Nata dan Kanya terlihat sudah siap untuk berjemur di pantai yang ada di pulau milik Kanya. Tiba - tiba liburannya berubah karena ulah Kanya. Nata tidak bisa menolak.
"Yang lain mana ya?" tanya Kanya seraya celingukan, batang hidung para sahabat Nata kemana?
"Masih siap - siap kali, sayang." balas Nata seraya duduk di bawah payung pantai yang sudah di siapkan."sini duduk." lanjutnya dengan mengulurkan sebelah tangan untuk Kanya jadikan pegangan.
Kanya duduk."Kamu bikin mereka satu ruangan - satu ruangan?" tanyanya dengan menyamankan posisi.
Nata menggeleng."Engga, Fajar aja yang ngotot satu ruangan, sedangkan Qiano, Syasyanya yang ngotot." jelasnya acuh tak acuh.
"Oh, takut kali ya kayak aku kalau pisah - pisah kamar. Serem emang kalau sendiri." aku Kanya dengan terkekeh pelan, galak - galak dia tetap penakut.
Nata hanya mengangguk."Mungkin, tolon
Qiano menggaruk tengkuknya dengan tidak nyaman, ingatannya perlahan mulai kembali dan menyapa.Qiano tidak percaya bisa menyentuh perempuan dengan seintens itu, tapi kenapa harus Syasya?!"Itu obat dari sepupu gue, perangsang! Dia ngasih ke gue tapi gue ga mau pake! Dia mau nyusul ke sini bareng ceweknya dan mau ambil lagi, gue lupa malah titip sama lo gara - gara tas penuh sama peralatan Kanya!" Nata merasa bersalah saat ini.Pikirannya ikut kalut. Biasanya Nata akan masa bodoh dengan hal yang sudah terjadi. Tapi, kali ini berbeda. Entah apa yang membedakan, Nata tidak bisa menjelaskan.Kepalanya berdenyut, sungguh sial! Dia juga heran, kenapa sepupunya itu bisa tahu dan punya obat seperti itu.Dasar buaya memang sepupunya itu!Fajar terlihat bingung juga harus bagaimana, Semua sudah terjadi. Dia hanya melihat reaksi Qiano dan Nata. Sungguh rumi
Satu bulan berlalu semenjak liburan hari itu. Waktu terus maju walau Qiano masih berusaha menolak Syasya.Fajar dan Adisty pun semakin lengket.Qiano melempar senyum, Fajar pun sama. Mereka menatap Nata yang terlihat bahagia hari ini. Siapa sangka, acara pertunangan malah menjadi acara pernikahan. Privat.Kanya dan Nata ketahuan selesai bercinta oleh Ayah Kanya.Semua keluarga pun malamnya mendadak kumpul.Acara yang rencananya tunangan pun di ganti menjadi pernikahan, agar semua selamat. Entah dari dosa atau gunjingan masyarakat."Kanya, cantik ya." Adisty bersuara, membuat Fajar menoleh, menatapnya dengan penuh ketertarikan."Di mata aku, kamu yang cantik, Dis."Adisty menoleh lalu tersenyum tipis."Makasih, untuk semuanya juga. Kamu bikin aku jadi banyak pengalaman baru—" senyumnya semakin merekah."ibu bahkan t
Qiano mengkunci pintu, mengusap lengannya yang masih sakit lalu menghampiri Syasya yang sudah terlelap di atas kasur miliknya.Di suruh pulang pasti tidak mau. Jelas saja gadis itu tidak mau pulang, pasti saat di rumah nanti akan kembali di pukuli.Qiano meraih beberapa salep luka di nakas, mengoleskannya pada lengan mungil, kurus yang kini banyak lebam itu.Sungguh jahat! Pasti sakit saat di cubitnya karena berbekas ketara sekali.Dalam tidurnya sesekali Syasya meringis, alis dan dahinya mengkerut.Qiano memperiksa yang lainnya, kaki yang putih itu kini ada garis - garis merah seperti bekas di pukul oleh beberapa lidi. Di paha Syasya kembali ada memar, sungguh kekerasan pada anak.Qiano menatap wajah yang masih terlelap itu. Nasib mereka begitu sama walau Qiano sudah tidak lagi.Rasa iba mulai tu
