Hari sudah malam. Hari ini rumah Karina menjadi ramai karna Karrie dan Nana ikut menginap. Kata Nana, "Mau disini aja, kangen sama kaka Karkar."Ya, adik Karrie nan imut ini memanggil Karina dengan panggilan 'Karkar'
Karina menutup kamarnya, tak lupa mengunci pintu. Sedikit waspada karna keberadaan Natalia di rumahnya.
"Siapa tau kan, si nenek lampir masuk kamar trus grepe-grepe gue," pikir Karina bergidik ngeri.
Pemikiran Karina sungguh jauh dan melewati batas. Tapi, bener juga sih, siapa yang tak tergoda dengan tubuh Karina yang seksi ketika memakai baju tidur.
Tapi Karina juga sedikit ragu dengan Karrie yang sering masuk kamarnya tanpa permisi. Siapa tahu 'kan si Karrie kemasukan setan trus khilaf.
Karina menggeleng keras. "Buang jauh-jauh pikiran itu."
Karina menjatuhkan tubuh ke kasur empuknya. Cukup lelah karna hari ini harus menjaga Nana yang sakit. Dan besok hari minggu, pasti Nana merengek ingin jalan-jalan.
"Kumpulkan tenaga untuk esok hari Karina."
Perlahan matanya tertutup, memasuki alam mimpi, melepas beban untuk sementara. Biarlah Karina bahagia walau hanya di mimpi.
-----
"Karina bangun!" Fanny mengguncang tubuh Karina yang terbalut selimut. Tak habis fikir dirinya dengan Karina yang tidur pasti bangunnya susah.
"Bangun, bangun, bangun! Cepet mandi trus bantuin gue bersihin rumah lo ini," oceh Fanny sembari menarik selimut Karina dan melipatnya.
Karina menggeliat malas. Sekarang minggu, seharusnya dihabiskan dengan malas-malasan. Namun beda jika Fanny sudah ada dirumahnya.
Dengan sempoyongan, Karina berjalan ke kamar mandi. Lebih baik nurut daripada kena omel, sangat berisik jika Fanny sudah ngomel.
Sedangkan diambang pintu, Natalia hanya terkekeh kecil melihat interaksi dua orang itu. Sudah seperti ibu dan anak menurutnya.
Selesai mandi, Karina langsung keluar dari kamar mandi, yakali disitu terus. Matanya terbelalak melihat Natalia yang duduk manis di ujung kasurnya. Banyak pertanyaan mucul dibenak Karina. Terutama, 'ngapain nenek lampir disini? Jangan-jangan dia mau grepe-grepe gue?'
Karina memukul kepalanya sendiri dengan keras. Dengan lancang otaknya melayang memikirkan hal yang tidak-tidak. Ya, istilah anak sekarang adalah 'traveling otaknya'
"Ngapain disini?" tanya Karina sembari mengeringkan rambutnya dengan handuk.
Natalia yang awalnya membelakangi Karina kini membalikkan badannya. Senyum tipis tercetak diwajahnya.
Natalia menggeleng samar. "Boleh tanya?"
Karina duduk di meja rias yang membelakangi Natalia, namun masih menampakkan Natalia di cermin.
"Nanya apa?" sahut Karina.
"Udah berapa lama kakak lo ilang?"
Karina yang ingin memoleskan wajahnya dengan bedak terhenti. Dadanya tiba-tiba sesak, hatinya terasa sakit. Sebenarnya dia sempat lupa dengan kehilangan kakaknya, dia menyesal, sungguh menyesal.
"3 bulan, maybe," jawab Karina lesu.
Natalia yang sadar akan kesedihan Karina tak merasa bersalah sedikit pun. Malah Natalia tersenyum, tampak dari cermin Karina.
"Lo sayang kakak lo kan?"
Karina membalas dengan anggukan samar.
"Kenapa lo bisa diam aja, ga berusaha bahkan ga sedikit pun bantu buat nyari?"
Benar apa yang dikatakan Natalia, kenapa Karina tidak membantu sedikit pun. Namun kembali, ucapan Karrie terlintas di benaknya.
'Iya aku tau, tapi kamu nyari pake apa? Ada petunjuk? GAK KAN?'
