Gancet : Kapokmu Kapan, Mas? (3)
***Sebelum lanjut, aku mau jelasin sedikit tentang gancet karena masih ada yang belum paham. Gancet adalah kondisi di mana alat vital saling menempel pada saat melakukan hubungan intim. Biasanya terjadi pada pasangan tidak halal. Kebanyakan kasus gancet terjadi ketika pelaku zina melakukan hubungan di tempat-tempat yang diyakini angker. Di cerita ini, terjadinya gancet karena dibuat oleh istri sah.
Dalam dunia medis, gancet sendiri ada penjelasan ilmiahnya (silakan googling untuk lebih jelasnya).
Mohon maaf saya tidak bisa berbagi cara membuat gancet, apalagi di ruang publik. Takut disalahgunakan.***
Bang Robi kembali berteriak memanggilku. Aku harus cepat-cepat kembali ke sana. Kunci cadangan kamarku dan kamar Miska yang kubuat kemarin kusembunyikan terlebih dahulu. Aku kembali membawa kunci cadangan kamar Miska yang disimpan Bang Robi saja biar mereka tidak curiga.
Segera aku buka pintu kamar tempat pasangan selingkuh itu terkurung. Tak lupa kunetralkan debar jantung dan memantapkan hati sebelumnya. Aku tak boleh gentar. Aku harus kuat!
"Astaghfirullah ...." Aku berteriak ketika melihat pemandangan di ranjang Miska.
"Bang, apa yang Abang lakuin sama Miska? Pindah, Bang!"
Aku berpura-pura tak tahu yang terjadi. Aku menarik sebelah kaki Bang Robi yang tubuhnya menindih Miska.
"Aaa ... sakit, Dek! Lepas! Lepas!" jerit Bang Robi.
Begitu juga dengan Miska. Dia menjerit kesakitan.
"Mbak, jangan ditarik, Mbak! Sakiiiit."
"Kalian ngapain? Astaghfirullah ...." Aku berpura-pura terus berusaha menarik paksa kaki Bang Robi.
"Bang, lepasin tubuh Abang dari Miska! Abang apakan adekku? Kenapa Abang tega?" Kupukul-pukul kaki Bang Robi.
"Ampun, Dek, ampun! Abang jangan dipukulin terus. Ampun, Dek!"
"Iya, Mbak, Bang Robi jangan dipukulin. Sakit aku, Mbak!" timpal Miska.
"Kalian ngapain? Astaghfirullah ...."
"Jangan tanya itu dulu, Dek! Tolongin kami dulu biar bisa misah!" perintah Bang Robi.
"Astaghfirullah ... kalian tega banget khianatin aku kayak gini! Salahku apa, Bang? Mis?"
Awalnya memang aku berpura-pura, tetapi akhirnya kuluapkan amarah yang tertahan. Aku menangis histeris di hadapan mereka. Aku tak sanggup berpura-pura tegar. Hatiku sakit melihat langsung apa yang selalu mereka lakukan di belakangku.
"Dek ... sudah, Dek, jangan nangis!"
"Apa Abang bilang? Jangan nangis? Istri mana yang gak akan nangis lihat kelakuan bejat suaminya, Bang? Coba kasih tau aku! ISTRI MANA?"
Bang Robi diam. Miska juga.
"Maaf, Dek! Abang minta maaf! Adek boleh nangis dan marah sama Abang. Yang penting Abang bisa lepas dulu sama Miska."
"Iya, Mbak," timpal Miska.
Aku berhenti menangis dan mengusap air mata. Kembali aku berjalan ke arah mereka yang tergeletak saling tindih di atas ranjang.
"Apa yang bisa aku lakuin buat lepasin kalian?"
"Abang juga gak tau, Dek. Kamu bantu mikir, dong!"
Enak sekali omongannya. Mereka yang berbuat, aku yang disuruh peras otak untuk membantu melepaskan mereka. Memang, orang sin ting macam ini sudah lepas urat malunya.
Aku jadi terpikir untuk semakin membuat mereka malu.
"Aku juga gak tau harus gimana, Bang. Apa aku panggil orang buat bantuin aja?"
