Nata tersentak kaget di tidurnya hingga membuatnya terjaga. Mimpinya tentang Kanya membuat Nata gila.
Nata dalam mimpi menatap bibir merah alami milik Kanya di tambah kulit mulusnya yang bersinar dalam mimpinya membuatnya semakin gila.
Nata mengerang pelan, kadang saat pagi sedang puncak - puncaknya. Tanpa kata Nata pergi ke kamar mandi lalu bersiap menuju ke tempat Kanya.
Nata menggeleng tak percaya dengan ke-keboan Kanya, sepertinya gadis itu tidak berniat liburan. Nata menghampiri Kanya lalu menggoncang pelan tubuhnya.
Kanya masih tak bergeming, tidak ada cara lain Nata harus melakukan cara yang satu ini. Dengan gemas Nata mencubit hidung Kanya agar gadis itu sulit bernafas.
"Ha! Aduh ayah!" pekiknya dengan terengah - engah, menghirup oksigen dengan begitu rakusnya.
"Udah jam 9 pagi, ga mau ke pantai?" tanya Nata dengan begitu santai.
Kanya mengerjap pelan lalu mulai tersadar kalau dirinya sedang liburan."Mau dong! Enak aja!" ketus Kanya dengan suara sedikit serak.
Nata menggeleng pelan, heran dengan Kanya yang selalu ketus, judes dan tidak santai tapi detik berikutnya Nata bisa mengerti. Mana ada yang mau di lecehkan oleh orang yang baru bertemu sebentar, pastilah bawaannya ingin marah - marah. Ingin berteriak pada semesta pun rasanya percumakan? Oke Nata mulai berlebihan.
Nata meraih ponsel Kanya yang berdering, dengan acuhnya Nata mengangkat panggilan itu.
"Hallo.."
"Siapa lu?! Di mana Kanya?" tanya laki - laki di sebrang sana.
Nata menatap layar ponselnya sesaat, tulisan 'Kakak' tertera di layar."Oh ini cowok Kanya, dia lagi di kamar mandi." jelas Nata begitu santai.
"APA?! Di kamar mandi?! Habis ngapain kalian ha?! Di mana posisi!" bentak laki - laki itu tidak santai.
"Pantai *** , kita lagi liburan kak, acara sekolah juga, jangan khawatir, Kanya akan baik - baik aja."
"Dasar anak itu! Ga bilang liburan! Awas aja! Kalian pulang langsung ke kantor gue!" tegasnya lalu mematikan sambungan.
Nata mengangkat bahunya acuh lalu meletakan kembali ponsel Kanya ke tempat semula. Lumayan lama juga ternyata Kanya mandi.
Nata mengedarkan pandangannya, siapa tahu ada sesuatu yang bisa dirinya mainkan.
Karena tak ada, Nata memutuskan untuk pergi ke balkon saja dengan di temani satu batang rokok yang baru di keluarkan dari bungkusnya.
Tak lama dari itu Kanya keluar dengan rok seatas lutut berwarna merah lalu atasannya berwarna hitam ketat berlengan panjang.
Nata berbalik saat mendengar pergerakan di arah dalam, rokoknya dia matikan lalu buang, Nata bisa melihat Kanya yang sibuk merias diri.
Nata menghampiri Kanya yang merasa tidak terganggu.
Nata mengamati pakaian yang di pakai Kanya, baju atasannya ketat dan berkerah dangkal menampakan leher Kanya yang semakin terlihat menawan.
"Kok ke pantai pake baju gini?" heran Nata.
Kanya menghentikan gerak tangannya yang tengah memakai bedak."Aku mau belanja, hari terakhir aja ke pantainya." jawab Kanya dengan malas namun tetap terdengar ketus.
Nata melingkarkan tangannya di bahu Kanya membuat Kanya kembali menghentikan gerakannya lalu mendongkak menatap Nata.
"Ngapain ih! Lepas! Enak aja peluk - peluk!" semprot Kanya tak santai.
Nata mengulas senyum kecil."Cepet lanjutin jangan peduliin aku." bisik Nata sebelum mengecup kepala dan leher Kanya dari belakang.
Kanya semakin menggeliat, dia tidak akan membiarkan Nata menyentuhnya lebih lama.
"Ih lepas! Nata! Geli ih!" teriak Kanya kegelian.