Karina tersenyum kecut, merasa gagal sebagai adik yang baik untuk kakaknya. "Gue ga ada petunjuk sedikit pun."
Terdengar tawa Natalia, lebih tepatnya tawa mengejek. Karina menatap kesal Natalia lewat cerminnya.
"Gimana lo mau dapat petunjuk? Kalau lo diam aja kaya gini."
Natalia sangat terdengar menyudutkan Karina. Seakan ingin membuat Karina merasa bersalah karna membiarkan kakaknya hilang begitu saja. Namun disisi lain Natalia tampak seperti mendorong Karina agar maju, tidak terus berdiri di tempat yang sama.
Karina bisa melihat Natalia yang berdiri lalu berjalan menuju pintu.
"Kayanya gue mau bikin novel berjudul 'SEORANG ADIK YANG MEMBIARKAN KAKAKNYA DALAM KESULITAN' hahah bagus kan," ucap Natalia sembari menekankan judul novel yang lebih pantas disebut sindiran. Natalia menutup pintu meninggalkan Karina yang kesal setengah mati.
Karina menggenggam liptin dengan penuh kemarahan. Dia ingin mencari, namun bagaimana? Dia sama sekali tak tahu.
"Gue ga tau, gue bingung, gue gabisa. Gue ... Arrghh!"
Karina despresi dengan masalah yang ada didepannya, ia tak busa menghadapinya, namun dia juga tak bisa menghindarinya.
Karina bangkit, memilih mengisi perut terlebih dahulu. Setiba didapur, Karina bisa melihat berbagai macam masakan Fanny.
Fanny menggelengkan kepalanya, melihat Karina yang bersifat seperti anak kecil. Karina adalah sahabat kecil sekaligus sepupu Karina. Mereka sangat dekat sedari kecil.
"Selamat makan!" Karina ingin menyuapkan nasi goreng mulutnya. Namun, terhenti ketika sebuah sendok mendarat tepat jidatnya. Ia meringis sembari mengelus-elus si jidat.
"Doa dulu!" ucap Natalia sebagai pelaku pelemparan sendok tadi.
Karina mendengus lalu membaca doanya dan melanjutkan makannya yang tertunda. Merasa tidak ada keberadaan Karrie dan Nana, membuat Karina ingin bertanya. Namun ia urungkan karna dimulutnya masih penuh akan nasi goreng, jika bicara dengan mulut penuh seperti ini, bisa-bisa sendok akan melayang lagi kearahnya.
Karina menelan makanannya. "Karrie sama Nana mana?"
Fanny menoleh sebentar lalu melanjutkan makannya. "Gereja."
Karina manggut-manggut, dia baru ingat bahwa hari ini hari minggu. Karina dan Karrie memang berbeda keyakinan, namun tak menghalang persahabatan.
Selesai sarapan Karina langsung menuju ruang keluarga, disitu terdapat telivisi dan PS milik Karina. Bermain sendiri sembari menunggu Karrie selesai dengan ibadahnya.
Karina menoleh dari PS nya menuju kearah belakang tubuhnya. Ada Fanny disana.
"Kak Rani bakal kesini nanti, nah lo mending beres-beres rumah," beritahu Fanny.
Karina hanya manggut-manggut, lalu kembali fokus pada PS-nya. Rani adalah kakak dari Fanny, yang otomatis sepupu Karina. Dan bersih-bersih? Hal yang paling Karina tak suka lakukan, apalagi hari minggu yang seharusnya jadi hari malas-malasan untuknya.
"Karina, lo denger gak?" tegur Fanny yang dibalas anggukan samar dari Karina.
"Ngapain bersih-bersih, kan ada Bi Ega. Ya kan, Bi?" ujar Karina.
Bi Ega yang kebetulan lewat sambil membawa baju-baju kotor hanya mengangguk sekilas, padahal tak tau apa yang dibahas. 'Iyain aja lah' pikir Bi Ega.
Fanny berdecak, berjalan mematikan PS Karina begitu saja. Lalu ia menarik lengan Karina menuju lantai dua, tempat kamar Karina berada.
"Bersihin ni kamar yang udah kaya gudang!" titah Fanny seraya keluar dan menutup pintu, dia juga mengunci pintu dari luar.
Karina menghela nafas kasar, mengambil sapu lalu mengangkat dengan malas. "Mari kita bekerja."
