"BRAAKK" Herman mendobrak pintu dari salah satu ruangan yang masih tertutup. Ia mengira Amira ada disana. Namun tak juga ia menemukan istrinya itu. Ia sudah kehabisan akal, harus kemana lagi ia akan mencari Amira. Semua sudut ruangan sudah ia jelajahi, namun tak ada sosok yang ia cari disana. Seorang pasien dari klinik Wisma, yang melihat tingkah aneh dari Herman segera melaporkan kejadian tadi pada security disana. Tingkah Herman yang meresahkan, membuat para pasien disana ketakutan. "Hai kau!! apa yang kau lakukan disini?jangan membuat kekecauan disini, ini adalah tempat orang sakit!!" Bentak salah satu secirity di klinik Wisma. Seakan tak peduli dengan ancaman sang security, Herman terus saja berjalan. Ia mengitari setiap pojok ruangan, berharap tadi ia melewatkan satu ruangan yang belum ia datangi. Karena Herman tak menggubrisnya ,dengan terpaksa sang security membawa paksa Herman yang keras kepala. Herman yang terus memberontak, meminta untuk dilepaskan dengan
Mama Hana yang melihat kondisi hubungan anak dan suaminya saat ini, merasakan pilu dihati yang terdalam. Bagaimana hubungan anak kesayangannya bisa menjadi renggang seperti saat ini. Kehangatan yang biasa ia lihat diantara mereka, kini tidak adalagi. Bahkan mereka sibuk untuk saking menghindar, dan menyakiti. Otaknya berputar keras, ia tak mau kalau rumah tangga anaknya sampai berhenti ditengah jalan. Apalagi saat ini ia sudah punya seorang cucu. Yang pasti akan menjadi korban kalau sampai mereka berpisah. Belum lagi perusahaan yang mereka bangun bersama. Tentu akan hancur seperti rumah tangga yang mereka alami. Sedih ,sakit ,seperti ditusuk jarum yang sangat tajam dan panas. Tak bisa digambarkan sakitnya perasaan mama Hana. Perlahan ia mulai duduk dihadapan kedua orang tersebut. Matanya menatap Herman dan Amira secara bergantian. Mama Hana bisa melihat, kalau diantara keduanya masih ada rasa cinta. Buktinya mereka saling sibuk dengan pasangan yang lain, yang tak
"Maaf ma, tapi entahlah...ini hal yang sudah lama aku simpan. Aku harus mengatakan ini, agar mama tak selalu menyalahkan aku." Jelas Amira panjang lebar. Mama Hana terlihat sangat syok. Ia seakan tak percaya mendengar semua penjelasan Amira. Awalnya ia mengira kalau itu hanya akal-akalan Amira saja. Agar ia mau merestui keinginannya untuk berpisah. Namun Amira memperlihatkan semua bukti yang ia simpan. Dibeberkannya semua rahasia besar yang selama ini ia simpan rapat-rapat. Mama Hana memegang dadanya. Ia tak bisa bernafas lega. Seakan dunianya menjadi terasa sesak, saat melihat semua bukti-bukti yang Amira perlihatkan. Semua gerak-gerik dan tingkah laku Herman, seolah seperti cambuk. Menyakitkan dihatinya. Bagaimana ia bisa tak tahu, selama ini anak tersayangnya disakiti oleh menantunya sendiri. Menantu yang sangat ia banggakan selama ini. Sosok Herman yang baginya adalah sosok idaman semua istri. Paras tampan rupawan, usaha yang maju, keluarga yang berpendidikan
"Kau tak bisa marah padaku mas!! ini semua juga karena ulahmu, kau yang tak pernah benar benar melupakan wanita itu!!" Amira terus meluapkan kekesalannya pada Herman. Karena baginya inilah kesempatan yang bagus meluapkan segala kemarahannya. "Diam kau Amira!!" Herman membentak Amira yang terus memojokkannya. Ia terus menambah kecepatan mobilnya. Ja ingin segera sampai di Rumah sakit. Setelah perdebatannya dengan Amira ,kini ia tengah fokus menyetir. Dengan kekuatan sepenuhnya, ia jalankan mobilnya itu. Hingga akhirnya ,mobilnya berhenti tepat didepan Rumah sakit yang ia tuju. Dibukanya pintunya dengan sigap. kemudian membuka pintu belakang, lalu membopong Mama Hana masuk ke dalamnya. Jalannya sangat cepat. Ia mencari cari seorang suster, dan memintanya untuk segera menangani mama mertuanya itu. Suster membawanya masuk, dipasangnya selang infus ditubuh mama Hana. Dan beberapa alat pacu jantung. Karena detak jantungnya melemah. Herman berjalan mondar mandir. F
