"Minumlah sayang, kau pasti butuh tenaga ekstra, kau sudah berfikir seharian." Adinda merayu suaminya. Ia memberikan segelas minuman soda yang dingin. Melihat minuman yang ditawarkan Adinda, Herman menelan ludah. Ia sangat ingin segera meminumnya. Rasanya haus di tenggorokannya sudah tak bisa lagi di kompromi. Tanpa Herman tahu, Adinda telah memasukkan obat tidur kedalam minuman itu. Hanya dalam satu tegukan, minuman itu tandas tak bersisa. Herman kali ini merasa sedikit segar, karena pengaruh minuman dingin itu. Adinda tersenyum licik melihat suaminya menghabiskan minuman yang ia berikan. Ia hanya ingin Herman menginap dirumahnya malam ini. Tak ada maksud lain. Ia sudah lama merindukan pelukan hangat dari suaminya. Tidur bersama, yang biasa dilakukan suami istri pun, sangat jarang ia dapatkan dari Herman. Apalagi untuk hal lain. Makanya, wajar jika Adinda melakukan itu. Selang beberapa menit, Herman merasakan kantuk yang luar biasa. Dia terus menguap. Dan la
Saat tubuhbya terasa semakin dingin, Amira memeluk sendiri tubuhnya. Ia butuh kehangatan dari Herman. Namun Herman tak ada disampingnya malam ini. Airmatanya sudah kering. Tak bisa lagi keluar. Herman yang terus menerus membuat Amira tersakiti, tak sadar kalau saat ini ia telah membuat Amira kembali menangis. "Sampai kapan aku harus berada dalam ketidak berdayaan ini?" Amira masih memelas. Memikirkan nasib kurang beruntungnya. Fikirannya mulai tak karuan. Ia mulai curiga, kalau Herman sebenarnya tidak pergi ke kantor. Segera ia hubungi Andi. Ia ingin tahu keberadaan Herman yang sebenarnya. Waktu sudah hampir jam 1 malam. Namun ia nekad menghubungi Andi, ia ingin tahu apa yang terjadi sebenarnya. Andi yang masih berkutat dengan laptopnya, tidak menyangka akan ada telepon dari istri tuannya. Perasaannya sudah mulai tak enak. Dia tahu, kalau majikannya itu membuat lagi masalah dalam keluarganya. "Iya nyonya, ada hal yang bisa saya bantu?" tanya Andi tegas. Ia ti
Saat mereka berdua sudah terbuai. Tubuh Herman yang siap berperang dengan Adinda, ponsel Herman berbunyi. Dan berhasil membuat fikiran keduanya kabur. Perasaan yang sedang menggebu, tiba-tiba buyar begitu saja. Perlahan, keinginan untuk bercinta mulai memudar. "Aaah sialan, siapa yang menelponku pagi buta begini?" Herman mengeluarkan ponselnya. Terlihat nama Amira di ponselnya. Ia baru ingat, kalau hari ini adalah acara peresmian toko kue baru milik Amira. "Hampir saja aku lupa." Ujarnya. Sambil mengangkat telepon istrinya. Adinda menghela nafas kecewa. Hasratnya terpaksa harus ia tunda lagi. Sudah beberapa kali, Herman membuatnya kecewa. Dengan membatalkan percintaan mereka. Apalagi barusan, mereka tinggal beraksi ,tapi Amira menggagalkan semuanya. Adinda benar-benar merasa kesal. Sambil cemberut, ia memakai kembali baju yang sudah terlepas. "Iya sayang, sebentar lagi aku pulang." Jawaban Herman untuk Amira, yang menanyakan kepulangannya. Mata Herman memandang Adin
Melihat makanan yang tersaji dan berjejer panjang, membuat nafsu makan Herman semakin menjadi. Entah sejak kapan, ia menjadi seseorang yang hobby makan. Selepas kejadian penculikan Pramu dulu, ia menjadi lebih mudah tergoda oleh makanan. Apalagi masakan yang dibuat oleh Amira. Memang dari sejak dulu, masakan Amira selalu menjadi primadona dihati Herman. Tak ada masakan manapun yang bisa menyaingi buatan Amira baginya. Amira memandang lekat suaminya, yang sedang makan dengan lahapnya. Ia tampak fokus menikmati sajian didepannya. "Kau suka mas?" tanya Amira lembut. Ia tak mau suaminya malu karena diperhatikan saat makan. Herman hanya mengangguk pelan. Ia tak mau kegiatan makannya diaganggu barang sebentar saja. Amira merasa bangga, karena selama pernikahannya, Suaminya selalu betah makan dirumahnya. Apalagi sekarang, ia tambah suka dengan masakan buatan Amira. Setelah selesai dengan makanannya, Herman bergegas untuk mandi. Ia tak mau istrinya menunggunya terlalu lama. Mengingat ini