-----
Karina sudah selesai dengan kamarnya. Karrie juga sudah pulang dari Gereja. Dan kini Karrie, Karina, Nana, dan Natalia sedang didalam mobil, menuju taman bermain.
Entah kenapa Nana bisa akrab dengan Natalia begitu cepat. Natalia juga lembut dan baik kepada anak kecil, tidak sama dengan sikapnya kepada Karina.
"Terus bawang putih gimana?" tanya Nana kepada Natalia yang sedang menceritakan kisah bawang putih. Hitung-hitung agar tak bosan di perjalanan ini.
"Bawang putih disiksa sama bawang merah dan ibunya, disuruh inilah, disuruh itulah. Sampai bawang putih kecapean," sahut Karrie yang sedang menyetir.
Nana manggut-manggut lalu mengepalkan tangannya keudara. "Bawang merah sama ibunya jahat ya, kejam!"
Natalia terkekeh lalu mengiyakan sembari mengusap lembut rambut Nana.
"Iya kejam kaya orang yang disebelah Nana," celutuk Karina mengundang tawa dari Karrie.
"Udah-udah, dah nyampe yuk turun." Karrie turun diikuti oleh yang lainnya.
Karina mengernyit, bukannya rencana awal mereka dalah taman bermain? Namun kenapa Karrie malah membawa mereka ke kebun binatang?
"Rindu kebun binatang gue," ucap Karrie yang mengerti kebingungan mereka. "Yaudah ayo."
Karrie menggenggam tangan Karina, modus. Namun, bagusnya Karina tak menolak diperlakukan seperti itu. Karna dalam persahabatan mereka sudah biasa hal seperti ini.
Dibelakang 'duo K' Natalia tersenyum sembari menggendong Nana. Dia merasa seperti baby sitter yang mengurus anak mereka yang sedang berlibur.
"Pegangan tangan," bisik Nana pada Natalia, seraya menunjuk tangan Karina dan Karrie yang saling bertautan.
"Biarin aja, dunia serasa milik berdua."
Nana hanya mengangguk walau sebenarnya tak mengerti dengan ucapan Natalia.
"Kesana yok." Karrie menunjuk pepohonan yang dipenuhi monyet. Karina melirik sebentar, lalu mengangguk setuju.
Karrie langsung menarik tangan Karina ke arah kumpulan monyet tersebut. Mereka pelan-pelan mendekati monyet yang sedang bergelantuangan di ranting pohon.
Katanya sih jinak, namun mereka masih berhati-hati. Perlahan Karrie menyentuh kepala monyet itu, lalu mengusap pelan.
"Ihh, K. Gue juga mau pegang," rengek Karina sembari memukul punggung Karrie yang kebetulan ada didepannya.
Karrie terkekeh gemas. Tangannya menuntun tangan Karina agar bisa menyentuh monyet itu. Saat sudah menyentuh monyet itu, Karina mengelus-elus monyet itu. Sepertinya Karina ketagihan.
Karrie hanya memandang wajah cantik Karina dari samping. Rasa cinta dalam hatinya semakin hari semakin besar. Semakin hari semakin sayang, dan pasti sulit dilupakan. Karrie sangat ingin Karina menjadi kekasihnya, namun ia terlalu takut untuk menyatakan cinta. Takut ditolak tepatnya.
"Haha mirip lo ya, K."
Karrie tersentak dari lamunannya, gugup karna dari tadi memperhatikan Karina.
"Ee, i-iya," jawab Karrie terbata-bata.
Sontak Karina tertawa terbahak-bahak. Karrie mengakui kalau dia mirip monyet? Sungguh lucu Karrie ini. Padahal Karrie itu sangat tampan lho.
"Hahaha lo ngaku mirip monyet," tawa Karina.
Dan bodohnya Karrie baru sadar dan hanya bisa menahan malu. Hari ini ia bahagia bisa menghabiskan waktu dengan Karina. Hingga lupa dengan keberadaan Natalia dan Nana.
----
Sudah sore, tak terasa secepat ini waktu berjalan. Menghabiskan waktu dengan sahabat, membuat hati Karina sedikit menghangat.
Sedangkan Karrie, rasa sukanya terhadap Karina makin bertambah. Apalagi hari ini mereka quality time. Membiarkan Nana diurus Natalia.