Amira menghampiri mamanya yang sudah mulai yerlihat sayu. Matanya yang biasa erlihat indah, kini berwarna kelabu dan tidak terlihat segar lagi. Kulitnya mulai berwarna kuning pasi. Bibirnya tak bisa lagi berucap dengan jelas. Dengan samar-samar, Amira mendengar sedikit nasihat mama Hana. Yang ternyata itu adalah pesan terakhir untuk Amira. "Pesan mama, jagalah pernikahan kalian sampai maut memisahkan." Tersungging di bibir mama Hana, sebelum akhirnya dia menutup mata untuk selamanya. Amira masih tak menyangka, kalau mamanya sudah tak adalagi di dunia ini. Bahkan kunjungan kemarin, merupakan kunjungan terakhir mama padanya. Masih teringat jelas, bagaimana mama tersenyum saat awal datang ke rumahnya. Dan berganti menjadi tangisan, saat Amira menceritakan semua rahasia besarnya. Hingga akhirnya, mama Terlelap untuk selamanya. Kini, hanya Herman dan Vino yang Amira punya. Ia sudah kehilangan mamanya, untuk selanjutnya, ia tak mau kehilangan lagi orang-orang yang ia say
Mobil Herman mulai melaju kembali. Ia sempat melihat lalu lalang mobil ambulance, ternyata kemacetan ini disebabkan oleh kecelakaan sebuah mobil. Terdengar bisikan dari para pejalan kaki, yang menyaksikan kejadian itu. Kalau yang meninggal adalah seorang Dokter. Herman tak mempedulikan kejadian itu, baginya kecelakaan itu hanyalah kecelakaan biasa yang terjadi dijalan raya. Ia tetap fokus pada jalan didepannya. Sampai akhirnya, ia sampai dikantornya. Sambutan hangat dari para karyawannya, membuat semangat kerjanya terpacu. Kali ini, ia bukanlah Herman yang dingin, ia menjadi sedikit cair setelah kejadian kemarin. "Selamat pagi tuan." Sambutan Andi sekertarisnya saat Herman memasuki ruangannya. Herman membalas sapaan Andi."Ada apa? tumben pagi begini sudah ada diruanganku?" tanya Herman, sambil mendudukkan dirinya dikursi kebesarannya. Andi menyodorkan sebuah amplop besar warna coklat. Tanpa berkata, Herman langsung membukanya. Dilihatnya beberapa lembar foto,
Sekuat hatinya ,Amira menahan agar airmatanya tidak terus menerus jatuh. Ia merasa tak enak hati pada suaminya. Yang sudah setia menemaninya selama ini. Hanya sekitar 10 menit, Amira bangkit dari pusara Wisma. Sebagai penghormatan terakhir, ia bangkit dari pusara Wisma. Kemudian mereka menuju rumah Wisma. Untuk berpamitan pada keluarganya. Kedatngan Amira dan Herman, disambut sangat baik oleh mama Hanung, mamanya Wisma. Mama Hanung sangat tahu, tentang kisah cinta Wisma dan Amira. Mama Hanung sangat berharap Amira bisa menjadi menantunya dulu, tapi tak kesampaian, karena Amira lebih memilih Herman daripada Wisma. Matanya berbinar melihat Amira datang ke rumahnya. Mengantarkan Wisma ke tempat peristirahatan terakhirnya. Mama Hanung memeluk Amira erat. Seolah melihat kembali sosok Wisma di diri Amira, ia menangis sejadinya. Menciumi pipi dan kening Amira, secara bergantian. "Nak, kau kesini juga akhirnya, terimakasih sayang...."ucapnya terbata, sambil menangis."Apa
