Kanya membuka mulutnya lalu menutupnya kembali, dia kehilangan kata - kata rasanya.
"Itu hanya rumor! Gosip! Gimana kalau dia engga gay ayah?" lirih Kanya dengan rasa tak percaya, ayahnya tidak terlalu percaya dengan gosip ternyata.
"Kanya hanya satu tahun setengah, tidak akan lama, kamu hanya perlu ijazah sekolah itu agar bisa masuk ke universitas yang bagus." bujuk Andri dengan setenang mungkin walau sebenarnya dia juga kini tengah cemas.
Kanya menelan ludahnya kasar, mencoba kembali mencari kata yang tepat untuk menolak.
"Di sekolah sekarang Kanya akan berusaha!" yakinnya dengan penuh keseriusan dan tekad.
Andri tetap pada keinginannya."Tidak bisa Kanya, hanya sekolah itu yang akan memudahkanmu." tegas Andri.
Kanya memijat pelipisnya, kalau sudah begini mau bagaimana lagi, dia tidak bisa menolak.
"Yaudah! Terserah ayah aja." Kanya tampak kesal namun juga pasrah. Kanya lelah karena tidak ada lagi jalan lain.
Andri tersenyum lega."Terima kasih, sayang—" namun senyumnya perlahan luntur. Semoga keputusannya tepat pikir Andri.
***
Kanya menghela nafas pendek, apa tidak bisa bertukar tempat, dia tidak mau satu lingkungan dengan laki - laki asing walau laki - laki itu gay a.k.a penyuka sesama jenis, tetap saja membuatnya khawatir.
Kanya memasukan pin lalu membuka pintu itu perlahan dan hati - hati. Kanya menarik koper lalu menutup pintu perlahan.
Pandangannya mengedar liar, sedikit penasaran juga dengan laki - laki gay itu.
Suara pintu terbuka membuat Kanya mematung di tempatnya, jantungnya berdebar tak karuan, tangannya semakin berkeringat.
Nata melirik Kanya sekilas tanpa menghentikan langkahnya menuju dapur yang tak bersekat itu. Kanya menelan ludah, bingung juga, apa harus dirinya menyapa?
Kanya menelan ludah sekali lagi lalu melempar senyum kaku."Ha-hai, aku Kanya ya-yang isi kamar kosong di tempat ini." sapa Kanya dengan begitu canggung dan gelagapan.
Laki - laki itu hanya melirik sekilas."Nata." balasnya dengan begitu singkat lalu setelah meraih botol air Nata kembali masuk ke dalam kamarnya.
Kanya mengusap dadanya lega saat Nata sudah hilang dari pandangannya.
Kanya memicingkan matanya, sangat di sayangkan, laki - laki gay itu ternyata begitu tampan dan tinggi.
Apa laki - laki tampan pacarnya pun selalu tampan? pikir Kanya merinding sendiri.
Kanya menggeleng samar, memutuskan untuk menyeret kopernya menuju kamar yang akan di tempatinya.
'Semoga bisa betah' batin Kanya penuh harap.
***
Ketukan di pintu membuat Kanya terlonjat kaget, Kanya buru - buru berjalan menuju pintu.
"Y-Ya?" sahut Kanya setelah membuka pintu.
"Makan malem udah siap." ujar Nata tanpa ekspresi lalu berlalu.
Kanya gelagapan lalu dengan langkah berat Kanya pun keluar kamar, menghampiri Nata yang sudah duduk di meja makan dengan kaku.
Kanya mengedarkan pandangannya lagi, menatap dekorasi mewah asrama yang di tempatinya. Kanya sekarang mengerti kenapa sekolah di sini sangat mahal.
"Makan, ga usah sungkan." Nata berujar tanpa menatap lawan bicaranya, setelah beres meraih lauk dan nasi baru Nata memperhatikan Kanya.
Kanya merasa tidak nyaman, tatapannya melirik pada Nata yang kini menatapnya dengan kedua mata tak terbaca itu, membuat Kanya semakin di landa gugup.
"A-Oh eum terima kasih." balas Kanya pelan lalu setelahnya Kanya meraih ikat rambut di pergelangan tangannya lalu mengikat rambutnya asal.
Nata terdiam, sorot matanya menajam, tatapannya jatuh pada leher jenjang Kanya.
