon suami, hah?”Vina menarik napas panjang. “Aku bisa jelasin, Yang. Ini semua nggak seperti yang kamu pikirkan kok, aku…”“Jadi selama ini kamu selingkuhin aku, Vin?” potong Reyhan. Vina menggeleng. “Enggak, bukan gitu, Rey. Aku nggak selingkuh
Vina diam saja setelah mendengar jawaban Bening mengenai barang-barang yang ia beli untuk calon menantunya itu. Ia terus mengekori Irene dan Bening yang sedang berdiskusi, tetapi pikirannya benar-benar sudah melayang entah ke mana. Ia berusaha biasa saja, padahal hatinya menjerit frustrasi. Selesai berbelanja, Vina membantu mengepak semua item yang dibeli oleh Bening ke dalam kotak-kotak dengan ukuran beragam kemudian memasukkannya ke paper bag. Belanjaan Bening lumayan banyak, dan wanita itu tampak agak kesusahan membawanya sendirian. “Biar saya bantu bawakan sampai ke mobil, Tante,” kata Vina.Bening mengangguk. “Terima kasih ya, Vin.”Kebetulan, Bening datang ke butik itu hanya bersama dengan supir, dan biasanya supir Bening hanya menunggu di dalam mobil kalau tidak disuruh oleh Bening untuk mengawal. Makanya, Vina berinisiatif membantu membawakan semua paper bag belanjaan itu sampai ke mobilnya. Ketika sudah keluar dari butik, Bening langsung teringat dengan permasalahan yang d
Vina tidak kuat melihat kedekatan Bening dengan Raisa. Jujur saja, ia iri. Mungkin, Vina hanya merasa diistimewakan saat itu. Ia terlalu percaya diri karena Bening baik padanya, padahal Bening memang baik kepada semua orang. Dari awal, karakter Bening memang orang baik dan lemah lembut. Perlakuan baik Bening kepada Vina juga merupakan hal yang biasa, Vina saja yang menanggapinya berbeda seolah-olah ia sangat penting untuk Bening. “Harusnya aku nggak ke-PD-an pas Tante Bening baik sama aku. Tante Bening ‘kan emang selalu baik ke semua orang,” gumam Vina getir. Tujuannya ke sana untuk membicarakan masalah Garuda berdasarkan keterangan Raya, tetapi melihat Raisa di sana, Vina mengurungkan niat itu. Hatinya tak sanggup. Vina pun berbalik dan hendak pergi, tetapi ketika ia memutar badannya, malah ada Yudha di sana. Vina sontak menghentikan langkahnya karena terkejut. “Mau apa kamu ke sini?” tanya Yudha dingin. Vina menggeleng. Ia berusaha bersikap biasa saja meski hatinya berdebar ta
Vina seketika berwajah datar. Mengapa pula ia harus bertemu Raya di sini? Ia sedang tidak ingin bertemu siapa-siapa sekarang. Hubungan Vina dan Raya sebelumnya baik-baik saja. Raya juga ramah padanya karena tahu kalau Vina adalah pacar kakaknya. Namun, kali ini karena Vina sudah tidak pacaran dengan Reyhan, sikap Raya juga kelihatan sekali berubah. Vina yang tadinya sedang memilih-milih lotion badan langsung mengambil secara random yang ada di depan matanya. Ia memandang Raya sekilas, tak ada niatan sama sekali untuk berinteraksi lebih lama dengan gadis itu."Maaf, aku lagi sibuk. Lain kali aja," kata Vina. Ia segera berbalik dan hendak pergi ke kasir. Namun, Raya lebih dulu menarik bahunya dari belakang."Nggak bisa lain kali. Kita harus bicara sekarang," tegas Raya.Vina mengernyit. "Apa sih, Ray? Kan aku udah bilang kalau aku sibuk. Lain kali sajalah."Raya tetap bersikeras. Ia yang tadinya mencengkeram bahu Vina beralih menahan lengan gadis itu. "Nggak mau. Pokoknya harus sekaran
