Bening tidak tahu mana yang lebih menyebalkan, Susan yang terus meminta agar Bening membujuk Wildan supaya mau menikahinya, atau Wildan yang tidak mau berhenti mengganggu kehidupan Bening. Sungguh, Bening tidak paham dengan kedua orang itu. Mereka pernah menjadi orang yang dekat dengan Bening, siapa sangka malah sekarang dua-duanya menjadi sosok paling mengganggu dalam hidupnya. Apa sih sebenarnya yang ada di otak Wildan sampai ia santai sekali berkata seperti itu? membercandai seseorang yang saat ini mungkin sedang mempertaruhkan nyawa bukanlah hal yang etis. Lebih-lebih, Kalingga itu jelas adalah atasan Wildan sendiri. Di mana sebenarnya akal sehat pria itu?“Dengar ya Mas, ngelihat wajah kamu aja aku jijik, jadi jangan ngarep apa-apa! Mas Lingga pasti masih hidup, aku yakin itu,” tegas Bening.Wildan malah terkekeh menyebalkan di seberang panggilan. “Oh ya? Hm… ya ini hanya untuk jaga-jaga aja sih. Kan nggak mungkin ya wanita secantik kamu dibiarin menjanda gitu aja. Makanya aku s
“H-hah?”Rekan Wildan semakin menaruh curiga. Sebenarnya, rekan Wildan ini sudah beberapa kali melihat gerak-gerik aneh Wildan. Namun, berhubung tugas mereka di sini juga semakin sibuk karena terbagi dua antara tugas satgas dan juga mencari Kalingga, jadi rekan Wildan ini kadang juga lupa mau bertanya. “Kamu ngomong apa sih?” kata Wildan.Si rekan Wildan ini mengendikkan bahunya. “Cuma nanya. Soalnya kamu kayak menyelinap gitu, diam-diam segala. Kamu nggak ngelakuin hal aneh-aneh ‘kan Dan?”Wildan tertawa hambar, berusaha mengusir kegugupan yang melanda dirinya. Sial, ia ceroboh. Ia sama sekali tidak sadar kalau ada rekannya yang melihat bahwa ia seriang menyelinap diam-diam. Wildan kira ia sudah aman, tetapi ternyata masih ada yang melihat.“Ngaco kamu. Jangan nuduh sembarangan lah,” balas Wildan.Rekan Wildan menghela napas panjang. “Yang nuduh juga siapa, Dan? Aku ‘kan cuma nanya. Masalahnya nggak sekali atau dua kali aja aku lihat kamu kayak gini. Aku udah mau nanya dari kemarin-
Kinan yang sudah menangkap basah Damar ternyata berselingkuh dengan Maya langsung bergerak untuk melabrak mereka. Kinan menghampiri apartemen Maya kemudian menggedor-gedor pintunya sambil berteriak keras.“Keluar! Mas Damar! Maya! Keluar kalian!” seru Kinan penuh amarah.Damar dan Maya yang ada di dalam kaget karena mendengar suara Kinan berteriak juga gedoran pintu memb abi buta di sana. Mereka berdua segera keluar, dan benar saja, Kinan berdiri di sana, dengan tatapan nyalang seolah siap untuk melontarkan seluruh amarah yang telah ia tahan-tahan sejak lama.“Kinan… Kamu… Kamu di sini?” Damar panik.Kinan menggeram marah. “Oh, jadi ini ya yang katanya Mas Damar pergi ketemu kolega? Ckckck… Ketemu kolega buat tidur bareng maksudnya?”“Kinan, hentikan omongan kamu itu!” seru Damar.Kinan malah semakin marah mendengar ucapan Damar. “Kenapa? Emang bener, ‘kan? Aku selama ini diem aja karena aku mau nunggu kamu sendiri yang ngaku ada apa sebenarnya, ternyata bener kamu selingkuh.”“Kinan,