Mungkin inilah yang di rasakan para Vampire saat melihat leher—seperti ada magnet yang menariknya agar mendekat lalu menggigit.
Nata menelan ludah, dengan cepat Nata meraih gelas yang berisi air lalu meneguknya dalam sekali tegukan.
Samar pipinya memerah. Nata tidak percaya kalau dia bisa bereaksi seperti ini terhadap perempuan, selama ini dia bahkan tidak melirik perempuan sama sekali saking malasnya berurusan dengan kerumitannya.
Nafasnya kian tidak teratur, bagaimana bisa ada leher sejenjang dan seindah itu pikir Nata hilang kontrol.Nata menggelengkan kepalanya, menepis semua pemikiran gilanya.
Kanya masih sibuk dengan aktivitasnya mengikat rambut hingga beralih membawa lauk - lauk di depannya lalu memulai makan.
"Selamat makan." ucap Kanya dengan wajah polos, mendadak kegugupannya lenyap saat di hadapannya ada makanan.
Nata masih kurang fokus, jantungnya tiba - tiba berdebar. Nata menatap Kanya, mengamatinya lagi.
Bibir merahnya kini basah oleh minyak dari makanan yang sedang di makannya. Nata menelan ludah kasar, Nata berdehem pelan.
Kanya mendongkak, menghentikan aktivitasnya."Kenapa?" tanya Kanya setelah menelan kunyahannya.
Nata berdiri lalu berjalan perlahan menghampiri Kanya, tangannya terulur meraih tengkuk Kanya. Nata memegang leher Kanya dengan lembut, mengelusnya pelan.
Tidak sopan! Memang!
Wajah Kanya melongo kaget."Kamu ngapain?!" jerit Kanya saat sadar lalu mendorong dan menepis tangan Nata, Nata sontak mundur beberapa langkah.
Kanya beranjak dari duduknya, dengan menatap Nata waspada. Nata memasukan tangannya ke dalam saku celana.
"Lo ga takut kalo gosip itu palsu?" Nata tersenyum miring.
Kanya merapatkan giginya dengan kuat, apa gosip Nata gay itu palsu? seperti dugaannya!
"Aku laporin sama ibu Puja! Tunggu aja!" teriak Kanya dengan penuh kekesalan dan tekad.
Nata pikir dia barang yang tidak masalah di pegang - pegang?! Kanya terus mengumpati Nata dalam hatinya.
Nata mengangkat bahunya acuh."Semua udah percaya kalau gue ini gay bahkan lo juga, jadi terserah." ujarnya begitu enteng.
Kanya mengepalkan tangannya, ternyata semua orang telah di bohongi oleh si brengsek Nata! pikir Kanya berapi - api.
Nata mendekat, meraih leher yang sepertinya akan menjadi kesukaannya. Kanya sontak menepisnya dengan menatap Nata penuh permusuhan.
"Jangan pegang - pegang!" bentak Kanya dengan mata semakin menyorot marah.
"Stt—" setelah itu Nata kembali mengusap leher Kanya sekilas."salahin leher indah ini, dia buat gue hampir hilang kendali." lanjutnya lalu memutuskan untuk berlalu dengan santai.
Kanya tidak akan pernah lupa pertemuan pertamanya dengan Nata yang membawanya pada rasa benci yang ternyata sangat tipis dengan cinta itu.
Nata pun tidak akan lupa pertemuan pertama yang membuatnya sadar bahwa selama ini ternyata dirinya memang normal. Nata hanya belum bertemu dengan seseorang yang membuatnya tertarik saja.
Lagian masalah gay itu hanya katanya, hanya sebatas gosip karena kesalahpahaman. Hingga Kanya datang dan merubah segalanya, katanya yang ada pun kian hilang saat cinta mulai datang, Nyatanya pun mereka mulai saling terikat oleh cinta tak kasat mata.
"Kanya, leher jerapah lo bikin gue lupa diri." teriak Nata di belakang Kanya yang berusaha berlari menghindarinya.
"Kurang ajar dasar bajingan penipu! Dan apa JERAFAH?! Kamu hina aku?!" balas Kanya tak kalah keras, tidak peduli dengan para siswa - siswi yang menatap mereka.
"Itu pujian bodoh!" Nata terkekeh.