"Eh ... jangan, Dek! Kamu mau panggil siapa emang?"
"Pak RT dan warga, lah, Bang. Siapa lagi yang bisa dipanggil pagi-pagi buta kayak gini?"
"Jangan, Dek, masih Subuh. Nanti heboh."
Heboh? Memang itu tujuanku. Biar sekalian malu kalian. Biar kapok!
"Terus aku harus gimana, Bang? Sejak kapan Abang sama Miska kayak gini?" Lagi-lagi, aku pura-pura tidak tahu.
"Dari tadi pokoknya, Dek. Abang udah panggil-panggil kamu dari tadi."
"Iya, kah, Bang? Aku gak dengar apa-apa soalnya. Tidurku pulas banget."
"Bener, kok, Mbak, tadi kita udah manggil-manggil Mbak kenceng banget." Miska yang jawab.
"Loh, kok, aku gak dengar apa-apa, ya? Kira-kira, udah berapa jam, Mis?"
"Kayaknya lebih dari dua jam, Mbak."
"Astaghfirullah ...."
"Kenapa, Mbak?"
Halah ... pakai acara tanya kenapa.
"Aku pernah baca, kalau lebih dari tiga jam posisi kalian gak bisa dilepas, salah satunya bisa mati."
"Hah? Aku gak mau mati, Mbak. Tolongin aku, Mbak," rengek Miska.
Bang Robi juga melakukan hal yang sama. Keduanya memohon sambil menangis.
"Terus aku harus gimana nolonginnya? Minimal kalian harus dibawa ke rumah sakit. Aku gak bisa bawa kalian sendirian ke sana."
Aku lantas keluar kamar itu dan kembali ke kamarku. Kuambil ponselku dan ponsel Bang Robi. Lantas kembali ke kamar Miska membawa kedua benda itu.
Kuabadikan gambar mereka berdua dengan kamera ponselku. Gambar kuambil dari beberapa posisi.
"Kamu mau ngapain, Dek? Kenapa kamu foto-foto kami?"
"Buat bukti, Bang. Aku mau minta tolong sama keluarga Abang. Aku mau kirim ke WAG keluarga Abang."
Dalam WAG keluarga suamiku, ada istilah NO PICT=HOAX.
"Dek, jangan, Dek!"
"Yah ... udah kekirim, Bang
Gancet : Kapokmu Kapan, Mas? (4)"Dek, buruan hapus! Sebelum ada yang lihat!" perintah Bang Robi.Aku diam tak menanggapi."Dek!" Bentakan Bang Robi berhasil membuatku menoleh dan bertanya dengan polos padanya."Ada apa, Bang?""Buruan hapus foto tadi!""Foto yang mana, Bang?""Yang kamu kirim ke WAG keluarga Abang.""Loh, kenapa harus dihapus, Bang? Nanti kalau gak ada yang percaya Abang butuh pertolongan, gimana? Abang tau sendiri, kan, di WAG keluarga Abang gimana peraturannya?""Tapi gak foto itu juga, Dek! Buruan hapus!"Aku menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum menjawab, "Iya, Bang ...."Bang Robi kayaknya percaya saja dengan semua yang aku katakan. Padahal, aku tidak benar-benar mengirim gambar-gambar itu ke WAG keluarga suamiku.Aku pasti akan mengirimkannya, tetapi bukan sekarang. Aku punya rencana yang lebih menyenangkan dahulu untuk mereka. Setelah itu, baru kuposting foto-foto gancet Bang Robi dan Miska di status WA suamiku. Biar lebih banyak yang lih