“Ngomong apa kamu Kinan?” Kinan menatap tajam kepada Damar. “Aku serius. Kalau Mas Damar tetap ngeyel mau ketemu Maya terus, aku singkirin beneran anak itu. Lagian itu juga anak haram!”“Kinan!” bentak Damar. “Jangan ngomong sembarangan kamu.”“Kenapa?! Oh, sekarang lebih suka belain selingkuhan kamu itu ya?” Damar mengusap wajahnya kasar. “Kinan, aku udah jelasin semuanya sama kamu. Tolonglah, anak itu nggak salah apa-apa. Itu semua salahku.”“Ya udah, makanya jangan ngeyel. Permintaanku juga nggak aneh, ‘kan? Wajarlah seorang istri ngelarang suaminya ketemu perempuan lain.”“Tapi—”“Aku mau pergi ke rumah Mama aja,” potong Kinan.Damar membelalak. “Apa?”Kinan langsung keluar kamar dan berniat pergi ke rumah Bu Rita, tetapi Damar menahan pergelangan tangannya.“Mau apa kamu ke rumah Mama, Kinan?” tanya Damar.“Mau ngelaporin kalau anaknya udah selingkuh sampai bikin sepupunya sendiri hamil!” seru Kinan.“Jangan! Kinan, jangan lakukan itu.”“Kenapa? Kamu takut Mama marah? Sebelum k
Kinan kepikiran dengan apa yang sudah ia lakukan di masa lalu. Selama beberapa saat, ia bad mood berat dan diam saja di ruang televisi. Sampai kemudian ia mengembuskan napas panjang. Kinan beranjak dari sofa dan mengintip ke kamar Bu Rita. Beliau masih tertidur. Kinan baru saja hendak ke dapur mengambil minum, tetapi ia mendengar suara Damar yang baru datang. Kinan tetap mengabaikannya. Ia berpura-pura tidak melihat meskipun Damar menghampirinya ke dapur.“Mama gimana, Kin?” tanya Damar.Kinan malah asyik menenggak air minumnya dan sama sekali tidak menatap Damar. “Kinan…”“Apa sih?”“Mama gimana?”“Coba tanya sendiri sana. Emang Mas pikir gara-gara siapa Mama kayak gini, hah?”Damar menghela napas panjang. “Maka dari itu aku bilang jangan ngomong ke Mama dulu, Kinan. Jadinya—”“Oh, kamu nyalahin aku? Lagian kamu dari mana sih? Ketemuan sama si Maya lagi, ya? Kamu nggak denger apa yang aku bilang sebelumnya?”“Astaga, Cuma ke kantor, Kin. Kerja kayak biasa.”Kinan mencebik. “Heleh,
“Apa?! Susan masuk rumah sakit jiwa? Kok bisa, Bu?”Ibunya Bening menghela napas panjang. “Katanya karena Wildan. Susan benar-benar terobsesi sama Wildan. Sekarang pas satgas di Papua, Wildan nggak bisa dihubungi. Dia stress dan kebablas jadi kayak begitu. Katanya juga sih karena Wildan nggak mau nikahin Susan sementara Susan udah berharap banget. Terus ini juga jadi perbincangan warga di kampung, katanya Susan itu udah hamil anaknya Wildan tapi keguguran gitu. Apa bener, ya?”Bening terdiam. Ia sudah tahu mengenai fakta itu karena sebelumnya Kalingga menjelaskan semua hal yang ia dapatkan ketika memata-matai Wildan. “Kalau itu… Bening nggak tau, Bu,” jawab Bening. Agak berat sebenarnya berbohong, tetapi masalah kehamilan Susan itu masih menjadi rumor di kampung, jadi lebih baik Bening tidak perlu mengatakan yang sebenarnya. Takutnya nanti malah lebih besar rumornya.“Kok bisa ya Susan mengharap banget sama Wildan? Itu juga Wildan dulu ‘kan katanya mau nikah sama Susan sampai mutusin
Beberapa bulan berlalu, masalah Kinan dan Damar mulai membaik seiring waktu. Setidaknya sejak beberapa minggu belakangan, Kinan sudah tidak cuek lagi. Damar memang melakukan sesuai apa yang Kinan perintahkan. Ia jarang menemui Maya, hanya di waktu-waktu yang penting saja. Maka dari itulah, Damar dan Kinan tidak saling marah lagi. Kinan juga sudah mau kembali ke rumah mereka dan tidak melarikan diri di rumah Bu Rita lagi.Malam itu, Maya tiba-tiba datang ke rumah Damar dan Kinan ketika mereka berdua sedang makan malam. Kandungan Maya sudah masuk ke masa melahirkan. Hanya tinggal menunggu waktu saja sampai anak Maya lahir. Maya merasa semakin sengsara dengan hidupnya. Ia tidak bahagia menjadi istri Damar. Sebab ia tidak merasakan diperlakukan selayaknya seorang istri. Tentu ia sadar sebab Damar sangat mencintai Kinan. Maya memutuskan datang ke rumah Damar dan Kinan untuk bicara. Mungkin sebaiknya memang memperjelas bagaimana kelanjutan hubungan Maya dan Damar setelahnya.Ketika bel rum
