Kanya mengusap lehernya dengan masih tersedu - sedu, langkahnya dia bawa masuk ke dalam asrama. Kanya bergegas menaiki kasur lalu menenggelamkan tubuhnya di dalam selimut dan kembali terisak.
Kanya bahkan heran, biasanya kebanyakan orang akan terobsesi pada bibir, ini malah lehernya. Aneh memang dan lebih kesalnya lagi Kanya semakin di buat yakin kalau Nata itu normal!
"Bunda Kanya kangen hiks Huwaaa Nata sialan! Brengsek! Gay gila! Bajingan! Pembohong!" raung Kanya seraya menendang - nendang selimut.
Nata yang baru masuk mengulum senyum geli, baru kali ini ada orang yang menghujatnya seterang - terangan begini dan lagi bukannya kesal dia malah geli, benar - benar gila! pikir Nata heran sendiri.
Nata membuka pintu kamar Kanya, Nata menggeleng pelan. Dasar gadis ceroboh! Bukannya mengunci pintu malah sibuk menangis tidak jelas.
Nata meraih Selimut yang sedang di tendang Kanya sekali hentak, membuat Kanya menghentikan aksi menghujatnya.
Tatapannya menajam, mata bengkak dengan ingus di hidung yang memerah itu terlihat menggemaskan.
"Ngapain?" wajah Nata kembali datar.
Kanya mendengus lalu sibuk dengan air matanya. Nata melirik rok Kanya yang naik, dengan cepat Nata merapihkannya.
Kanya kembali menatap Nata lalu menatap roknya."Kamu ngapaian?!" teriak Kanya histeris, mengamuk dengan menatap Nata semakin tajam.
Nata menghembuskan nafas pendek."Ke buka! Ayo keluar, saatnya makan siang—" ajak Nata seraya menarik pelan tangan Kanya yang kini tetap mempertahankan posisinya.
"Ga selera!" geram Kanya dengan bibir di lipat kesal.
Nata mengulas senyum samar, jadi Kanya ingin bermain tarik - ulur dengannya pikir Nata geli baiklah dia akan mengikuti permainan Kanya.
Nata menarik lagi tangan Kanya, Kanya pun berusaha menarik tangannya berlawanan. Terus berulang - ulang, hingga Nata menghentikan aksinya Kanya pun tidak sengaja menarik Nata hingga jatuh ke sampingnya.
Kanya membolakan matanya kaget, Nata tidak buang - buang waktu, tidak ingin hilang kesempatan juga. Di usapnya leher Kanya sekilas.
Nata bisa mencium wangi Kanya yang menyeruak kuat ke dalam hidungnya. Leher mulus, jenjang dan wangi, benar - benar bisa membuat Nata berdebar. Padahal tubuh Kanya terbilang mungil tapi lehernya begitu jenjang dan cantik.
Kanya mendorong tubuh Nata yang begitu berat dengan tangan dan kakinya, jelas saja karena Nata pemain basket. Badannya yang tinggi itu sangat berotot, membuatnya berat, entah karena mungkin tubuhnya saja yang mungil.
"Argh! Cepet awas! Turun! Kenapa berat banget sih! Dosa kebanyakan sih! Nata pergi ga?!" teriak Kanya dengan bersusah payah.
Kanya ngos - ngosan, Nata masih betah di posisinya membuat Kanya menggeram kesal.
Nata mendekat, membisikan sesuatu ke telinga Kanya."Bawel! Pokoknya kamu punyaku ya Kanya." setelah itu Nata mengulum senyum.
Kanya semakin kesal, mengabaikan debaran jantungnya yang tiba - tiba menggila."Ih! Turun sana!" teriak Kanya dengan menendang - nendang asal.
Nata beranjak seraya menarik tangan Kanya agar ikut beranjak."Makanya nurut!" di sentilnya kening Kanya pelan.
Kanya menarik tangannya dengan bengis, tatapannya menatap Nata tidak santai.