Padahal masih pagi, sudah menjadi bahan gosip. Membuat Kanya harus semakin menebalkan rasa sabar dalam jiwanya.Hanya satu hari tidak sekolah, saat besoknya sekolah. Semua sudah berubah.Gosip tentang gaynya Qiano dan Nata padahal masih hangat dan di bahas, tapi kini berubah dengan gosip pernikahan Kanya dan Nata yang privat."Kayaknya hamil deh." kata siswi yang terlihat iri itu.Kanya menoleh refleks, menatap sebal gadis dengan bibir merah di meja sampingnya itu."Makan, yang." Nata mengusap lengan Kanya sekilas, sebagai kode untuk mengabaikan mereka."Jangan kenceng - kenceng, kedengeran bego!" kata siswi di samping gadis berbibir merah itu."Iyah - iyah, gue lupa. Ngomong - ngomong, Nata jadi ga jutek ya sekarang, makin manis kalau ramah.""Namanya juga punya orang, pasti lebih menggirukan di banding punya diri sen
Nata dan Kanya berjalan menuju kamar di rumah Nata. Suasana masih sepi kalau sore di hari kerja. Garsela sibuk mengekori Andre bekerja."Aku mandi duluan." Kanya melepaskan genggaman Nata pada jemarinya."Hm, aku cek saham dulu."Kanya terkekeh geli."Gaya banget cek saham." ledeknya seraya melepas beberapa hiasan di rambut.Nata melirik Kanya sebal."Aku gini - gini calon sultan loh, kamu aja udah aku kasih pulau." sewotnya.Kanya tertawa pelan."Iyah - iyah percaya, aku bercanda aja." di kecupnya pipi Nata lalu berlalu ke kamar mandi.Nata hanya mendengus lalu mulai serius pada ponselnya, sahamnya terlihat stabil. Membuat Nata bahagia.Nata merebahkan tubuhnya, sambil menunggu Kanya dia akan tidur sebentar.Tak lama, Kanya keluar dengan celana pendek dan kaos kebesaran. Terlihat santai sekali."Nat, bang
Nata menyelipkan rambut Kanya yang tertiup angin. Keduanya tengah berjalan menuju ke depan pintu rumah Qiano."Iket aja, gerah?" Nata bertanya saat melihat Kanya seperti kegerahan."Terus pamerin hasil karya kamu?" tanya Kanya senewen, wajah juteknya masih selalu membius Nata.Nata tertawa pelan."Sensi banget, bukannya udah normal ya? Kita sah sayang." di kecupnya rambut Kanya gemas."Sana ah! Gerah tahu!" semprotnya sebelum menekan bel rumah Qiano."Apa Fajar udah dateng?" Nata memindai pekarangan rumah Qiano, mencari motor atau mobil Fajar."kayaknya belum." gumamnya tepat dengan pintu terbuka."Masuk." Qiano menyambut dengan wajah datarnya yang bagi mereka sudah biasa."Fajar belum ke sini ya?" tanya Kanya pada Qiano."Hm, katanya ga bisa." balas Qiano dengan terus membawa langkahnya ke lantai dua."K
Qiano mengusap wajahnya kasar, sebenarnya apa yang dia lakukan? Menyetubuhi Syasya lagi? Jantungnya berdebar gila.Qiano menoleh pada Syasya yang sudah terlelap dengan tubuh telanjang di peluk selimut.Qiano menelan ludah, entah kenapa dia bisa. Apa soal dia gay itu karena kesalahan? Karena bingungnya dengan perasaannya sendiri? Entahlah! Qiano pusing!Qiano menjambak rambutnya, mengerang dalam hati. Merutuki dirinya sendiri yang hanyut terbawa suasana.Malam ini sepertinya dia akan susah tidur karena memikirkan kejadian barusan.Qiano melirik Syasya lagi, si menggemaskan itu sudah tidur dengan mendengkur halus saking lelahnya.Qiano bisa merasakan panas di kedua pipinya. Hari yang benar - benar gila. Lagi, dia mengerang dalan hati, mencoba mencari jawaban namun tidak ada jawaban."Gue sebenernya kenapa?" erangnya tertahan
Nata melirik Qiano yang seperti banyak beban pikiran lalu melirik Fajar yang kebalikan dari Qiano—sangat cerah dan bahagia.Semenjak memiliki pendamping masing - masing mereka jadi sibuk sendiri."Lo kenapa?" Nata bertanya pada Qiano yang terus menghela nafas, seolah memang ada beban yang memberatkan bahunya.Fajar yang tengah merasakan euforia bahagia mendadak pudar, beralih mengamati Qiano dengan serius."Kenapa?" Fajar ikut bertanya.Qiano menghela nafas pendek."Syasya, gue gila kayaknya." desahnya dengan begitu penuh beban.Fajar dan Nata semakin terlihat serius. Seolah siap mendengar apapun yang ingin Qiano utarakan."Kenapa Syasya?" Fajar bertanya dengan alis semakin bertaut.Qiano meremas rambutnya dengan mendesah panjang."Gue nodai dia kemarin, gue ga tahu kenapa bisa gue gituan lagi sama dia." akun