Gancet : Kapokmu Kapan, Mas? (5)"Kalau begitu, terpaksa yang wanita harus berkorban." Sang dokter gadungan berbicara tanpa menatap Bang Robi. Tatapannya fokus padaku. Aku yakin dia sedang berusaha menahan tawanya sekarang. Begitu juga dengan aku."Loh, kok, saya, Dok? Saya gak mau mati, Dok!" Kali ini Miska yang berteriak."Udah, kamu ngalah, dong, Mis! Saya masih punya masa depan panjang. Kalau saya yang dipotong, gimana nanti sama istri saya? Kamu, kan, gak punya suami. Jadi harus ngalah!" perintah Bang Robi.Entah apa yang ada dalam pikiran suamiku itu. Dia kira aku masih mau dengannya setelah dikhianati seperti ini? Aku bukan wanita bodoh, Bang!"Enak aja! Abang yang harusnya ngalah! Aku masih muda, Bang! Masa depanku masih panjang. Aku gak mau pokoknya! Lebih baik kita mati berdua aja!" Miska protes.Bang Robi terus saja mempertahankan pendiriannya. Dia tidak mau barang berharganya dipangkas habis. Mereka akhirnya larut dalam perdebatan.Aku lantas mengajak temanku keluar kamar
Gancet : Kapokmu Kapan, Mas? (6)Aku tetap melanjutkan kegiatan siaran langsung di facebook milikku. Tak kupedulikan Bang Robi dan Miska yang ribut karena ketumpahan bubur mereka. Tak kugubris juga teriakan keduanya yang menyuruhku untuk berhenti melakukan siaran langsung."Oke, Gaes, pokoknya aku tunggu kedatangannya secepat mungkin, ya, di rumah. Aku bingung gimana ngurus mereka sendiri. Plis ... tolongin aku, ya, Gaes."Kumatikan kamera siaran langsung. Baru tiga menit tapi siaran langsungku sudah ditonton lebih dari seratus orang. Setelah kumatikan, malah semakin banyak yang membagikannya. Bagus. Siap-siap viral!"Dek, apa-apaan kamu?! Bukannya minta bantuan, kenapa kamu malah live fb?" omel Bang Robi."Aku lagi usaha cari bantuan, loh, Bang. Kan, kata Abang jangan tetangga sini. Jadi, ya, lebih baik di sosmed. Barangkali ada yang lewat sini bisa sekalian mampir nolongin. Kalau aku nyari keluar, kelamaan, Bang.""Tapi gak gitu juga, Dek? Kalau viral gimana?"Memang itu mauku, Bang
Gancet : Kapokmu Kapan, Mas? (7)Sopir ambulan yang kaget karena mendengar jeritan Bang Robi dan Miska membuat ambulan oleng sehingga tubuh Bang Robi dan Miska ikut tersungkur ke sisi sebelah kiri ambulan. Tentu saja mereka semakin histeris karenanya."Aargh ... sakiiit!" keluh Miska."Tolong ...!" tambah Bang Robi.Sopir ambulan langsung menghentikan laju mobilnya dan segera berlari ke belakang bersama dua temannya yang duduk di depan. Mereka lantas membenahi posisi Bang Robi dan Miska. Beruntung, selimut yang sedari awal kugunakan untuk membungkus tubuh keduanya tidak terlepas saat tubuh mereka terguling.Aku dan Kak Elfa hanya membantu sebisa kami. Kak Elfa yang tadinya duduk di sampingku pada bagian kanan ambulan, pindah posisi ke sebelah kiri untuk mengantisipasi kejadian tadi tidak terulang kembali. Memang menjadi lebih sempit, tetapi tak apa.Kuperhatikan, salah seorang petugas medis yang sedari tadi membantu kami selalu mencuri pandang padaku. Entah siapa orang yang memakai ma
Gancet : Kapokmu Kapan, Mas? (8) "Jangan, Kak! Kakak tega sama Robi emangnya?" "Tega gak tega, ditegain! Dari pada harus nanggung malu berkali-kali. Udah salah, bukannya sadar, malah terus nyalahin istri. Otak kamu itu ke mana, sih?" Kak Elfa mendekat ke adiknya dan langsung menoyor kepala sang adik. "Tapi, Kak ...." "Tapi apa lagi? Mau bela diri lagi? Gak punya perasaan banget kamu jadi laki. Kalau Papi tau kelakuan anaknya kayak gini, Kakak yakin Papi yang bakal langsung suntik mati kamu sekarang juga!" "Emang ... Papi tau, Kak?" Belum sempat pertanyaan Bang Robi mendapat jawaban, seorang perawat datang mendekat. Perawat itu memberitahukan bahwa dokter akan segera melakukan tindakan untuk melepaskan Bang Robi dan Miska. Aku dan Kak Elfa diberi pilihan untuk tetap tinggal atau menunggu di luar. "Kami di sini aja, Sus," jawabku. Jawaban yang sama juga dilontarkan Kak Elfa. Tak berselang lama, tim dokter dan perawat masuk. Kebetulan ruang UGD hari itu sedang sepi. Tak ada pasien