Amira tersenyum ramah. Ia nampak menyejukkan dipandang. Saat mata Herman berkeliling melihat semua orang didepannya ,tiba-tiba ia berhenti memandang, pada satu titik mata. Yang tak lain adalah Adinda. Adinda ikut hadir dalam acara peresmian tersebut. ia tahu acara ini dari percakapan Herman dan Amira kemarin. Ia berniat ingin mendekati Amira secara perlahan. Dan akan merebut Herman dari tangannya. Mata Adinda terus mengikuti langkah demi langkah Amira dan Herman. Tersirat rasa cemburu yang sangat jelas didalam matanya. Herman kembali menatap Adinda yang terdiam mematung. Andai tidak dalam sebuah acara penting istrinya, mungkin ia akan mendekati Adinda dan memeluknyaEntah mengapa, ia merasa sangat iba melihat Adinda.Amira memberi salam, serta memberi beberapa kata sambutan untuk orang-orang yang sudah hadir di acaranya. Acara intinya dimulai. Amira memotong pita yang dibentangkan didepan pintu masuk. Suara tepukan tangan para hadirin, terdengar merdu dan nyaring ditelinga Amira
"Aku hamil oleh kekasihku, tapi dia pergi meninggalkanku Ami." Adinda mengarang cerita, agar mendapat simpati dari Amira. Hati Amira yang terbuat dari kapas. Lembut selembutnya. Ia paling tidak bisa jika mendengar seseorang dalam kesusahan, apalagi ini adalah Adinda, atau Ania yang ia kenal. Sudah pasti ia akan menolongnya dengan semampunya. Amira memegang erat tangan Adinda. Sebagai isyarat, kalau ia akan membantunya keluar dari masalah yang sedang ia hadapi. "Tunggu sebentar ya, aku bilang dulu pada suamiku!" ucap Amira, sambil meminggalkan Adinda sendirian. Adinda menyeringai licik. Kali ini, ia akan dengan mudah bertemu dengan suaminya, andai ia diterima menjadi karyawan Amira. Amira menghampiri suaminya. Ia akan meminta pendapat suaminya tentang Adinda. "Mas, ada Ania juga ternyata disini." Amira berbisik pada Herman, ditengah ramainya suasana toko kue oleh para pengunjung. Herman mengerutkan keningnya. Ia tahu kalau yang dimaksud Amira adalah Adinda. "
Aku belum tahu benar, tapi aku sudah telat haid mas. Bisa jadi aku memang benar hamil." Jawab Adinda, yang menunda ciumannya. Keramaian tak membuat mereka menahan nafsunya. Bahkan mereka saling gencar memberikan sentuhan dan ciuman yang semakin menggila. "Aku sangat merindukan saat-saat seperti ini mas." Adinda mulai memejamkan dan membuka matanya ,saat sesuatu terasa masuk kedalam miliknya. Terasa sedikit nyeri ,karena mereka sudah lama tak melakukannya. Namun, bukan Herman jika tidak membuat lawan wanitanya tergila-gila oleh sentuhannya. Kini, mereka benar-benar melakukan hubungan itu, ditempat baru milik Amira. Memang sedikit gila ,tapi itulah cinta, cinta yang dibalut dengan nafsu, membuat mereka menjadi budaknya. Tanpa mengenal tempat, waktu ,dan situasi, mereka berdua asyik melakukannya. Baluran keringat membasahi kemeja yang dikenakan Herman sekarang. Ia yang terlalu bersemangat, membuat tubuhnya dibanjiri keringat nikmat. Adinda yang terus mengeluarkan desahan n