Nata melepaskan Kanya lalu berjalan kembali menuju balkon, meraih rokok baru yang dia tinggalkan di dekat asbak. Kanya menatap sinis Nata yang semakin menjauh.
"Bau rokok! Ih sebel!" dumel Kanya dengan bola mata memutar sebal.
***
"Kamu bocor deh kayaknya." terang Nata dengan mata mengamati rok belakang Kanya.
Kanya tersentak pelan lalu meraih rok belakangnya dan benar saja dia tembus. Buru - buru Kanya berlari menuju kamar mandi.
Nata pun memutuskan untuk menunggunya berganti di sofa."Apa ga di jadwal ya? kok bisa kecolongan sampe bocor." gumam Nata pelan seraya mengotak - ngatik ponselnya.
Sepertinya Kanya belum sadar kalau Nata mengupload fotonya di i*******m.
Nata melihat komentar di foto Kanya yang dirinya upload, begitu heboh, saat pulang nanti pasti di sekolah akan semakin panas.
Pintu kamar mandi terbuka sedikit, tak lama hanya kepala Kanya yang menyembul keluar.
"Nata—eum anu—eum apa kamu punya pembalut?" cicitnya di akhir.
Setelah mengucapkan itu Kanya meringis pelan, dia salah mengutarakan pertanyaan di otaknya.
Nata sontak tergelak."Aku cowok Kanya, walau mereka ada sayapnya bukan berarti aku bisa jadiin mereka pesawat - pesawatan!" kata Nata dengan nada sedikit naik karena kaget juga.
"Ya biasa aja kali! Ga usah nyolot gitu! Aku salah!" balas Kanya dengan bibir maju saking kesalnya di tambah sedang PMS.
Nata menghela nafas pendek."Kamu ga bawa cadangan?" tanya Nata dengan nada biasa.
Kanya mengangguk dengan sedikit malu, ingin minta tolong tapi gengsi masih dia pelihara.
Nata beranjak dari duduknya."Kalo gitu aku beli dulu, bebaskan? Atau harus merk khusus?" tanya Nata.
Kanya menunduk, tak berani menatap Nata."Pokoknya bersayap ukuran 29 cm aja!" terang Kanya cepat layaknya Rapper! Lalu bergegas menutup pintu saking malunya.
Nata menggeleng samar dengan bibir tersenyum tipis.
***
Kanya menatap kemewahan tempat makan itu dengan mata berbinar. Tak menyangka Nata akan membawanya ke tempat mahal seperti ini. Mata Kanya kini memicing menatap Nata.
"Kamu kok bisa ajak aku ke sini? Bukannya tempat ini harus pesennya satu bulan sebelum bisa makan di sini? Waktu itukan kita berarti belum kenal." heran Kanya dengan alis bertaut bingung. Mengabaikan pertanyaan Nata.
Nata menyesap jus Alpukat yang di pesannya sedikit."Punya nyokap." santainya dengan senyum menyebalkan.
Kanya mendengus meremehkan."Serius! Nyebelin banget sih!" dumel Kanya.
Nata terkekeh pelan."Serius! tadi kamu ga liat saat aku masuk, semua nunduk hormat, bahkan aku ga harus nanya di meja mana dan sebelah mana pesenan aku, ah! Kalau ke sini kan harus ada kartu tanda pesanan, aku ga bawa loh, jadi pesen aja apapun yang kamu mau." Nata tersenyum jemawa.
Terlihat menyebalkan namun sialnya tampan!
Kanya mendengus lagi, dasar orang kaya sombong! pikir Kanya antara percaya dan tidak percaya.
"Kamu anak pengusaha?" tanya Kanya ragu sekaligus penasaran.
"Emangnya kenapa? Jangan bilang kamu matre?" goda Nata.
Kanya sontak memukul meja dengan menatap Nata tidak terima."Aku ga gitu ya!" amuknya.
Nata sepertinya kurang paham tentang perempuan. Perempuan yang sedang PMS itu sensitif , gampang sekali tersinggung.
Nata menatap Kanya tajam lalu meraih kasar tangan Kanya yang memukul meja tadi.
"Ngapain pukul - pukul meja! Kalo tangan kamu patah atau keseleo gimana?! Aku percaya kok kamu ga gitu, aku bercanda tadi." kesal Nata seraya mengusap telapak tangan Kanya yang memerah.