Kanya menghempaskan tubuhnya ke kasur dengan menghela nafas berat. Pelajaran olah raga hari ini begitu melelahkan.Membuat tubuhnya terasa remuk.Kanya melirik kalender yang sebagian angkanya di lingkari spidol merah, tidak terasa sudah 3 minggu dia di sini di temani gosip yang tidak kunjung hilang. Malah gosip yang semakin hangat.Gosip terakhir yang kini berkembang itu semua masih ulah pelaku yang sama yaitu Nata.Kanya mendesah lelah mengingat itu. Sungguh muak dan rasanya ingin mencabik - cabik wajah si pelaku yang begitu santai menanggapi semuanya.Jelas saja semua gosip semakin berkembang, Nata selalu mengikutinya dan jika ada kesempatan dia selalu mengusap leher Kanya dengan tidak tahu tempat.Tentunya tidak sopan juga dan bisa di bilang pelecehan!Kanya akui dia lelah jadi bahan gosip seantero sekolah, telinganya selalu panas rasanya.
Kanya mengusap lehernya dengan masih tersedu - sedu, langkahnya dia bawa masuk ke dalam asrama. Kanya bergegas menaiki kasur lalu menenggelamkan tubuhnya di dalam selimut dan kembali terisak.Kanya bahkan heran, biasanya kebanyakan orang akan terobsesi pada bibir, ini malah lehernya. Aneh memang dan lebih kesalnya lagi Kanya semakin di buat yakin kalau Nata itu normal!"Bunda Kanya kangen hiks Huwaaa Nata sialan! Brengsek! Gay gila! Bajingan! Pembohong!" raung Kanya seraya menendang - nendang selimut.Nata yang baru masuk mengulum senyum geli, baru kali ini ada orang yang menghujatnya seterang - terangan begini dan lagi bukannya kesal dia malah geli, benar - benar gila! pikir Nata heran sendiri.Nata membuka pintu kamar Kanya, Nata menggeleng pelan. Dasar gadis ceroboh! Bukannya mengunci pintu malah sibuk menangis tidak jelas.Nata meraih Selimut yang sedang di tendang
Kanya mengusap perutnya yang terasa penuh, baru kali ini dia merasa kenyang setelah makan. Biasanya baru tiga suap Kanya berhenti saking malasnya mengunyah, itu terjadi kalau sedang tidak nafsu makan!"Kita kayaknya belum kenalan?" celetuk Fajar membuat Kanya menatapnya dengan senyum canggung."Aku Kanya." kata Kanya pelan, dia tidak bisa ramah pada orang baru.Fajar mengulurkan tangan."Gue Fajar." setelahnya Fajar melempar senyum ramah.Kanya meraih uluran itu lalu melepaskannya dan beralih pada Qiano."Qian.."Kanya mengangguk dengan senyum canggung, Qiano tidak seramah Fajar."Kita dulu sering nginep di tempat Nata tapi semenjak lo ada kita ga ke sana lagi, takut ganggu." jelas Fajar yang membuat Kanya semakin canggung.Ganggu? Memangnya dia dan Nata sibuk apa? Kesannya Kanya selalu menghabiskan waktunya dengan Nata
Kanya merapihkan pakaian ke dalam koper kecil. Memasukkan semua yang di perlukan ke dalam tas gandongnya."Kayaknya udah siap! Ah dompet! Hampir aja, nyawa utama padahal." monolog Kanya seraya meraih dompet di meja belajar."Oke udah beres, keluar harus tanpa Nata!" tambah Kanya dengan penuh tekad.Kanya menyeret kopernya keluar kamar, sebelum kembali melangkah Kanya mengamati keadaan sekitar yang tampak sepi.Kanya melanjutkan langkahnya dengan bersenandung pelan, Kanya membuka pintu keluar lalu menjerit kaget saat melihat Nata berdiri dengan begitu kerennya.Nata kalau sudah tidak pakai seragam begitu terlihat sangat keren. Hitam - hitam, tampan! Ah ralat! Lebih ke seperti malaikat pencabut nyawa! Dumel Kanya."Lama banget, Semua udah jalan duluan.""HA!? Te-terus kita?" Kanya mengedarkan matanya liar.Asrama me
Nata tersentak kaget di tidurnya hingga membuatnya terjaga. Mimpinya tentang Kanya membuat Nata gila.Nata dalam mimpi menatap bibir merah alami milik Kanya di tambah kulit mulusnya yang bersinar dalam mimpinya membuatnya semakin gila.Nata mengerang pelan, kadang saat pagi sedang puncak - puncaknya. Tanpa kata Nata pergi ke kamar mandi lalu bersiap menuju ke tempat Kanya.Nata menggeleng tak percaya dengan ke-keboan Kanya, sepertinya gadis itu tidak berniat liburan. Nata menghampiri Kanya lalu menggoncang pelan tubuhnya.Kanya masih tak bergeming, tidak ada cara lain Nata harus melakukan cara yang satu ini. Dengan gemas Nata mencubit hidung Kanya agar gadis itu sulit bernafas."Ha! Aduh ayah!" pekiknya dengan terengah - engah, menghirup oksigen dengan begitu rakusnya."Udah jam 9 pagi, ga mau ke pantai?" tanya Nata dengan begitu santai.