Revan duduk dengan tenang, justru perasaannya kini senang. Sedangkan Bella menunduk dalam, dia terlihat malu."Kan! Mereka udah dewasa, ketakutan aku terjadikan!" Dewi menatap Dewa dengan emosi dan berkaca - kaca."Iyah, kalau tahu gini aku dari awal engga kasih izin.." Dewa meraih bahu Dewi, mengusapnya agar tenang."Kalau hamil gimana? Rieta pasti kecewa!" Dewi menyeka air matanya, perasaan Rieta pasti hancur kalau sampai itu terjadi.Revan terhenyak, rasa senangnya lenyap. Benar juga, Rieta kalau tahu pasti kecewa dan akan merasa bersalah. Revan harusnya menjaga Bella."Kalian keluarnya di dalam atau luar?" Dewi menatap Revan dengan masih marah.Bella semakin tidak berani mengangkat kepalanya.Revan menjilat bibirnya yang tiba - tiba kering, jakunnya mulai bergerak saat menelan ludah."Da-dalem ma.." Revan menunduk,
Bella tersenyum dengan tersipu, tangannya yang dingin kini di genggam erat oleh Revan. Rasanya Bella kembali pada masa ABG labil, berdebar dan malu - malu."Di sini kalo pagi emang gini, dingin.." Revan menatap Bella dengan senyum tipis.Revan masih tidak percaya kalau Bella ada di rumahnya, bahkan saat membuka mata Bella ada di sampingnya.Revan ingin menyinggung pernikahan tapi rasanya Revan ragu, dia tidak mau melukai Bella yang belum sembuh dari gagal nikahnya dengan Fadil."Iyah, parah dinginnya.." Bella mengamati sekitarnya, padahal matahari sudah menyapa cukup tinggi.Revan mengubah posisi, di peluknya Bella dari belakang."Biar anget.." katanya di atas kepala Bella, Revan menyandarkan kepalanya di kepala Bella.Bella menggigit bibirnya, menahan senyum yang takutnya terlalu lebar."Bell.." panggil Revan lembut.
Revan membantu Dewi untuk duduk, kini mereka sudah kembali ke rumah. Satu bulan lebih berlalu, operasi kecil pun dengan lancar Dewi laksanakan.Revan dan Bella pun mulai terlihat seperti semula, tanpa canggung atau berusaha menghindar. Hubungannya bisa di bilang membaik namun tidak sedekat dulu, Bella pun tidak seagresif dulu.Bella di sibukan dengan bisnis barunya yang baru buka, Bella membuka toko kecil namun berisi bunga dan peralatan lain untuk kado."Bella kok jadi jarang jenguk bunda?" tanya Dewi setelah meraih gelas air yang di berikan Revan.Dewa melirik sang istri."Mungkin sibuk, ayah denger Bella buka bisnis ya?" tanya Dewa.Revan mengangguk."Baru buka minggu kemarin.." jawab Revan."Kamu kenapa ga bantu Bella?" tanya Dewi dengan penasaran."Katanya Bella ga mau di ganggu dulu." balas Revan lesu, seminggu lebih tidak bertemu
Revan menghentikan mobilnya di depan pintu gerbang rumah Bella, sepertinya untuk bertemu Rieta tak bisa sekarang."Bunda di dalem?" tanya Revan setelah membantu Bella membuka sabuk pengaman.Bella menggeleng."Lagi di rumah tante, acara syukuran anaknya.." balasnya dengan suara parau dan mata sembab.Revan mengangguk samar, syukurlah. Jika pun ada Revan tak bisa bertemu sekarang. Revan harus bergiliran menjaga sang bunda dengan ayahnya yang harus lembur."Kapan pulang?" tanya Bella."Nunggu mama sembuh.." balas Revan dengan memperhatikan Bella yang ternyata gemukan.Revan merasa lega, itu artinya Fadil menjaga Bella dengan baik."Mau jenguk, tapi nunggu matanya sembuh.." jelas Bella dengan bibir di tekuk. Moodnya masih belum baik."Hm, gih masuk. Istirahat.."Bella mengangguk."Makasih untuk
Bella mendial nomor Fadil, tumben selama dua hari ini Fadil tidak segesit biasanya."Kak Bell.."Bella menoleh lalu tersenyum ramah."Eh ada Ratu.." sapanya seraya memeluknya sekilas."Kakak lagi belanja juga?" tanyanya dengan riang."Hm, kamu ke sini sama siapa?" tanya Bella seraya mengusap anak gadis yang kini sudah masuk ke kelas dua SMA itu."Loh?"Bella menoleh, sama kagetnya dengan Fadil kini. Orang yang sulit di hubungi olehnya ternyata sedang belanja."Kalian saling kenal?" tanya Ratu senang."aku sepupu kak Fadil kak dan aku kenal sama kak Bell karena waktu itu kak Bell bantu tolongin anjing Ratu yang kejebak ikatannya di besi pinggir jalan.." terangnya riang.Bella yang berpikiran negatif sontak tertawa pelan."Kirain dia selingkuh.." gemas Bella pada Fadil.Fadil tersenyum, meraih pinggan