"Kamu baru lakuin pelecehan! Usap - usap leher, ga sopan! Pokoknya aku aduin pihak sekolah!" teriak Kanya seraya bergegas keluar kamar, tidak peduli dengan rambutnya yang berantakan atau matanya yang bengkak.
Kanya terus membawa langkah cepatnya menuju ruang guru. Sesampainya di sana Kanya mencari ibu Puja, ketua asramanya.
"Cari siapa?" tanya pak Darto, guru olah raga Kanya.
"Ibu Puja pak, di mana ya?"
Darto meraih kopinya lalu melirik Kanya."Bu Puja ga datang hari ini, anaknya sakit." terangnya.
Kanya mendesah kecewa."Yaudah kalau gitu, terima kasih pak." lirih Kanya dengan lunglai.
Darto mengangguk lalu menyesap kopinya.
Kanya membawa langkahnya keluar ruang guru, lengannya menyeka air mata dan merapihkan rambut. Namun langkahnya terhenti karena Nata menghadang jalannya.
"Tempat makan di sana." tunjuk Nata ke arah belakang Kanya.
"Bukan urusan kamu! Minggir!" ketus Kanya seraya membawa langkahnya melewati Nata.
Nata menahan tangan Kanya lalu menariknya paksa."Jangan bikin aku lakuin hal gila lagi! Ayo cepet!" paksa Nata dengan terus menyeret Kanya yang masih terus menolak itu.
"Lepas! Sakit Nata!" bentak Kanya membuat Nata menghentikan langkahnya.
"Lo berani ngebentak?" tanya Nata dengan senyum devil mulai terbit.
Kanya menelan ludah, wajah kesalnya berubah tegang saat melihat perubahan Nata."Ma-maaf." cicit Kanya menciut takut.
Kanya mengedarkan tatapannya pada siswa - siswi yang tengah melihat ke arahnya.
Nata melonggarkan cekalannya lalu kembali melangkahkan kakinya melewati kerumunan. Kanya yang di seret pelan hanya bisa menunduk.
"Kayaknya mereka beneran pacaran deh, seneng rasanya kesayangan gue ga Gay." kata siswi dengan rambut pendek sebahu.
"Bener, gue juga seneng bukan marah liat mereka deket, setidaknya saat mereka putus gue bisa deketin." balas temannya.
"Bener banget."
***
Nata merapihkan rambut Kanya dengan sebelah tangannya membuat Kanya menoleh.
Nata melirik leher yang terlihat saat si empunya mendongkak menatapnya itu dengan senyum kecil. Perlahan Nata memutar kepala Kanya agar kembali menatap kedepan.
Nata mengukur tinggi Kanya, ternyata hanya sebawah dada. Pendek sekali, pantas saja gadis itu selalu mendongkak bila menatapnya. Kasihan pasti lehernya pegal, lain kali dia akan menyamakan tingginya dengan Kanya kalau mengobrol. Terlihat konyol pun dia tidak peduli.
Kanya mengabaikan Nata. Dengan malas Kanya menyendok nasi lalu kembali mengantri. Kanya membolakan matanya saat melihat Nata menambahkan nasi pada piringnya.
"Ih! Kebanyakan!" keluh Kanya dengan kesal.
Nata mengkode Kanya untuk segera maju, dengan kesal Kanya pun maju, menyendok daging balado sedikit. Setelahnya Kanya memeluk piring itu, melindunginya dari Nata.
Nata hanya tersenyum kecil melihat itu, Nata mengambil ayam secukupnya. Kanya melewati ikan dan sayur. Nata yang melihat itu berdecak pelan.
"Kenapa ga pake sayur?"
Kanya menoleh sekilas dengan jutek."Ga suka." wajahnya di pasang angkuh.
Nata meraih sayur itu, menuangkannya banyak ke dalam piring, biar nanti dirinya bagi dua saat di meja.
Kanya meraih jeruk serta air lalu mencari meja kosong.