Maya dirawat di rumah sakit selama beberapa hari pasca melahirkan hingga kesehatannya pulih. Ia sudah memantapkan diri untuk memberikan anaknya kepada Damar dan Kinan, lalu ia akan pergi jauh dan memulai hidup baru dengan melupakan segalanya. Ia bukannya tidak sayang dengan anak itu, kalau ia benci, dari awal sebelum Damar menyuruhnya aborsi, ia pasti sudah melakukannya sendiri. Hanya saja, Maya merasa anaknya tidak akan ada masa depan cerah kalau bertahan dengan dirinya. Lebih baik memberikan anak itu kepada Damar dan Kinan di mana mereka berdua memang sedang berharap untuk punya anak. Maya hanya berharap kalau Damar dan Kinan bisa menjaga anaknya dengan baik. Hari ini, Maya sudah sehat. Ia merasa sudah bisa keluar dari rumah sakit. Jadi ia bersiap-siap mau pergi. Tidak ada yang menjemputnya atau menemaninya, dan Maya sendiri juga tidak butuh itu. Seluruh tagihan rumah sakit sudah diurus Damar, intinya Maya tinggal pergi saja. Sebelum pergi, Maya berniat untuk bertemu dengan anakny
Yudha tidak langsung datang ke alamat Pak Harjo. Meskipun ia khawatir dengan Vina dan ingin secepatnya mengambil gadis itu kembali, bukan berarti ia akan bertindak gegabah. Yudha jelas tahu Pak Harjo yang dimaksud oleh bapaknya Vina bukan orang biasa. Ia butuh persiapan untuk bisa menyelamatkan Vina. Kalau tidak ada persiapan, salah-salah nanti ia sendiri yang celaka. Yudha menghubungi dua temannya, menjelaskan secara singkat apa yang terjadi kemudian meminta bantuan mereka untuk menjalankan rencana ini. Yudha tidak bisa sendirian masuk ke sarang musuh berbahaya. Tak lama setelah ia menghubungi dua temannya, mereka langsung datang ke lokasi yang dikirimkan oleh Yudha. Saat ini, Yudha berhenti tak jauh dari area tanah milik Pak Harjo. Mobilnya berhenti di sana sambil menunggu kedua temannya datang. “Kapten!” Kedua teman Yudha datang bersamaan. Mereka mengendarai motor berboncengan berdua. Yudha langsung keluar dari mobil.“Ada apa sebenarnya ini, Kapten? Ada situasi darurat apa?” ta
Bersama orang tua Wulan, Vina akhirnya sampai di kediaman mewah Pak Harjo. Vina sendiri tahu tentang Pak Harjo, tetapi ia tidak kenal secara personal. Vina hanya tahu sebatas dari kata tetangga-tetangga saja kalau sudah membicarakan mengenai harta Pak Harjo yang tidak ada habisnya dari keturunan-keturunan sebelumnya. Selain informasi umum seperti itu, Vina tidak tahu apapun. Malahan, ia baru tahu kalau Pak Harjo menawakan bantuan kepada yang membutuhkan. Itu juga karena bapaknya Wulan yang menginformasikan. Mobil yang dikendarai Vina beserta orang tua Wulan masuk ke pelataran rumah Pak Harjo. Mobil itu berhenti ketika seorang anak buah Pak Harjo mencegatnya. Bapaknya Wulan langsung melepas seatbelt dan menoleh ke kursi belakang.“Vin, jangan turun dulu. Om dan Bibi mau ngomong sama anak buahnya Pak Harjo sebentar.”Vina mengangguk saja. Orang tua Wulan pun turun dari mobil kemudian bicara dengan anak buah Pak Harjo. Dari posisi Vina di dalam mobil, ia sama sekali tidak bisa mendenga