Kanya terisak pelan dengan bibir menekuk ke bawah."Hiks sakit." pukulannya tadi cukup keras, dia lepas kontrol.
Usapan Nata Kanya biarkan, tangan nya memang sakit, usapan Nata di tangannya cukup mengurangi rasa nyut - nyutan itu.
"Aku tahu," singkat Nata lalu menatap Kanya."maaf kalo kamu tersinggung tadi, mau kamu matre sekalipun aku akan tetep pilih kamu, harta aku ga akan habis cuma buat beliin kamu makanan." lanjut Nata dengan senyum tulus.
Selama Nata kenal Kanya, Kanya terlihat sederhana tidak banyak shoping seperti sepupu dan temannya yang lain. Jika pun Kanya sama, dia tidak peduli, Kanya akan selalu jadi miliknya.
"Kalo gitu beliin aku pulau, aku ga mau jadi babi karena makan terus!" ketus Kanya di sela - sela isakannya.
Dia hanya bercanda sungguh! Tapi Nata malah menganggapnya serius dengan menghubungi seseorang lewat ponsel lalu tak lama email masuk ke akun Kanya.
Di sana tertera surat kontrak pembelian sebuah pulai di salah satu kota ini.
"Kamu gila?!" kaget Kanya dengan sangat - sangat kaget. Rasanya rahang Kanya akan jatuh karena terbuka terlalu lebar.
Nata mengulas senyum menyebalkan."Kamu pikir aku bercanda? Surat pemberitahuan libur kemarin aja aku bisa ubah karena sekolah itu emang sekolah aku." kekeh Nata yang detik selanjutnya Nata rutuki, kacau sudah, pasti Kanya marah.
Namun meleset, Kanya masih terpaku menatap kontrak kepemilikan di poselnya. Tak percaya dalam hitungan menit dia sudah memiliki pulau pribadi.
Kanya menatap Nata dengan wajah melongonya."Kamu ini prank?" tanya Kanya bingung. Begitu lucu.
Nata tertawa pelan."Engga, itu emang pulau aku, aku cuma ganti aja jadi nama kamu." terang Nata dengan begitu enteng, seolah semua yang di ucapkannya itu tidak berarti apa - apa.
Seolah - olah pulau itu permen.
Kanya mengerjap, masih di ambang batas kesadaran dan detik berikutnya Kanya tak sadarkan diri, dia pingsan karena terlalu senang dan tidak percaya dengan semua kenyataannya kini.
***
"Kamu ga apa - apa? Kepala kamu sakit?" tanya Nata cemas.
Kanya jatuh cukup keras tadi, Nata tak sempat menangkapnya karena posisi cukup jauh.
"Pulau Nata, aku pasti mimpikan?" tanya Kanya mengabaikan pertanyaan Nata.
Nata menarik kepala Kanya kepelukannya."Kamu pingsan gara - gara pulau itu! Untung ga ada masalah." helaan nafas lega keluar dari mulut Nata.
"Nata! Kamu serius soal pulau itu? Aku bercanda loh." Kanya melepas paksa pelukan Nata, kembali mengabaikan kecemasan Nata.
Nata menatap tajam Kanya."Pulau itu ga ada apa - apanya di banding kamu! Jadi jangan di bahas, kalo kamu ga percaya besok kita ke pulau itu. Kamu cari tahu sendiri." Nata terlihat kesal karena Kanya lebih mementingkan pulau itu.
Kanya memberengut sebal."Iyah, apaan sih! Gombal! Modus peluk - peluk juga tadi." gumam Kanya pelan.
Nata tak merespon gumaman Kanya."Pulau itu punya aku, aku cuma ganti nama ke pemilikan."terang Nata."istirahat, besok lanjut jalan, besok hari terakhir kita liburan." lanjut Nata.
Kanya mengangguk pelan, pikirannya sungguh masih di hantui pulau.