Bella terus berceloteh di samping Revan yang kini tengah makan bersama Fadil, Dewa dan Dewi."Iyah Bell, udah makan dulu.." Revan menyimpan udang yang sudah di kupas ke nasi Bella."Makasih.." kata Bella seraya menyudahi celotehannya lalu melirik Fadil di samping kirinya.Fadil menyeka keringat di poni Bella dengan tissue lalu membantu Bella mengupas udang. Fadil harus menghentikan Revan, biar soal mengurus Bella kini menjadi urusannya.Revan melirik keduanya dengan mood down. Revan salah berpikir Bella akan terus menunggunya. Mungkin Revan terlalu percaya diri kalau Bella tidak akan berpaling."Makasih.." kata Bella saat Fadil memberikan udang yang sudah di kupas cangkangnya.Dewi mengamati gerak - gerik anaknya. Sebagai ibu dia sangat paham dengan perasaan Revan.Sudah berapa kali dirinya menasihati Revan tapi tetap saja tidak
Fadil menggeleng samar, Bella sudah makan langsung tidur siang. Pantas saja pipinya gembul, menggemaskan.Fadil memperhatikan posisi Bella yang tidur dengan posisi duduk dan kepala bersandar di kepala sofa.Nyaman namun nanti akan membuatnya sakit. Fadil memutuskan untuk memandang wajah Bella.Damai, bulu mata lentik, alis tebal dan hampir menyatu dengan bulu - bulu halus di keningnya."Monyet, kamu banyak bulu di wajah ternyata.." gumamnya seraya mengusap bulu halus itu lalu turun ke hidungnya yang mungil namun mancung.Hingga jempolnya berakhir di bibir tipis yang merona alami. Ada kumis tipis yang menghiasi.Hubungannya setelah berstatus masih bisa di bilang mingguan belum bulanan, apa boleh mengecupnya sekilas? Pikir Fadil."Mau cium Bella?"Fadil tersentak sangat kaget di duduknya bahkan membuat Bella terja
"Aduh! Dosennya semoga belum dateng" heboh Bella dengan kedua kakinya yang pendek terus berlari melewati lorong yang akan membawanya semakin masuk ke dalam kampus.Fadil menaikan satu alisnya saat melihat Bella berlari begitu saja tanpa meliriknya.Fadil menyusulnya lalu menarik jaket Bella yang sontak membuat gadis itu berhenti dengan memekik kaget."Kemana? Kelas kita di sana kali" tunjuk Fadil kearah sebrang Bella."Ha! Belum ada dosen?" tanya Bella dengan nafas terengah."Hm, makanya kalo lagi ngomong teleponnya jangan di matiin! Tahu rasakan!" cemoohnya seraya melepaskan jaket Bella.Bella menggeram, bukan salahnya tapi justru salah Fadil yang selalu berbicara setengah - setengah dan kadang tak jelas. Membuatnya salah paham terus."Au ah! Males gue sama lo!" amuk Bella lalu berlari pelan menuju kelas di ikuti Fadil yang berjalan santai.
Bella gelisah, Bella tengah berdiri di balik pilar. Mencoba bersembunyi dan mengintip Revan yang kini tengah berbicara dengan Melia, kakak kelas mereka."Bella hanya temankan? Terus kenapa kamu ga bisa terima aku?" tanyanya seraya meraih tangan Revan.Revan menatap Melia, gadis di depannya memang menarik tapi Revan tidak ingin terganggu oleh hubungan rumit di masa SMA.Revan hanya ingin lulus lalu terbang ke negara yang akan mendidiknya menjadi atlit."Sorry.." setelah mengucapkan itu Revan berlalu.Bella menghela nafas lega, namun juga prihatin atas penolakan Revan. Bella kembali menarik nafasnya, kali ini dengan berat.Orang terdekat saja di abaikan, apalagi orang luar. Bella semakin tidak bisa menjangkau Revan rasanya.Bella membawa langkahnya untuk kembali masuk ke dalam gedung sekolah yang semakin r