"Ke sini, ayo ikut—" ajak Nata. Kanya mengabaikan Nata, membuat Nata berdecak."kamu mau jadi bahan tontonan mereka?" lanjut Nata mulai hilang kesabaran.
Kanya menatap anak - anak yang ternyata hampir semua menatapnya. Dengan malu Kanya mengikuti Nata.
Nata membawa Kanya ke tempat khusus dirinya makan atau bisa di sebut markasnya dengan para sahabatnya.
Di sana sudah ada Fajar dan Qiano.
Fajar bersiul senang."Wih ada nyonya besar Giofar nih." goda Fajar.
Kanya merunduk malu, kenapa harus di sini sih pikirnya kesal.
Nata menarik pelan tangan Kanya agar duduk di dekatnya."Jangan dengerin mereka, duduk." perintahnya dengan acuh tak acuh.
Kanya duduk dengan bibir di tekuk bete, benar - benar tidak nafsu makan."Aku mau ke asrama aja!" Kanya hendak berdiri namun di tahan Nata.
"Makan! Sekali - kali nurut bisa ga sih!" jengkel Nata.
Kanya semakin menekuk wajahnya masam."Ga bisa!" ketus Kanya seraya menepis tangan Nata yang sialnya kuat itu."lepas ih!" rengeknya sebal.
Fajar hanya menatap keduanya geli, sesekali memakan makan siangnya sedangkan Qiano acuh. Sebagai penonton mereka hanya bisa menikmati adegan di depannya.
Nata menggigit ibu jari Kanya dengan gemas. Kanya memekik kencang."Kamu apaan sih!" jeritnya di akhiri ringisan sakit.
Nata menarik tangan Kanya sekali hentak, membuat Kanya tertarik dan kembali duduk."Jangan bikin aku terlihat jahat di depan kedua sahabat aku! Kalo kamu mau tenang di sekolah ini." tekan Nata penuh ancaman.
Kanya diam lalu mulai menurut, memakan makanannya. Kanya tidak mau di pusingkan hal lain.
Nata mengusap punggung Kanya sekilas lalu memindahkan sebagian sayur ke piring Kanya.
"Aku ga suka sayur!" geram Kanya dengan gemas.
"Harus di makan kalo kamu mau keluar dari sini." ancam Nata acuh tak acuh.
"Wih, sobat Kita No, perhatiannya." goda Fajar yang di balas anggukan kecil oleh Qiano.
Kanya mengusap perutnya yang terasa penuh, baru kali ini dia merasa kenyang setelah makan. Biasanya baru tiga suap Kanya berhenti saking malasnya mengunyah, itu terjadi kalau sedang tidak nafsu makan!"Kita kayaknya belum kenalan?" celetuk Fajar membuat Kanya menatapnya dengan senyum canggung."Aku Kanya." kata Kanya pelan, dia tidak bisa ramah pada orang baru.Fajar mengulurkan tangan."Gue Fajar." setelahnya Fajar melempar senyum ramah.Kanya meraih uluran itu lalu melepaskannya dan beralih pada Qiano."Qian.."Kanya mengangguk dengan senyum canggung, Qiano tidak seramah Fajar."Kita dulu sering nginep di tempat Nata tapi semenjak lo ada kita ga ke sana lagi, takut ganggu." jelas Fajar yang membuat Kanya semakin canggung.Ganggu? Memangnya dia dan Nata sibuk apa? Kesannya Kanya selalu menghabiskan waktunya dengan Nata
Kanya merapihkan pakaian ke dalam koper kecil. Memasukkan semua yang di perlukan ke dalam tas gandongnya."Kayaknya udah siap! Ah dompet! Hampir aja, nyawa utama padahal." monolog Kanya seraya meraih dompet di meja belajar."Oke udah beres, keluar harus tanpa Nata!" tambah Kanya dengan penuh tekad.Kanya menyeret kopernya keluar kamar, sebelum kembali melangkah Kanya mengamati keadaan sekitar yang tampak sepi.Kanya melanjutkan langkahnya dengan bersenandung pelan, Kanya membuka pintu keluar lalu menjerit kaget saat melihat Nata berdiri dengan begitu kerennya.Nata kalau sudah tidak pakai seragam begitu terlihat sangat keren. Hitam - hitam, tampan! Ah ralat! Lebih ke seperti malaikat pencabut nyawa! Dumel Kanya."Lama banget, Semua udah jalan duluan.""HA!? Te-terus kita?" Kanya mengedarkan matanya liar.Asrama me