Nata meraih kaca mata hitam dan topi hitam di atas kopernya lalu memakainya. Di liriknya Kanya yang tengah mengikat rambutnya. Begitu cantik."Ga usah di iket! Mau aku serang saat di sana nanti?"alis Nata bertaut serius.Kanya menarik lagi ikatannya dengan kesal, mendelik ke arah Nata dengan sebal lalu meraih kasar topi dan kaca mata hitamnya."Udah puas?" tanya Kanya sewot nan jutek.Nata membuka pintu, mempersilahkan Kanya agar segera keluar."Awas aja kalo jelalatan liat bule - bule, aku ga ak—""Ga usah banyak ngomong! Ayo, aku ga sabar liat pulau yang KATANYA punya aku itu." jengkel Kanya, di tambah perutnya sedang sakit karena PMS.Lagian, siapa Nata? Kenapa harus mengaturnya seperti ayahnya saja. Kanya semakin sebal.Nata menutup pintu hotel lalu meraih lengan Kanya."Kamu kalo lagi datang bulan ngomel mulu." keluh Nata
Nata menggendong Kanya lalu meletakannya di atas kasur yang berada di dalam pesawatnya. Nata melirik asisten yang di kirim papanya yang kini berdiri di belakang Nata."Jangan kasih tahu daddy sama mommy kalau gue bawa cewek liburannya, oke?" pinta Nata penuh peringatan."walau acara sekolah tetep aja mereka engga boleh tahu kalau gue berduaan sama ni cewek." lanjutnya."Baik, tuan muda." dengan patuh asistennya menjawab.Nata menyelimuti Kanya yang terlelap, Nata sengaja mencampurkan obat tidur pada minuman Kanya agar Kanya tidak kelelahan selama perjalanan pulang."Lo keluar." usir Nata pada Bima, sang asisten yang sama umurnya dengan Nata."Baik, tuan muda."Setelah kepergian Bima, Nata bergegas Naik, memeluk Kanya dengan posesif. Sampai kapanpun Kanya tidak akan dirinya lepaskan.Nata mencuri ciuman di kening Kanya.Nata me
Cantik memang tapi wajahnya tak bersahabat, Kanya terlihat sebal. Kanya sebenarnya Malas keluar asrama apalagi malam - malamNamun lagi - lagi karena kekuasaan Nata membuatnya tidak bisa menolak."Bawa jaketnya." Nata melangkah di depan Kanya.Kanya meraih jaketnya dengan tak bertenaga."Mau kemana sih? Besok sekolah." lirih Kanya benar - benar malas bepergian."Makan di luar sayang, berapa kali sih harus di jelasin." Nata masih fokus menalikan sepatunya.Kanya mendengus pelan, Nata masih saja memanggilnya sayang. Membuat telinganya geli!"Di undur bisa? Aku mau tidur aja." pinta Kanya sedikit merengek, wajahnya di tekuk malas."Sebentar sayang, cuma makan." Nata berdiri lalu menghampiri Kanya agar cepat memakai sepatu."Males pake sepatu." kata Kanya mencari alasan agar jangan berangkat."Aku pakein." Nata me
Nata duduk dengan santai, sedangkan Kanya gelisah di sampingnya. Kanya melirik Nata yang sepertinya tidak terganggu dengan Aura Kakaknya yang tengah marah."Nata Giofar, kakak bisa panggil Nata." kata Nata memperkenalkan diri dengan senyum sopan."Giofar?" beo Karel sedikit terkejut.Nata mengulum senyum, untuk pertama kalinya Nata bangga dengan nama belakangnya."Iyah kak, Giofar." senyum Nata kembali terbitkan."Woah! Kamu serius mau sama Kanya?" tanya Karel takjub.Kanya merapatkan kuat - kuat bibirnya saat mendengar itu. Dasar memang rese kakaknya itu."Emangnya kenapa kak? Ada yang salah sama Kanya?" tanya Kanya penuh penekanan."Haha, lucu aja, cewek galak kayak kamu laku dek." kekeh Karel.Karel berganti menatap Nata dengan serius, mengabaikan Kanya yang terlihat akan meledak itu.