Nata meraih kaca mata hitam dan topi hitam di atas kopernya lalu memakainya. Di liriknya Kanya yang tengah mengikat rambutnya. Begitu cantik."Ga usah di iket! Mau aku serang saat di sana nanti?"alis Nata bertaut serius.Kanya menarik lagi ikatannya dengan kesal, mendelik ke arah Nata dengan sebal lalu meraih kasar topi dan kaca mata hitamnya."Udah puas?" tanya Kanya sewot nan jutek.Nata membuka pintu, mempersilahkan Kanya agar segera keluar."Awas aja kalo jelalatan liat bule - bule, aku ga ak—""Ga usah banyak ngomong! Ayo, aku ga sabar liat pulau yang KATANYA punya aku itu." jengkel Kanya, di tambah perutnya sedang sakit karena PMS.Lagian, siapa Nata? Kenapa harus mengaturnya seperti ayahnya saja. Kanya semakin sebal.Nata menutup pintu hotel lalu meraih lengan Kanya."Kamu kalo lagi datang bulan ngomel mulu." keluh Nata
Nata menggendong Kanya lalu meletakannya di atas kasur yang berada di dalam pesawatnya. Nata melirik asisten yang di kirim papanya yang kini berdiri di belakang Nata."Jangan kasih tahu daddy sama mommy kalau gue bawa cewek liburannya, oke?" pinta Nata penuh peringatan."walau acara sekolah tetep aja mereka engga boleh tahu kalau gue berduaan sama ni cewek." lanjutnya."Baik, tuan muda." dengan patuh asistennya menjawab.Nata menyelimuti Kanya yang terlelap, Nata sengaja mencampurkan obat tidur pada minuman Kanya agar Kanya tidak kelelahan selama perjalanan pulang."Lo keluar." usir Nata pada Bima, sang asisten yang sama umurnya dengan Nata."Baik, tuan muda."Setelah kepergian Bima, Nata bergegas Naik, memeluk Kanya dengan posesif. Sampai kapanpun Kanya tidak akan dirinya lepaskan.Nata mencuri ciuman di kening Kanya.Nata me
Cantik memang tapi wajahnya tak bersahabat, Kanya terlihat sebal. Kanya sebenarnya Malas keluar asrama apalagi malam - malamNamun lagi - lagi karena kekuasaan Nata membuatnya tidak bisa menolak."Bawa jaketnya." Nata melangkah di depan Kanya.Kanya meraih jaketnya dengan tak bertenaga."Mau kemana sih? Besok sekolah." lirih Kanya benar - benar malas bepergian."Makan di luar sayang, berapa kali sih harus di jelasin." Nata masih fokus menalikan sepatunya.Kanya mendengus pelan, Nata masih saja memanggilnya sayang. Membuat telinganya geli!"Di undur bisa? Aku mau tidur aja." pinta Kanya sedikit merengek, wajahnya di tekuk malas."Sebentar sayang, cuma makan." Nata berdiri lalu menghampiri Kanya agar cepat memakai sepatu."Males pake sepatu." kata Kanya mencari alasan agar jangan berangkat."Aku pakein." Nata me
Revan duduk dengan tenang, justru perasaannya kini senang. Sedangkan Bella menunduk dalam, dia terlihat malu."Kan! Mereka udah dewasa, ketakutan aku terjadikan!" Dewi menatap Dewa dengan emosi dan berkaca - kaca."Iyah, kalau tahu gini aku dari awal engga kasih izin.." Dewa meraih bahu Dewi, mengusapnya agar tenang."Kalau hamil gimana? Rieta pasti kecewa!" Dewi menyeka air matanya, perasaan Rieta pasti hancur kalau sampai itu terjadi.Revan terhenyak, rasa senangnya lenyap. Benar juga, Rieta kalau tahu pasti kecewa dan akan merasa bersalah. Revan harusnya menjaga Bella."Kalian keluarnya di dalam atau luar?" Dewi menatap Revan dengan masih marah.Bella semakin tidak berani mengangkat kepalanya.Revan menjilat bibirnya yang tiba - tiba kering, jakunnya mulai bergerak saat menelan ludah."Da-dalem ma.." Revan menunduk,