Nata tersentak kaget di tidurnya hingga membuatnya terjaga. Mimpinya tentang Kanya membuat Nata gila.Nata dalam mimpi menatap bibir merah alami milik Kanya di tambah kulit mulusnya yang bersinar dalam mimpinya membuatnya semakin gila.Nata mengerang pelan, kadang saat pagi sedang puncak - puncaknya. Tanpa kata Nata pergi ke kamar mandi lalu bersiap menuju ke tempat Kanya.Nata menggeleng tak percaya dengan ke-keboan Kanya, sepertinya gadis itu tidak berniat liburan. Nata menghampiri Kanya lalu menggoncang pelan tubuhnya.Kanya masih tak bergeming, tidak ada cara lain Nata harus melakukan cara yang satu ini. Dengan gemas Nata mencubit hidung Kanya agar gadis itu sulit bernafas."Ha! Aduh ayah!" pekiknya dengan terengah - engah, menghirup oksigen dengan begitu rakusnya."Udah jam 9 pagi, ga mau ke pantai?" tanya Nata dengan begitu santai.
Nata meraih kaca mata hitam dan topi hitam di atas kopernya lalu memakainya. Di liriknya Kanya yang tengah mengikat rambutnya. Begitu cantik."Ga usah di iket! Mau aku serang saat di sana nanti?"alis Nata bertaut serius.Kanya menarik lagi ikatannya dengan kesal, mendelik ke arah Nata dengan sebal lalu meraih kasar topi dan kaca mata hitamnya."Udah puas?" tanya Kanya sewot nan jutek.Nata membuka pintu, mempersilahkan Kanya agar segera keluar."Awas aja kalo jelalatan liat bule - bule, aku ga ak—""Ga usah banyak ngomong! Ayo, aku ga sabar liat pulau yang KATANYA punya aku itu." jengkel Kanya, di tambah perutnya sedang sakit karena PMS.Lagian, siapa Nata? Kenapa harus mengaturnya seperti ayahnya saja. Kanya semakin sebal.Nata menutup pintu hotel lalu meraih lengan Kanya."Kamu kalo lagi datang bulan ngomel mulu." keluh Nata
Nata menggendong Kanya lalu meletakannya di atas kasur yang berada di dalam pesawatnya. Nata melirik asisten yang di kirim papanya yang kini berdiri di belakang Nata."Jangan kasih tahu daddy sama mommy kalau gue bawa cewek liburannya, oke?" pinta Nata penuh peringatan."walau acara sekolah tetep aja mereka engga boleh tahu kalau gue berduaan sama ni cewek." lanjutnya."Baik, tuan muda." dengan patuh asistennya menjawab.Nata menyelimuti Kanya yang terlelap, Nata sengaja mencampurkan obat tidur pada minuman Kanya agar Kanya tidak kelelahan selama perjalanan pulang."Lo keluar." usir Nata pada Bima, sang asisten yang sama umurnya dengan Nata."Baik, tuan muda."Setelah kepergian Bima, Nata bergegas Naik, memeluk Kanya dengan posesif. Sampai kapanpun Kanya tidak akan dirinya lepaskan.Nata mencuri ciuman di kening Kanya.Nata me
Cantik memang tapi wajahnya tak bersahabat, Kanya terlihat sebal. Kanya sebenarnya Malas keluar asrama apalagi malam - malamNamun lagi - lagi karena kekuasaan Nata membuatnya tidak bisa menolak."Bawa jaketnya." Nata melangkah di depan Kanya.Kanya meraih jaketnya dengan tak bertenaga."Mau kemana sih? Besok sekolah." lirih Kanya benar - benar malas bepergian."Makan di luar sayang, berapa kali sih harus di jelasin." Nata masih fokus menalikan sepatunya.Kanya mendengus pelan, Nata masih saja memanggilnya sayang. Membuat telinganya geli!"Di undur bisa? Aku mau tidur aja." pinta Kanya sedikit merengek, wajahnya di tekuk malas."Sebentar sayang, cuma makan." Nata berdiri lalu menghampiri Kanya agar cepat memakai sepatu."Males pake sepatu." kata Kanya mencari alasan agar jangan berangkat."Aku pakein." Nata me