Kanya bangun dari tidurnya saat mendengar suara ricuh perabotan di dapur. Seseorang sepertinya sedang memasak pikir Kanya dengan berjalan sempoyongan.Matanya bahkan masih saja menutup sesekali, kantuk masih bergelayut manja di kedua matanya.Saat mendengar pergerakan, Nata berbalik dengan tangan memegang spatula."Udah bangun. Sini, bantu aku masak." pintanya datar.Kanya menghampiri Nata dengan sebelah tangan mengucek matanya.Sudah seminggu Nata tidak menegurnya membuat Kanya nyaman sekaligus tidak nyaman. Dia cukup terganggu."Masak apa?" tanya Kanya dengan suara sedikit serak, mata sayu.Nata melirik Kanya sekilas."Nasi goreng biasa." jawabnya dengan acuh tak acuhKanya melirik Nata sekilas, Nata tampak berbeda setelah kejadian satu minggu yang lalu. Nata seperti menghindari Kanya. Itu nyata, bukan perasaanny
Nata mengantri di belakang Kanya, di ikuti siswa - siswi lainnya. Makan siang kali ini Kanya tampak murung, Kanya merasa gelisah akan perbuatannya dengan Nata yang tak berpikir panjang.Kanya merasa kembali menyesal. Padahal kejadian malam itu sudah lama berlalu."Maju." bisik Nata.Kanya tersadar lalu melangkah maju mengambil beberapa suir ayam balado. Kanya kembali diam membuat Nata mengamatinya dalam."Kita makan di tempat biasa."Kanya menoleh sekilas lalu mengangguk, tak ingin beradu argumen dengan Nata.Kanya masih tak percaya dengan apa yang di lakukannya. Pikirannya tidak bisa tenang.Kanya tahu Nata akan tanggung jawab tapi rasanya tetap saja tidak nyaman.Usia tidak ada yang tahu, harusnya dia sadar soal itu. Masa depan sulit di tebak.Perkataan bisa dengan mudah di ucapkan, tapi takdir tidak m
Nata melirik Qiano yang bertingkah aneh hari ini. Dia selalu mencuri - curi pandang ke arahnya. Nata merasa tidak memiliki salah apapun."Ada apa?" tanya Nata santai.Qiano terlihat gugup."Maksudnya?" tanya balik Qiano."Lo lirik - lirik gue, ada salah gue? Atau lo mau nyampein sesuatu?" Nata meraih ponselnya yang di mainkan Kanya."Pinjem dulu, sayang." izin Nata seraya mengetik sesuatu.Qiano melirik Kanya sekilas."Ga papa kok Nat, cuma seneng aja liat lo beda sekarang." jawab Qiano sekenanya."Em, kirain." balas Nata dengan masih mengetik sesuatu di ponselnya. Setelah selesai memberikannya pada Kanya lagi.Kanya menerima dengan senang lalu kembali melanjutkan acara main gamenya."Soal turnamen basket, Irvan ajak gue duel, soal turnamen sekolah kita sepakat ga akan turun." ujar Nata datar.Qiano hanya menga
Qiano menghela nafas lelah, perasaannya begitu rumit. Ada rasa cemburu yang hinggap di hatinya saat Nata sudah berada di jalan seharusnya.Qiano sempat senang saat mendengar Katanya yang menyebar tentang Nata yang gay. Rasanya dia memiliki harapan untuk bersama dengan Nata."No, kenapa sih lo?"Qiano menoleh ke belakang, Fajar berjalan menghampirinya lalu duduk di sampingnya. Qiano menunduk lesu, ingin mengutarakan bebannya yang sulit di tanggung."Jar." panggilnya pada sang sahabat.Fajar memasang wajah serius."Hm, kenapa? Cerita aja." katanya dengan begitu siap mendengar keluh kesah Qiano, Fajar mengusap bahu sahabatnya itu."Janji?" Qiano menatap Fajar sayu, dia tidak bisa merahasiakan selamanya. Qiano percaya padanya—Fajar sahabatnya."gue mantan Irvan." lanjutnya.Fajar diam mencerna."Ha? Mantan apa?" tanyanya masih belum menjurus ke hal cinta.