Herman menoleh ,melihat siapa yang memanggilnya. sambil membenarkan pakaiannya, Herman berusaha menghilangkan rasa gugupnya. "Ada apa Andi? kau ada disini juga?" Herman berbasa basi. Dari bahasa tubuh Herman, Andi bisa menebak, kalau saat ini, tuannya sedang menyimpan sesuatu. "Maaf tuan, tadi aku mencarimu di kantor, namun kau tak ada. Ada tamu penting yang harus segera kita temui. Ini snagat berpengaruh untuk perusahaan induk kita." Jelas Andi sambil membungkukkan tubuhnya. "Baiklah, tunggu sebentar, aku bicara dulu dengan Amira." Herman bergegas meninggalkan Andi. Ini salah satu alasan juga untuk Herman menghindari Andi. Pasalnya, di celana nya ada bekas cairan miliknya. Entah seperti apa permainan mereka tadi ,sehingga baju yang berserakan sekalipun ikut tercampur noda cairan milik Herman. Andi pura-pura tidak melihat bekas itu. Yang sebenarnya itu nampak sangat jelas terlihat. Ia bingung jika harus memberitahukan hal semacam itu pada tuannya. Sedangkan Herman, dengan percay
Kau sudah siap sayang?" Herman bertanya pada Amira yang masih sibuk menyiapkan segalanya."Sebentar lagi mas, memang mas sudah siap?" "Sudah sayang, tinggal menunggu kamu selesai, baru kita berangkat," "Baiklah, tunggu lah sebentar," jawab Amira sambil mdmbereskan barang miliknya. Herman melihat jam di tangannya. Susah hampir setengah jam Amira belum juga selesai. Ia mulai gusar, dan kembali melihat Amira. "Sayang, ayolah! jangan lama-lama, masih banyak hal yang harus kita kerjakan disana!" ajaknya dengan nada sedikit kesal. Amira yang faham dengan keadaan Herman yang mulai tak sabar, akhirnya mengakhiri kegiatannya. Dengan segera, ia menyimpan pekerjannya itu. "Aku sudah siap mas, ayo kita berangkat!" ajak Amira, sambil berdiri, dan mendekati Herman. Kemudian mereka melenggangkan kaki, melangkah keluar kamar. Sebelum benar-benar meninggalkan rumah itu, Amira mengitari seluruh ruangan dirumah itu. Rumah yang penuh dengan kenangan, pahit manis, semua sudah ia alami disini.
Herman masih terpaku didepan makam istrinya. Ia tak sedikitpun ingin pergi meninggalkannya. Tangannya yang masih memeluk nisan bertuliskan Adinda, masih setia berada disana. Sesekali, ia mengusap airnatanya dibalik kacamata hitamnya. Andai ia tak malu, mungkin saat ini ia sudah menangis sambil berguling guling ditanah. Berteriak kalau dirinya tak ingin ditinggalkan. Semua bayangan tentang Adinda semasa hidupnya, terekam jelas dalam pikiran Herman. Ia belum mampu mengusir Adinda dari bayangannya. Kuburannya saja masih basah, maka wajar jika semua kenangan yang ada, masih belum bisa ia lupakan. "Mas, ayolah... kita tak boleh terlalu lama bersedih. Ini sudah hampir sore, kita sebaiknya pulang terlebih dulu. Kalau kau masih ingin menemaninya, besok kau bisa kembali lagi kemari!" ajak Amira, yang mulai pegal karena menunggu Herman yang masih saja diam disamping makam Adinda. Ia menatap ke arah Amira. Dilengkungkannya bibirnya itu. Ia pun bangkit dari jongkoknya, dan kini berdiri
"Mas, ayolah angkat mas... ini penting mas!!" Amira terus menggerutu kesal. Herman yang tak mengangkat teleponnya, membuat Amira merasa geram. Setelah beberapa kali ia mencoba menghubungi Herman, akhirnya ia berinisiatif untuk menghubungi Andi. Ia yang tak sabar menunggu Herman, akhirnya berhasil menelepon Andi. "Dimana mas Herman? apa dia tak memegang ponsel?" tanya Amira kasar. Pasalnya, ia sudah kehabisan stok sabarnya. Sudah berkali kali ia menghubunginya, namun Herman tak kunjung mengangkatnya. "Dia masih meeting nyonya. Kami kedatangan klien penting. Jadi maaf, sepertinya dia belum bisa menjawab telepon anda,""Katakan padanya, kalau ada hal penting yang tak bisa ditinggalkan!!dia harus segera pulang!!""Masalah apa?"Amira sedikit ragu memberitahukannya. "Aah emm.. Adinda, Adinda meninggal barusan!!" ucap Amira dengan terbata. Andi sunyi tak menjawab. Mungkin disana, dia pun merasa tak percaya dengan kabar ini."Baiklah, nanti aku sampaikan pada tuan," ucapnya santai. Ya