Nata duduk dengan santai, sedangkan Kanya gelisah di sampingnya. Kanya melirik Nata yang sepertinya tidak terganggu dengan Aura Kakaknya yang tengah marah."Nata Giofar, kakak bisa panggil Nata." kata Nata memperkenalkan diri dengan senyum sopan."Giofar?" beo Karel sedikit terkejut.Nata mengulum senyum, untuk pertama kalinya Nata bangga dengan nama belakangnya."Iyah kak, Giofar." senyum Nata kembali terbitkan."Woah! Kamu serius mau sama Kanya?" tanya Karel takjub.Kanya merapatkan kuat - kuat bibirnya saat mendengar itu. Dasar memang rese kakaknya itu."Emangnya kenapa kak? Ada yang salah sama Kanya?" tanya Kanya penuh penekanan."Haha, lucu aja, cewek galak kayak kamu laku dek." kekeh Karel.Karel berganti menatap Nata dengan serius, mengabaikan Kanya yang terlihat akan meledak itu.
Kanya bangun dari tidurnya saat mendengar suara ricuh perabotan di dapur. Seseorang sepertinya sedang memasak pikir Kanya dengan berjalan sempoyongan.Matanya bahkan masih saja menutup sesekali, kantuk masih bergelayut manja di kedua matanya.Saat mendengar pergerakan, Nata berbalik dengan tangan memegang spatula."Udah bangun. Sini, bantu aku masak." pintanya datar.Kanya menghampiri Nata dengan sebelah tangan mengucek matanya.Sudah seminggu Nata tidak menegurnya membuat Kanya nyaman sekaligus tidak nyaman. Dia cukup terganggu."Masak apa?" tanya Kanya dengan suara sedikit serak, mata sayu.Nata melirik Kanya sekilas."Nasi goreng biasa." jawabnya dengan acuh tak acuhKanya melirik Nata sekilas, Nata tampak berbeda setelah kejadian satu minggu yang lalu. Nata seperti menghindari Kanya. Itu nyata, bukan perasaanny
Revan duduk dengan tenang, justru perasaannya kini senang. Sedangkan Bella menunduk dalam, dia terlihat malu."Kan! Mereka udah dewasa, ketakutan aku terjadikan!" Dewi menatap Dewa dengan emosi dan berkaca - kaca."Iyah, kalau tahu gini aku dari awal engga kasih izin.." Dewa meraih bahu Dewi, mengusapnya agar tenang."Kalau hamil gimana? Rieta pasti kecewa!" Dewi menyeka air matanya, perasaan Rieta pasti hancur kalau sampai itu terjadi.Revan terhenyak, rasa senangnya lenyap. Benar juga, Rieta kalau tahu pasti kecewa dan akan merasa bersalah. Revan harusnya menjaga Bella."Kalian keluarnya di dalam atau luar?" Dewi menatap Revan dengan masih marah.Bella semakin tidak berani mengangkat kepalanya.Revan menjilat bibirnya yang tiba - tiba kering, jakunnya mulai bergerak saat menelan ludah."Da-dalem ma.." Revan menunduk,
Bella tersenyum dengan tersipu, tangannya yang dingin kini di genggam erat oleh Revan. Rasanya Bella kembali pada masa ABG labil, berdebar dan malu - malu."Di sini kalo pagi emang gini, dingin.." Revan menatap Bella dengan senyum tipis.Revan masih tidak percaya kalau Bella ada di rumahnya, bahkan saat membuka mata Bella ada di sampingnya.Revan ingin menyinggung pernikahan tapi rasanya Revan ragu, dia tidak mau melukai Bella yang belum sembuh dari gagal nikahnya dengan Fadil."Iyah, parah dinginnya.." Bella mengamati sekitarnya, padahal matahari sudah menyapa cukup tinggi.Revan mengubah posisi, di peluknya Bella dari belakang."Biar anget.." katanya di atas kepala Bella, Revan menyandarkan kepalanya di kepala Bella.Bella menggigit bibirnya, menahan senyum yang takutnya terlalu lebar."Bell.." panggil Revan lembut.