Revan duduk dengan tenang, justru perasaannya kini senang. Sedangkan Bella menunduk dalam, dia terlihat malu."Kan! Mereka udah dewasa, ketakutan aku terjadikan!" Dewi menatap Dewa dengan emosi dan berkaca - kaca."Iyah, kalau tahu gini aku dari awal engga kasih izin.." Dewa meraih bahu Dewi, mengusapnya agar tenang."Kalau hamil gimana? Rieta pasti kecewa!" Dewi menyeka air matanya, perasaan Rieta pasti hancur kalau sampai itu terjadi.Revan terhenyak, rasa senangnya lenyap. Benar juga, Rieta kalau tahu pasti kecewa dan akan merasa bersalah. Revan harusnya menjaga Bella."Kalian keluarnya di dalam atau luar?" Dewi menatap Revan dengan masih marah.Bella semakin tidak berani mengangkat kepalanya.Revan menjilat bibirnya yang tiba - tiba kering, jakunnya mulai bergerak saat menelan ludah."Da-dalem ma.." Revan menunduk,
Bella tersenyum dengan tersipu, tangannya yang dingin kini di genggam erat oleh Revan. Rasanya Bella kembali pada masa ABG labil, berdebar dan malu - malu."Di sini kalo pagi emang gini, dingin.." Revan menatap Bella dengan senyum tipis.Revan masih tidak percaya kalau Bella ada di rumahnya, bahkan saat membuka mata Bella ada di sampingnya.Revan ingin menyinggung pernikahan tapi rasanya Revan ragu, dia tidak mau melukai Bella yang belum sembuh dari gagal nikahnya dengan Fadil."Iyah, parah dinginnya.." Bella mengamati sekitarnya, padahal matahari sudah menyapa cukup tinggi.Revan mengubah posisi, di peluknya Bella dari belakang."Biar anget.." katanya di atas kepala Bella, Revan menyandarkan kepalanya di kepala Bella.Bella menggigit bibirnya, menahan senyum yang takutnya terlalu lebar."Bell.." panggil Revan lembut.
Revan membantu Dewi untuk duduk, kini mereka sudah kembali ke rumah. Satu bulan lebih berlalu, operasi kecil pun dengan lancar Dewi laksanakan.Revan dan Bella pun mulai terlihat seperti semula, tanpa canggung atau berusaha menghindar. Hubungannya bisa di bilang membaik namun tidak sedekat dulu, Bella pun tidak seagresif dulu.Bella di sibukan dengan bisnis barunya yang baru buka, Bella membuka toko kecil namun berisi bunga dan peralatan lain untuk kado."Bella kok jadi jarang jenguk bunda?" tanya Dewi setelah meraih gelas air yang di berikan Revan.Dewa melirik sang istri."Mungkin sibuk, ayah denger Bella buka bisnis ya?" tanya Dewa.Revan mengangguk."Baru buka minggu kemarin.." jawab Revan."Kamu kenapa ga bantu Bella?" tanya Dewi dengan penasaran."Katanya Bella ga mau di ganggu dulu." balas Revan lesu, seminggu lebih tidak bertemu
Revan menghentikan mobilnya di depan pintu gerbang rumah Bella, sepertinya untuk bertemu Rieta tak bisa sekarang."Bunda di dalem?" tanya Revan setelah membantu Bella membuka sabuk pengaman.Bella menggeleng."Lagi di rumah tante, acara syukuran anaknya.." balasnya dengan suara parau dan mata sembab.Revan mengangguk samar, syukurlah. Jika pun ada Revan tak bisa bertemu sekarang. Revan harus bergiliran menjaga sang bunda dengan ayahnya yang harus lembur."Kapan pulang?" tanya Bella."Nunggu mama sembuh.." balas Revan dengan memperhatikan Bella yang ternyata gemukan.Revan merasa lega, itu artinya Fadil menjaga Bella dengan baik."Mau jenguk, tapi nunggu matanya sembuh.." jelas Bella dengan bibir di tekuk. Moodnya masih belum baik."Hm, gih masuk. Istirahat.."Bella mengangguk."Makasih untuk
Bella mendial nomor Fadil, tumben selama dua hari ini Fadil tidak segesit biasanya."Kak Bell.."Bella menoleh lalu tersenyum ramah."Eh ada Ratu.." sapanya seraya memeluknya sekilas."Kakak lagi belanja juga?" tanyanya dengan riang."Hm, kamu ke sini sama siapa?" tanya Bella seraya mengusap anak gadis yang kini sudah masuk ke kelas dua SMA itu."Loh?"Bella menoleh, sama kagetnya dengan Fadil kini. Orang yang sulit di hubungi olehnya ternyata sedang belanja."Kalian saling kenal?" tanya Ratu senang."aku sepupu kak Fadil kak dan aku kenal sama kak Bell karena waktu itu kak Bell bantu tolongin anjing Ratu yang kejebak ikatannya di besi pinggir jalan.." terangnya riang.Bella yang berpikiran negatif sontak tertawa pelan."Kirain dia selingkuh.." gemas Bella pada Fadil.Fadil tersenyum, meraih pinggan