"Mas, aku melihat jari Adinda bergerak, ayolah ikut denganku!!" seru Amira yang hampir tak percaya dengan apa yang ia lihat. Adinda menggerakkan jarinya, sebagai bentuk respon jika ada yang mengajaknya berbicara. "Mungkin matamu sudah lelah sayang, Adinda itu koma, ia tak bisa menggerakkan anggota tubuhnya," jawab Herman yang tak menghiraukan perkataan Amira. "Tidak mas, aku melihatnya, ayolah sebentar, aku takut kalau dia ingin berbicara sesuatu," Amira yang ngeyel ingin agar Herman ikut dengannya, dan melihat kalau Adinda benar benar bisa bergerak. Herman pun sejenak meninggalkan makannya. Ia bergegas menuju kamar Adinda. Ia ingin tahu, apakah benar Adinda bisa menggerkaan jarinya, seperti yang dikatakan Amira. Namun, tak ada pergerakan sama sekali. Ia masih sama seperti tadi, seperti patung yang diam tak berkutik. "Lihatlah! mana? kau lihat sendiri kan sayang, dia diam saja?" Herman memegang wajah Amira. Ia meyakinkan pada Amira, kalau apa yang Amira lihat adalah sebuah khay
Setelah berpesan pada Amira dan Herman, Dokter itupun berlalu. Amira memasuki ruangan dimana Adinda terbujur kaku. Ia menatap setiap jengkal wajah Adinda. Sungguh tak disangkanya, nasib Adinda bisa se tragis ini. Dulu, dia adalah wanita yang sangat cantik. Tubuhnya bisa dibilang sangat proporsional. Maka pantas saja, dengan mudah laki laki bisa tertarik hanya dengan melihat fisiknya saja. Seperti yang Herman alami, ia tertipu dengan tampilan Adinda yang menawan. Namin siapa sangka, ternyata ia tertipu oleh penampilan menawan Adinda. Seperti pepatah, segala yang kita punya didunia ini hanyalah titipan. Sewaktu waktu, akan diambil oleh sang pemilik. Seperti yang terlihat didepannya. Amira menoleh ke arah Herman. Suaminya terlihat wajahnya menggambarkan betapa suasana hatinya sedang buruk. "Mas, kau sudah makan siang?" "Belum, aku belum ingin makan sayang," Herman nampak lesu. Tak biasanya ia seperti itu. Mungkin karena melihat kondisi Adinda, setidaknya Herman merasa sedih. Ka
Pagi ini terasa sangat damai bagi Adinda. Amira yang dengan senang hati mengantarkannya berkeliling taman, menghirup udara segar, dan melihat indahnya pemandangan, yang menampakkan bermacam macam bunga. Membuat ia menjadi sedikit membaik. Memang suasana hati sangatlah berpengaruh terhadap kesehatan seseorang. Seperti yang Adinda alami saat ini, ia kembali bersemngat menjalani kehidupannya, dan semua itu berkat Herman dan Amira. Ia bersyukur bisa hadir ditengah tengah keluarga mereka. Mereka yang masih memperlakukannya dengan baik, walaupun Adinda sudah melakukan kejahatan terhadap Amira. Namun Amira, yang mempunyai hati seperti malaikat, ia selalu memaafkannya. Tak masalah baginya masa lalu Adinda. Yang terpenting baginya, Adinda saat ini bisa sehat kembali. "Amira, kenapa kau masih begitu baik padaku? sedangkan aku sudah sangat jahat padamu?" Adinda menuliskan pertanyaan itu di selembar kertas yang ia bawa. Karena dengan menulis lah, ia bisa berkomunikasi dengan orang lain.
