"Nata Giofar, kakak bisa panggil Nata." kata Nata memperkenalkan diri dengan senyum sopan.
"Giofar?" beo Karel sedikit terkejut.
Nata mengulum senyum, untuk pertama kalinya Nata bangga dengan nama belakangnya.
"Iyah kak, Giofar." senyum Nata kembali terbitkan.
"Woah! Kamu serius mau sama Kanya?" tanya Karel takjub.
Kanya merapatkan kuat - kuat bibirnya saat mendengar itu. Dasar memang rese kakaknya itu.
"Emangnya kenapa kak? Ada yang salah sama Kanya?" tanya Kanya penuh penekanan.
"Haha, lucu aja, cewek galak kayak kamu laku dek." kekeh Karel.
Karel berganti menatap Nata dengan serius, mengabaikan Kanya yang terlihat akan meledak itu.
Kanya bangun dari tidurnya saat mendengar suara ricuh perabotan di dapur. Seseorang sepertinya sedang memasak pikir Kanya dengan berjalan sempoyongan.Matanya bahkan masih saja menutup sesekali, kantuk masih bergelayut manja di kedua matanya.Saat mendengar pergerakan, Nata berbalik dengan tangan memegang spatula."Udah bangun. Sini, bantu aku masak." pintanya datar.Kanya menghampiri Nata dengan sebelah tangan mengucek matanya.Sudah seminggu Nata tidak menegurnya membuat Kanya nyaman sekaligus tidak nyaman. Dia cukup terganggu."Masak apa?" tanya Kanya dengan suara sedikit serak, mata sayu.Nata melirik Kanya sekilas."Nasi goreng biasa." jawabnya dengan acuh tak acuhKanya melirik Nata sekilas, Nata tampak berbeda setelah kejadian satu minggu yang lalu. Nata seperti menghindari Kanya. Itu nyata, bukan perasaanny
Nata mengantri di belakang Kanya, di ikuti siswa - siswi lainnya. Makan siang kali ini Kanya tampak murung, Kanya merasa gelisah akan perbuatannya dengan Nata yang tak berpikir panjang.Kanya merasa kembali menyesal. Padahal kejadian malam itu sudah lama berlalu."Maju." bisik Nata.Kanya tersadar lalu melangkah maju mengambil beberapa suir ayam balado. Kanya kembali diam membuat Nata mengamatinya dalam."Kita makan di tempat biasa."Kanya menoleh sekilas lalu mengangguk, tak ingin beradu argumen dengan Nata.Kanya masih tak percaya dengan apa yang di lakukannya. Pikirannya tidak bisa tenang.Kanya tahu Nata akan tanggung jawab tapi rasanya tetap saja tidak nyaman.Usia tidak ada yang tahu, harusnya dia sadar soal itu. Masa depan sulit di tebak.Perkataan bisa dengan mudah di ucapkan, tapi takdir tidak m
Nata melirik Qiano yang bertingkah aneh hari ini. Dia selalu mencuri - curi pandang ke arahnya. Nata merasa tidak memiliki salah apapun."Ada apa?" tanya Nata santai.Qiano terlihat gugup."Maksudnya?" tanya balik Qiano."Lo lirik - lirik gue, ada salah gue? Atau lo mau nyampein sesuatu?" Nata meraih ponselnya yang di mainkan Kanya."Pinjem dulu, sayang." izin Nata seraya mengetik sesuatu.Qiano melirik Kanya sekilas."Ga papa kok Nat, cuma seneng aja liat lo beda sekarang." jawab Qiano sekenanya."Em, kirain." balas Nata dengan masih mengetik sesuatu di ponselnya. Setelah selesai memberikannya pada Kanya lagi.Kanya menerima dengan senang lalu kembali melanjutkan acara main gamenya."Soal turnamen basket, Irvan ajak gue duel, soal turnamen sekolah kita sepakat ga akan turun." ujar Nata datar.Qiano hanya menga
Qiano menghela nafas lelah, perasaannya begitu rumit. Ada rasa cemburu yang hinggap di hatinya saat Nata sudah berada di jalan seharusnya.Qiano sempat senang saat mendengar Katanya yang menyebar tentang Nata yang gay. Rasanya dia memiliki harapan untuk bersama dengan Nata."No, kenapa sih lo?"Qiano menoleh ke belakang, Fajar berjalan menghampirinya lalu duduk di sampingnya. Qiano menunduk lesu, ingin mengutarakan bebannya yang sulit di tanggung."Jar." panggilnya pada sang sahabat.Fajar memasang wajah serius."Hm, kenapa? Cerita aja." katanya dengan begitu siap mendengar keluh kesah Qiano, Fajar mengusap bahu sahabatnya itu."Janji?" Qiano menatap Fajar sayu, dia tidak bisa merahasiakan selamanya. Qiano percaya padanya—Fajar sahabatnya."gue mantan Irvan." lanjutnya.Fajar diam mencerna."Ha? Mantan apa?" tanyanya masih belum menjurus ke hal cinta.