Sedangkan Natalia hanya menjadi saksi kemesraan antara Karrie dan Karina dari jauh. Mengurus Nana yang baru dekat beberapa waktu lalu.
---
Karina memasuki kamarnya, dia tadi mengunci kamar, karna tak mau kamar yang sudah ia bersihkan menjadi kotor karna ulah manusia tak bertanggung jawab.
Setelah masuk, dia melepas sepatu, melempar ke sembarang arah. Hoodie nya ia lepas sehingga tersisa kaos biru, warna kesukaannya.
"KARINA JANGAN LUPA MANDI!" Itu suara Rani, kakak Fanny. Rani tak jauh beda dengan Fanny yang super cerewet. Adik kakak yang cocok menurutnya.
Semenjak hilangnya Syafa, Karina sering diurus oleh Fanny dan Rani. Sebagai sepupu yang baik, mereka dengan ikhlas menjaga Karina agar tetap aman.
Karina memasuki kamar mandi. Ia terkejut dengan adanya tulisan di kaca kamar mandinya. Tulisan dengan cat merah.
'Kehilangan semangat hidup ya?'
Itu tulisannya. Karina mengernyit, siapa yang menulisnya. Dia yakin tak ada yang masuk kamar, karna dia menguncinya tadi.
Apakah dia diteror? Namun siapa?
Karina terpaku dengan tulisan itu. Orang itu benar, dia kehilangan semangat hidup. Semangat hidupnya hilang tanpa kabar.
Karina tersenyum getir, bibirnya bergetar, matanya memanas. "Haha iya, lo bener."
Karina membasuh mukanya, menahan sesak didadanya. Ia bersihkan tulisan yang belum kering itu, sehingga mudah membersihkannya.
"Jangan bikin gue despresi deh," gumam Karina lalu menghidupkan shower. Menikmati setia aliran air yang membasahi tubuhnya. Berharap bebannya dibawa turun oleh air dan hilang, lenyap begitu saja. Namun nyatanya, masalah tidak akan hilang jika tidak dihadapi.
Selesai dengan acara mandinya, Karina mengganti baju dengan baju tidur, bersiap untuk tidur. Dan ngomong-ngomong soal Natalia, dia sudah pulang sejak sore tadi, karna orang tua Natalia sudah pulang.
Namun saat akan menjatuhkan tubuhnya ke kasur, pasangan Karina tertuju pada sebuah kertas yang diplester di ujung kasurnya. Diambilnya kertas itu lalu membaca tulisan disana.
"Taman?"
Sebuah alamat salah satu taman di kota. Apakah si tukang teror menyuruhnya kesana? Untuk apa?
Tak sampai disitu, Karina kembali menemukan secarik kertas berwarna merah darah, warna yang paling dibenci Karina. Bukan berarti dia membenci darah, hanya tak suka melihat warna merah darah.
Diambilnya secarik kertas yang tertempel di kaca meja riasnya. Dibacanya sebentar, keningnya mengkerut.
'Temui aku jika kau ingin bebas dari masalah.'
Bebas dari masalah? Masalah satu-satunya saat ini adalah hilangnya sang kakak. Apakah orang ini ada hubungannya dengan hilangnya Syafa.
"Ini semua ... kenapa membuatku bingung?" lirih Karina. Dirinya terduduk di ujung kasur, merutuki hidupnya yang membingungkan.
Pikirannya masih bimbang, haruskah dia pergi menemui sosok misterius yang mengirim surat padanya?
Atau dia biarkan saja, berusaha tidak peduli dan berusaha menganggap tak terjadi apa-apa?
"Sumpah ini kenapa rumit banget?" Karina menggenggam rambutnya erat. Ia frustasi dengan keadaan yang membingungkan.
Kepala Karina mendongak, menatap pantulan dirinya di cermin. Hatinya sudah mantap, keputusannya sudah bulat. Tangannya terulur kedepan, menunjuk pantulan dirinya di cermin.
"Kita buktiin kita bisa, kita harus maju! KITA BISA!"
Entah dapat dari mana ia tekad seperti itu, yang pasti dia akan mencoba. Membuktikan bahwa dia bisa maju, membuktikan bahwa dia bukan bocah ingusan yang tak bisa apa-apa. Dia bisa, jika dia mau.