"Minumlah sayang, kau pasti butuh tenaga ekstra, kau sudah berfikir seharian." Adinda merayu suaminya. Ia memberikan segelas minuman soda yang dingin. Melihat minuman yang ditawarkan Adinda, Herman menelan ludah. Ia sangat ingin segera meminumnya. Rasanya haus di tenggorokannya sudah tak bisa lagi di kompromi. Tanpa Herman tahu, Adinda telah memasukkan obat tidur kedalam minuman itu. Hanya dalam satu tegukan, minuman itu tandas tak bersisa. Herman kali ini merasa sedikit segar, karena pengaruh minuman dingin itu. Adinda tersenyum licik melihat suaminya menghabiskan minuman yang ia berikan. Ia hanya ingin Herman menginap dirumahnya malam ini. Tak ada maksud lain. Ia sudah lama merindukan pelukan hangat dari suaminya. Tidur bersama, yang biasa dilakukan suami istri pun, sangat jarang ia dapatkan dari Herman. Apalagi untuk hal lain. Makanya, wajar jika Adinda melakukan itu. Selang beberapa menit, Herman merasakan kantuk yang luar biasa. Dia terus menguap. Dan la
Kau sudah siap sayang?" Herman bertanya pada Amira yang masih sibuk menyiapkan segalanya."Sebentar lagi mas, memang mas sudah siap?" "Sudah sayang, tinggal menunggu kamu selesai, baru kita berangkat," "Baiklah, tunggu lah sebentar," jawab Amira sambil mdmbereskan barang miliknya. Herman melihat jam di tangannya. Susah hampir setengah jam Amira belum juga selesai. Ia mulai gusar, dan kembali melihat Amira. "Sayang, ayolah! jangan lama-lama, masih banyak hal yang harus kita kerjakan disana!" ajaknya dengan nada sedikit kesal. Amira yang faham dengan keadaan Herman yang mulai tak sabar, akhirnya mengakhiri kegiatannya. Dengan segera, ia menyimpan pekerjannya itu. "Aku sudah siap mas, ayo kita berangkat!" ajak Amira, sambil berdiri, dan mendekati Herman. Kemudian mereka melenggangkan kaki, melangkah keluar kamar. Sebelum benar-benar meninggalkan rumah itu, Amira mengitari seluruh ruangan dirumah itu. Rumah yang penuh dengan kenangan, pahit manis, semua sudah ia alami disini.
Herman masih terpaku didepan makam istrinya. Ia tak sedikitpun ingin pergi meninggalkannya. Tangannya yang masih memeluk nisan bertuliskan Adinda, masih setia berada disana. Sesekali, ia mengusap airnatanya dibalik kacamata hitamnya. Andai ia tak malu, mungkin saat ini ia sudah menangis sambil berguling guling ditanah. Berteriak kalau dirinya tak ingin ditinggalkan. Semua bayangan tentang Adinda semasa hidupnya, terekam jelas dalam pikiran Herman. Ia belum mampu mengusir Adinda dari bayangannya. Kuburannya saja masih basah, maka wajar jika semua kenangan yang ada, masih belum bisa ia lupakan. "Mas, ayolah... kita tak boleh terlalu lama bersedih. Ini sudah hampir sore, kita sebaiknya pulang terlebih dulu. Kalau kau masih ingin menemaninya, besok kau bisa kembali lagi kemari!" ajak Amira, yang mulai pegal karena menunggu Herman yang masih saja diam disamping makam Adinda. Ia menatap ke arah Amira. Dilengkungkannya bibirnya itu. Ia pun bangkit dari jongkoknya, dan kini berdiri
"Mas, ayolah angkat mas... ini penting mas!!" Amira terus menggerutu kesal. Herman yang tak mengangkat teleponnya, membuat Amira merasa geram. Setelah beberapa kali ia mencoba menghubungi Herman, akhirnya ia berinisiatif untuk menghubungi Andi. Ia yang tak sabar menunggu Herman, akhirnya berhasil menelepon Andi. "Dimana mas Herman? apa dia tak memegang ponsel?" tanya Amira kasar. Pasalnya, ia sudah kehabisan stok sabarnya. Sudah berkali kali ia menghubunginya, namun Herman tak kunjung mengangkatnya. "Dia masih meeting nyonya. Kami kedatangan klien penting. Jadi maaf, sepertinya dia belum bisa menjawab telepon anda,""Katakan padanya, kalau ada hal penting yang tak bisa ditinggalkan!!dia harus segera pulang!!""Masalah apa?"Amira sedikit ragu memberitahukannya. "Aah emm.. Adinda, Adinda meninggal barusan!!" ucap Amira dengan terbata. Andi sunyi tak menjawab. Mungkin disana, dia pun merasa tak percaya dengan kabar ini."Baiklah, nanti aku sampaikan pada tuan," ucapnya santai. Ya