Bella terus berceloteh di samping Revan yang kini tengah makan bersama Fadil, Dewa dan Dewi."Iyah Bell, udah makan dulu.." Revan menyimpan udang yang sudah di kupas ke nasi Bella."Makasih.." kata Bella seraya menyudahi celotehannya lalu melirik Fadil di samping kirinya.Fadil menyeka keringat di poni Bella dengan tissue lalu membantu Bella mengupas udang. Fadil harus menghentikan Revan, biar soal mengurus Bella kini menjadi urusannya.Revan melirik keduanya dengan mood down. Revan salah berpikir Bella akan terus menunggunya. Mungkin Revan terlalu percaya diri kalau Bella tidak akan berpaling."Makasih.." kata Bella saat Fadil memberikan udang yang sudah di kupas cangkangnya.Dewi mengamati gerak - gerik anaknya. Sebagai ibu dia sangat paham dengan perasaan Revan.Sudah berapa kali dirinya menasihati Revan tapi tetap saja tidak
Fadil menggeleng samar, Bella sudah makan langsung tidur siang. Pantas saja pipinya gembul, menggemaskan.Fadil memperhatikan posisi Bella yang tidur dengan posisi duduk dan kepala bersandar di kepala sofa.Nyaman namun nanti akan membuatnya sakit. Fadil memutuskan untuk memandang wajah Bella.Damai, bulu mata lentik, alis tebal dan hampir menyatu dengan bulu - bulu halus di keningnya."Monyet, kamu banyak bulu di wajah ternyata.." gumamnya seraya mengusap bulu halus itu lalu turun ke hidungnya yang mungil namun mancung.Hingga jempolnya berakhir di bibir tipis yang merona alami. Ada kumis tipis yang menghiasi.Hubungannya setelah berstatus masih bisa di bilang mingguan belum bulanan, apa boleh mengecupnya sekilas? Pikir Fadil."Mau cium Bella?"Fadil tersentak sangat kaget di duduknya bahkan membuat Bella terja
"Aduh! Dosennya semoga belum dateng" heboh Bella dengan kedua kakinya yang pendek terus berlari melewati lorong yang akan membawanya semakin masuk ke dalam kampus.Fadil menaikan satu alisnya saat melihat Bella berlari begitu saja tanpa meliriknya.Fadil menyusulnya lalu menarik jaket Bella yang sontak membuat gadis itu berhenti dengan memekik kaget."Kemana? Kelas kita di sana kali" tunjuk Fadil kearah sebrang Bella."Ha! Belum ada dosen?" tanya Bella dengan nafas terengah."Hm, makanya kalo lagi ngomong teleponnya jangan di matiin! Tahu rasakan!" cemoohnya seraya melepaskan jaket Bella.Bella menggeram, bukan salahnya tapi justru salah Fadil yang selalu berbicara setengah - setengah dan kadang tak jelas. Membuatnya salah paham terus."Au ah! Males gue sama lo!" amuk Bella lalu berlari pelan menuju kelas di ikuti Fadil yang berjalan santai.
Bella gelisah, Bella tengah berdiri di balik pilar. Mencoba bersembunyi dan mengintip Revan yang kini tengah berbicara dengan Melia, kakak kelas mereka."Bella hanya temankan? Terus kenapa kamu ga bisa terima aku?" tanyanya seraya meraih tangan Revan.Revan menatap Melia, gadis di depannya memang menarik tapi Revan tidak ingin terganggu oleh hubungan rumit di masa SMA.Revan hanya ingin lulus lalu terbang ke negara yang akan mendidiknya menjadi atlit."Sorry.." setelah mengucapkan itu Revan berlalu.Bella menghela nafas lega, namun juga prihatin atas penolakan Revan. Bella kembali menarik nafasnya, kali ini dengan berat.Orang terdekat saja di abaikan, apalagi orang luar. Bella semakin tidak bisa menjangkau Revan rasanya.Bella membawa langkahnya untuk kembali masuk ke dalam gedung sekolah yang semakin r