Irvan menghadang Qiano yang tengah berjalan dengan Fajar. Keduanya habis pergi ke minimarket."Kita harus ngomong." desak Irvan dengan melirik Fajar dingin.Fajar sontak menarik lengan Qiano."Gausah di ladenin." seret Fajar namun kembali di tahan Irvan."Gausah ikut campur." geramnya dengan dingin, menatap Fajar penuh peringatan dan permusuhan.Qiano menghela nafas malas."Di sini aja, dia udah tahu semuanya." balasnya dengan tak bertenaga.Irvan menyeringai."Wow, sedeket itu sampe berbagi rahasia?" takjubnya dengan tatapan mencemooh, merendahkan.Fajar menatap Irvan malas."Qiano udah berubah, dia udah punya jalannya sendiri. Jangan ganggu dia lagi." katanya dengan acuh dan juga jengkel."Lo ga tahu seserem apa dunia ini, kalo gini caranya, lo nantangin. Tunggu aja." Irvan pun meludah asal lalu berlalu.Fajar mengusap bahu Qiano."Udah biari
Adisty membantu ibunya yang tengah sakit - sakitan itu agar duduk lalu memakan buburnya. Adisty tidak keberatan masa remajanya terampas, dia lebih mementingkan keluarga."Ibu di makan dulu abis itu minum obatnya ya." di lemparnya senyum lembut.Benar - benar anak yang baik, tidak sering mengeluh walau terus di sakiti kenyataan.Wulan tersenyum kecil dengan mata sayu."Kamu engga main? Kamu engga bosen urus ibu?" tanyanya sendu, merasa bersalah.Adisty menggeleng."Engga, ibu lebih penting." jawabnya dengan tulus.Wulan mengusap kepala Adisty dengan lemah."Semoga pangeran yang jemput kamu nanti baik sama kamu, sebaik kamu sama ibu." do'anya tulus dengan di akhiri senyuman hangat.Adisty membalasnya dengan senyuman, dia belum berpikir sejauh itu tapi yang namanya do'a baik tetap saja harus di amini.Adisty tidak akan banyak berharap soal i
Kanya membenarkan topi pantai yang berada di kepalanya dengan mata menyipit karena silau. Cuaca cukup terik, tapi justru bagus."Banyak yang ikut ga?" tanya Kanya dengan dahi semakin mengkerut karena silau.Nata mengangguk lalu melilitkan tangannya di pinggang Kanya dengan mesra."Mereka lagi di perjalanan." jawabnya pelan setengah bergumam di samping telinga Kanya.Kanya hanya mangut - mangur samar sebagai respon. Wajahnya terlihat kembali acuh namun menggemaskan.Nata mengecup bahu Kanya gemas."Wangi banget sih kamu, pengennya aku seret ke ka—"Kanya memukul bahu Nata cukup kuat."Mulai cabul lagi!" gemasnya dengan bibir di tekuk geram.Nata tertawa pelan."Cuma sama kamu kok cantik." godanya dengan menghadiahi kedipan mata..Kanya mendengus dan mencoba mengabaikan Nata. Kanya merasa tidak kenal dengan Nata yang s
Nata dan Kanya terlihat sudah siap untuk berjemur di pantai yang ada di pulau milik Kanya. Tiba - tiba liburannya berubah karena ulah Kanya. Nata tidak bisa menolak."Yang lain mana ya?" tanya Kanya seraya celingukan, batang hidung para sahabat Nata kemana?"Masih siap - siap kali, sayang." balas Nata seraya duduk di bawah payung pantai yang sudah di siapkan."sini duduk." lanjutnya dengan mengulurkan sebelah tangan untuk Kanya jadikan pegangan.Kanya duduk."Kamu bikin mereka satu ruangan - satu ruangan?" tanyanya dengan menyamankan posisi.Nata menggeleng."Engga, Fajar aja yang ngotot satu ruangan, sedangkan Qiano, Syasyanya yang ngotot." jelasnya acuh tak acuh."Oh, takut kali ya kayak aku kalau pisah - pisah kamar. Serem emang kalau sendiri." aku Kanya dengan terkekeh pelan, galak - galak dia tetap penakut.Nata hanya mengangguk."Mungkin, tolon