"Mas, aku melihat jari Adinda bergerak, ayolah ikut denganku!!" seru Amira yang hampir tak percaya dengan apa yang ia lihat. Adinda menggerakkan jarinya, sebagai bentuk respon jika ada yang mengajaknya berbicara. "Mungkin matamu sudah lelah sayang, Adinda itu koma, ia tak bisa menggerakkan anggota tubuhnya," jawab Herman yang tak menghiraukan perkataan Amira. "Tidak mas, aku melihatnya, ayolah sebentar, aku takut kalau dia ingin berbicara sesuatu," Amira yang ngeyel ingin agar Herman ikut dengannya, dan melihat kalau Adinda benar benar bisa bergerak. Herman pun sejenak meninggalkan makannya. Ia bergegas menuju kamar Adinda. Ia ingin tahu, apakah benar Adinda bisa menggerkaan jarinya, seperti yang dikatakan Amira. Namun, tak ada pergerakan sama sekali. Ia masih sama seperti tadi, seperti patung yang diam tak berkutik. "Lihatlah! mana? kau lihat sendiri kan sayang, dia diam saja?" Herman memegang wajah Amira. Ia meyakinkan pada Amira, kalau apa yang Amira lihat adalah sebuah khay
Setelah berpesan pada Amira dan Herman, Dokter itupun berlalu. Amira memasuki ruangan dimana Adinda terbujur kaku. Ia menatap setiap jengkal wajah Adinda. Sungguh tak disangkanya, nasib Adinda bisa se tragis ini. Dulu, dia adalah wanita yang sangat cantik. Tubuhnya bisa dibilang sangat proporsional. Maka pantas saja, dengan mudah laki laki bisa tertarik hanya dengan melihat fisiknya saja. Seperti yang Herman alami, ia tertipu dengan tampilan Adinda yang menawan. Namin siapa sangka, ternyata ia tertipu oleh penampilan menawan Adinda. Seperti pepatah, segala yang kita punya didunia ini hanyalah titipan. Sewaktu waktu, akan diambil oleh sang pemilik. Seperti yang terlihat didepannya. Amira menoleh ke arah Herman. Suaminya terlihat wajahnya menggambarkan betapa suasana hatinya sedang buruk. "Mas, kau sudah makan siang?" "Belum, aku belum ingin makan sayang," Herman nampak lesu. Tak biasanya ia seperti itu. Mungkin karena melihat kondisi Adinda, setidaknya Herman merasa sedih. Ka
Pagi ini terasa sangat damai bagi Adinda. Amira yang dengan senang hati mengantarkannya berkeliling taman, menghirup udara segar, dan melihat indahnya pemandangan, yang menampakkan bermacam macam bunga. Membuat ia menjadi sedikit membaik. Memang suasana hati sangatlah berpengaruh terhadap kesehatan seseorang. Seperti yang Adinda alami saat ini, ia kembali bersemngat menjalani kehidupannya, dan semua itu berkat Herman dan Amira. Ia bersyukur bisa hadir ditengah tengah keluarga mereka. Mereka yang masih memperlakukannya dengan baik, walaupun Adinda sudah melakukan kejahatan terhadap Amira. Namun Amira, yang mempunyai hati seperti malaikat, ia selalu memaafkannya. Tak masalah baginya masa lalu Adinda. Yang terpenting baginya, Adinda saat ini bisa sehat kembali. "Amira, kenapa kau masih begitu baik padaku? sedangkan aku sudah sangat jahat padamu?" Adinda menuliskan pertanyaan itu di selembar kertas yang ia bawa. Karena dengan menulis lah, ia bisa berkomunikasi dengan orang lain.