Hari ini berakhir dengan keputusan bulat dari Karina. Berharap hari esok berjalan lancar dan mendukung Karina. POOR KARINA!
Sepulang sekolah Karina memutuskan untuk mengunjungi kantor Syafa. Hanya sekadar ingin mengumpulkan beberapa bukti atau paling tidak petunjuk. Ia berangkat tanpa sepengetahuan siapapun, bahkan Karrie tak tahu menahu.Sesampainya di kantor Syafa yang cukup besar, Karina membayar taksi. Menyapa satpam yang sedang bertugas. Ia memasuki kantor dan disambut beberapa pegawai yang memang sudah kenal dengan Karina."Masih buka?" gumam Karina pelan.Bagaimana bisa kantor ini masih berjalan dengan lancar tanpa pemiliknya? Karina masih terpaku di meja resepsionis, memikirkan beberapa pertanyaan yang muncul di benaknya."Dek cari siapa?" tanya sang resepsionis yang dibuat bingung oleh Karina.Karina tersentak, nyengir bodoh ke arah resepsionis itu. Karina celingak-celinguk mencari keberadaan asisten kakaknya, mengabaikan resepsionis yang kebingungan.
Karrie menutup bukunya, menumpuk beberapa buku menjadi satu. Mengambil pena lalu meletaknya di atas tumpukan buku, ia merapikan duduknya menjadi bersila."Kamu bosan tuan putri?" tanya Karrie pada Karina yang berbaring di atas karpet, tepat di samping Karrie.Karina mengangguk, memiringkan tubuh menghadap Karrie. "Ingin menculikku pangeran?"Karrie terkekeh lalu menggenggam tangan Karina. Menyalurkan perasaan sayang dan cintanya, berharap Karina peka. "Apapun untukmu tuan putri.""Mau kah pangeran tampan ini menculik 'ku lalu kita jalan-jalan? Hemm, menghabiskan waktu bersama, mungkin."Bagaimana bisa Karrie menolak? Dengan yakin dan semangat dia mengangguk. Setelah cukup lama akhirnya dia bisa berduaan dengan Karina. Dia rindu masa-masa itu."Baiklah a
"Awas! Itu belakang kamu!"Mendengar peringatan dari Karrie, Karina langsung fokus ke layar kaca. Ia memang sempat tak fokus karna meras lapar, untung saja dia tak kalah karna kurang fokus."Tembak, tembak!" teriak Karrie, semakin gencar untuk mengalahkan musuh. Matanya tak lepas dari game, sesekali berteriak memperingati Karina yang tak fokus.Mereka berdua sedang di kamar Karina, bermain PS bersama. Ujian sudah selesai dan tinggal menunggu hasil, karna itulah Karina dan Karrie bisa bebas bermain tanpa peduli dengan belajar. Setidaknya begitu untuk sementara.Dirumah Karina bukan hanya mereka berdua saja, ada Fanny, Rani, Bi Ega juga Nana. Adik Karrie nan lucu itu sedang bermain di atas kasur Karina, ditemani Fanny."Main mulu, makannya kapan?" tanya Rani sambil membuka pintu kamar lebar-lebar. Menggeleng kecil melihat Karina dan Karr
"Awas! Itu belakang kamu!"Mendengar peringatan dari Karrie, Karina langsung fokus ke layar kaca. Ia memang sempat tak fokus karna meras lapar, untung saja dia tak kalah karna kurang fokus."Tembak, tembak!" teriak Karrie, semakin gencar untuk mengalahkan musuh. Matanya tak lepas dari game, sesekali berteriak memperingati Karina yang tak fokus.Mereka berdua sedang di kamar Karina, bermain PS bersama. Ujian sudah selesai dan tinggal menunggu hasil, karna itulah Karina dan Karrie bisa bebas bermain tanpa peduli dengan belajar. Setidaknya begitu untuk sementara.Dirumah Karina bukan hanya mereka berdua saja, ada Fanny, Rani, Bi Ega juga Nana. Adik Karrie nan lucu itu sedang bermain di atas kasur Karina, ditemani Fanny."Main mulu, makannya kapan?" tanya Rani sambil membuka pintu kamar lebar-lebar. Menggeleng kecil melihat Karina dan Karr