Selesai wawancara di butik tadi, Vina tidak langsung pulang ke rumah melainkan pergi ke rumah sakit untuk menemui orang tuanya. Suasana hati Vina membaik setelah ia berhasil mendapatkan kerja. Ia pergi ke rumah sakit dengan memesan ojek.Sesampainya di sana, Vina malah melihat ibunya sedang melipat semua pakaian yang dibawa untuk bapaknya.“Assallammuallaikum,” ucap Vina.“Waallaikumsalam. Kamu habis keluar, Vin?” tanya ibunya.Vina mengangguk. “Iya, Bu. Cari kerja. Alhamdulillah Vina tadi udah tanda tangan kontrak kerja.”Ibunya Vina senang mendengar hal itu. “Beneran? Kerja di mana, Vin?”“Di butik, Bu. Tadi udah sekalian wawancara terus diterima, makanya langsung tanda tangan kontrak kerja. Besok udah mulai kerja di sana.”“Alhamdulillah… Ibu turut senang, Vin. Semoga perkerjaannya berkah dan bisa membawa rezeki yang halal.”Vina mengangguk. “Iya, Bu. Aamiin. Oh iya, Ibu kok udah ngeringkes semua pakaian Bapak?”“Tadi pas dokter meriksa Bapak, katanya kondisi bapak sudah sangat mem
Yudha hanya bisa membeku selama beberapa saat usai mendengar perkataan Vina. "Tunggu sebentar, kamu ngomong apa sih Vin?" tanya Yudha. "Ya itu, Om. Aku yakin Om paham."Yudha menggeleng. "Maksud kamu apa tiba-tiba ngomong gitu?"Vina menunduk. Ia sama sekali tidak berani menatap mata Yudha. Ia takut, kalau ia menatap mata pria itu, maka pendiriannya akan goyah. Hatinya hancur, tetapi ia harus tetap tegar dan kelihatan biasa saja di depan Yudha supaya pria itu mau untuk mengakhiri hubungan mereka. "Maksud aku sesuai dengan apa yang aku katakan. Pokoknya gitulah. Aku minta maaf karena udah nyusahin Om Yudha. Aku janji ini yang terakhir," kata Vina. Yudha heran. Ini terlalu mendadak. Vina kelihatan baik-baik saja sebelumnya. Mereka berdua datang ke acara di rumah Kalingga dan Bening juga dalam situasi yang bahagia. Namun, mengapa tiba-tiba jadi seperti ini?"Sebenarnya ada apa sih, Vin? Apa saya melakukan kesalahan sama kamu? Jangan bikin saya bingung.""Apa kurang jelas yang aku omo
Yudha masih terus berusaha mencari keberadaan Vina. Ia berkeliling ke seluruh rumah, bahkan sampai ke halaman samping rumah keluarganya hanya untuk mencari tahu di mana keberadaan Vina. Namun, meskipun ia sudah berkeliling sampai ke area yang seharusnya tidak didatangi Vina pun, keberadaan gadis itu nihil. Yudha sudah berkali-kali menghubungi nomor Vina. Dan semua panggilannya tidak ada jawaban. Yudha semakin khawatir. Ini memang bukan pertama kalinya Vina datang ke rumah keluarga Yudha, tetapi ini adalah pertama kalinya Vina datang dalam acara yang dihelat oleh keluarganya. Yudha takut kalau Vina merasa tidak nyaman atau bagaimana sehingga tiba-tiba pergi.Yudha langsung menggeleng. "Nggak mungkin Vina kayak gitu. Dia pasti ngomong kalau memang nggak nyaman," gumam Yudha. Setelah menelusuri hampir seluruh penjuru rumah keluarganya, Yudha kembali ke depan. Acara akan segera dimulai beberapa menit lagi, tapi keberadaan Vina tidak juga ditemukan. Bening yang sedang menyapa tamu-tamu y