Niat hati, Vina tidak mau mengabari Yudha dahulu sebelum ia memastikan sudah ada biaya untuk operasi bapaknya. Kalau sampai Yudha tahu bahwa bapaknya harus operasi tulang dan butuh biaya banyak, Yudha pasti akan berusaha membantu. Vina tidak ingin merepotkan Yudha lagi. Ia sudah cukup banyak menerima kebaikan Yudha, dan tak satu pun kebaikan itu ada yang sudah ia balas. Vina hanya enggan menjadi beban. Makanya, kali ini ia ingin berusaha sendiri. Namun, Yudha malah sudah datang ke rumah sakit bahkan sebelum Vina mengabari kondisi bapaknya. “Ibu yang ngabarin Nak Yudha, Vin,” sahut ibunya.Vina menghela napas panjang. Ia tidak memperingatkan apa-apa kepada ibunya. Siapa sangka kalau ibunya akan langsung terpikir mengabari Yudha?“Oh iya,” jawab Vina pelan.Yudha mendekati Vina. “Kenapa kamu nggak ngabarin saya, Vin?” tanyanya.“Oh, maaf ya, Om.”Yudha mendesah. “Saya kaget pas Ibu kamu telepon katanya Bapak kamu kecelakaan. Harusnya kamu langsung kabari saya supaya saya segera nyusul
Vina menatap bapak Wulan dengan ekspresi penuh tanya. Imbalan? Imbalan semacam apa sebenarnya yang dimaksud oleh omnya itu?“Maksudnya imbalan apa ya Om? Vina harus kerja sama orang itu kah?”Bapak Wulan melirik ibunya Vina yang duduk di kursi tunggu sambil menangis. Ia tidak bisa bicara di depan ibunya Vina, atau rencana ini akan gagal. “Vin, bisa kita bicara berdua dulu? Om nggak enak sama ibumu, kayaknya dia lagi sedih banget.”Vina mengangguk. Sementara ibunya Vina ditemani oleh ibunya Wulan, Vina pergi menjauh bersama bapaknya Wulan untuk mendiskusikan soal bantuan pembayaran operasi bapaknya yang kecelakaan. Setelah merasa bahwa posisi mereka sudah cukup aman, barulah bapaknya Wulan mulai bermanis-manis menjelaskan mengenai seseorang yang akan membantunya. “Jadi gini Vin, Om tau orang yang bisa bantu bayar biaya operasi bapakmu.”“Siapa, Om?” tanya Vina.“Pak Harjo, juragan tembakau di kelurahan sebelah itu. Yang rumahnya tiga lantai dan punya sawah di mana-mana itu.”Pak Har
Yudha dan Vina diantar oleh pelayan dari toko Amethys itu ke belakang. Ada sebuah etalase kaca bening yang tampak mewah. Di dalamnya, terdapat berbagai bentuk cincin pernikahan yang menarik dan pastinya elegan. Tidak ada label harga dari perhiasan itu, tetapi Vina sudah bisa membayangkan kalau harganya pasti tidak murah.“Om, kenapa kita beli cincin di sini?” bisik Vina.Yudha menoleh. “Kenapa? Kamu nggak suka?”‘Mana mungkin aku nggak suka!’ seru Vina dalam hati. Ini bukan soal suka atau tidak suka. Masalahnya, toko ini kelihatan sekali bukan toko perhiasan biasa. Vina khawatir dengan harganya.“Kalau memang nggak suka, kita bisa pindah ke tempat lain. Kebetulan, ini toko yang direkomendasikan oleh Papa saya.”Vina membelalak. “Om Kalingga?”Yudha mengangguk. Vina menelan ludahnya dengan susah payah. Semakin banyak ia tahu mengenai keluarga Yudha, semakin terkejut pula dirinya. Sebelumnya, ia baru tahu kalau Bening berlangganan pada sebuah butik mewah, sekarang toko perhiasan rekome
Wulan dan bapaknya saling berpandangan pasca menyebut nama Vina. Bapak Wulan mengernyit, ia tidak paham apa maksudnya. “Maksud kamu apa bawa-bawa anak miskin itu?”Wulan sebenarnya tidak ada niatan sama sekali membawa-bawa nama Vina. Lidahnya terselip dan nama Vina malah yang pertama kali ia sebut karena sudah terdesak. Wulan akan melakukan apapun asalkan ia tidak harus menikah dengan si bandot tua juragan tembakau itu. Ia tidak peduli meskipun hidupnya akan bergelimang harta kalau menikah dengan si juragan tembakau tersebut. Yang jelas, Wulan tidak sudi menjadi istrinya. “Coba Bapak pikir, karena Vina itu miskin, jadinya ‘kan lebih mudah buat dinikahin. Dia nggak akan ngelawan.”Bapak Wulan mengernyit. “Tapi Pak Harjo udah tau soal kamu. Dia mau kamu jadi istrinya, mana bisa diganti seenaknya.”Wulan mengepalkan telapak tangannya. Ia tahu pasti, tipikal juragan kaya raya seperti Pak Harjo itu menikah bukan bukan karena cinta melainkan hanya untuk memuaskan napsu. Sekalian, menunjuk