Pagi yang mendung, awan hitam menyelimuti birunya langit. Matahari seakan disembunyikan oleh awan, membuat yang dibawahnya sedikit kegelapan.Karina mendengus, menarik nafas dalam lalu dikeluarkan secara perlahan. Menahan air mata agar tak mengalir, menahan sesak yang mampir. Menggigit bibir dalamnya, berharap isakannya tak keluar dari bibir tipisnya.Sekuat apa pun ia menahan, sekuat apa pun dia bertahan, semua akan akan terjadi. Air bening itu akhirnya lolos, bibirnya terbuka mengeluarkan isakan, bahunya bergetar, dadanya terasa sangat sesak. Benar-benar menyakitkan.Di tangannya terdapat sebuah map yang berisi hasil belajarnya untuk semester ini. Air mata menitik ke laport itu, air mata itu terus mengalir tanpa henti. Sekarang dia harus bagaimana dan apa? Semuanya sudah pergi, meninggalkan ia seorang diri.Hidupnya terasa hancur, disaat seperti ini kenapa semua oran
"Kar, beneran putus?" tanya Syafa pada Karina yang berjalan di sampingnya.Karina enggan menjawab. Dia semakin mempercepat langkahnya meninggalkan Syafa di belakang. Syafa sedikit berlari agar langkahnya setara dengan Karina."Aku nanya, Kar. beneran putus?" Syafa menahan tangan Karina agar berhenti meninggalkannya."Menurut kakak?" Karina bertanya balik, menatap sendu sang kakak yang tak hentinya bertanya tentang hubungannya dengan sang pacar."Why?" Syafa menggenggam kedua tangan Karina. Melihat wajah sendu adiknya, Syafa lantas mengelus pipi Karina dengan lembut.Karina spontan memeluk erat kakaknya, menenggelamkan wajahnya di bahu sang kakak. Syafa mengusap lembut punggung Karina, terdengar isakan pil
"Selamat malam, Kar!" Karrie kecil berteriak dari luar rumah Karina. Karina yang memang berdiri di balkon kamar, tersenyum."Selamat malam juga, K," balas Karina sembari melambai-lambai. Karrie tersenyum lebar, dari bawah Karrie bisa melihat keimutan dan kecantikan milik Karina. Karrie membentuk kedua tangannya seperti terompet lalu diletak di depan mulutnya. "Aku boleh kesana gak?" Karrie tersenyum ketika Karina mengangguk sebagai jawaban pertanyaannya. Karrie langsung memanjat ke balkon Karina. Setelah sampai diatas, Karina membantu Karrie melompat ke balkonnya."Gimana hari ini?" tanya Karrie, sesekali mencuri pandang pada Karina yang sedang menatap bintang. "Sangat membosankan." "Kenapa hari ini kamu ga keluar, tumben?" tanya Karrie lagi. Karrie bisa melihat
Tak ingin ambil pusing, Karina berlalu meninggalkan dua cowok yang masih berdebat itu. Sedangkan bahan perdebatan sudah pergi tanpa mereka sadari.Karina berjalan, terus berjalan. Menghiraukan tatapan kebencian dari siswa-siswi. Ditatap benci? Sudah biasa, bahkan bisa dibilang Karina kebal akan hal itu. Dari kecil, Karina sering dibully, dikatai anak buangan dan dikatai anak tak diinginkan. Bagi Karina, kepergian kedua orang tuanya adalah musibah. Atau bahkan orang tuanya lah sumber bencananya. Masih beruntung kakaknya tak ikut meninggalkannya. Jika itu terjadi ... ntah seperti apa nasib Karina sekarang. "Misi," singkat Karina, memasuki kelas yang sudah dihadiri guru. Guru yang satu ini sangat disiplin, bahkan kelewat disiplin. "Gak ada sopan-santun," cibir
Pagi yang mendung, awan hitam menyelimuti birunya langit. Matahari seakan disembunyikan oleh awan, membuat yang dibawahnya sedikit kegelapan.Karina mendengus, menarik nafas dalam lalu dikeluarkan secara perlahan. Menahan air mata agar tak mengalir, menahan sesak yang mampir. Menggigit bibir dalamnya, berharap isakannya tak keluar dari bibir tipisnya.Sekuat apa pun ia menahan, sekuat apa pun dia bertahan, semua akan akan terjadi. Air bening itu akhirnya lolos, bibirnya terbuka mengeluarkan isakan, bahunya bergetar, dadanya terasa sangat sesak. Benar-benar menyakitkan.Di tangannya terdapat sebuah map yang berisi hasil belajarnya untuk semester ini. Air mata menitik ke laport itu, air mata itu terus mengalir tanpa henti. Sekarang dia harus bagaimana dan apa? Semuanya sudah pergi, meninggalkan ia seorang diri.Hidupnya terasa hancur, disaat seperti ini kenapa semua oran