Revan membantu Dewi untuk duduk, kini mereka sudah kembali ke rumah. Satu bulan lebih berlalu, operasi kecil pun dengan lancar Dewi laksanakan.Revan dan Bella pun mulai terlihat seperti semula, tanpa canggung atau berusaha menghindar. Hubungannya bisa di bilang membaik namun tidak sedekat dulu, Bella pun tidak seagresif dulu.Bella di sibukan dengan bisnis barunya yang baru buka, Bella membuka toko kecil namun berisi bunga dan peralatan lain untuk kado."Bella kok jadi jarang jenguk bunda?" tanya Dewi setelah meraih gelas air yang di berikan Revan.Dewa melirik sang istri."Mungkin sibuk, ayah denger Bella buka bisnis ya?" tanya Dewa.Revan mengangguk."Baru buka minggu kemarin.." jawab Revan."Kamu kenapa ga bantu Bella?" tanya Dewi dengan penasaran."Katanya Bella ga mau di ganggu dulu." balas Revan lesu, seminggu lebih tidak bertemu
Revan menghentikan mobilnya di depan pintu gerbang rumah Bella, sepertinya untuk bertemu Rieta tak bisa sekarang."Bunda di dalem?" tanya Revan setelah membantu Bella membuka sabuk pengaman.Bella menggeleng."Lagi di rumah tante, acara syukuran anaknya.." balasnya dengan suara parau dan mata sembab.Revan mengangguk samar, syukurlah. Jika pun ada Revan tak bisa bertemu sekarang. Revan harus bergiliran menjaga sang bunda dengan ayahnya yang harus lembur."Kapan pulang?" tanya Bella."Nunggu mama sembuh.." balas Revan dengan memperhatikan Bella yang ternyata gemukan.Revan merasa lega, itu artinya Fadil menjaga Bella dengan baik."Mau jenguk, tapi nunggu matanya sembuh.." jelas Bella dengan bibir di tekuk. Moodnya masih belum baik."Hm, gih masuk. Istirahat.."Bella mengangguk."Makasih untuk
Bella mendial nomor Fadil, tumben selama dua hari ini Fadil tidak segesit biasanya."Kak Bell.."Bella menoleh lalu tersenyum ramah."Eh ada Ratu.." sapanya seraya memeluknya sekilas."Kakak lagi belanja juga?" tanyanya dengan riang."Hm, kamu ke sini sama siapa?" tanya Bella seraya mengusap anak gadis yang kini sudah masuk ke kelas dua SMA itu."Loh?"Bella menoleh, sama kagetnya dengan Fadil kini. Orang yang sulit di hubungi olehnya ternyata sedang belanja."Kalian saling kenal?" tanya Ratu senang."aku sepupu kak Fadil kak dan aku kenal sama kak Bell karena waktu itu kak Bell bantu tolongin anjing Ratu yang kejebak ikatannya di besi pinggir jalan.." terangnya riang.Bella yang berpikiran negatif sontak tertawa pelan."Kirain dia selingkuh.." gemas Bella pada Fadil.Fadil tersenyum, meraih pinggan
Bella terus berceloteh di samping Revan yang kini tengah makan bersama Fadil, Dewa dan Dewi."Iyah Bell, udah makan dulu.." Revan menyimpan udang yang sudah di kupas ke nasi Bella."Makasih.." kata Bella seraya menyudahi celotehannya lalu melirik Fadil di samping kirinya.Fadil menyeka keringat di poni Bella dengan tissue lalu membantu Bella mengupas udang. Fadil harus menghentikan Revan, biar soal mengurus Bella kini menjadi urusannya.Revan melirik keduanya dengan mood down. Revan salah berpikir Bella akan terus menunggunya. Mungkin Revan terlalu percaya diri kalau Bella tidak akan berpaling."Makasih.." kata Bella saat Fadil memberikan udang yang sudah di kupas cangkangnya.Dewi mengamati gerak - gerik anaknya. Sebagai ibu dia sangat paham dengan perasaan Revan.Sudah berapa kali dirinya menasihati Revan tapi tetap saja tidak