Semua sudah dia siapkan, hidangan sudah tersaji lengkap, kamar sudah ia rapikan. Amira sudah memberikan yang terbaik untuk menyambut kedatangan Adinda. Bahkan dirinya pun sudah mandi dan bersiap. Seolah seperti akan kedatangan seorang tamu agung, Amira begitu mempersiapkan segalanya. Kini, ia tinggal menunggu kedatangan Herman dan Adinda dari Rumah sakit. Dua orang yang akan membuat hatinya terguncang, sebentar lagi akan datang. Amira kini tengah bermain dengan kedua anaknya. Setidaknya, ini akan mengurangi sedikit rasa grogi nya ,saat nanti Herman dan Adinda datang. "Jam berapa mereka tiba nyonya?" Dhina bertanya pada majikannya itu. Amira hanya terdiam. Dia sendiri tak tahu kapan mereka akan tiba. Tak penting juga baginya, kapan mereka akan tiba, tugasnya sudah selesai, ia tinggal menunggu mereka datang saja. Ponsel Amira berbunyi. Tertulis nama Herman yang kini tengah menghubunginya. "Iya mas, kau sudah sampai mana?""Ini baru mau jalan, kau sudah siapkan kamarnya bukan?"
Hari ini, adalah hari kedua Herman menjaga Adinda di Rumah sakit. Selama ia berada disana, entah mengapa ada ruang kosong didalam hati Amira. Terbersit rasa waswas dalam relung kalbunya. Timbul rasa takut akan keadaan, takut bilamana suaminya benar benar mencintai Adinda, dan akan perlahan melupakannya, karena kebiasaan nya menjaga Adinda, yang entah sampai kapan. Bukan Amira berharap sesuatu yang buruk terjadi pada Adinda, agar ia bisa memiliki suaminya seutuhnya. Namun keadaan seperti ini, benar benar membuatnya merasa terancam. Jauh di relung hatinya, ia mengharapkan kesembuhan Adinda, namun bukan untuk kembali ke pelukan suaminya, melainkan ia memliliki kehidupan lain yang jauh dari hidupnya dan Herman. Suasana hati Amira yang terasa hampa, tanpa adanya Herman bersamanya, membuat ia pun kurang bergairah menjalani hari nya. Seperti pagi ini, ia terbangun agak siang. Biasanya, pagi pagi sekali, ia akan memasak untuk suaminya tercinta. Namun lain untuk kali ini. Ia masih bermal
"Hmm..nyonya menangis?" Andi mencoba mencairkan suasana yang beku dan hening. Amira terkaget dengan pertanyaan Andi. Sontak ia mengusap air matanya. Dia malas menjawab pertanyaan yang mrnurutnya kurang penting dan tak harus dijawab. "Kau tak akan mengerti masalah seperti ini," cibir Amira. Ia hanya sedang tak ingin diganggu. Menghadapi keadaan ini sungguh membuatnya payah. "Tak usah menangis nyonya, ini hanya sementara, cinta tuan hanya untuk anda," ucap Andi pada Amira. "Kau hanya cukup menyetir, tak perlu banyak pendapat!" tegas Amira. "Baiklah..." ucap Andi meminta maaf pada Amira. Ia tak tahu kalau majikannya saat ini, tengah kesal. Ia sedang tak ingin di ganggu. Perasaannya sedang berkecamuk. Antara ego dan cemburunya, ia sedang berusaha untuk mwnyabarkan dirinya menghadapi semua kejadian ini. Amira menyenderkan kepalanya di sofa mobil. Ia mencoba menetralkan pikirannya. Ia sedang belajar menjadi seorang wanita hebat, yang mampu membagi hatinya untuk seorang wanita yang