"Awas! Itu belakang kamu!"Mendengar peringatan dari Karrie, Karina langsung fokus ke layar kaca. Ia memang sempat tak fokus karna meras lapar, untung saja dia tak kalah karna kurang fokus."Tembak, tembak!" teriak Karrie, semakin gencar untuk mengalahkan musuh. Matanya tak lepas dari game, sesekali berteriak memperingati Karina yang tak fokus.Mereka berdua sedang di kamar Karina, bermain PS bersama. Ujian sudah selesai dan tinggal menunggu hasil, karna itulah Karina dan Karrie bisa bebas bermain tanpa peduli dengan belajar. Setidaknya begitu untuk sementara.Dirumah Karina bukan hanya mereka berdua saja, ada Fanny, Rani, Bi Ega juga Nana. Adik Karrie nan lucu itu sedang bermain di atas kasur Karina, ditemani Fanny."Main mulu, makannya kapan?" tanya Rani sambil membuka pintu kamar lebar-lebar. Menggeleng kecil melihat Karina dan Karr
"Awas! Itu belakang kamu!"Mendengar peringatan dari Karrie, Karina langsung fokus ke layar kaca. Ia memang sempat tak fokus karna meras lapar, untung saja dia tak kalah karna kurang fokus."Tembak, tembak!" teriak Karrie, semakin gencar untuk mengalahkan musuh. Matanya tak lepas dari game, sesekali berteriak memperingati Karina yang tak fokus.Mereka berdua sedang di kamar Karina, bermain PS bersama. Ujian sudah selesai dan tinggal menunggu hasil, karna itulah Karina dan Karrie bisa bebas bermain tanpa peduli dengan belajar. Setidaknya begitu untuk sementara.Dirumah Karina bukan hanya mereka berdua saja, ada Fanny, Rani, Bi Ega juga Nana. Adik Karrie nan lucu itu sedang bermain di atas kasur Karina, ditemani Fanny."Main mulu, makannya kapan?" tanya Rani sambil membuka pintu kamar lebar-lebar. Menggeleng kecil melihat Karina dan Karr
Karrie menutup bukunya, menumpuk beberapa buku menjadi satu. Mengambil pena lalu meletaknya di atas tumpukan buku, ia merapikan duduknya menjadi bersila."Kamu bosan tuan putri?" tanya Karrie pada Karina yang berbaring di atas karpet, tepat di samping Karrie.Karina mengangguk, memiringkan tubuh menghadap Karrie. "Ingin menculikku pangeran?"Karrie terkekeh lalu menggenggam tangan Karina. Menyalurkan perasaan sayang dan cintanya, berharap Karina peka. "Apapun untukmu tuan putri.""Mau kah pangeran tampan ini menculik 'ku lalu kita jalan-jalan? Hemm, menghabiskan waktu bersama, mungkin."Bagaimana bisa Karrie menolak? Dengan yakin dan semangat dia mengangguk. Setelah cukup lama akhirnya dia bisa berduaan dengan Karina. Dia rindu masa-masa itu."Baiklah a
Sepulang sekolah Karina memutuskan untuk mengunjungi kantor Syafa. Hanya sekadar ingin mengumpulkan beberapa bukti atau paling tidak petunjuk. Ia berangkat tanpa sepengetahuan siapapun, bahkan Karrie tak tahu menahu.Sesampainya di kantor Syafa yang cukup besar, Karina membayar taksi. Menyapa satpam yang sedang bertugas. Ia memasuki kantor dan disambut beberapa pegawai yang memang sudah kenal dengan Karina."Masih buka?" gumam Karina pelan.Bagaimana bisa kantor ini masih berjalan dengan lancar tanpa pemiliknya? Karina masih terpaku di meja resepsionis, memikirkan beberapa pertanyaan yang muncul di benaknya."Dek cari siapa?" tanya sang resepsionis yang dibuat bingung oleh Karina.Karina tersentak, nyengir bodoh ke arah resepsionis itu. Karina celingak-celinguk mencari keberadaan asisten kakaknya, mengabaikan resepsionis yang kebingungan.