Gancet : Kapokmu Kapan, Mas? (9)Miska menjerit kesakitan saat tubuhnya ikut jatuh ke lantai. Aku yang bingung diam tak melakukan apa pun. Kak Elfa yang akhirnya berlari menuju tubuh Bang Robi dan Miska. Lalu, segera memanggil perawat dan dokter.Tubuh Bang Robi dan Miska diangkat kembali ke atas brankar oleh beberapa orang perawat. Selanjutnya, dokter melakukan pemeriksaan. Alhamdulillah hasilnya tidak ada hal buruk yang terjadi. Bang Robi pingsan karena syok semata.Perawat kembali membenahi selang infus yang terlepas dari tangan Bang Robi dan Miska karena terjatuh. Miska yang histeris diberi suntikan entah apa. Katanya untuk menenangkan saja.Aku dan Kak Elfa diminta keluar ruangan dan menunggu di luar agar tak mengganggu istirahat mereka. Kami keluar dengan pasrah. Lalu duduk di kursi tunggu depan ruang UGD."Kak, yang Kakak bilang tadi beneran?" Aku bertanya."Enggak, Dek. Kakak sengaja mau bikin Robi panik. Eh, gak taunya malah jadi kayak gitu.""Soalnya Kakak kesel sama dia. Bi
Gancet : Kapokmu Kapan, Mas? (10)Kak Elfa menarik tanganku keluar kamar. Tak dipedulikan adiknya yang mengeluh kepedasan. Kak Elfa malah mengumpat, "Sukurin!" tanpa menoleh pada adiknya itu.Aku dan Kak Elfa makan bersama. Sebenarnya, Kak Elfa sudah membelikan makan pada kedua orang yang sedang berada di kamar itu. Rencananya malah Kak Elfa akan membantu menyuapi mereka. Tetapi, perkataan Bang Robi terlalu membuatnya geram."Kakak minta maaf, ya, Ti. Robi benar-benar keterlaluan! Kalau Kakak jadi kamu, mungkin udah Kakak siram air panas mereka berdua itu. Kalo gak, ya, suntik mati aja sekalian. Kamu sabar banget, ya Allah ...." Kak Elfa memeluk tubuhku dari samping."Kakak bener-bener malu sama kelakuan Robi.""Tadinya Kakak gak mau datang ke sini juga. Mau ikut sama yang lainnya aja pura-pura gak tau tentang apa yang terjadi sama Robi. Tapi gimana, Kakak gak tega. Lagipula kebetulan banget Kakak lewat dekat sini pas lihat live fb kamu itu.""Maaf, ya, Kak," ucapku lirih."Maaf untuk
Kapokmu Kapan, Mas? (11)Bang Robi marah-marah pada Kak Elfa karena dua orang dukun yang tadi datang bukanlah suruhan teman kakaknya. Suamiku itu bahkan mengancam akan memberi pelajaran pada dua orang tadi bila dirinya sudah terlepas dari Miska."Lah, mana Kakak tau kalau dua dukun yang tadi itu gadungan, Dek? Kebetulan banget, kan, datengnya pas temen Kakak bilang orangnya udah dekat sini. Jadi, ya, Kakak pikir betulan mereka." Kak Elfa bicara sambil menahan tawanya.Bang Robi kembali menggerutu."Gimana rasa minumannya, Dek?" tanya Kak Elfa.Pertanyaan itu semakin membuat Bang Robi marah-marah menyumpahi kedua dukun gadungan itu. Bukannya prihatin, Kak Elfa malah menyemburkan tawanya. Sebenarnya aku juga ingin melakukan hal yang sama. Lelah menahan tawa, tetapi aku tak berani menertawai Bang Robi dan Miska di depan mereka. Aku masih harus berpura-pura prihatin."Dek, tolong ambilin Abang minum, dong!" pinta Bang Robi.Segera saja aku keluar kamar dan mengambilkan minum di dapur. Tak