Revan duduk dengan tenang, justru perasaannya kini senang. Sedangkan Bella menunduk dalam, dia terlihat malu."Kan! Mereka udah dewasa, ketakutan aku terjadikan!" Dewi menatap Dewa dengan emosi dan berkaca - kaca."Iyah, kalau tahu gini aku dari awal engga kasih izin.." Dewa meraih bahu Dewi, mengusapnya agar tenang."Kalau hamil gimana? Rieta pasti kecewa!" Dewi menyeka air matanya, perasaan Rieta pasti hancur kalau sampai itu terjadi.Revan terhenyak, rasa senangnya lenyap. Benar juga, Rieta kalau tahu pasti kecewa dan akan merasa bersalah. Revan harusnya menjaga Bella."Kalian keluarnya di dalam atau luar?" Dewi menatap Revan dengan masih marah.Bella semakin tidak berani mengangkat kepalanya.Revan menjilat bibirnya yang tiba - tiba kering, jakunnya mulai bergerak saat menelan ludah."Da-dalem ma.." Revan menunduk,
Bella tersenyum dengan tersipu, tangannya yang dingin kini di genggam erat oleh Revan. Rasanya Bella kembali pada masa ABG labil, berdebar dan malu - malu."Di sini kalo pagi emang gini, dingin.." Revan menatap Bella dengan senyum tipis.Revan masih tidak percaya kalau Bella ada di rumahnya, bahkan saat membuka mata Bella ada di sampingnya.Revan ingin menyinggung pernikahan tapi rasanya Revan ragu, dia tidak mau melukai Bella yang belum sembuh dari gagal nikahnya dengan Fadil."Iyah, parah dinginnya.." Bella mengamati sekitarnya, padahal matahari sudah menyapa cukup tinggi.Revan mengubah posisi, di peluknya Bella dari belakang."Biar anget.." katanya di atas kepala Bella, Revan menyandarkan kepalanya di kepala Bella.Bella menggigit bibirnya, menahan senyum yang takutnya terlalu lebar."Bell.." panggil Revan lembut.
Revan membantu Dewi untuk duduk, kini mereka sudah kembali ke rumah. Satu bulan lebih berlalu, operasi kecil pun dengan lancar Dewi laksanakan.Revan dan Bella pun mulai terlihat seperti semula, tanpa canggung atau berusaha menghindar. Hubungannya bisa di bilang membaik namun tidak sedekat dulu, Bella pun tidak seagresif dulu.Bella di sibukan dengan bisnis barunya yang baru buka, Bella membuka toko kecil namun berisi bunga dan peralatan lain untuk kado."Bella kok jadi jarang jenguk bunda?" tanya Dewi setelah meraih gelas air yang di berikan Revan.Dewa melirik sang istri."Mungkin sibuk, ayah denger Bella buka bisnis ya?" tanya Dewa.Revan mengangguk."Baru buka minggu kemarin.." jawab Revan."Kamu kenapa ga bantu Bella?" tanya Dewi dengan penasaran."Katanya Bella ga mau di ganggu dulu." balas Revan lesu, seminggu lebih tidak bertemu
Revan menghentikan mobilnya di depan pintu gerbang rumah Bella, sepertinya untuk bertemu Rieta tak bisa sekarang."Bunda di dalem?" tanya Revan setelah membantu Bella membuka sabuk pengaman.Bella menggeleng."Lagi di rumah tante, acara syukuran anaknya.." balasnya dengan suara parau dan mata sembab.Revan mengangguk samar, syukurlah. Jika pun ada Revan tak bisa bertemu sekarang. Revan harus bergiliran menjaga sang bunda dengan ayahnya yang harus lembur."Kapan pulang?" tanya Bella."Nunggu mama sembuh.." balas Revan dengan memperhatikan Bella yang ternyata gemukan.Revan merasa lega, itu artinya Fadil menjaga Bella dengan baik."Mau jenguk, tapi nunggu matanya sembuh.." jelas Bella dengan bibir di tekuk. Moodnya masih belum baik."Hm, gih masuk. Istirahat.."Bella mengangguk."Makasih untuk
Bella mendial nomor Fadil, tumben selama dua hari ini Fadil tidak segesit biasanya."Kak Bell.."Bella menoleh lalu tersenyum ramah."Eh ada Ratu.." sapanya seraya memeluknya sekilas."Kakak lagi belanja juga?" tanyanya dengan riang."Hm, kamu ke sini sama siapa?" tanya Bella seraya mengusap anak gadis yang kini sudah masuk ke kelas dua SMA itu."Loh?"Bella menoleh, sama kagetnya dengan Fadil kini. Orang yang sulit di hubungi olehnya ternyata sedang belanja."Kalian saling kenal?" tanya Ratu senang."aku sepupu kak Fadil kak dan aku kenal sama kak Bell karena waktu itu kak Bell bantu tolongin anjing Ratu yang kejebak ikatannya di besi pinggir jalan.." terangnya riang.Bella yang berpikiran negatif sontak tertawa pelan."Kirain dia selingkuh.." gemas Bella pada Fadil.Fadil tersenyum, meraih pinggan