Ibu dan bapaknya Vina tersenyum melihat Vina membelalak dan menganga karena terkejut. Yang datang adalah Yudha beserta Bening dan Kalingga. Mereka juga berdandan rapi, benar-benar seperti sudah mempersiapkan segalanya demi acara ini.Vina yang masih kebingungan menatap bapak dan ibunya. Pandangannya mengisyaratkan tanya, tetapi orang tuanya malah hanya mesam-mesem lucu kepadanya.“Gimana, Vin? Bener ‘kan apa yang Ibu bilang? Calonmu itu sangat cocok untuk kamu ‘kan?” kata ibunya.Vina seketika cemberut. “Ibu sama Bapak mau ngerjain Vina, ya?” Jujur saja, Vina tidak tahu bagaimana kondisi hatinya sekarang. Senang? Tentu saja. Siapa sangka calon yang katanya cocok dengan Vina itu ternyata adalah Yudha sendiri. Padahal, sudah sejak semalam Vina kepikiran karena pertemuan dadakan ini. Namun meski ia senang, tetap saja Vina merasa kaget dan tidak menyangka. Sebuah pertanyaan muncul di benak Vina sekarang, sejak kapan orang tuanya merencanakan pertemuan ini bersama dengan keluarga Yudha?
Vina masuk ke dalam kamarnya dengan perasaan gelisah. Baru saja ia merasa senang karena akhirnya hubungan dengan Yudha membaik. Mereka sudah sama-sama saling mengakui kalau perasaan mereka mutual satu sama lain. Vina tidak cinta sendirian, pun dengan Yudha sendiri, ia juga mencintai Vina. Ia pikir, setelah ini hubungan mereka bisa melangkah ke jenjang selanjutnya setelah berbicara dengan kedua keluarga, tetapi mengapa tiba-tiba ibunya berniat mengenalkan Vina dengan pria lain?Vina menghela napas panjang. “Padahal aku sama Om Yudha baru aja damai,” gumamnya lesu. Vina mencoba untuk menghubungi nomor Yudha. Ia rasa, hal ini tidak seharusnya disimpan sendiri. Lebih baik dikomunikasikan saja daripada nanti urusannya malah runyam.Panggilan pertama, sama sekali tidak ada jawaban. Vina semakin resah. “Apa Om Yudha belum sampai rumah ya makanya nggak diangkat?”Vina menunggu sebentar lagi. Ia berusaha berpikir positif, sebab nomor Yudha aktif, hanya panggilannya saja yang tidak terjawab. B
Vina tertegun atas pelukan tiba-tiba tersebut. Ia membeku, diam, dan tidak tahu harus melakukan apa. Guyuran hujan deras dan embusan angin kencang begitu dingin menusuk tulang. Vina seharusnya sudah menggigil gara-gara situasi hujan angin deras tersebut, tetapi entah mengapa tubuhnya merasa biasa saja. Mungkinkah dekapan Yudha melindunginya dari hawa dingin tersebut? entahlah, yang jelas, Vina merasa nyaman. Selama beberapa saat, Vina tidak melakukan apa-apa. Ia biarkan saja lengan kekar Yudha mendekapnya dengan begitu erat. Secara refleks, Vina malah menyandarkan kepalanya pada dada Yudha, tetapi kedua lengannya tidak melakukan apa-apa. Ia tidak balas memeluk, sebab situasi ini terlalu mengejutkan untuk Vina. Sampai kemudian, ia tersadar bahwa apa yang mereka lakukan itu salah. Yudha akan menikah dengan wanita lain. Tak seharusnya Vina terlalu dekat dengan Yudha bahkan sampai melakukan kontak fisik seperti ini. Vina yang tersadar bahwa hal ini tak seharusnya dilakukan segera mendo