Kapokmu Kapan, Mas? (53b)Aku masuk dan tiba-tiba pintu itu terkunci dari luar."Masuk saja. Tidak perlu takut, Dek!" perintah Bang Robi.Tangannya menunjuk sebuah sofa agar aku duduk di sana. Kuletakkan tasku di samping."Gak usah tegang gitu, Dek," kata Bang Robi saat melihatku membetulkan posisi duduk berulang kali.Aku tak menjawab kata-katanya."Aku ke sini mau to the point aja, Bang!" kataku kemudian."Kamu butuh apa memangnya?""Aku gak butuh apa-apa, Bang. Aku malah mau menyerahkan ini." Kulempar map berisi duplikat surat-surat berharga peninggalan orang tuaku ke atas meja yang menjadi pembatas aku dan Bang Robi."Silakan ambil semua itu. Itu yang Abang inginkan, kan?" tanyaku.Bukannya menjawab, Bang Robi malah tertawa."Bukan itu, Sayang! Abang gak butuh itu semua. Yang Abang butuh itu kamu!""Aku? Maksud Abang apa? Bukannya Abang niat bunuh aku?"Bang Robi kembali tertawa."Nah, itu kamu tau.""Kenapa Abang segitu jahatnya sama aku? Salah aku apa, Bang?""Salah kamu karena
Kapokmu Kapan, Mas? (53)Aku bersiap berangkat setelah Bang Robi mengirimkan pesan berisi tempat di mana kami akan bertemu. Kusiapkan apa-apa saja yang kuperlukan untuk menemui Bang Robi. Aku harus menyelesaikan semuanya.Baru saja aku memutar gagang pintu kamar, dari luar sudah didorong orang. Ternyata Pak Arsyad yang mendorong. Aku yang tadinya sudah di ambang pintu, harus mundur beberapa langkah karena Pak Arsyad yang ikut masuk ke kamarku. Tangannya lantas menutup pintu kamarku dan menguncinya dengan cepat. Lalu, kunci itu disembunyikannya di dalam saku celana yang dikenakannya."Mas ... balikin kuncinya! Saya mau pergi," pintaku.Bukannya memberikan apa yang kupinta, Pak Arsyad malah menempelkan belakangnya ke pintu. Dengan santai Pak Arsyad bersedekap dan berucap, "Kalau bisa, coba ambil sendiri!""Mas ... tolong! Saya mau pergi. Sudah ada janji.""Janji dengan Robi?"Aku mengangguk."Tidak akan saya biarkan kamu keluar dari sini, kalau begitu.""Mas ... tolong ngertiin saya kal
Kapokmu Kapan, Mas? (52b)Malam itu, aku tak dapat tidur dengan pulas. Marahnya Pak Arsyad mendominasi pikiranku. Aku tak suka dengan itu. Sungguh menyakitkan.Pagi harinya, saat sarapan, aku sengaja meminta izin kepada kedua orang tua Pak Arsyad, serta Bude Ningsih."Siang nanti Titi izin keluar, ya, Ma, Pa, Bude."Ketiganya serempak menanyakan tujuanku."Mau menyelesaikan sesuatu yang harus diselesaikan," jawabku.Pak Arsyad diam saja tak merespon apa pun. Dia juga tak melirikku barang sedikit. Ada rasa sakit kurasakan karena itu.Meskipun Pak Arsyad marah, aku sudah bertekad bulat untuk menemui Bang Robi. Aku ingin menyelesaikan semuanya. Semua upaya yang aku dan Pak Arsyad lakukan selama ini tak berdampak banyak. Jadi, ini jalan terakhir untuk mengakhiri semuanya. Setidaknya, setelah Bang Robi mendapatkan semua yang diinginkannya, aku berharap tidak ada lagi korban. Aku semakin takut menjadi sumber dosa banyak orang.Ternyata, setelah sarapan, Pak Arsyad tidak berangkat ke kantor