Semua sudah dia siapkan, hidangan sudah tersaji lengkap, kamar sudah ia rapikan. Amira sudah memberikan yang terbaik untuk menyambut kedatangan Adinda. Bahkan dirinya pun sudah mandi dan bersiap. Seolah seperti akan kedatangan seorang tamu agung, Amira begitu mempersiapkan segalanya. Kini, ia tinggal menunggu kedatangan Herman dan Adinda dari Rumah sakit. Dua orang yang akan membuat hatinya terguncang, sebentar lagi akan datang. Amira kini tengah bermain dengan kedua anaknya. Setidaknya, ini akan mengurangi sedikit rasa grogi nya ,saat nanti Herman dan Adinda datang. "Jam berapa mereka tiba nyonya?" Dhina bertanya pada majikannya itu. Amira hanya terdiam. Dia sendiri tak tahu kapan mereka akan tiba. Tak penting juga baginya, kapan mereka akan tiba, tugasnya sudah selesai, ia tinggal menunggu mereka datang saja. Ponsel Amira berbunyi. Tertulis nama Herman yang kini tengah menghubunginya. "Iya mas, kau sudah sampai mana?""Ini baru mau jalan, kau sudah siapkan kamarnya bukan?"
Hari ini, adalah hari kedua Herman menjaga Adinda di Rumah sakit. Selama ia berada disana, entah mengapa ada ruang kosong didalam hati Amira. Terbersit rasa waswas dalam relung kalbunya. Timbul rasa takut akan keadaan, takut bilamana suaminya benar benar mencintai Adinda, dan akan perlahan melupakannya, karena kebiasaan nya menjaga Adinda, yang entah sampai kapan. Bukan Amira berharap sesuatu yang buruk terjadi pada Adinda, agar ia bisa memiliki suaminya seutuhnya. Namun keadaan seperti ini, benar benar membuatnya merasa terancam. Jauh di relung hatinya, ia mengharapkan kesembuhan Adinda, namun bukan untuk kembali ke pelukan suaminya, melainkan ia memliliki kehidupan lain yang jauh dari hidupnya dan Herman. Suasana hati Amira yang terasa hampa, tanpa adanya Herman bersamanya, membuat ia pun kurang bergairah menjalani hari nya. Seperti pagi ini, ia terbangun agak siang. Biasanya, pagi pagi sekali, ia akan memasak untuk suaminya tercinta. Namun lain untuk kali ini. Ia masih bermal
"Hmm..nyonya menangis?" Andi mencoba mencairkan suasana yang beku dan hening. Amira terkaget dengan pertanyaan Andi. Sontak ia mengusap air matanya. Dia malas menjawab pertanyaan yang mrnurutnya kurang penting dan tak harus dijawab. "Kau tak akan mengerti masalah seperti ini," cibir Amira. Ia hanya sedang tak ingin diganggu. Menghadapi keadaan ini sungguh membuatnya payah. "Tak usah menangis nyonya, ini hanya sementara, cinta tuan hanya untuk anda," ucap Andi pada Amira. "Kau hanya cukup menyetir, tak perlu banyak pendapat!" tegas Amira. "Baiklah..." ucap Andi meminta maaf pada Amira. Ia tak tahu kalau majikannya saat ini, tengah kesal. Ia sedang tak ingin di ganggu. Perasaannya sedang berkecamuk. Antara ego dan cemburunya, ia sedang berusaha untuk mwnyabarkan dirinya menghadapi semua kejadian ini. Amira menyenderkan kepalanya di sofa mobil. Ia mencoba menetralkan pikirannya. Ia sedang belajar menjadi seorang wanita hebat, yang mampu membagi hatinya untuk seorang wanita yang