Hari sudah malam. Hari ini rumah Karina menjadi ramai karna Karrie dan Nana ikut menginap. Kata Nana, "Mau disini aja, kangen sama kaka Karkar." Ya, adik Karrie nan imut ini memanggil Karina dengan panggilan 'Karkar' Karina menutup kamarnya, tak lupa mengunci pintu. Sedikit waspada karna keberadaan Natalia di rumahnya. "Siapa tau kan, si nenek lampir masuk kamar trus grepe-grepe gue," pikir Karina bergidik ngeri. Pemikiran Karina sungguh jauh dan melewati batas. Tapi, bener juga sih, siapa yang tak tergoda dengan tubuh Karina yang seksi ketika memakai baju tidur. Tapi Karina juga sedikit ragu dengan Karrie yang sering masuk kamarnya tanpa permisi. Siapa tahu 'kan si Karrie kemasukan setan trus khilaf. Karina menggeleng keras. "Buang jauh-jauh pikiran itu."
Tak ingin ambil pusing, Karina berlalu meninggalkan dua cowok yang masih berdebat itu. Sedangkan bahan perdebatan sudah pergi tanpa mereka sadari.Karina berjalan, terus berjalan. Menghiraukan tatapan kebencian dari siswa-siswi. Ditatap benci? Sudah biasa, bahkan bisa dibilang Karina kebal akan hal itu. Dari kecil, Karina sering dibully, dikatai anak buangan dan dikatai anak tak diinginkan. Bagi Karina, kepergian kedua orang tuanya adalah musibah. Atau bahkan orang tuanya lah sumber bencananya. Masih beruntung kakaknya tak ikut meninggalkannya. Jika itu terjadi ... ntah seperti apa nasib Karina sekarang. "Misi," singkat Karina, memasuki kelas yang sudah dihadiri guru. Guru yang satu ini sangat disiplin, bahkan kelewat disiplin. "Gak ada sopan-santun," cibir
"Selamat malam, Kar!" Karrie kecil berteriak dari luar rumah Karina. Karina yang memang berdiri di balkon kamar, tersenyum."Selamat malam juga, K," balas Karina sembari melambai-lambai. Karrie tersenyum lebar, dari bawah Karrie bisa melihat keimutan dan kecantikan milik Karina. Karrie membentuk kedua tangannya seperti terompet lalu diletak di depan mulutnya. "Aku boleh kesana gak?" Karrie tersenyum ketika Karina mengangguk sebagai jawaban pertanyaannya. Karrie langsung memanjat ke balkon Karina. Setelah sampai diatas, Karina membantu Karrie melompat ke balkonnya."Gimana hari ini?" tanya Karrie, sesekali mencuri pandang pada Karina yang sedang menatap bintang. "Sangat membosankan." "Kenapa hari ini kamu ga keluar, tumben?" tanya Karrie lagi. Karrie bisa melihat
"Kar, beneran putus?" tanya Syafa pada Karina yang berjalan di sampingnya.Karina enggan menjawab. Dia semakin mempercepat langkahnya meninggalkan Syafa di belakang. Syafa sedikit berlari agar langkahnya setara dengan Karina."Aku nanya, Kar. beneran putus?" Syafa menahan tangan Karina agar berhenti meninggalkannya."Menurut kakak?" Karina bertanya balik, menatap sendu sang kakak yang tak hentinya bertanya tentang hubungannya dengan sang pacar."Why?" Syafa menggenggam kedua tangan Karina. Melihat wajah sendu adiknya, Syafa lantas mengelus pipi Karina dengan lembut.Karina spontan memeluk erat kakaknya, menenggelamkan wajahnya di bahu sang kakak. Syafa mengusap lembut punggung Karina, terdengar isakan pil