Kapukmu Kapan Mas? (52a)Selepas shalat, aku menyusul Pak Arsyad yang telah lebih dulu menunggu di mobil."Kita pulang sekarang?" tanya Pak Arsyad setelah aku duduk di kursi samping kemudi."Memang masih ada rencana mau ke mana lagi, Mas?" Aku balik bertanya."Tidak juga. Tapi siapa tau kamu butuh pergi ke suatu tempat untuk film diri."Benar juga kata Pak Arsyad. Aku butuh tempat untuk syuting diri. Juga untuk menjernihkan pikiran."Boleh, sih, Mas. Tapi saya gak tau mau ke mana.""Gimana kalau ke pantai?""Boleh."Pak Arsyad lantas melajukan mobilnya menuju pantai. Kami lalu duduk di tepi pantai beralas tikar yang disewakan. Pak Arsyad juga memesan dua buah kelapa muda untuk kami nikmati.Cukup lama kami dalam diam menikmati semilir angin pantai yang menyejukkan. Aku sibuk dengan pikiranku tentang langkah selanjutnya yang akan kuambil. Entah dengan Pak Arsyad, apa yang dipikirkannya, aku tak bisa menebak.Seandainya waktu dapat kuputar. Aku pasti akan berusaha sebaik mungkin agar se
Kapokmu Kapan, Mas? (51c)Aku benar-benar dibuat terkejut dengan pengakuan itu. Dadaku bergemuruh. Tak pernah kusangka semua itu."Itu pun karena saya diancam. Bapak mengancam akan membunuh anak bungsu saya yang sedang berada di rumah sakit.""Mbok punya anak selain Mas Wisnu?" tanyaku heran. Pasalnya, selama ini yang kutahu Mbok Mina hanya punya satu anak."Anak saya ada dua, Bu. Wisnu anak pertama saya. Adiknya bernama Siti. Dia sedang dalam masa perawatan di rumah sakit jiwa. Pak Robi tau itu. Saya juga kurang mengerti beliau tau dari mana. Padahal saya tidak pernah bercerita. Pak Robi menggunakan Siti untuk menekan saya memberitahukan tentang kepergian Ibu. Saya terpaksa memberitahu alamat rumah di kampung."Astaghfirullah ...."Awalnya, saya pikir Bapak mau menjemput Ibu secara baik-baik. Jadi saya beri saja. Tapi ... saya malah disuruh hubungi Wisnu. Saya disuruh bohong tentang sakit dan nyuruh Wisnu nyusul ke kota. Di situ, perasaan saya sudah gak enak. Tapi saya gak bisa berbu
Kapokmu Kapan, Mas? (51b)Karena bosan tak mendapat jawaban, Mas Wisnu akhirnya kembali ke motornya dan pergi dari tempat itu. Aku dan Pak Arsyad membuntutinya. Cukup jauh perjalanan yang harus kami tempuh sampai akhirnya kami tiba di sebuah rumah. Tempat motor Mas Wisnu berhenti.Di depan rumah itu terlihat Mbok Mina keluar menyambut putranya. Tampak ibu dan anak itu saling berbincang entah apa. Mereka lalu masuk ke rumah bersama dan mengunci pintu setelahnya.Aku dan Pak Arsyad masih setia di dalam mobil. Kami menunggu kesempatan untuk dapat masuk ke rumah itu dan meminta penjelasan. Pak Arsyad yakin betul bahwa ada sesuatu keterkaitan antara mereka dan apa yang sedang terjadi kepadaku.Satu jam sudah kami menunggu di dalam mobil. Akan tetapi, Pak Arsyad belum juga mau kami turun menghampiri rumah itu. Perutku sudah perih, tetapi tak sampai hati kuutarakan."Ayo, kita turun!" Pak Arsyad memberi perintah setelah melihat Mas Wisnu keluar dari rumah itu. Sepertinya Mas Wisnu hendak sa