Bella terus berceloteh di samping Revan yang kini tengah makan bersama Fadil, Dewa dan Dewi."Iyah Bell, udah makan dulu.." Revan menyimpan udang yang sudah di kupas ke nasi Bella."Makasih.." kata Bella seraya menyudahi celotehannya lalu melirik Fadil di samping kirinya.Fadil menyeka keringat di poni Bella dengan tissue lalu membantu Bella mengupas udang. Fadil harus menghentikan Revan, biar soal mengurus Bella kini menjadi urusannya.Revan melirik keduanya dengan mood down. Revan salah berpikir Bella akan terus menunggunya. Mungkin Revan terlalu percaya diri kalau Bella tidak akan berpaling."Makasih.." kata Bella saat Fadil memberikan udang yang sudah di kupas cangkangnya.Dewi mengamati gerak - gerik anaknya. Sebagai ibu dia sangat paham dengan perasaan Revan.Sudah berapa kali dirinya menasihati Revan tapi tetap saja tidak
Fadil menggeleng samar, Bella sudah makan langsung tidur siang. Pantas saja pipinya gembul, menggemaskan.Fadil memperhatikan posisi Bella yang tidur dengan posisi duduk dan kepala bersandar di kepala sofa.Nyaman namun nanti akan membuatnya sakit. Fadil memutuskan untuk memandang wajah Bella.Damai, bulu mata lentik, alis tebal dan hampir menyatu dengan bulu - bulu halus di keningnya."Monyet, kamu banyak bulu di wajah ternyata.." gumamnya seraya mengusap bulu halus itu lalu turun ke hidungnya yang mungil namun mancung.Hingga jempolnya berakhir di bibir tipis yang merona alami. Ada kumis tipis yang menghiasi.Hubungannya setelah berstatus masih bisa di bilang mingguan belum bulanan, apa boleh mengecupnya sekilas? Pikir Fadil."Mau cium Bella?"Fadil tersentak sangat kaget di duduknya bahkan membuat Bella terja
"Aduh! Dosennya semoga belum dateng" heboh Bella dengan kedua kakinya yang pendek terus berlari melewati lorong yang akan membawanya semakin masuk ke dalam kampus.Fadil menaikan satu alisnya saat melihat Bella berlari begitu saja tanpa meliriknya.Fadil menyusulnya lalu menarik jaket Bella yang sontak membuat gadis itu berhenti dengan memekik kaget."Kemana? Kelas kita di sana kali" tunjuk Fadil kearah sebrang Bella."Ha! Belum ada dosen?" tanya Bella dengan nafas terengah."Hm, makanya kalo lagi ngomong teleponnya jangan di matiin! Tahu rasakan!" cemoohnya seraya melepaskan jaket Bella.Bella menggeram, bukan salahnya tapi justru salah Fadil yang selalu berbicara setengah - setengah dan kadang tak jelas. Membuatnya salah paham terus."Au ah! Males gue sama lo!" amuk Bella lalu berlari pelan menuju kelas di ikuti Fadil yang berjalan santai.
Bella gelisah, Bella tengah berdiri di balik pilar. Mencoba bersembunyi dan mengintip Revan yang kini tengah berbicara dengan Melia, kakak kelas mereka."Bella hanya temankan? Terus kenapa kamu ga bisa terima aku?" tanyanya seraya meraih tangan Revan.Revan menatap Melia, gadis di depannya memang menarik tapi Revan tidak ingin terganggu oleh hubungan rumit di masa SMA.Revan hanya ingin lulus lalu terbang ke negara yang akan mendidiknya menjadi atlit."Sorry.." setelah mengucapkan itu Revan berlalu.Bella menghela nafas lega, namun juga prihatin atas penolakan Revan. Bella kembali menarik nafasnya, kali ini dengan berat.Orang terdekat saja di abaikan, apalagi orang luar. Bella semakin tidak bisa menjangkau Revan rasanya.Bella membawa langkahnya untuk kembali masuk ke dalam gedung sekolah yang semakin r