Setelah menjenguk orang tua Vina di rumah sakit, Yudha harus segera pamit. Ia keluar sudah lumayan lama tadi, jadi harus segera kembali. Vina mengantarkan Yudha keluar dari ruang rawat inap bapaknya, barulah Yudha pamitan kepada Vina.“Saya harus kembali,” kata Yudha.Vina mengangguk. “Iya, Om.”“Siap-siap untuk besok malam minggu ya, jangan sampai lupa. Saya jemput kamu ke rumah.”Vina mengangguk lagi. “Oke, Om. Makasih ya Om untuk hari ini, dan untuk semuanya.”Yudha tersenyum tipis. “Ya sama-sama. Kalau gitu, saya pergi dulu. Assalammualaikum.”Bukannya menjawab salam dari Yudha, Vina malah menahan pergelangan tangan pria itu. Yudha yang belum sempat melangkah langsung memutar lehernya menghadap Vina.“Kenapa?” tanya Yudha heran.“Mm… H-hati-hati di jalan ya, Om.” Vina mengucapkannya sambil menunduk, dengan suara yang amat pelan dan nyaris berbisik. Untung saja posisi mereka berdekatan, jadi Yudha masih bisa mendengar dengan jelas apa yang dikatakan oleh gadis itu. Yudha tersenyum
Vina berdebar dan tremor parah. Bahkan telapak tangannya sekarang terasa sangat berkeringat gara-gara mendengar Yudha menyebut bahwa dirinyalah calon istri pria itu. Padahal, tadi ia sedang kesal luar biasa. Bisa-bisanya sekarang ia berubah berdebar-debar dan grogi parah hanya karena satu kalimat yang diucapkan oleh Yudha. Jujur saja, Vina ingin teriak sekarang, tetapi tentu saja ia tidak mungkin melakukan itu. Yang ada, ia malah akan mempermalukan dirinya sendiri. Sementara itu, Yudha sendiri tidak mau melepaskan pandangannya dari Vina. Ia terus-menerus menatap gadis itu.“Vina, kamu nggak boleh nolak.”Vina semakin membuang muka. Ia tidak berani beradu tatap dengan pria itu. Melihat gelagat malu Vina, entah mengapa malah membuat Yudha antusias. Ekspresi malu-malu dan jaga imej ala Vina itu malah tampak menggemaskan di mata Yudha. “Kenapa sih dari tadi buang muka terus?” tanya Yudha. “Bukannya kalau bicara sama orang itu harus saling tatap muka ya?”Vina merengut. “Terus maunya ak
Yudha menghabiskan beberapa jam berkeliling dengan Raisa. Ia sendiri sudah mengakui sejak awal kalau dirinya bukan tipikal yang suka pergi jalan-jalan, jadi ia tidak terlalu tahu harus ke mana. Namun, Raisa menerima saja. Setelah dari kafe itu, mereka berkeliling lagi ke area dekat-dekat saja baru kemudian pulang. Selesai mengantar Raisa ke tempat Pak Danyon, Yudha langsung bergegas kembali ke rumah dinas. Baru saja ia menginjakkan kakinya ke dalam rumah dinas, ponsel Yudha bergetar, ada panggilan dari mamanya.“Halo, Ma?” “Sagara, Mama tadi kirim pesan ke kamu, kok enggak dibaca?” tanya Bening.Yudha langsung memeriksa ponselnya. “Oh iya, Sagara belum buka hape dari tadi, Ma.”“Memangnya dari mana, Ga? Kok sampai nggak buka hape sama sekali?”“Oh itu, tadi dimintai tolong sama Pak Danyon.” Yudha tidak menjelaskan detail kalau permintaan tolong Pak Danyon adalah untuk mengajak keponakan perempuannya jalan-jalan. Yudha hanya tidak mau mamanya nanti salah paham, sebab keluarga Yudha s