Bella tersenyum dengan tersipu, tangannya yang dingin kini di genggam erat oleh Revan. Rasanya Bella kembali pada masa ABG labil, berdebar dan malu - malu."Di sini kalo pagi emang gini, dingin.." Revan menatap Bella dengan senyum tipis.Revan masih tidak percaya kalau Bella ada di rumahnya, bahkan saat membuka mata Bella ada di sampingnya.Revan ingin menyinggung pernikahan tapi rasanya Revan ragu, dia tidak mau melukai Bella yang belum sembuh dari gagal nikahnya dengan Fadil."Iyah, parah dinginnya.." Bella mengamati sekitarnya, padahal matahari sudah menyapa cukup tinggi.Revan mengubah posisi, di peluknya Bella dari belakang."Biar anget.." katanya di atas kepala Bella, Revan menyandarkan kepalanya di kepala Bella.Bella menggigit bibirnya, menahan senyum yang takutnya terlalu lebar."Bell.." panggil Revan lembut.
Revan membantu Dewi untuk duduk, kini mereka sudah kembali ke rumah. Satu bulan lebih berlalu, operasi kecil pun dengan lancar Dewi laksanakan.Revan dan Bella pun mulai terlihat seperti semula, tanpa canggung atau berusaha menghindar. Hubungannya bisa di bilang membaik namun tidak sedekat dulu, Bella pun tidak seagresif dulu.Bella di sibukan dengan bisnis barunya yang baru buka, Bella membuka toko kecil namun berisi bunga dan peralatan lain untuk kado."Bella kok jadi jarang jenguk bunda?" tanya Dewi setelah meraih gelas air yang di berikan Revan.Dewa melirik sang istri."Mungkin sibuk, ayah denger Bella buka bisnis ya?" tanya Dewa.Revan mengangguk."Baru buka minggu kemarin.." jawab Revan."Kamu kenapa ga bantu Bella?" tanya Dewi dengan penasaran."Katanya Bella ga mau di ganggu dulu." balas Revan lesu, seminggu lebih tidak bertemu
Revan menghentikan mobilnya di depan pintu gerbang rumah Bella, sepertinya untuk bertemu Rieta tak bisa sekarang."Bunda di dalem?" tanya Revan setelah membantu Bella membuka sabuk pengaman.Bella menggeleng."Lagi di rumah tante, acara syukuran anaknya.." balasnya dengan suara parau dan mata sembab.Revan mengangguk samar, syukurlah. Jika pun ada Revan tak bisa bertemu sekarang. Revan harus bergiliran menjaga sang bunda dengan ayahnya yang harus lembur."Kapan pulang?" tanya Bella."Nunggu mama sembuh.." balas Revan dengan memperhatikan Bella yang ternyata gemukan.Revan merasa lega, itu artinya Fadil menjaga Bella dengan baik."Mau jenguk, tapi nunggu matanya sembuh.." jelas Bella dengan bibir di tekuk. Moodnya masih belum baik."Hm, gih masuk. Istirahat.."Bella mengangguk."Makasih untuk
Bella mendial nomor Fadil, tumben selama dua hari ini Fadil tidak segesit biasanya."Kak Bell.."Bella menoleh lalu tersenyum ramah."Eh ada Ratu.." sapanya seraya memeluknya sekilas."Kakak lagi belanja juga?" tanyanya dengan riang."Hm, kamu ke sini sama siapa?" tanya Bella seraya mengusap anak gadis yang kini sudah masuk ke kelas dua SMA itu."Loh?"Bella menoleh, sama kagetnya dengan Fadil kini. Orang yang sulit di hubungi olehnya ternyata sedang belanja."Kalian saling kenal?" tanya Ratu senang."aku sepupu kak Fadil kak dan aku kenal sama kak Bell karena waktu itu kak Bell bantu tolongin anjing Ratu yang kejebak ikatannya di besi pinggir jalan.." terangnya riang.Bella yang berpikiran negatif sontak tertawa pelan."Kirain dia selingkuh.." gemas Bella pada Fadil.Fadil tersenyum, meraih pinggan