Fadil menggeleng samar, Bella sudah makan langsung tidur siang. Pantas saja pipinya gembul, menggemaskan.Fadil memperhatikan posisi Bella yang tidur dengan posisi duduk dan kepala bersandar di kepala sofa.Nyaman namun nanti akan membuatnya sakit. Fadil memutuskan untuk memandang wajah Bella.Damai, bulu mata lentik, alis tebal dan hampir menyatu dengan bulu - bulu halus di keningnya."Monyet, kamu banyak bulu di wajah ternyata.." gumamnya seraya mengusap bulu halus itu lalu turun ke hidungnya yang mungil namun mancung.Hingga jempolnya berakhir di bibir tipis yang merona alami. Ada kumis tipis yang menghiasi.Hubungannya setelah berstatus masih bisa di bilang mingguan belum bulanan, apa boleh mengecupnya sekilas? Pikir Fadil."Mau cium Bella?"Fadil tersentak sangat kaget di duduknya bahkan membuat Bella terja
"Aduh! Dosennya semoga belum dateng" heboh Bella dengan kedua kakinya yang pendek terus berlari melewati lorong yang akan membawanya semakin masuk ke dalam kampus.Fadil menaikan satu alisnya saat melihat Bella berlari begitu saja tanpa meliriknya.Fadil menyusulnya lalu menarik jaket Bella yang sontak membuat gadis itu berhenti dengan memekik kaget."Kemana? Kelas kita di sana kali" tunjuk Fadil kearah sebrang Bella."Ha! Belum ada dosen?" tanya Bella dengan nafas terengah."Hm, makanya kalo lagi ngomong teleponnya jangan di matiin! Tahu rasakan!" cemoohnya seraya melepaskan jaket Bella.Bella menggeram, bukan salahnya tapi justru salah Fadil yang selalu berbicara setengah - setengah dan kadang tak jelas. Membuatnya salah paham terus."Au ah! Males gue sama lo!" amuk Bella lalu berlari pelan menuju kelas di ikuti Fadil yang berjalan santai.
Bella gelisah, Bella tengah berdiri di balik pilar. Mencoba bersembunyi dan mengintip Revan yang kini tengah berbicara dengan Melia, kakak kelas mereka."Bella hanya temankan? Terus kenapa kamu ga bisa terima aku?" tanyanya seraya meraih tangan Revan.Revan menatap Melia, gadis di depannya memang menarik tapi Revan tidak ingin terganggu oleh hubungan rumit di masa SMA.Revan hanya ingin lulus lalu terbang ke negara yang akan mendidiknya menjadi atlit."Sorry.." setelah mengucapkan itu Revan berlalu.Bella menghela nafas lega, namun juga prihatin atas penolakan Revan. Bella kembali menarik nafasnya, kali ini dengan berat.Orang terdekat saja di abaikan, apalagi orang luar. Bella semakin tidak bisa menjangkau Revan rasanya.Bella membawa langkahnya untuk kembali masuk ke dalam gedung sekolah yang semakin r