Kapokmu Kapan, Mas? (51)"Jadi, apa yang akan Mas lakuin selanjutnya?" Aku bertanya."Kita buntuti Wisnu.""Kita?" Aku mengernyit."Iya. Apa kamu gak mau tau apa yang sebenarnya terjadi? Saya ada feeling kuat mereka ada kaitannya dengan kasus ini.""Begitu menurut Mas?"Pak Arsyad mengangguk."Kalau begitu, saya ikut. Kapan Mas mau laksanain rencana itu?" ucapku."Kemungkinan besok sore sepulang kerja. Atau lihat besok, deh. Pokoknya kamu siap-siapa aja. Kalau saya telpon, kita siap berangkat.""Oke, Mas, kalau gitu.""Ya udah, ini udah malam. Kamu tidur, sana!""Iya, Mas. Mas juga, ya! Terima kasih udah mau saya repotin malam begini.""Santai."Kami lantas kembali ke kamar masing-masing untuk beristirahat.Namun, sebelum dapat terlelap, aku kembali teringat mimpi malam sebelumnya. Aku bermimpi sedang bertengkar dengan Mbok Mina dan Mas Wisnu di tepu jurang. Hampir saja kami terpeleset ke dalam jurang itu. Aku merasa itu adalah sebuah petunjuk. Semoga saja aku segera mengetahui maksud
Kapukmu Kapan Mas? (50b)"Kayaknya korban pembunuhan, Mbak."Entah mengapa, saya merasa ngeri dengan informasi itu. Apakah Mas Adam juga menjadi salah satu korban Bang Robi? Entahlah. Aku tak berani berspekulasi.Karena hari semakin petang, Pak Arsyad mengajakku untuk pulang setelah sedikit berbasa-basi dengan tetangga Mas Adam yang kami tanyai. Sepanjang perjalanan pulang, aku lebih banyak diam. Begitu juga dengan Pak Arsyad.Malamnya aku merasa gelisah. Bahkan dalam tidur pun aku jadi tidak tenang. Mataku terpejam, tapi sama sekali aku tidak merasa tidur. Pikiranku berlarian ke berbagai praduga.Barulah setelah lewat pukul dua dini hari, aku bisa terlelap. Akan tetapi, sebuah mimpi aneh muncul dalam tidurku. Aku memimpikan Mbok Mina dan Mas Wisnu.Aku terbangun tepat saat azan Subuh berkumandang. Berkali-kali aku beristighfar demi keputusan debar di dada. Apakah mimpiku adalah pertanda? Atau hanya bunga tidur semata.Sudah cukup lama aku tak mendapat kabar dari Mbok Mina dan Mas Wis
Kapokmu Kapan, Mas? (50)Aku benar-benar terkejut melihat Bang Robi menarik tanganku. Ingin rasanya kutepis dan berlari menjauh darinya. Akan tetapi, suasana di lain arah pun sedang tak kondusif.Terpaksa, aku hanya pasrah dibawanya. Kami akhirnya keluar dari gedung itu. Segera kutepis tangan Bang Robi. Dari kejauhan, terlihat Pak Arsyad. Aku segera lari menghampirinya."Kamu gak kenapa-kenapa, kan?" tanya Pak Arsyad ketika aku sampai di depannya.Belum sempat aku menjawab, Bang Robi sudah menimpali, "Cewek lo gak kenapa-kenapa, kok, Bro. Aman.""Lo yang nyelametin dia, Bi?" tanya Pak Arsyad."Iya.""Thanks, ya, Bi."Bang Robi hanya mengangguk menanggapi ucapan Pak Arsyad."Lain kali, jagain cewek lo baik-baik, Bro. Dia kayaknya sensian sama cowok." Bang Robi menyindirku.Pak Arsyad malah tertawa menanggapi perkataan Bang Robi.Pak Arsyad melihat ke arahku. Aku menggeleng sebagai isyarat tak melakukan apa pun kepadanya."Diapain emangnya lo, Bi?""Gak, kok. Dah, ya, gue duluan. Sial.