Bella terus berceloteh di samping Revan yang kini tengah makan bersama Fadil, Dewa dan Dewi."Iyah Bell, udah makan dulu.." Revan menyimpan udang yang sudah di kupas ke nasi Bella."Makasih.." kata Bella seraya menyudahi celotehannya lalu melirik Fadil di samping kirinya.Fadil menyeka keringat di poni Bella dengan tissue lalu membantu Bella mengupas udang. Fadil harus menghentikan Revan, biar soal mengurus Bella kini menjadi urusannya.Revan melirik keduanya dengan mood down. Revan salah berpikir Bella akan terus menunggunya. Mungkin Revan terlalu percaya diri kalau Bella tidak akan berpaling."Makasih.." kata Bella saat Fadil memberikan udang yang sudah di kupas cangkangnya.Dewi mengamati gerak - gerik anaknya. Sebagai ibu dia sangat paham dengan perasaan Revan.Sudah berapa kali dirinya menasihati Revan tapi tetap saja tidak
Fadil menggeleng samar, Bella sudah makan langsung tidur siang. Pantas saja pipinya gembul, menggemaskan.Fadil memperhatikan posisi Bella yang tidur dengan posisi duduk dan kepala bersandar di kepala sofa.Nyaman namun nanti akan membuatnya sakit. Fadil memutuskan untuk memandang wajah Bella.Damai, bulu mata lentik, alis tebal dan hampir menyatu dengan bulu - bulu halus di keningnya."Monyet, kamu banyak bulu di wajah ternyata.." gumamnya seraya mengusap bulu halus itu lalu turun ke hidungnya yang mungil namun mancung.Hingga jempolnya berakhir di bibir tipis yang merona alami. Ada kumis tipis yang menghiasi.Hubungannya setelah berstatus masih bisa di bilang mingguan belum bulanan, apa boleh mengecupnya sekilas? Pikir Fadil."Mau cium Bella?"Fadil tersentak sangat kaget di duduknya bahkan membuat Bella terja
"Aduh! Dosennya semoga belum dateng" heboh Bella dengan kedua kakinya yang pendek terus berlari melewati lorong yang akan membawanya semakin masuk ke dalam kampus.Fadil menaikan satu alisnya saat melihat Bella berlari begitu saja tanpa meliriknya.Fadil menyusulnya lalu menarik jaket Bella yang sontak membuat gadis itu berhenti dengan memekik kaget."Kemana? Kelas kita di sana kali" tunjuk Fadil kearah sebrang Bella."Ha! Belum ada dosen?" tanya Bella dengan nafas terengah."Hm, makanya kalo lagi ngomong teleponnya jangan di matiin! Tahu rasakan!" cemoohnya seraya melepaskan jaket Bella.Bella menggeram, bukan salahnya tapi justru salah Fadil yang selalu berbicara setengah - setengah dan kadang tak jelas. Membuatnya salah paham terus."Au ah! Males gue sama lo!" amuk Bella lalu berlari pelan menuju kelas di ikuti Fadil yang berjalan santai.
Bella gelisah, Bella tengah berdiri di balik pilar. Mencoba bersembunyi dan mengintip Revan yang kini tengah berbicara dengan Melia, kakak kelas mereka."Bella hanya temankan? Terus kenapa kamu ga bisa terima aku?" tanyanya seraya meraih tangan Revan.Revan menatap Melia, gadis di depannya memang menarik tapi Revan tidak ingin terganggu oleh hubungan rumit di masa SMA.Revan hanya ingin lulus lalu terbang ke negara yang akan mendidiknya menjadi atlit."Sorry.." setelah mengucapkan itu Revan berlalu.Bella menghela nafas lega, namun juga prihatin atas penolakan Revan. Bella kembali menarik nafasnya, kali ini dengan berat.Orang terdekat saja di abaikan, apalagi orang luar. Bella semakin tidak bisa menjangkau Revan rasanya.Bella membawa langkahnya untuk kembali masuk ke dalam gedung sekolah yang semakin r